Saat pagi hari tiba, Kaira terbangun dalam dekapan hangat Jay. Kesalahpahaman yang sudah usai, membuat Jay dan Kaira bisa tidur dengan nyenyak dalam ranjang yang sama.
Kaira dan Jay, akan memulai semuanya dari awal. Mengakhiri segala keegoisan. Kaira akan mempercayai Jay sepenuhnya selama 1 bulan ini.
Satu bulan ke depan adalah waktu yang akan di manfaatkan Jay untuk membuat hubungannya dengan Kaira terjalin semakin erat.
"Kamu sudah bangun? Apa tidurmu nyenyak?" tanya Jay.
"Lumayan!" jawab Kaira.
Kaira beranjak dari tempatnya berbaring dan melepaskan diri dari pelukan Jay yang semakin erat dan terasa menyesakkan.
"Mau kemana?" tanya Jay yang masih malas untuk membuka matanya.
"Bangun, dan bersiap kerja."
Jay mengizinkan Kaira untuk melakukan apapun yang dia mau. Jay tetap melanjutkan mimpinya dan Kaira sudah sibuk bersama Bibi Rols di dapur.
Semua makanan untuk bekal, sudah siap, barulah Kaira membersihkan tubuhnya yang sudah berkeringat setelah memasak sop ayam.
"Apa aku benar-benar harus percaya padamu? Apa aku tidak akan kamu kecewakan?" batin Kaira di bawah guyuran air
Kaira langsung memakai pakaiannya di dalam kamar mandi, karena di kamar ada Jay yang masih tertidur.
Kaira keluar dari kamar mandi. Penampakan yang membuat jantung berdegub dengan kencang, ada di depan matanya.
Dengan rambut yang masih basah, Jay hanya menutupi tubuhnya dengan lilitan handuk kecil. Tubuhnya yang begitu sempurna, menjadikan Kaira terpana dan tidak ingin mengedipkan matanya meskipun hanya sedetik.
"Kai ..." panggil Jay saat Kaira hanya termenung menatapnya.
Jay mendekat ke arah Kaira yang hanya menatap dengan tatapan kosong.
"Kenapa handuk kecil tidak lepas tertiup angin? Padahal aku sangat ingin melihat apa isinya?" batin Kaira.
"Kaira ..." panggil Jay lagi.
"Bolehkah aku membuka handuknya?" tanpa sadar, tangan Kaira sudah berada di pinggang Jay.
"Kau menggodaku pagi-pagi?" bisik Jay.
"Tidak! Aku hanya penasaran dengan isi di dalamnya," Kaira menunjuk pada barang pusaka Jay yang tertutupi handuk.
"Kalau begitu, kenapa kau tidak memegangnya saja seperti ini?" tangan Jay menuntun tangan Kaira untuk menyentuh miliknya yang sudah berdiri tegak dan menjulang tinggi seperti sebuah menara.
"Apa kau merasakannya?" bisikan Jay menambah kegilaan Kaira. "Uhhhhhh ..." Jay menggigit bibirnya sendiri saat tangan Kaira meremas junior.
"KYAAAA ... Dasar gila! Dasar mesum!" Kaira memaki Jay setelah sadar dari lamunan dan tangannya sudah memegang hal yang paling sensitif bagi seorang pria.
Kaira langsung berlari terbirit-birit seperti sedang ketahuan melakukan kejahatan.
"Dia kenapa? Bukannya dia sedang menikmatinya? Aduhhh ..." gumam Jay.
Kaira menggunakan kamar yang lain, untuk memberikan make up tipis pada wajahnya supaya tidak terlalu mempermalukan Jay. Secara garis beras, seorang Istri sangat mempengaruhi Suami.
"Addduhhhhh ... Apa aku masih memiliki muka untuk menemuinya? Bagaimana bisa, tanganku berada di itunya, bahkan meremas benda pusaka yang seharusnya tidak aku ganggu," gumam Kaira.
***
Kaira berjalan mengendap-endam, melewati Jay yang sudah duduk di meja makan. Jay menyadari kalau Kaira pasti akan menghindarinya, sehingga Jay merasa harus dirinya yang mendekat.
"Mau kemana? Apa Istriku yang berbadan kurus itu tidak akan sarapan?" ucap Jay tanpa menoleh.
"Aku belum lapar," jawab Kaira.
"Padahal aku sudah berjalan sepelan mungkin, tapi pendengarannya sangat tajam sekali," batin kaira.
"Apa aku harus berbicara seratu kali supaya Istriku datang padaku?" tanya Jay dengan tegas.
"Cih... Seperti itu saja marah," batin Kaira.
Mau tidak mau, Kaira harus menuruti perintah Jay sebelum membuat Jay emosi di pagi hari. Pagi hari memang cenderung harus merasakan suasana yang damai dan nyaman tanpa adanya sebuah keributan.
"Aaaaaa... Buka mulutnya!" pinta Jay pada Kaira sembari mempraktekan buka mulut seperti menyuapi seorang bayi.
Kaira menurut saja, dan menelan suapan demi suapan yang Jay sodorkan ke dalam mulutnya hingga isi di dalam piringnya kosong. Jay seperti menahan tawanya saat melihat wajah Kaira yang memerah seperti udang rebus.
"Cih, memalukan! Aku sudah bilang kalau aku tidak lapar, tapi sialannya, aku malah menghabiskan makanannya bahkan tanpa ada sisa," batin Kaira.
"Sepertinya tadi ada yang bilang kalau tidak lapar?" ledek Jay.
"Sudahlah, aku ke kantor saja!" Kaira berpura-pura marah supaya Jay tidak meledeknya lagi.
"Ayo!" Jay merangkul pundak Kaira dan mengajaknya berjalan bersama.
***
"Aku berhenti saja di sini!" pinta Kaira setelah merasa sudah dekat dengan kantor.
"Sampai kapan?"
"Apa?"
"Sampai kapan aku harus mneyembunyikanmu sebagai Istriku?" tanya Jay dengan raut wajah yang sedih di matanya.
"Sampai kau benar-benar mencintaiku dan aku mempercayaimu!" jawab Kaira sembari keluar dari mobil setelah yakin tidak ada yang melihatnya.
Jay sangat ingin meminta Kaira untuk menjadi sekretarisnya, supaya bisa melihat Kaira setiap hari tanpa sebuah hambatan. Tapi Jay menunggu waktu yang tepat, yaitu setelah mengenalkan bahwa Kaira adalah Istrinya.
Jay mneyadari ada sesuatu yang membuat Kaira seperti membatasi diri. Jay dan Kaira sudah sepakat untuk saling mempercayai dan membuktikan ketulusan satu dan yang lainnya, sehingga Jay menunggu Kaira yang mengatakannya dengan suka rela.
Sesampainya di kantor, Jay langsung di sambut dengan pekerjaan yang menumpuk. Jay sudah biasa melihat kertas-kertas yang memusingkan matanya, tapi mau bagaimanapun, semuanya sudah menjadi sebuah tanggungjawab.
Jay berencana ingin mengajak Kaira kencan di akhir pekan. Tapi Jay belum percaya diri untuk mengatakannya.
"Rasya, tempat kencan teromantis dimana?"
"Ranjang!" jawab Raysa.
BLETAKKKK...
Setumpuk berkas, tepat mengenai kepala Rasya.
"Aduhhhh... Seharusnya pakai kursi!" ledek Rasya yang juga tengah sibuk membantu pekerjaan Jay.
"Bagaimana kalau mengirimmu ke Afrika?"
"Emmm... Tempat kencang teromantis itu di pinggir pantai. Dengan sebuah meja yang di hias dengan setangkai bunga. Dua kursi sebagai pelengkap dan karya sebuah lilin di sekitarnya. Apa jawaban itu sudah cukup untuk membuatku tidak di kirim ke Afrika?" sebuah ancaman besar bagi Rasya jika harus di kirim ke Afrika.
"Belum!"
"Apa yang harus aku lakukan?"
"Menyiapkannya!"
"Sekarang?" tanya Rasya.
"Hufffff... Kau sepertinya sudah bosan bekerja ya?" Jay menatap Rasya dengan tatapan mengancam.
"Aku menyerah! Aku akan membantumu. Puas?" Rasya adalah salah satu sahabat Jay yang selalu bersamanya kapanpun, sehingga siap menjadi asisten pribadi Jay.
"Oke!"
***
"AKU BARU SAJA MELIHAT SELINGKUHAN KELUAR DARI MOBIL BOS BESAR!"
"IYA! AKU JUGA MELIHATNYA!"
"KALAU BENAR TIDAK ADA HUBUNGAN APA-APA, UNTUK APA KELUAR DARI MOBIL DENGAN MENGENDAP-ENDAP?"
"Lagi-lagi mereka menggosip pagi-pagi seperti ini. Apalagi, aku yang menjadi bahan," batin Kaira.
CURRRRRRR...
Untuk kedua kalinya, Tania menyiram kepala Kaira dengan air, tapi kali ini bukan hanya sebotol air, tapi satu ember air kotor mengepel lantai.
Tania adalah adik Grace yang selama ini mengawasi Jay sesuai perintah Grace. Setelah melihat Kaira yang dekat dengan Jay, bahkan Kaira di gosipkan menjalin hubungan terlarang, membuat Tania meradang.
HAHAHAHA...
HAHAHAHA...
HAHAHAHA...
Gelak tawa semua orang yang melihat Kaira di tindas, terdengar sangat keras. Jika hanya sekali, Kaira akan mendiamkannya. Tapi, kali ini Tania sungguh keterlalun dalam bersikap apalagi Tania bukan lagi karyawan di perusahaan Jay.
"AAAARRRRRHHHHH,"
Tania berteriak dan meronta saat Kaira menjambak rambutnya dan memaksa Tania untuk mengikutinya ke dalam toitel.
"Apa kau pikir, aku tidak akan membalasmu?" ucap Kaira.
"Kau akan menyesal! Kakakku adalah cinta pertama Presdir di perusahaan ini. Kau yang hanya sebagai selingkuhan, memiliki apa? Kakak Ipar pasti akan menuruti keinginan Kakakku, tanpa terkecuali!" teriak Tania dengan sangat keras.
"Grace?"
Kaira memasukan rambut Tania yang panjang ke dalam kloset supaya kotor dan menjijikan, sama seperti dirinya yang di buat bau oleh Tania. Apalagi, Kaira mendengar Tania menyebut nama Grace secara terang-terangan. Kaira bukan type wanita yang kasar, baru kali ini Kaira membalas perbuatan orang yang merendahkannya."Kaira, cukup!" Jay mencegah Kaira untuk meneruskan balasannya. Jay memberikan jasnya untuk Tania, sedangkan pakaian yang basah adalah pakaian Kaira. Ada rasa yang sedikit menusuk di dada, membuat sesak, tapi Kaira kembali pada janji Jay yang akan membuatnya percaya."Kau benar-benar tidak mencintainya seperti yang kau katakan, bukan? Atau, ucapan Tania jauh lebih jujur dari pada yang kau ucapkan? Hatimu yang mana yang harus aku percaya?" batin Kaira. Jay mendekati Kaira, tapi Tania menarik tangan Jay dan memberikan ponselnya.
MALAM PERTAMA... Malam ini begitu sunyi. Rembulan dan bintang, menghiasi langit yang begitu cerah. Desisan angin seperti menyapa tubuh yang sedang merasakan gejolak asmara dan desiran gairah. Seorang wanita sudah menunggu pangerannya menghampiri dengan gejolak yang sama. Tirai kamar bergerak-gerak, seakan hembusan angin mengiringi sebuah cinta yang akan tersampaikan. Lampu kamar sudah di matikan. Di balik cahaya kamar yang remang-remang, Kaira sudah memakai gaun malam tanpa bra. Dengan wajah merah dan malu-malu, ekspresi seperti itu membuat Jay tidak bisa menahan lagi gairahnya yang sudah berada di puncak. Jay mulai jalan mendekat ke arah Kaira yang sudah duduk manis menunggunya. Jay menelan ludahnya, matanya menikmati lekuk tubuh Istrinya yang begitu sempurna. Suara kaki Jay terdengar begitu berirama. Jantung yang berdebar, seperti menambahkan nada.
Saat terbangun dari tidurnya di pagi hari, Kaira merasakan pinggangnya seperti cidera. Betapa buas dan tidak terkontrolnya Jay pada saat melakukannya dengan Kaira semalam. Jay menyadari kalau Kaira sudah terbangun dari mimpi indahnya. Jay mencium tengkuk Kaira dan Kaira merasakan sesuatu yang bergerak-gerak di pinggulnya."Apa yang akan aku katakan pada Jay? Aduhhhh, malunya aku!" batin Kaira. Kaira diam saja saat merasakan Jay sudah memberikan kode untuk mengulang lagi apa yang mereka lakukan semalam. Kaira pura-pura tidur kembali."Sayang, kenapa kau tidak memujiku?" tanya Jay dengan manja."Aduhhhhh... Apa aku memiliki Suami yang tidak tahu malu? Kenapa dia bersikap seperti tidak terjadi apa-apa semalam?" batin Kaira."Sayang, aku tahu kau sudah bangun. Jadi, jawab aku! Apa aku hebat semalam?""Iya!" akhirnya Kaira menjawab
Meskipun dengan susah payah dan menahan nyeri di bagian ujung pahanya, Kaira tetap mengantar Jay ke bandara. Jay akan dinas paling cepat 2 hari dan paling lambat 10 hari. Pasangan yang baru saja di penuhi dengan cinta, harus terpisah oleh sebuah jarak. Saling percaya adalah sumber kekuatan yang pertama. Kaira di berikan cuty 3 hari oleh atasannya karena identitas Kaira sebagai Istri Jay masih di sembunyikan dan menjadi sebuah rahasia."Sayang, aku harus ke Prancis dulu baru ke Jepang.""Iya. Jangan lupa memberiku kabar dan jaga kesehatan," ucap Kaira sebelum Jay masuk ke ruang tunggu. Tuan dan Nyonya Alrecha menemani Kaira selama Jay dinas. Mereka memberikan perhatian pada Kaira bukan hanya sebatas menantu melainkan sudah seperti anak kandung. Kaira masih merasa canggung, tapi Nyonya
"Rasya, apa masih ada penerbangan ke London hari ini?" tanya Jay"Masih!" jawab Rasya."Pesankan aku tiket. Aku harus menemui Istriku.""Pekerjaan?""Ada kau, semua pasti beres.""Aku?" seru Rasya."Kau tinggallah di sini. Aku harus menjelaskannya pada Istriku sebelum semuanya semakin kacau.""Ke Jepang?" tanya Rasya."Setelah menjelaskannya, aku akan segera kembali ke sini.""Cih, kekuatan cinta!" batin Rasya menggerutu.***LONDON... Jay sampai di rumah sekitar tengah malam. Semua orang sudah tertidur termasuk Kaira. Jay melihat mobil Tuan A
Wanita itu langsung menemui Direktur Winny dan mengabaikan Kaira. Kaira juga wanita yang cuek, simple dan tidak suka dengan sesuatu yang berbelit."Aku sudah minta maaf, jadi semua sudah beres," batin Kaira sembari masuk ke dalam ruangannya. Lily memberika setumpuk kertas untuk Kaira periksa, bahkan sebelum duduk dengan benar. Kaira menghela nafas melihat setumpuk kertas yang membuat kepalanya langsung berdenyut."Aduhhh... Pinggangku sakit tapi aku harus duduk lama di kursi ini dan bersenandung dengan kertas-kertas ini," gumam Kaira."Hei, Kai!" bisik Lily."Lily, jangan bisik-bisik!" ucap Kaira sembari menyibakkan rambutnya. Lily menatap Kaira dengan pandangan curiga setelah melihat beberapa tanda merah di leher dan bawah telinga Kaira."Kai...""Apa?" Kaira belum menyadari
"TAPI DIMATAKU, KAU SAMA SEKALI TIDAK MEMILIKI SEBUAH HARGA!""...""..." Kaira maupun Vanka menoleh ke arah sumber suara yang tegas dan juga terdengar begitu gagah."Sayang!" Jay menyambut Kaira dengan merentangkan tangan lalu memeluknya dengan hangat."Apa dia sedang membelaku?" batin Kaira sembari membalas pelukan Jay."Apa yang di katakan Grace benar, kalau pria ini sudah menikah?" batin Vanka. Kaira meletakkan telapak tangannya di kening Jay untuk memastikan suhu tubuhnya."Menunduk!" pinta Kaira. Jay menunduk sesuai arah, lalu Kaira menempelkan keningnya di kening Jay karena setelah memeriksa dengan telapak tangan, suhu tubuh Jay normal."Aneh... Kata Mama sakit, tapi kenapa dia ter
"Haahahahaha...""Berhenti menertawakanku!" sungut Kaira."Istriku begitu lucu. Aku sampai tidak bisa berhenti tertawa," jawab Jay.BUKKKKK... Kaira melemparkan bantal pada wajah Jay. Sejak keluar dari ruang meeting, Jay tidak berhenti tertawa karena teringat ekspresi wajah Kaira yang seperti wanita bodoh. Kaira yang tidak panda berbahasa asing, hanya duduk diam dengan ekspresi wajah yang di buat setenang mungkin."Ap kau menganggapku bodoh?" Kiara mengeluarkan senjata yang paling ampuh, yaitu airmata."Aku bilang kalau Istriku lucu, bukan bodoh!""HUAAAAAAAA... Kau menindasku!""Sayang, jangan menangis! Aku minta, oke. Aku yang bodoh! Aku, bukan Istriku!" Jay kelabakan karena Kaira menangis di depan matanya."Coba mengaku sekali lagi, kalau kau bodoh da
Sebuah kesepakatan akhirnya terjalin setelah Jay dan Loreta saling berjabat tangan. Rasya bisa menghela napasnya sedikit lega membiarkan Tuannya itu pergi bersama Loreta.Perjanjian itu akan terpenuhi setelah Loreta mempertemukan Jay dan Kaira. Lalu, Jay melepaskan Orthela untuk kembali ke negara asalnya.Perseteruan sudah cukup membuat kacau. Loreta tidak ingin semuanya berlanjut semakin jauh karena banyak hal yang terbengkalai karena masalah yang tidak juga kunjung selesai.Loreta membawa Jay pergi ke tempat pemakaman. Pria tersebut menyipitkan matanya heran sembari melirik curiga ke arah Loreta.“Apa yang kau rencanakan dengan membawaku ke sini?” tanya Jay. Bariton suara yang tegas itu, membuat sekujur tubuh Loreta merinding.“Anda jangan salah paham, Tuan. Saya membawa Anda ke sini bukan tanpa sebab,” ujar Loreta.Dari pandangan yang cukup jauh, terlihat dua orang sedang menghadap ke salah satu makam yang tidak asing. Jay berlari tidak sabar ingin segera memeluk wanita yang be
"Jangan mendekat!" teriak Kaira. Rasanya cukup mengerikan. Kaira menjadi ketakutan. Ia berusaha pergi meski cukup sulit, tapi Orthela sudah lebih dulu memegang kendali kursi rodanya."Kenapa kau tkut? Bukankah aku sudah cukup membuatmu tenang? Kau bahkan sudah melihat bagaimana aku sangat menyesal," kata Orthela. Ia bahkan tidak merubah ekspresinya. Tetap terlihat sangat menyedihkan."Pergi! Aku memiliki keluargaku sendiri, Orthela. Aku tidak akan pernah pergi denganmu. Tidak akan pernah!" teriak Kaira."Bagaimana kalau Ziel sudah bersamaku? Apa kau tetap akan menolakku?""Apa? Kau menyandera Ziel? Orthela, dia tidak tahu apapun. Ziel msih anak-anak." Pada dasarnya, Kaira bukan wanita yang pandai mengumpat atau berkata kasar. Ia hanya berteriak meluapkan emosinya dengan kata-kata yang masih tertata dengan lembut."Aku tahu kalau kau akan menolakku. Maafkan
Tiga hari Kaira menghilang. Orang yang paling tertekan dan hampir gila adalah Jay. Jay yang tidak pernah menggunakan kekuasaannya, sekarang menekan semua orang untuk mencari Kaira sampai Kaira ditemukan. Nyonya Luna membawa Ziel pergi. Ziel yang tidak tahu apa-apa, tidak boleh terkecoh dengan keadaan yang ada. Orthela tidak memiliki niatan buruk. Racun yang sudah masuk ke dalam tubuh Kaira adalah buatan dari orangnya. Meski sudah mendapatkan penawar, tapi masih ada satu penawaran lagi yang harus hati-hati dan perlahan disuntikan ke dalam tubuh Kaira."Ini di mana?" gumam Kaira. Kaira terbangun dari tidurnya yang cukup panjang. Kepalanya terasa berdenyut dan berkunang-kunang. Tempat itu sangat asing, apalagi seseorang yang menatapnya."Kau sudah sadar? Syukurlah. Aku bisa mengembalikanmu tanpa rasa bersalah," ucap Orthela."Kau!" pekik Kaira."Jangan terlalu banyak gerak dan bicar
Kaira belum sadar setelah pengobatan. Tapi, kondisinya berangsur-angsur membaik. Tuan Alrecha dan Nyonya Luna, akhirnya mengetahui kalau keadaan sedang kacau saat ini. Keysana menemani Kaira sembari mengasuh Ziel. Rasya sibuk mengurus gugatan untuk Orthela dan Jay sekeluarga, mengurus pemakaman Grace karena keluarga Grace, semuanya sudah mengakhiri hidupnya sendiri."Grace, sejauh ini..." Jay terdiam dengan kedua matanya yang sembab. "Sejauh ini, aku tidak membencimu. Kau menunjukkan perubahan yang sangat besar. Sebagai rasa terima kasihku, aku akan merawat rumah terakhirmu," lanjutnya. Nyonya Luna mengusap-usap punggung Jay. Jay yang sedang bersimpuh menaburkan bunga di atas gundukan tanah yang masih basah, tangannya terus saja gemetar. Tuan Alrecha tidak banyak bicara. Ia cukup paham dengan perasaa
Jay masuk ke dalam rumah Orthela. Dia menggendong Grace yang sudah tiada. Tidak hanya itu, Paul yang datang berniat membawa Grace tapi dia malah menjadi sasaran utama kemarahan Jay. Jay menarik kerah kemeja yang Paul kenakan. Jay sudah membuat wajah dan tubuh Paul memar, terluka, berdarah, kesakitan, merintih dan memohon.Srek! Srek! Srek! Suara tubuh Paul yang diseret paksa membuat Delon, Orthela dan Loreta terperanjat kaget. Mata mereka terbelalak lebar. Lantai yang Jay lewati, dibanjiri oleh darah yang mengalir dari Paul dan juga Grace. Wajah Jay suram. Sorot matanya begitu tajam. Delon menelan salivanya karena baru kali ini dia melihat ekspresi iblis dari aura Jay. Jay yang ia kenal sebagai suami yang sangat lembut dan hangat tapi kali ini, ekspresinya begitu kejam.“Menarik!” ujar Jay
“Key, Rasya, aku titip Kaira dan Ziel,” ujar Jay.“Kau mau ke mana? Bukankah pengobatan Kaira hampir selesai?” tanya Keysana.“Ada sesuatu yang harus aku kerjakan. Setelah kembali nanti, aku sendiri yang akan menjelaskannya pada Kaira.” Rasya hanya diam saja. Jay meminta Rasya supaya tetap berada di rumah sakit untuk menjaga situasi di sana. Jay menggenggam erat surat dari Grace yang di dalamnya ternyata ada chip milik Orthela. Jay berfikir kalau ia tidak bisa sepenuhnya lepas tangan dalam masalah ini dan menyerahkannya pada Delon. Kenangan pahit Delon, tragedi, trauma, masih membekas jelas. Jay tidak ingin malah Delon yang terseret lebih dalam lagi. Langkah dan tindakan Jay cepat. Ia berharap kedatangannya jauh lebih dulu dibandingkan Delon di kediaman Orthela.“Delon, aku ber
Brak!“Akh! Uhuk... Uhuk... Uhuk...” Grace memegang perutnya yang ditendang Orthela. Dari mulutnya, keluar darah segar karena ia tempental dan menabrak sisi meja.Plak! Plak! Ortela menarik rambut Grace. Ia menamparnya berkali-kali. Tapi tidak ada rintihan sakit atau permohonan untuk sekedar meminta ampun.“Meski kau sudah menghilangkan semua jejak, apa kau pikir aku tidak tahu kalau kau sudah mengambilnya untuk sample?” gertak Orthela tanpa melepaskan rambut Grace.“Hahahaha... Aku juga sudah tahu akan berakhir seperti ini.”“Aku melepaskanmu, bukankah seharusnya kau membalas budi padaku?” Mata Orthela mendelik, menatap tajam seakan-akan ia akan menelan Grace hidup-hidup. Grace tidak merasa takut karena sejak awal, dia sudah siap.“Apa ini yang kau sebut sebagai kebebasan?&rd
Jay dihubungi oleh rumah sakit untuk segera datang. Ia langsung bergegas, padahal ia baru saja menemukan cara untuk menemukan penawarnya. Hanya saja, Jay lebih mementingkan untuk datang dan mendengarkan apa ucapan Dr. Crombe.“Dokter sudah menunggumu,” ucap Keysana.“Aku langsung ke sana.” Jay langsung berlari dan menuju ruang Dr. Crombe. Ternyata tidak hanya ada Dr. Crombe saja, tapi ada Dr. Sansan.“Anda sudah datang, Tuan. Silahkan duduk!” pinta Dr. Crombe.“Apa ada sesuatu yang—““Anda tenang dulu. Silahkan Anda minum terlebih dahulu.” Dr. Sansan menenangkan Jay yang sangat gelisah. Di atas meja sudah ada sebuah obat. Jay tidak mengetahui obat apa itu. Ia tidak bisa berfikir jernih. Mungkin karena ia belum siap menerima apa yang akan ia dengar.“Se
Grace kembali ke rumah Orthela. Alamat yang sudah Loreta berikan untuknya. Grace datang tanpa persiapan. Ia hanya datang dengan keyakinan sesuai alur yang akan Tuhan takdirkan.“Grace, bukankah ada satu minggu untukmu bebas?” tanya Loreta.“Tidak ada yang ingin aku nikmati,” jawab Grace. Tidak ada siapapun di rumah. Loreta, Paul dan juga Orthela pergi. Grace belum diberi tugas olehnya. Kesempatan bagi Grace untuk menemukan obat penawar. Ia tidak peduli kalau dirinya sedang dalam pengawasan atau Orthela sudah memasang jebakan.Tap... Tap... Tap... Kakinya melangkah cepat memasuki kamar Paul. Sebelum masuk ke dalam neraka, Grace sudah mengetahui keahlian setiap penghuninya. Di dalam kamar paul, Grace mulai mencari formula untuk menetralkan racun yang ada ditubuh Kaira. Grace men