Kaira memalingkan wajahnya dari pandangan Jay yang masih berada di atasnya. Jay merubah posisinya dan duduk di sebelah Kaira.
Jay tidak menjawab pertanyaan Kaira. Jay merasa dirinya belum pantas membicarakan hal cinta di saat hati Kaira belum sepenuhnya untuknya.
"Apa aku harus menjawabnya sekarang, kalau aku mencintaimu? Bagaimana kalau kau menolakku? Hatiku belum siap untuk itu," batin Jay.
Kaira berjalan dan berjongkok di depan puing-puing pecahan bingkai yang telah menguras tenaganya. Kaira menyeka airmata yang sedari tadi mengalir keluar seperti hujan.
"Aku tahu kalau aku bersalah! Tapi, apa kau tidak bisa menghargai usahaku? Kalau kau tidak menerima bingkai ini sebagai pengganti, seharusnya kau letakkan saja tanpa harus merusaknya di depan mataku!" ucap Kaira.
"Kai..."
"Jay... Oh, maaf. Maksudku Tuan Jay, Anda juga harus ingat kalau aku juga hanya sebuah pengganti sebagai pengantinmu. Apa Anda akan melakukan hal yang sama, dengan apa yang Anda lakukan pada bingkai ini?" Jay seperti tertusuk oleh ungkapan Kaira.
"Kaira...'
"Anda silahkan istirahat. Aku akan istirahat di kamar yang lain," Kaira sudah memegang handle pintu sembari menutupi airmatanya dari Jay.
"Kaira, dia sudah menikah! Dia meninggalkanku karena tidak mempercayaiku. Apa kau juga akan melakukan hal itu padamu?" Kaira diam, saat Jay melontarkan satu pertanyaan padanya.
Kaira mengurungkan niatnya untuk keluar dari kamar, karena Jay sudah berdiri di belakangnya dengan tangan yang menghalangi pintu.
DEG... DEG... DEG...
Malam yang begitu sunyi, membuat debaran jantung keduanya saling terdengar di telinga masing-masing. Apalagi tinggi Kaira yang hanya sebatas pundak Jay, sehingga Kaira bisa mendengar debaran hebat dari jantung Jay yang berdiri di belakangnya.
"Kaira, apa kau bisa meluangka waktu untuk mendengarkanku bicara?" tanya Jay.
"Iya! Katakan saja!" jawab Kaira.
"Aku bukannya tidak bisa menjawab pertanyaanmu tentang sebuah cinta yang sudah berlabuh pada siapa. Aku hanya tidak ingin mengecewakanmu," ucap Jay.
"Kecewa? Apa benar dia mencintai wanita cantik yang ada di foto itu?" batin Kaira.
Hati Kaira terasa sakit dan berdenyut. Lagi dan lagi, Jay berbicara tidak jelas dan membuat Kaira salah paham dalam mengartikannya.
"Aku akan katakan padamu, wanita mana yang aku cintai di saat yang tepat dan aku sudah yakin kalau aku tidak akan di tolak," ucap Jay.
"Oh... Itu hakmu."
"Bisakah kau percaya padaku?"
"Percaya tentang apa?" tanya Kaira.
"Aku tidak akan mengkhianatimu, selama..."
"Selama AKu menjadi Istrimu? Kalau kau sudah yakin dengan cintamu, kau akan menceraikan aku? Lalu, untuk apa kau melanjutkan pernikahan pada saat itu? Bukankah kau tahu, kalau aku bukanlah Keysana? Apa dari awal, aku hanya sebuah pion supaya keluarga kalian tidak menanggung malu? Apa karena aku miskin dan sebatang kara, kau bisa membeliku dengan hartamu?" Jay tidak mengerti kenapa Kaira mengucapkan kata-kata yang sangat tidak masuk akal baginya.
"Apa aku seburuk itu?" tanya Jay.
"Lalu, aku harus menilaimu seperti apa?" tanya Kaira.
"Seperti ini!" Jay membalikan tubuh Kaira untuk menghadap ke arahnya. Jay mencium kening Kaira dengan lembut.
"Jangan baik padaku kalau kau hanya akan menyakitiku!" ucap Kaira.
"Satu bulan. Beri aku waktu satu bulan, untuk membuktikan bahwa kau adalah wanitaku satu-satunya. Kau percaya padaku, bukan?"
"Tidak akan lebih dari satu bulan."
***
Perseteruan yang berakhir dengan damai. Kaira cUkup puas dengan pernyataan Jay. Pernyatain bahwa dirinya adalah satu-satunya wanita dalam hidup Jay. Pernyataan itu lebih berarti dari pada sebuah ungkapan 'AKU MENCINTAMU!'
Jay memilih mengalah, tidur di kamar tamu dan Kaira tidur di kamar mereka. Kaira tidak bisa memejamkan matanya karena debaran jantungnya tidak bisa di kontrol.
"Siapa wanita itu?" batin Kaira.
Pukul dua dini hari, Kaira membuat teh hangat untuk menemani matanya yang tidak bisa terpejam.
"Aduhhhhhhh... Sebenarnya siapa sih wanita itu? Kenapa fotonya memenuhi otakku? Apa aku cemburu? Apa aku benar-benar menyukai Jay? AAARRRRRHHHHHH... Pusing!" Kaira teriak-teriak sembari mengaduk teh dengan tenaga dalam, sehingga suara sendok yang bertemu gelas, mengganggu pendengaran Jay.
Jay berjalan tanpa suara dan sudah berdiri di samping Kaira. Kaira masih saja asyik dengan gemelut hati dan pikirannya.
"Apa begitu asyik memakiku?"
"KYAAAAA..." Kaira benar-benar terkejut dengan suara Jay yang tiba-tiba muncul di sampingnya.
"Hmmmm? Apa Istriku tidak menyadari kehadiranku?" goda Jay.
"Mau teh?" Kaira berusaha mengalihkan perhatian Jay.
"Hufffff... Padahal aku begitu terkejut. Apa dia mendengar celotehanku?" batin Kaira
"Boleh! Bawa saja ke balkon kamar. Aku akan menyusul," pinta Jay.
Jay masuk ke dalam kamar mandi, menggosok giginya karena Jay sempat tidur sekitar 1 jam. Jay tidak ingin memberikan kesan buruk ke Kaira.
Jay mengganti bajunya, memakai parfume hingga tercium wangi maskulin dari tubuhnya. Hanya acara minum teh bersama saja, Jay bersiap-siap seperti kencan.
"Apa yang harus aku bawa ya? Apa aku sudah wangi dan tampan? Mulutku tidak bau'kan? Aku harus periksa mulut besok," gumam Jay.
Jay masuk ke dalam kamar. Kaira masih tetap memakai baju yang sama. Jay mengambil selimut kecil dan di lingkarkan ke pundak Kaira.
"Di sini dingin. Pakai ini biar hangat!" ucap Jay.
"Lebih hangat kalau kau memelukku," jawab Kaira dengan asal-asalan mengikuti kata hatinya tanpa di pikir terlebih dahulu.
Wajah Jay memerah. Terlihat dari sorotan lampu yang membuat wajah tampannya semakin bersinar. Jay duduk di sebelah Kaira dan memeluk Kaira sesuai dengan jawaban yang Jay dengar.
"Apa sudah hangat?" tanya Jay, sembari menahan malu.
"Kalau seperti ini, kita benar-benar seperti Suami Istri," ucap Kaira.
"Aku harus menikmati dan percaya dalam waktu satu bulan ini. Jay tidak akan mengecewakanku. Aku harus membuatnya jatuh cinta padaku," batin Kaira.
"Benar! Aku mendengar istriku memakiku hanya karena foto. Sebenarnya aku membentakmu untuk tidak menyentuh foto itu, bukan karena itu foto wanita yang aku cintai. Tapi, aku tidak ingin tangan istriku terluka terkena pecahan kaca."
"Benarkah?" tanya Kaira dengan bersemangat.
"Aku memajang foto itu karena ada foto adikku di sampingnya. Tidak ada lagi foto adikku yang tersisa setelah kebakaran besar 3 tahun lalu yang menewaskannya," mata Jay berkaca-kaca saat membahas tentang adiknya.
"Aku tidak tahu," jawab Kaira.
"Di samping foto adikku, namanya Grace. Dia sudah menikah dengan pria lain. Dia sudah meninggalkanku 7 tahun lalu karena tidak mempercayaiku."
"Tidak percaya tentang apa?" tanya Kaira.
"Tentang aku yang tidak bisa memberikan kehidupan mewah untuknya. Kaira, sejak saat itu aku tidak pernah jatuh cinta lagi. Kau sebagai Istriku, sudah berhasil menggoyahkan hatiku. Jangan pernah pergi dariku hanya karena aku belum mampu membuatmu bahagia," mata mereka saling bertatapan satu dengan yang lainnya.
"Apa aku berarti untukmu?"
"Sangat berarti!"
Ucapan lembut Jay, seperti membuat Kaira mabuk kepayang dan jatuh di antara bintang-bintang.
"Aku minta maaf tentang bingkai yang aku hancurkan," ucap Jay.
"Aku juga minta maaf."
"Bisakah kita ulang semuanya dari awal?"
"Iya!" jawab Kaira.
Mereka mengakhiri kesalahpahaman dengan saling berciuman. Jay semakin melahap habis bibir Kaira yang terasa manis. Lidah Jay menari-nari dengan sangat lihai, seperti saling berdansa dengan lidah Kaira yang menyambutnya.
***
"AKU KEMBALI...!!!"
Saat pagi hari tiba, Kaira terbangun dalam dekapan hangat Jay. Kesalahpahaman yang sudah usai, membuat Jay dan Kaira bisa tidur dengan nyenyak dalam ranjang yang sama. Kaira dan Jay, akan memulai semuanya dari awal. Mengakhiri segala keegoisan. Kaira akan mempercayai Jay sepenuhnya selama 1 bulan ini.
Kaira memasukan rambut Tania yang panjang ke dalam kloset supaya kotor dan menjijikan, sama seperti dirinya yang di buat bau oleh Tania. Apalagi, Kaira mendengar Tania menyebut nama Grace secara terang-terangan. Kaira bukan type wanita yang kasar, baru kali ini Kaira membalas perbuatan orang yang merendahkannya."Kaira, cukup!" Jay mencegah Kaira untuk meneruskan balasannya. Jay memberikan jasnya untuk Tania, sedangkan pakaian yang basah adalah pakaian Kaira. Ada rasa yang sedikit menusuk di dada, membuat sesak, tapi Kaira kembali pada janji Jay yang akan membuatnya percaya."Kau benar-benar tidak mencintainya seperti yang kau katakan, bukan? Atau, ucapan Tania jauh lebih jujur dari pada yang kau ucapkan? Hatimu yang mana yang harus aku percaya?" batin Kaira. Jay mendekati Kaira, tapi Tania menarik tangan Jay dan memberikan ponselnya.
MALAM PERTAMA... Malam ini begitu sunyi. Rembulan dan bintang, menghiasi langit yang begitu cerah. Desisan angin seperti menyapa tubuh yang sedang merasakan gejolak asmara dan desiran gairah. Seorang wanita sudah menunggu pangerannya menghampiri dengan gejolak yang sama. Tirai kamar bergerak-gerak, seakan hembusan angin mengiringi sebuah cinta yang akan tersampaikan. Lampu kamar sudah di matikan. Di balik cahaya kamar yang remang-remang, Kaira sudah memakai gaun malam tanpa bra. Dengan wajah merah dan malu-malu, ekspresi seperti itu membuat Jay tidak bisa menahan lagi gairahnya yang sudah berada di puncak. Jay mulai jalan mendekat ke arah Kaira yang sudah duduk manis menunggunya. Jay menelan ludahnya, matanya menikmati lekuk tubuh Istrinya yang begitu sempurna. Suara kaki Jay terdengar begitu berirama. Jantung yang berdebar, seperti menambahkan nada.
Saat terbangun dari tidurnya di pagi hari, Kaira merasakan pinggangnya seperti cidera. Betapa buas dan tidak terkontrolnya Jay pada saat melakukannya dengan Kaira semalam. Jay menyadari kalau Kaira sudah terbangun dari mimpi indahnya. Jay mencium tengkuk Kaira dan Kaira merasakan sesuatu yang bergerak-gerak di pinggulnya."Apa yang akan aku katakan pada Jay? Aduhhhh, malunya aku!" batin Kaira. Kaira diam saja saat merasakan Jay sudah memberikan kode untuk mengulang lagi apa yang mereka lakukan semalam. Kaira pura-pura tidur kembali."Sayang, kenapa kau tidak memujiku?" tanya Jay dengan manja."Aduhhhhh... Apa aku memiliki Suami yang tidak tahu malu? Kenapa dia bersikap seperti tidak terjadi apa-apa semalam?" batin Kaira."Sayang, aku tahu kau sudah bangun. Jadi, jawab aku! Apa aku hebat semalam?""Iya!" akhirnya Kaira menjawab
Meskipun dengan susah payah dan menahan nyeri di bagian ujung pahanya, Kaira tetap mengantar Jay ke bandara. Jay akan dinas paling cepat 2 hari dan paling lambat 10 hari. Pasangan yang baru saja di penuhi dengan cinta, harus terpisah oleh sebuah jarak. Saling percaya adalah sumber kekuatan yang pertama. Kaira di berikan cuty 3 hari oleh atasannya karena identitas Kaira sebagai Istri Jay masih di sembunyikan dan menjadi sebuah rahasia."Sayang, aku harus ke Prancis dulu baru ke Jepang.""Iya. Jangan lupa memberiku kabar dan jaga kesehatan," ucap Kaira sebelum Jay masuk ke ruang tunggu. Tuan dan Nyonya Alrecha menemani Kaira selama Jay dinas. Mereka memberikan perhatian pada Kaira bukan hanya sebatas menantu melainkan sudah seperti anak kandung. Kaira masih merasa canggung, tapi Nyonya
"Rasya, apa masih ada penerbangan ke London hari ini?" tanya Jay"Masih!" jawab Rasya."Pesankan aku tiket. Aku harus menemui Istriku.""Pekerjaan?""Ada kau, semua pasti beres.""Aku?" seru Rasya."Kau tinggallah di sini. Aku harus menjelaskannya pada Istriku sebelum semuanya semakin kacau.""Ke Jepang?" tanya Rasya."Setelah menjelaskannya, aku akan segera kembali ke sini.""Cih, kekuatan cinta!" batin Rasya menggerutu.***LONDON... Jay sampai di rumah sekitar tengah malam. Semua orang sudah tertidur termasuk Kaira. Jay melihat mobil Tuan A
Wanita itu langsung menemui Direktur Winny dan mengabaikan Kaira. Kaira juga wanita yang cuek, simple dan tidak suka dengan sesuatu yang berbelit."Aku sudah minta maaf, jadi semua sudah beres," batin Kaira sembari masuk ke dalam ruangannya. Lily memberika setumpuk kertas untuk Kaira periksa, bahkan sebelum duduk dengan benar. Kaira menghela nafas melihat setumpuk kertas yang membuat kepalanya langsung berdenyut."Aduhhh... Pinggangku sakit tapi aku harus duduk lama di kursi ini dan bersenandung dengan kertas-kertas ini," gumam Kaira."Hei, Kai!" bisik Lily."Lily, jangan bisik-bisik!" ucap Kaira sembari menyibakkan rambutnya. Lily menatap Kaira dengan pandangan curiga setelah melihat beberapa tanda merah di leher dan bawah telinga Kaira."Kai...""Apa?" Kaira belum menyadari
"TAPI DIMATAKU, KAU SAMA SEKALI TIDAK MEMILIKI SEBUAH HARGA!""...""..." Kaira maupun Vanka menoleh ke arah sumber suara yang tegas dan juga terdengar begitu gagah."Sayang!" Jay menyambut Kaira dengan merentangkan tangan lalu memeluknya dengan hangat."Apa dia sedang membelaku?" batin Kaira sembari membalas pelukan Jay."Apa yang di katakan Grace benar, kalau pria ini sudah menikah?" batin Vanka. Kaira meletakkan telapak tangannya di kening Jay untuk memastikan suhu tubuhnya."Menunduk!" pinta Kaira. Jay menunduk sesuai arah, lalu Kaira menempelkan keningnya di kening Jay karena setelah memeriksa dengan telapak tangan, suhu tubuh Jay normal."Aneh... Kata Mama sakit, tapi kenapa dia ter
Sebuah kesepakatan akhirnya terjalin setelah Jay dan Loreta saling berjabat tangan. Rasya bisa menghela napasnya sedikit lega membiarkan Tuannya itu pergi bersama Loreta.Perjanjian itu akan terpenuhi setelah Loreta mempertemukan Jay dan Kaira. Lalu, Jay melepaskan Orthela untuk kembali ke negara asalnya.Perseteruan sudah cukup membuat kacau. Loreta tidak ingin semuanya berlanjut semakin jauh karena banyak hal yang terbengkalai karena masalah yang tidak juga kunjung selesai.Loreta membawa Jay pergi ke tempat pemakaman. Pria tersebut menyipitkan matanya heran sembari melirik curiga ke arah Loreta.“Apa yang kau rencanakan dengan membawaku ke sini?” tanya Jay. Bariton suara yang tegas itu, membuat sekujur tubuh Loreta merinding.“Anda jangan salah paham, Tuan. Saya membawa Anda ke sini bukan tanpa sebab,” ujar Loreta.Dari pandangan yang cukup jauh, terlihat dua orang sedang menghadap ke salah satu makam yang tidak asing. Jay berlari tidak sabar ingin segera memeluk wanita yang be
"Jangan mendekat!" teriak Kaira. Rasanya cukup mengerikan. Kaira menjadi ketakutan. Ia berusaha pergi meski cukup sulit, tapi Orthela sudah lebih dulu memegang kendali kursi rodanya."Kenapa kau tkut? Bukankah aku sudah cukup membuatmu tenang? Kau bahkan sudah melihat bagaimana aku sangat menyesal," kata Orthela. Ia bahkan tidak merubah ekspresinya. Tetap terlihat sangat menyedihkan."Pergi! Aku memiliki keluargaku sendiri, Orthela. Aku tidak akan pernah pergi denganmu. Tidak akan pernah!" teriak Kaira."Bagaimana kalau Ziel sudah bersamaku? Apa kau tetap akan menolakku?""Apa? Kau menyandera Ziel? Orthela, dia tidak tahu apapun. Ziel msih anak-anak." Pada dasarnya, Kaira bukan wanita yang pandai mengumpat atau berkata kasar. Ia hanya berteriak meluapkan emosinya dengan kata-kata yang masih tertata dengan lembut."Aku tahu kalau kau akan menolakku. Maafkan
Tiga hari Kaira menghilang. Orang yang paling tertekan dan hampir gila adalah Jay. Jay yang tidak pernah menggunakan kekuasaannya, sekarang menekan semua orang untuk mencari Kaira sampai Kaira ditemukan. Nyonya Luna membawa Ziel pergi. Ziel yang tidak tahu apa-apa, tidak boleh terkecoh dengan keadaan yang ada. Orthela tidak memiliki niatan buruk. Racun yang sudah masuk ke dalam tubuh Kaira adalah buatan dari orangnya. Meski sudah mendapatkan penawar, tapi masih ada satu penawaran lagi yang harus hati-hati dan perlahan disuntikan ke dalam tubuh Kaira."Ini di mana?" gumam Kaira. Kaira terbangun dari tidurnya yang cukup panjang. Kepalanya terasa berdenyut dan berkunang-kunang. Tempat itu sangat asing, apalagi seseorang yang menatapnya."Kau sudah sadar? Syukurlah. Aku bisa mengembalikanmu tanpa rasa bersalah," ucap Orthela."Kau!" pekik Kaira."Jangan terlalu banyak gerak dan bicar
Kaira belum sadar setelah pengobatan. Tapi, kondisinya berangsur-angsur membaik. Tuan Alrecha dan Nyonya Luna, akhirnya mengetahui kalau keadaan sedang kacau saat ini. Keysana menemani Kaira sembari mengasuh Ziel. Rasya sibuk mengurus gugatan untuk Orthela dan Jay sekeluarga, mengurus pemakaman Grace karena keluarga Grace, semuanya sudah mengakhiri hidupnya sendiri."Grace, sejauh ini..." Jay terdiam dengan kedua matanya yang sembab. "Sejauh ini, aku tidak membencimu. Kau menunjukkan perubahan yang sangat besar. Sebagai rasa terima kasihku, aku akan merawat rumah terakhirmu," lanjutnya. Nyonya Luna mengusap-usap punggung Jay. Jay yang sedang bersimpuh menaburkan bunga di atas gundukan tanah yang masih basah, tangannya terus saja gemetar. Tuan Alrecha tidak banyak bicara. Ia cukup paham dengan perasaa
Jay masuk ke dalam rumah Orthela. Dia menggendong Grace yang sudah tiada. Tidak hanya itu, Paul yang datang berniat membawa Grace tapi dia malah menjadi sasaran utama kemarahan Jay. Jay menarik kerah kemeja yang Paul kenakan. Jay sudah membuat wajah dan tubuh Paul memar, terluka, berdarah, kesakitan, merintih dan memohon.Srek! Srek! Srek! Suara tubuh Paul yang diseret paksa membuat Delon, Orthela dan Loreta terperanjat kaget. Mata mereka terbelalak lebar. Lantai yang Jay lewati, dibanjiri oleh darah yang mengalir dari Paul dan juga Grace. Wajah Jay suram. Sorot matanya begitu tajam. Delon menelan salivanya karena baru kali ini dia melihat ekspresi iblis dari aura Jay. Jay yang ia kenal sebagai suami yang sangat lembut dan hangat tapi kali ini, ekspresinya begitu kejam.“Menarik!” ujar Jay
“Key, Rasya, aku titip Kaira dan Ziel,” ujar Jay.“Kau mau ke mana? Bukankah pengobatan Kaira hampir selesai?” tanya Keysana.“Ada sesuatu yang harus aku kerjakan. Setelah kembali nanti, aku sendiri yang akan menjelaskannya pada Kaira.” Rasya hanya diam saja. Jay meminta Rasya supaya tetap berada di rumah sakit untuk menjaga situasi di sana. Jay menggenggam erat surat dari Grace yang di dalamnya ternyata ada chip milik Orthela. Jay berfikir kalau ia tidak bisa sepenuhnya lepas tangan dalam masalah ini dan menyerahkannya pada Delon. Kenangan pahit Delon, tragedi, trauma, masih membekas jelas. Jay tidak ingin malah Delon yang terseret lebih dalam lagi. Langkah dan tindakan Jay cepat. Ia berharap kedatangannya jauh lebih dulu dibandingkan Delon di kediaman Orthela.“Delon, aku ber
Brak!“Akh! Uhuk... Uhuk... Uhuk...” Grace memegang perutnya yang ditendang Orthela. Dari mulutnya, keluar darah segar karena ia tempental dan menabrak sisi meja.Plak! Plak! Ortela menarik rambut Grace. Ia menamparnya berkali-kali. Tapi tidak ada rintihan sakit atau permohonan untuk sekedar meminta ampun.“Meski kau sudah menghilangkan semua jejak, apa kau pikir aku tidak tahu kalau kau sudah mengambilnya untuk sample?” gertak Orthela tanpa melepaskan rambut Grace.“Hahahaha... Aku juga sudah tahu akan berakhir seperti ini.”“Aku melepaskanmu, bukankah seharusnya kau membalas budi padaku?” Mata Orthela mendelik, menatap tajam seakan-akan ia akan menelan Grace hidup-hidup. Grace tidak merasa takut karena sejak awal, dia sudah siap.“Apa ini yang kau sebut sebagai kebebasan?&rd
Jay dihubungi oleh rumah sakit untuk segera datang. Ia langsung bergegas, padahal ia baru saja menemukan cara untuk menemukan penawarnya. Hanya saja, Jay lebih mementingkan untuk datang dan mendengarkan apa ucapan Dr. Crombe.“Dokter sudah menunggumu,” ucap Keysana.“Aku langsung ke sana.” Jay langsung berlari dan menuju ruang Dr. Crombe. Ternyata tidak hanya ada Dr. Crombe saja, tapi ada Dr. Sansan.“Anda sudah datang, Tuan. Silahkan duduk!” pinta Dr. Crombe.“Apa ada sesuatu yang—““Anda tenang dulu. Silahkan Anda minum terlebih dahulu.” Dr. Sansan menenangkan Jay yang sangat gelisah. Di atas meja sudah ada sebuah obat. Jay tidak mengetahui obat apa itu. Ia tidak bisa berfikir jernih. Mungkin karena ia belum siap menerima apa yang akan ia dengar.“Se
Grace kembali ke rumah Orthela. Alamat yang sudah Loreta berikan untuknya. Grace datang tanpa persiapan. Ia hanya datang dengan keyakinan sesuai alur yang akan Tuhan takdirkan.“Grace, bukankah ada satu minggu untukmu bebas?” tanya Loreta.“Tidak ada yang ingin aku nikmati,” jawab Grace. Tidak ada siapapun di rumah. Loreta, Paul dan juga Orthela pergi. Grace belum diberi tugas olehnya. Kesempatan bagi Grace untuk menemukan obat penawar. Ia tidak peduli kalau dirinya sedang dalam pengawasan atau Orthela sudah memasang jebakan.Tap... Tap... Tap... Kakinya melangkah cepat memasuki kamar Paul. Sebelum masuk ke dalam neraka, Grace sudah mengetahui keahlian setiap penghuninya. Di dalam kamar paul, Grace mulai mencari formula untuk menetralkan racun yang ada ditubuh Kaira. Grace men