Sekilas, tak ada yang mencurigakan di kamar berukuran 3x4 meter itu. Letak perabotannya masih sama seperti saat ditempati oleh Bik Asih. Hanya saja, beberapa benda yang tercecer di meja nakas di dekat ranjang, lantas menyita perhatian Zane. Ia mendekat dan duduk di tepian ranjang berukuran single tersebut. Ada beberapa kertas nota, bolpoin, obat-obatan dan juga uang receh di atas meja kecil itu. Jam tangan yang sudah lusuh, juga sebuah cincin berukuran kecil lantas membuat Zane semakin penasaran. Tangannya perlahan membuka sebuah laci di bawah meja, dan bola matanya membeliak ketika selembar foto pernikahannya dan Belle berada di sana. Sepertinya Bik Milah memotongnya dari koran yang mempublish berita pernikahannya beberapa bulan yang lalu. Tapi, untuk apa Bik Milah menyimpan foto ini? Belum terjawab rasa penasaran Zane, tatapannya beralih pada selembar foto lain yang sudah buram dan lecek. Ia memperhatikan foto seorang bayi itu dengan seksama, bayi siapa ini?"Oh, Bik Milah sudah p
Bandar Udara International Changi, Singapura. "Kamu senang?" Zane menggenggam jemari istrinya sembari mendorong kursi roda itu dengan senyuman lebar. Belle mengangguk cepat. "Aku nggak sabar pengen cepet besok! Rasanya seperti mimpi bisa melihat indahnya dunia lagi." Keduanya lantas dijemput oleh orang suruhan Ronald yang akan standby untuk melayani Zane dan Belle selama di Singapore. Pria bersama Frans tersebut mengantar Zane menuju hotel yang akan mereka tempati selama seminggu ke depan. "Zane, aku pengin jalan-jalan dulu sebentar. Bagaimana kalo kita nonton?" usul Belle merajuk. "Tidak. Kita harus ke hotel dan istirahat. Kamu tidak boleh terlalu capek," tolak Zane tegas. "Dokter sudah mewanti-wanti agar kamu dalam keadaan fit ketika di operasi.""Tapi aku pengen jalan-jalan, Zane. Aku bosen seminggu ini dikurung terus di rumah!" dengus Belle sambil bersedekap jengkel. "Tidak boleh. Nanti kita akan puas-puasin jalan-jalan kalo operasinya berhasil. Aku akan menuruti ke manapun
Seakan lupa pada janjinya untuk tidak menyentuh Belle sebelum ingatan istrinya itu kembali, Zane melakukan hubungan badan itu tanpa beban berulang kali hingga sore. Bahkan Belle pun yang tadinya kesakitan di awal-awal, mulai ketagihan dan tak ingin mereka menyelesaikan permainan penuh kenikmatan itu. "Dulu aku sempat curiga kalo kamu sudah tidak perawan, tapi ternyata aku salah," ucap Zane usai mengecup kening istrinya. Keduanya kini sudah kelelahan dan bersiap untuk istirahat sejenak sebelum mencari makan malam. Sambil berpelukan tanpa sehelai benang pun di badan, keduanya kini tak canggung saling menempel satu sama lain. "Kenapa kamu bisa menuduhku begitu!" protes Belle sengit dengan bibir mengerucut maju. "Karena hubungan kamu dan Bryan terlalu ekstrim. Bahkan meski sudah menikah, kamu masih tidak mau putus dari dia. Bukankah wajar kalo aku lantas curiga?" Zane membeberkan alibinya dengan gamblang. "Dasar egois! Sekarang cabut kembali tuduhanmu itu." Belle mencubit perut Zane
"Belle.""Hm?" Zane termangu untuk beberapa saat, ia menarik napasnya dalam-dalam hingga dadanya terasa penuh sesak oleh oksigen. "Kenapa, Zane?" tanya Belle sembari menarik kepalanya dari dada hangat sang suami. "Aku sangat menyayangimu." Zane mencium kening istrinya cukup lama, tiba-tiba saja air matanya menetes haru atas pengorbanan besar yang baru saja wanita itu lakukan. Dua jam yang lalu. Belle menahan Zane yang hendak pergi untuk membantu pria tua itu. Tadinya Belle pikir, Zane akan memaki seperti yang dilakukan Frans. Hingga akhirnya ia buka suara. "Hentikan, Frans! Cukup," seru Belle dengan tubuh gemetar, ia tak bisa membayangkan bagaimana sakitnya pria tua itu jatuh membentur lantai. "Sakit apa putri anda, Pak?" tanya Belle prihatin. "Bolehkah saya menemuinya sebelum memutuskan jawaban saya?" "Tentu, Nona!" Pria itu sontak berdiri tanpa mempedulikan rasa sakit yang ia rasakan di tungkai kakinya. "Putri saya juga dirawat di Rumah Sakit ini. Mari ikut dengan saya!" Pr
"Zane, ada apa?" Entah sudah berapa kali Belle melontarkan pertanyaan itu ketika Zane mendadak mengajak istrinya itu pulang ke Indonesia malam ini juga. Bahkan Zane tak lagi meneruskan permainan panas mereka usai menerima telepon dari seseorang. Meskipun kecewa karena merasa tanggung, tetapi Belle menghormati keputusan suaminya yang seolah menyimpan sesuatu. Kini keduanya telah berada di pesawat yang sedang landing di bandara Soekarno Hatta. Zane tak banyak bicara, ia hanya menanggapi pertanyaan Belle sesekali tapi tidak pernah menjawab secara gamblang. "Josh akan mengantarmu ke rumah papa. Aku harus ke suatu tempat dan menyelesaikan beberapa masalah.""Zane!" Belle menahan lengan suaminya yang baru saja memasang seatbelt di kursi istrinya. "Apa terjadi sesuatu yang gawat?" tebaknya cemas. Dalam sekali helaan napas, Zane mengurai cekalan istrinya dan mundur. "Tidak, Belle. Jangan khawatir. Aku berjanji akan menemuimu nanti. Pergilah, Josh!" perintah Zane lugas sebelum kemudian me
Tiga bulan sebelumnya. Di salah satu sudut cafe yang cukup ramai. Ronald baru saja turun dari mobil ketika Josh membukakan pintu untuknya. Dengan langkah tegap, ia berjalan memasuki tempat di mana seseorang sedang menunggunya sejak satu jam yang lalu. Wanita yang duduk di sudut cafe di dekat jendela, lantas berdiri ketika melihat Ronald datang. Ia menyambut kedatangan pria kaya itu dengan suka cita. Sulit sekali membuat janji untuk bertemu dengan Ronald mengingat jadwalnya yang padat dan tak sembarang orang bisa bertemu. "Shamilah?" Ronald menunjuk perempuan di hadapannya ketika tiba di depan meja bernomor 23 itu. Dengan seutas senyuman, wanita itu mengangguk lemah. "Betul, Tuan. Saya Shamilah yang tempo hari mengirim surat pada Tuan." Sambil menarik napas panjang, Ronald lantas duduk berhadapan dengan Shamilah. Ia memberi kode pada Josh agar duduk menjauh dari mereka berdua. "Maaf, jika saya menggangu waktu Tuan yang sangat berharga. Tuan tentu tahu alasan saya ingin sekali ber
"Ini yang kau mau, huh!? Keributan ini yang kau inginkan?!"Prang.Suara teriakan dan benda pecah bergantian memekakkan telinga. Setiap malam, tiada pernah sekalipun pertengkaran demi pertengkaran berhenti terjadi di rumah kecil dan sangat sederhana itu. Di dalam kamar yang gelap gulita, Zane kecil duduk bersimpuh sambil memeluk kedua lutut mungilnya. Tubuhnya bergetar hebat, suara tangisnya bahkan nyaris tak terdengar. "Jangan menyebutku wanita hina! Kau jauh lebih hina karena tak pernah mempedulikan anak dan istrimu!""Anak haram pembawa sial itu bukanlah anakku!" "Tutup mulutmu, Bajingan! Kau yang menghamiliku dan merusak masa depanku!""Ibu ..." isak Zane lirih dengan hati sakit. Tangisnya semakin menjadi tatkala suara baku hantam itu kemudian berganti suara jeritan menakutkan. Zane masih ingat betul, suara-suara benda tumpul dan pecah belah terus silih berganti hingga akhirnya pintu kamarnya terbuka. "Nendra." "Ibu."Zane bangkit dan berlari memeluk ibunya yang berdiri lem
Belle sampai di apartemen tak sampai satu jam, ia meminta Josh mengebut agar bisa sampai secepatnya. Suara tangisan Zane saat di telepon tadi, telah membuatnya sangat khawatir. Ia yakin Zane pasti sedang bergulat dengan masalah yang sangat berat, mengingat suaminya itu sangat perasa tapi tak pernah mau merepotkan orang lain. Jika ia berkata butuh dipeluk, Belle paham sedalam apa luka yang sedang dirasakan suaminya itu. Melihat Belle masuk ke dalam kamar, Zane yang sedari tadi duduk di lantai sambil memperhatikan pemandangan kota, sontak berdiri dan memeluk istrinya. Ia lantas membawa tubuh Belle ke atas ranjang dan melanjutkan pelukan mereka di sana. Tanpa berkata apapun, Belle hanya memeluk dan mengusap rambut suaminya dengan penuh kasih. Zane pun belum membuka suara, ia hanya menikmati pelukan nyaman itu dengan mata terpejam. Karena lelah semalaman tak tidur, Zane akhirnya terlelap di dekapan Belle. Sesekali terdengar suara rintihan dari bibir suaminya, seakan-akan rasa sakit di