Wanita itu langsung menemui Direktur Winny dan mengabaikan Kaira. Kaira juga wanita yang cuek, simple dan tidak suka dengan sesuatu yang berbelit.
"Aku sudah minta maaf, jadi semua sudah beres," batin Kaira sembari masuk ke dalam ruangannya.
Lily memberika setumpuk kertas untuk Kaira periksa, bahkan sebelum duduk dengan benar. Kaira menghela nafas melihat setumpuk kertas yang membuat kepalanya langsung berdenyut.
"Aduhhh... Pinggangku sakit tapi aku harus duduk lama di kursi ini dan bersenandung dengan kertas-kertas ini," gumam Kaira.
"Hei, Kai!" bisik Lily.
"Lily, jangan bisik-bisik!" ucap Kaira sembari menyibakkan rambutnya.
Lily menatap Kaira dengan pandangan curiga setelah melihat beberapa tanda merah di leher dan bawah telinga Kaira.
"Kai..."
"Apa?" Kaira belum menyadari dengan apa yang sudah Lily lihat.
"Kai, kau benar-benar menjadi selingkuhan Presdir?" tanya Lily tidak percaya.
"Kau ini bicara apa?"
"Tanda merah!" Lily menunjuk pada leher Kaira.
Sontak saja, Kaira langsung menutup lehernya dengan telapak tangan.
"Apa dia meninggalkan bekas? Bukankah semalam aku sudah bilang jangan meninggalakn jejak? Bukankah dia sudah setuju?" batin Kaira.
"Kai!" seru Lily.
"Hah? Apa? Kau bicara apa?" tanya Kaira dengan terkejut.
"Kau melamun?"
"Sedikit memikirkan sesuatu."
"Kai, kau bukan wanita seperti yang aku pikirkan, bukan?"
"Lily, kau ini bicara apa? Sebenarnya..."
"Sebenarnya apa?" tanya Lily semakin penasaran.
"Sebenarnya aku sudah menikah," bisik Kaira dengan lirih.
"HAAAAA?"
***
"Apa badan Anda tidak remuk? Anda baru saja sampai tapi kita harus ke Jepang," ucap Rasya.
"Tidak. Aku sudah dapat stamina dari Istriku!"
"Pamer!" gumam Rasya.
"Raysa, apa kau sudah dapat sekretaris baru untukku?" tanya Jay.
"Sudah. Tapi tidak ada laki-laki yang daftar."
"Jadi?"
"Ya terpaksa wanita."
"Kenapa tidak konfirmasi padaku?"
"Sudah terlanjur! Lagi pula, bukankah yang terpenting adalah kinerjanya? Bukan gendernya, Tuan?" ledek Rasya.
"Tapi, Istriku..."
"Harus profesional, Tuan!"
Jay mengetuk-ngetuk pulpen yang di pegangnya di atas meja sehingga membuat irama tanpa sebuah melody.
"Bisakah dia menyusul kita ke Jepang?" tanya Jay.
"Tentu saja, Tuan! Setelah menandatangani kontrak, dia akan menyusul kita," jawab Rasya.
Rasya berkemas, begitupun Jay. Hati Jay seperti tidak tenang setelah menerima sektretari baru, seorang wanita.
"Apa aku hubungi dulu Istriku, ya?" batin Jay.
***
"Selamat datang!" sapa wanita cantik yang baru saja di tabrak oleh Kaira pada Nyonya Luna.
"Iya!" jawab Nyonya Luna dingin.
Nyonya Luna mendatangi Kaira ke ruangannya karena Kaira nomor tidak dapat di hubungi. Semua mata terkejut dan hanya Kaira yang santai ketika Nyonya besar masuk ke dalam ruangan karyawan kecil seperti mereka.
"SELAMAT DATANG, NYONYA BESAR!" seru mereka bersamaan sembari berdiri memberikan salam.
"Nyonya besar?" batin Kaira.
Kaira menoleh dan langsung tersenyum dan mencium punggung tangan Nyonya Luna. Lambat laun, orang-orang akan tahu kalau Kaira adalah menantu dari pemilik grup Boya.
"Ma, ada apa?" bisik Kaira.
"Jay sakit! Kamu harus menyusulnya ke Jepang. Mama sudah pesankan tiket dan sudah menyiapkan barangmu di mobil," bisik Nyonya Luna.
"Hah? Bukankah waktu berangkat baik-baik saja?"
"Jay itu kalau sakit begitu. Suka tiba-tiba," ucap Nyonya Luna dengan suara lirih dan ekspresi wajah sedih.
"Ya sudah, ayo Ma!"
"Kamu duluan saja di mobil ya! Mama sudah kasih tahu Rasya supaya menjemputmu di Bandara."
"Iya, Ma!"
Kaira membereskan barang-barangnya dan keluar terlebih dahulu. Nyonya Luna sengaja mendekat ke arah wanita yang menyapanya.
"Jangan terlalu meninggikan kecantikanmu! Kau tidak akan bisa mengalahkan pesona menantuku!" bisik Nyonya Luna pada wanita itu.
Wanita cantik dan muda itu mengepalkan tangannya namun bibirnya tersenyum menanggapi ucapan Nyonya Luna.
"Tunggu sampai aku bisa naik posisi menjadi kekasih gelap, Putramu!" batinnya.
***
"Aku tidak bisa berbahasa Jepang. Bagaimana kalau ada yang mengajakku bicara dengan bahasa jepang?" batin Kaira ketika sudah sampai di Tokyo.
"ミス、どうすればあなたを助けることができますか?"
"Aduhhh... Dia bicara apa?" batin Kaira.
"Maaf, Anda bicara apa ya?" wanita yang mengajak Kaira bicara menggaruk-garuk kepalanya dan terlihat bingung ketika bahasa Jepang, di balas bahasa indonesia.
"Eh, dia pergi?" batin Kaira.
"Nyonya Muda!" panggil Rasya tiba-tiba.
"KYAAAAAAA... Pak Rasya!" teriak Kaira terkejut.
Rasya membawa koper milik Kaira tapi tidak langsung berjalan ke arah mobil dan seperti tengah menunggu seseorang.
"Pak Rasya, nunggu siapa? Saya datang sendiri," ucap Kaira.
"Sekretaris baru Presdir."
"Oh!"
"Hmmm... Apa wanita? Apa masih muda? Apa cantik?" batin Kaira.
"Pak, apa masih lama? Saya harus merawat Presdir karena sedang sakit."
"Sakit?" tanya Rasya heran.
"Iya!"
"Itu dia orangnya," Rasya menunjuk pada seorang wanita cantik dan masih muda.
Wanita itu berjalan lenggak lenggok dengan wajah yang bermake up tebal. Rambutnya panjang sepundak, berwarna coklat. Tubuhnya sangat padat berisi, dan sangat sexy seperti gitar Spanyol.
"Hallo, Nona Vanka!" sapa Rasya.
"Oh, namanya Vanka," batin Kaira.
Vanka tidak menyapa Kaira dan hanya asyik mengobrol dengan Rasya. Kaira berjalan lambat di belakang mereka karena tidak ingin mendengar percakapan yang tidak penting baginya.
"Eh, kamu sini!" dengan nada bicara yang tidak sopan, Vanka melambaikan tangannya ke arah Kaira.
Kaira mengabaikannya karena baginya, orang yang tidak memiliki sopan santun sangatlah tidak penting .
"Bawa ini! Tanganku sangat pegal!" Vanka melemparkan tas itu pada Kaira.
BRUKKKK...
"Kamu!" teriak Vanka saat Kaira menghindar dan tidak menangkap tas yang dilemparnya.
"Nona Vanka, mohon untuk menjaga sikap," pinta Rasya.
Kaira cuek saja dan tidak meladeni wanita yang bertingkah hanya demi mendapatkan perhatian lawan jenis.
Setelah menempuh waktu lama, dan juga melewati beberapa jalanan yang membosankan, akhirnya mereka sampai di sebuah Villa.
"Akhirnya sampai," batin Kaira.
"Kamar saya ada di sebelah mana ya?" tanya Vanka pada Rasya.
"Kamar Nona ada di sebelah kamar saya di lantai 2."
"Kalau kamar Presdir?"
"Beliau ada di kamar utama di lantai 1."
"Baiklah!"
Vanka buru-buru masuk ke dalam Villa dan di susul oleh Kaira. Vanka bukannya masuk ke dalam kamarnya tapi masuk ke dalam kamar utama.
"Apa yang wanita itu lakukan?" batin Kaira yang tidak berhenti memantau.
Jay tidak ada di dalam kamar, sehingga Vanka keluar dengan hasil kosong. Kaira menatapnya dengan tatapan mata jijik.
"Kenapa kay menatapku?"
"Karena aku punya mata!" jawab Kaira.
"Pembantu sepertimu, tidak pantas untuk berada di sini!" ucap Vanka.
"Pembantu juga manusia. Miskin atau kaya, tetap memakan makanan yang sama!"
"Beda kualitas!" balas Vanka.
"Kualitas apapun, tetap saja di makan."
Vanka semakin kesal karena Kaira sama sekali tidak bisa di provokasi hanya dengan sebuah kalimat.
"Anda mengatakan tentang kualitas, bukan? Apa Nona yang berpendidikan seperti Anda, bisa di katakan berkualitas?"
"Tentu saja!"
"TAPI DIMATAKU, KAU SAMA SEKALI TIDAK MEMILIKI SEBUAH HARGA!"
"...."
"..."
"TAPI DIMATAKU, KAU SAMA SEKALI TIDAK MEMILIKI SEBUAH HARGA!""...""..." Kaira maupun Vanka menoleh ke arah sumber suara yang tegas dan juga terdengar begitu gagah."Sayang!" Jay menyambut Kaira dengan merentangkan tangan lalu memeluknya dengan hangat."Apa dia sedang membelaku?" batin Kaira sembari membalas pelukan Jay."Apa yang di katakan Grace benar, kalau pria ini sudah menikah?" batin Vanka. Kaira meletakkan telapak tangannya di kening Jay untuk memastikan suhu tubuhnya."Menunduk!" pinta Kaira. Jay menunduk sesuai arah, lalu Kaira menempelkan keningnya di kening Jay karena setelah memeriksa dengan telapak tangan, suhu tubuh Jay normal."Aneh... Kata Mama sakit, tapi kenapa dia ter
"Haahahahaha...""Berhenti menertawakanku!" sungut Kaira."Istriku begitu lucu. Aku sampai tidak bisa berhenti tertawa," jawab Jay.BUKKKKK... Kaira melemparkan bantal pada wajah Jay. Sejak keluar dari ruang meeting, Jay tidak berhenti tertawa karena teringat ekspresi wajah Kaira yang seperti wanita bodoh. Kaira yang tidak panda berbahasa asing, hanya duduk diam dengan ekspresi wajah yang di buat setenang mungkin."Ap kau menganggapku bodoh?" Kiara mengeluarkan senjata yang paling ampuh, yaitu airmata."Aku bilang kalau Istriku lucu, bukan bodoh!""HUAAAAAAAA... Kau menindasku!""Sayang, jangan menangis! Aku minta, oke. Aku yang bodoh! Aku, bukan Istriku!" Jay kelabakan karena Kaira menangis di depan matanya."Coba mengaku sekali lagi, kalau kau bodoh da
Suasana semakin menegangkan setelah Kaira mendapatkan satu tamparan keras pada pipi kanannya. Kancing bajunya juga sudah berserakan di atas lantai. Kaira menutup dadanya menggunakan kedua tangannya karena Kaira sudah tidak menggunakan bra di saat malam hari tiba. Tenaga pria itu jauh lebih kuat dari bayangan Kaira. Kaira berusaha sebisa mungkin melepaskan diri supaya bisa lari. Lari sejauh yang dia bisa. Berulang kali pria itu menampar Kaira hingga wajahnya penuh dengan lebam. Naura membalasnya dengan mencakar wajah pria itu dengan kukunya."Wanita sialan!" bentaknya. Pria itu menancapkan pisau kecil di leher Kaira, supaya membuat Kaira tidak melawannya. Namun, Kaira memilih mati dengan cara tidak hormat, dibandingkan dengan menyerahkan segala kehormatannya."Kau benar-benar ingin mati ru
PLAKKK! Jay menyentuh pipinya yang terkena tamparan begitu keras oleh tangan lembut Nyonya Luna. Sorot mata kemarahan dan kecewa tak bisa lagi Jay hindari."Ma...""Mama mendatangkan Istrimu untuk menjagamu dari godaan, tapi kau menjaga Istrimu saja tidak becus. Jay, kau sama sekali tidak berguna menjadi seorang suami!" teriak Nyonya Luna. Jay terdiam. Jay tidak bisa membantah karena apa yang di katakan oleh Nyonya Luna adalah sebuah kenyataan."Mama benar. Aku seorang Suami yang tidak berguna," jawab Jay sembari menundukkan kepalanya."Sebelum Kaira bangun, Mama ingin kau sudah menemukan siapa orang yang ingin melukai Menantu Mama!""Jay tititp Kaira," ucap Jay. Jay meninggalkan Rumah Sakit dan langsung menuju villa, tempat dimana Kaira mendapatkan perlakuan yang sangat tidak
"Ma, Kaira istriku, tentu saja aku mencintainya!" jawab Jay."Menggunakan hatimu yang telah lama kosong?" Nyonya Luna terus mendesak Jay."Ma...""Jawab Jay!" ucap Nyonya Luna dengan nada yang cukup keras."Aku tidak tahu. Aku hanya tahu kalau aku mencintainya karena Kaira adalah istriku!""Lebih baik kau jangan menemui Kaira. Kaira biar Mama yang jaga. Aku sangat tidak rela, Kaira tersentuh oleh tangan tanpa cinta!" ucap Nyonya Luna dengan amarah yang di tahannya."Ma, Kaira istriku! Bagaimana bisa Mama menjauhkannya dariku?" tolak Jay."Jay, menjadi istri tanpa cinta, akan sulit. Kau hanya mencintainya karena statusmu suaminya, bukan?""Apa aku salah?""Jay, kalau kau mencintai Kaira dengan status, bagaimana jadinya kalau ada orang ketiga masuk yang akan membuatmu jatuh cinta dalam setiap hal?" jelas Nyonya L
Satu bulan telah berlalu sejak kejadian itu. Hubungan Jay dan Kaira juga baik-baik saja. Tapi, Kaira sedikit menjaga jarak bahkan sedikit sekali bicara. Kaira sudah kembali bekerja untuk mengisi waktu luangnya agar tidak terlalu memikirkan kejadian yang masih saja membuatnya ketakutan."Kaira!" teriak Lily."Bisakah kau kecilkan suaramu?" Luka di leher Kaira sudah sembuh tapi bekasnya tidak akan hilang. Sama halnya dengan perasaan. Kasus selesai, tapi trauma masih berjalan. Pernikahan Kaira dan Jay masih menjadi sebuah rahasia. Entah kapan, Jay akan mengungkapkan siapa sebenarnya Istrinya di depan publik."Kau, apa kau baik-baik saja?" tanya Lily khawatir. Sejak masuk kembali bekerja, Kaira bersikap dingin, banyak diam, tidak seperti dulu. A
Kaira tertidur dalam pelukan Jay di atas ranjang hotel yang sudah Jay siapkan untuk memperbaiki hubungan mereka. Sayangnya, semuanya tidak berjalan dengan lancar karena Kaira tiba-tiba ketakutan tanpa sebab."Sebenarnya, apa yang kau takutkan?" gumam Jay sembari memandangi wajah Kaira yang pucat.(TIGA JAM SEBELUMNYA)"Kaira, kau kenapa sayang?" tanya Jay panik."Jangan mendekat!" teriak Kaira bahkan tangan Jay di tepis begitu saja. Jay tahu sejak kejadian di Jepang Kaira menjadi takut dengan orang baru sehingga ketika menyiapkan makan malam, Jay meminta pelayan di rumahnya untuk menyiapkan semua tanpa adanya orang baru."Sayang, tenang! Ini aku," ucap Jay lembut. Dengan tangis pilu, mata yang memerah, Kaira menatap Jay yang berlutut di hadapan
Tidak ada yang aneh dengan pertanyaan Nyonya Luna. Jay juga bisa menjawab dengan tegas. Respon Nyonya Luna yang membuat Jay sedikit heran atau lebih tepatnya tidak menyangka kalau Nyonya Luna begitu peduli dengan Kaira."Mama berharap, kau tidak berubah bagaimanapun keadaan Kaira. Bagi Mama, Kaira adalah pilihan sempurna," ucap Nyonya Luna tanpa ragu."Ma, aku bukan pria yang berfikiran sempit," jelas Jay."Kalau begitu, kalian tinggal di rumah Mama untuk sementara waktu.""Kenapa?" tolak Jay."Jay, kamu tidak bisa mendampingi Kaira. Apa kamu tidak ingat, jadwal dinas 2 tahun yang sudah kamu setujui?""Bisakah di batalkan? Aku ingin membawanya bersamamu," ucap Jay lesu."Tidak! Mama tidak akan membiarkanmu mengabaikan Kaira dan terjadi lagi insiden seperti kemarin," tolak Nyonya Luna dengan tegas.
Sebuah kesepakatan akhirnya terjalin setelah Jay dan Loreta saling berjabat tangan. Rasya bisa menghela napasnya sedikit lega membiarkan Tuannya itu pergi bersama Loreta.Perjanjian itu akan terpenuhi setelah Loreta mempertemukan Jay dan Kaira. Lalu, Jay melepaskan Orthela untuk kembali ke negara asalnya.Perseteruan sudah cukup membuat kacau. Loreta tidak ingin semuanya berlanjut semakin jauh karena banyak hal yang terbengkalai karena masalah yang tidak juga kunjung selesai.Loreta membawa Jay pergi ke tempat pemakaman. Pria tersebut menyipitkan matanya heran sembari melirik curiga ke arah Loreta.“Apa yang kau rencanakan dengan membawaku ke sini?” tanya Jay. Bariton suara yang tegas itu, membuat sekujur tubuh Loreta merinding.“Anda jangan salah paham, Tuan. Saya membawa Anda ke sini bukan tanpa sebab,” ujar Loreta.Dari pandangan yang cukup jauh, terlihat dua orang sedang menghadap ke salah satu makam yang tidak asing. Jay berlari tidak sabar ingin segera memeluk wanita yang be
"Jangan mendekat!" teriak Kaira. Rasanya cukup mengerikan. Kaira menjadi ketakutan. Ia berusaha pergi meski cukup sulit, tapi Orthela sudah lebih dulu memegang kendali kursi rodanya."Kenapa kau tkut? Bukankah aku sudah cukup membuatmu tenang? Kau bahkan sudah melihat bagaimana aku sangat menyesal," kata Orthela. Ia bahkan tidak merubah ekspresinya. Tetap terlihat sangat menyedihkan."Pergi! Aku memiliki keluargaku sendiri, Orthela. Aku tidak akan pernah pergi denganmu. Tidak akan pernah!" teriak Kaira."Bagaimana kalau Ziel sudah bersamaku? Apa kau tetap akan menolakku?""Apa? Kau menyandera Ziel? Orthela, dia tidak tahu apapun. Ziel msih anak-anak." Pada dasarnya, Kaira bukan wanita yang pandai mengumpat atau berkata kasar. Ia hanya berteriak meluapkan emosinya dengan kata-kata yang masih tertata dengan lembut."Aku tahu kalau kau akan menolakku. Maafkan
Tiga hari Kaira menghilang. Orang yang paling tertekan dan hampir gila adalah Jay. Jay yang tidak pernah menggunakan kekuasaannya, sekarang menekan semua orang untuk mencari Kaira sampai Kaira ditemukan. Nyonya Luna membawa Ziel pergi. Ziel yang tidak tahu apa-apa, tidak boleh terkecoh dengan keadaan yang ada. Orthela tidak memiliki niatan buruk. Racun yang sudah masuk ke dalam tubuh Kaira adalah buatan dari orangnya. Meski sudah mendapatkan penawar, tapi masih ada satu penawaran lagi yang harus hati-hati dan perlahan disuntikan ke dalam tubuh Kaira."Ini di mana?" gumam Kaira. Kaira terbangun dari tidurnya yang cukup panjang. Kepalanya terasa berdenyut dan berkunang-kunang. Tempat itu sangat asing, apalagi seseorang yang menatapnya."Kau sudah sadar? Syukurlah. Aku bisa mengembalikanmu tanpa rasa bersalah," ucap Orthela."Kau!" pekik Kaira."Jangan terlalu banyak gerak dan bicar
Kaira belum sadar setelah pengobatan. Tapi, kondisinya berangsur-angsur membaik. Tuan Alrecha dan Nyonya Luna, akhirnya mengetahui kalau keadaan sedang kacau saat ini. Keysana menemani Kaira sembari mengasuh Ziel. Rasya sibuk mengurus gugatan untuk Orthela dan Jay sekeluarga, mengurus pemakaman Grace karena keluarga Grace, semuanya sudah mengakhiri hidupnya sendiri."Grace, sejauh ini..." Jay terdiam dengan kedua matanya yang sembab. "Sejauh ini, aku tidak membencimu. Kau menunjukkan perubahan yang sangat besar. Sebagai rasa terima kasihku, aku akan merawat rumah terakhirmu," lanjutnya. Nyonya Luna mengusap-usap punggung Jay. Jay yang sedang bersimpuh menaburkan bunga di atas gundukan tanah yang masih basah, tangannya terus saja gemetar. Tuan Alrecha tidak banyak bicara. Ia cukup paham dengan perasaa
Jay masuk ke dalam rumah Orthela. Dia menggendong Grace yang sudah tiada. Tidak hanya itu, Paul yang datang berniat membawa Grace tapi dia malah menjadi sasaran utama kemarahan Jay. Jay menarik kerah kemeja yang Paul kenakan. Jay sudah membuat wajah dan tubuh Paul memar, terluka, berdarah, kesakitan, merintih dan memohon.Srek! Srek! Srek! Suara tubuh Paul yang diseret paksa membuat Delon, Orthela dan Loreta terperanjat kaget. Mata mereka terbelalak lebar. Lantai yang Jay lewati, dibanjiri oleh darah yang mengalir dari Paul dan juga Grace. Wajah Jay suram. Sorot matanya begitu tajam. Delon menelan salivanya karena baru kali ini dia melihat ekspresi iblis dari aura Jay. Jay yang ia kenal sebagai suami yang sangat lembut dan hangat tapi kali ini, ekspresinya begitu kejam.“Menarik!” ujar Jay
“Key, Rasya, aku titip Kaira dan Ziel,” ujar Jay.“Kau mau ke mana? Bukankah pengobatan Kaira hampir selesai?” tanya Keysana.“Ada sesuatu yang harus aku kerjakan. Setelah kembali nanti, aku sendiri yang akan menjelaskannya pada Kaira.” Rasya hanya diam saja. Jay meminta Rasya supaya tetap berada di rumah sakit untuk menjaga situasi di sana. Jay menggenggam erat surat dari Grace yang di dalamnya ternyata ada chip milik Orthela. Jay berfikir kalau ia tidak bisa sepenuhnya lepas tangan dalam masalah ini dan menyerahkannya pada Delon. Kenangan pahit Delon, tragedi, trauma, masih membekas jelas. Jay tidak ingin malah Delon yang terseret lebih dalam lagi. Langkah dan tindakan Jay cepat. Ia berharap kedatangannya jauh lebih dulu dibandingkan Delon di kediaman Orthela.“Delon, aku ber
Brak!“Akh! Uhuk... Uhuk... Uhuk...” Grace memegang perutnya yang ditendang Orthela. Dari mulutnya, keluar darah segar karena ia tempental dan menabrak sisi meja.Plak! Plak! Ortela menarik rambut Grace. Ia menamparnya berkali-kali. Tapi tidak ada rintihan sakit atau permohonan untuk sekedar meminta ampun.“Meski kau sudah menghilangkan semua jejak, apa kau pikir aku tidak tahu kalau kau sudah mengambilnya untuk sample?” gertak Orthela tanpa melepaskan rambut Grace.“Hahahaha... Aku juga sudah tahu akan berakhir seperti ini.”“Aku melepaskanmu, bukankah seharusnya kau membalas budi padaku?” Mata Orthela mendelik, menatap tajam seakan-akan ia akan menelan Grace hidup-hidup. Grace tidak merasa takut karena sejak awal, dia sudah siap.“Apa ini yang kau sebut sebagai kebebasan?&rd
Jay dihubungi oleh rumah sakit untuk segera datang. Ia langsung bergegas, padahal ia baru saja menemukan cara untuk menemukan penawarnya. Hanya saja, Jay lebih mementingkan untuk datang dan mendengarkan apa ucapan Dr. Crombe.“Dokter sudah menunggumu,” ucap Keysana.“Aku langsung ke sana.” Jay langsung berlari dan menuju ruang Dr. Crombe. Ternyata tidak hanya ada Dr. Crombe saja, tapi ada Dr. Sansan.“Anda sudah datang, Tuan. Silahkan duduk!” pinta Dr. Crombe.“Apa ada sesuatu yang—““Anda tenang dulu. Silahkan Anda minum terlebih dahulu.” Dr. Sansan menenangkan Jay yang sangat gelisah. Di atas meja sudah ada sebuah obat. Jay tidak mengetahui obat apa itu. Ia tidak bisa berfikir jernih. Mungkin karena ia belum siap menerima apa yang akan ia dengar.“Se
Grace kembali ke rumah Orthela. Alamat yang sudah Loreta berikan untuknya. Grace datang tanpa persiapan. Ia hanya datang dengan keyakinan sesuai alur yang akan Tuhan takdirkan.“Grace, bukankah ada satu minggu untukmu bebas?” tanya Loreta.“Tidak ada yang ingin aku nikmati,” jawab Grace. Tidak ada siapapun di rumah. Loreta, Paul dan juga Orthela pergi. Grace belum diberi tugas olehnya. Kesempatan bagi Grace untuk menemukan obat penawar. Ia tidak peduli kalau dirinya sedang dalam pengawasan atau Orthela sudah memasang jebakan.Tap... Tap... Tap... Kakinya melangkah cepat memasuki kamar Paul. Sebelum masuk ke dalam neraka, Grace sudah mengetahui keahlian setiap penghuninya. Di dalam kamar paul, Grace mulai mencari formula untuk menetralkan racun yang ada ditubuh Kaira. Grace men