Tidak ada yang aneh dengan pertanyaan Nyonya Luna. Jay juga bisa menjawab dengan tegas.
Respon Nyonya Luna yang membuat Jay sedikit heran atau lebih tepatnya tidak menyangka kalau Nyonya Luna begitu peduli dengan Kaira.
"Mama berharap, kau tidak berubah bagaimanapun keadaan Kaira. Bagi Mama, Kaira adalah pilihan sempurna," ucap Nyonya Luna tanpa ragu.
"Ma, aku bukan pria yang berfikiran sempit," jelas Jay.
"Kalau begitu, kalian tinggal di rumah Mama untuk sementara waktu."
"Kenapa?" tolak Jay.
"Jay, kamu tidak bisa mendampingi Kaira. Apa kamu tidak ingat, jadwal dinas 2 tahun yang sudah kamu setujui?"
"Bisakah di batalkan? Aku ingin membawanya bersamamu," ucap Jay lesu.
"Tidak! Mama tidak akan membiarkanmu mengabaikan Kaira dan terjadi lagi insiden seperti kemarin," tolak Nyonya Luna dengan tegas.
"Tuan, apakah harus seperti ini? Baru saja 3 hari lalu bertemu dan sekarang ingin bertemu dengan Nona Grace?" tanya Rasya."Rencana harus di jalankan sesuai dengan baik. Full dan tidak setengah-setengah, bukan?""Benar, tapi Nyonya...""Kau jalani saja tugasmu. Nyonya akan menjadi urusanku," jawab Jay. Tidak ada yang bisa menerka ataupun mengira-ira isi kepala Jay. Semuanya seperti sebuah misteri. Jay begitu sensitif, dingin bahkan sangat tidak ramah setelah kondisi mental Kaira tergoncang. Jay terus menerus menyalahkan dirinya karena lalai. Wanita satu-satunya yang Jay cintai, harus menderita akibat sebuah trauma yang mendalam dalam hidupnya.BRUMMM... BRUMMM... BRUMMM... Mobil yang di kendarai Rasya untuk mengantar Jay menemui Grace sudah masuk ke dalam padatnya jalanan.
Gemericik air dari dalam kamar mandi membangunkan Kaira. Kaira kemudian keluar dari kamar untuk membuatkan teh hangat."Aku ketiduran lumayan lama. Mungkin Mama keluar kamar setelah Jay kembali," batin Kaira. Kaira merebus sedikit air sehingga tidak memakan waktu yang lama. Dua cangkir teh sudah siap di nampan dan juga sepiring makanan ringan. Ketika Kaira membuka pintu dari luar, bersamaan dengan Jay yang hendak membuka pintu dari dalam, sehingga tubuh Kaira seakan tertarik lebih dari tenaganya."Akkkhhh!" pekik Kaira yang hampir saja terjatuh."Apa kau baik-baik saja?" tanya Jay. Jay sigap, menangkap tubuh Kaira hingga jatuh ke pelukannya dan juga nampan yang terselamatkan. Sayangnya, Jay tidak memperhatikan tubuhnya sendiri. Handuk yang menut
Kaira hanya menerima secarik kertas di atas meja dengan sarapan yang sudah tersedia ketika baru membuka mata. Bibirnya tersenyum melihat kertas kecil yang bertuliskan kata-kata sederhana."Sayang, aku harus ke Indonesia pagi ini. Aku akan kembali lusa. Jaga kesehatan ya. I LOVE YOU!""Jay, kau suami terbaik. Aku kehilangan sahabat, tapi Tuhan menggantikannya dengan dirimu yang jauh lebih bisa mengerti aku," gumam Kaira.Tok... Tok... Tok..."Kaira sayang, sudah bangun?" terdengar suara Nyonya Luna memanggil nama Kaira."Iya, Ma. Sebentar!" jawab Kaira. Kaira membuka pintu dan mempersilahkan Nyonya Luna masuk. Nyonya Luna memperhatikan Kaira dengan saksama."Ma, ada apa? Kaira baru saja bangun jadi wajahku pasti kusut," jelas
Sudah dua hari, Jay tidak berani untuk menghubungi Kaira meskipun hanya menanyakan sebuah kabar semata. Tanpa sepengetahuan Jay, Kaira juga menahan rindu dan menahan untuk tidak mengganggunya. Kaira berfikir, kalau tidak menghubungi Jay mungkin pekerjaan Jay akan segera selesai dan Jay cepat kembali.Tuk... Tuk... Tuk... Suara pulpen yang di benturkan di meja menggema. Suasana ruangan yang sunyi dan tegang, membuat suara benturan itu sangat menakutkan dan merinding ketika melihat ekspresi wajah Jay yang sedang marah."Apa Kaira masih marah padaku? Hmmmm... Apa Kaira tidak merindukanku?" batin Jay.***"Hachiiiuuuuuu!" Kaira merasakan hidungnya gatal."Kai, kau sedang flu? Kau sakit? Kau demam?" tanya Lily."Mungkin ada debu," jawab Kaira. 
"Hei, kau wanita rendahan!" teriak Grace. "Aku belum mengijinkanmu pergi!" teriaknya lagi. Kaira tidak merespon bahkan tidak menoleh. Grace merasa kesal karena Kaira tidak merespon saat di provokasi."Awwwhhhh!" pekik Kaira ketika Grace menarik tangannya dengan kasar."Apa kau tuli?" maki Grace. Apakah Kaira akan marah? Apakah rencana Grace berhasil? Tidak! Kaira memberikan senyum manis penuh arti. Membuat tubuh Grace langsung merinding seketika."Nona muda, Anda memanggil saya? Anda tiba-tiba datang, menghina, memaki, sebenarnya Anda sedang berbicara dengan siapa?" ucap Kaira santai."Wanita rendahan sepertimu tidak pantas berbicara sok bijak di depanku!" ucap Grace."Oh, sejak tadi Anda memanggil wanita rendahan itu ditujukan untuk saya? Saya tidak merasa kita saling mengenal, jadi apa tuj
BRAKKK!"Achhhhhh!" teriak Rasya karena terkejut."Rasya, pesan tiket. Aku harus segera kembali!" ucap Jay panik."Tuan, ada apa?" Rasya mendekati Jay. "Tarik nafas dulu, Tuan! Tarik nafas, hembusan. Lakukan terus sampai Tuan tenang," Jay mengikuti apa yang Rasya katakan.BUAKKK!"Kau pikir, aku sedang melahirkan?" Jay memukul kepala Rasya."Tarik nafas bukan untuk wanita yang sedang melahirkan saja," lawan Rasya."Kau sedang membantahku?""Tidak berani, Tuan!" Rasya mundur seketika."Aku harus kembali. Besok, aku harus sudah ada di samping Istriku," pamernya.BRUKKK"Silahkan di selesaikan, Tuan!" Rasya memberikan setumpuk dokumen yang harus Jay periksa."Ini semua, pekerjaanku?" tanya Jay."Benar, Tuan." &
Grace teriak kesakitan setelah jari telunjuk yang digunakan untuk menunjuk Kaira, di putar oleh Kaira dengan berani."Hmmmm... Apa kau masih berani menggunakan tanganmu untuk menunjukku lagi?""Kau hanyalah wanita rendahan! Beraninya kau menyakitiku! Kau akan segera di tinggalkan oleh Jay setelah Jay bosan padamu!" teriak Grace penuh dendam.DEG... DEG... DEG... Meskipun hanyalah sebuah tipuan untuk memperovokasi Kaira, tapi jantung Kaira berdebar seperti ada sesuatu yang seakan mengancamannya."Kau menginginkan Jay? Ambil! Apa kau berfikir aku akan mencegahnya?" balas Kaira. Bisik-bisik rekan kerja terdengar jelas. Mungkin bisa dikatakan kalau mereka tidak berbisik melainkan dengan sengaja mengeraskan suara."Jangan takut Kaira! Kau adalah Istri sah Presdir," bisik Lily."
"Kau sungguh akan membuatku menjadi lawanmu?" tanya Kaira."Kenapa? Kau takut?" kata Grace remeh.Pukk! Pukk! Kaira menepuk pipi Grace dengan menunjukkan wajahnya yang tanpa ekspresi. "Takut? Aku malah sangat menantikan hal itu!" tantang Kaira.Tap... Tap... Tap... Kaira meninggalkan Grace yang kesal. Kaira menemui Tuan Alrecha yang menantinya dengan begitu cemas."Pa, kita pulang sekarang!" kata Kaira.Brummm! Brummm! Brummm!"Kaira sialan! Kalau aku tidak bisa membunuhmu dijalanan, aku maish bisa membunuhmu dari ketinggian!"*** Kaira pergi menuju Rumah Sakit. Bersamaan dengan itu, sudah ada Nyonya Luna yang menangis tersendu-sendu menunggukepastian keadaan orang yang ada di dalam ruangan.&nbs
Sebuah kesepakatan akhirnya terjalin setelah Jay dan Loreta saling berjabat tangan. Rasya bisa menghela napasnya sedikit lega membiarkan Tuannya itu pergi bersama Loreta.Perjanjian itu akan terpenuhi setelah Loreta mempertemukan Jay dan Kaira. Lalu, Jay melepaskan Orthela untuk kembali ke negara asalnya.Perseteruan sudah cukup membuat kacau. Loreta tidak ingin semuanya berlanjut semakin jauh karena banyak hal yang terbengkalai karena masalah yang tidak juga kunjung selesai.Loreta membawa Jay pergi ke tempat pemakaman. Pria tersebut menyipitkan matanya heran sembari melirik curiga ke arah Loreta.“Apa yang kau rencanakan dengan membawaku ke sini?” tanya Jay. Bariton suara yang tegas itu, membuat sekujur tubuh Loreta merinding.“Anda jangan salah paham, Tuan. Saya membawa Anda ke sini bukan tanpa sebab,” ujar Loreta.Dari pandangan yang cukup jauh, terlihat dua orang sedang menghadap ke salah satu makam yang tidak asing. Jay berlari tidak sabar ingin segera memeluk wanita yang be
"Jangan mendekat!" teriak Kaira. Rasanya cukup mengerikan. Kaira menjadi ketakutan. Ia berusaha pergi meski cukup sulit, tapi Orthela sudah lebih dulu memegang kendali kursi rodanya."Kenapa kau tkut? Bukankah aku sudah cukup membuatmu tenang? Kau bahkan sudah melihat bagaimana aku sangat menyesal," kata Orthela. Ia bahkan tidak merubah ekspresinya. Tetap terlihat sangat menyedihkan."Pergi! Aku memiliki keluargaku sendiri, Orthela. Aku tidak akan pernah pergi denganmu. Tidak akan pernah!" teriak Kaira."Bagaimana kalau Ziel sudah bersamaku? Apa kau tetap akan menolakku?""Apa? Kau menyandera Ziel? Orthela, dia tidak tahu apapun. Ziel msih anak-anak." Pada dasarnya, Kaira bukan wanita yang pandai mengumpat atau berkata kasar. Ia hanya berteriak meluapkan emosinya dengan kata-kata yang masih tertata dengan lembut."Aku tahu kalau kau akan menolakku. Maafkan
Tiga hari Kaira menghilang. Orang yang paling tertekan dan hampir gila adalah Jay. Jay yang tidak pernah menggunakan kekuasaannya, sekarang menekan semua orang untuk mencari Kaira sampai Kaira ditemukan. Nyonya Luna membawa Ziel pergi. Ziel yang tidak tahu apa-apa, tidak boleh terkecoh dengan keadaan yang ada. Orthela tidak memiliki niatan buruk. Racun yang sudah masuk ke dalam tubuh Kaira adalah buatan dari orangnya. Meski sudah mendapatkan penawar, tapi masih ada satu penawaran lagi yang harus hati-hati dan perlahan disuntikan ke dalam tubuh Kaira."Ini di mana?" gumam Kaira. Kaira terbangun dari tidurnya yang cukup panjang. Kepalanya terasa berdenyut dan berkunang-kunang. Tempat itu sangat asing, apalagi seseorang yang menatapnya."Kau sudah sadar? Syukurlah. Aku bisa mengembalikanmu tanpa rasa bersalah," ucap Orthela."Kau!" pekik Kaira."Jangan terlalu banyak gerak dan bicar
Kaira belum sadar setelah pengobatan. Tapi, kondisinya berangsur-angsur membaik. Tuan Alrecha dan Nyonya Luna, akhirnya mengetahui kalau keadaan sedang kacau saat ini. Keysana menemani Kaira sembari mengasuh Ziel. Rasya sibuk mengurus gugatan untuk Orthela dan Jay sekeluarga, mengurus pemakaman Grace karena keluarga Grace, semuanya sudah mengakhiri hidupnya sendiri."Grace, sejauh ini..." Jay terdiam dengan kedua matanya yang sembab. "Sejauh ini, aku tidak membencimu. Kau menunjukkan perubahan yang sangat besar. Sebagai rasa terima kasihku, aku akan merawat rumah terakhirmu," lanjutnya. Nyonya Luna mengusap-usap punggung Jay. Jay yang sedang bersimpuh menaburkan bunga di atas gundukan tanah yang masih basah, tangannya terus saja gemetar. Tuan Alrecha tidak banyak bicara. Ia cukup paham dengan perasaa
Jay masuk ke dalam rumah Orthela. Dia menggendong Grace yang sudah tiada. Tidak hanya itu, Paul yang datang berniat membawa Grace tapi dia malah menjadi sasaran utama kemarahan Jay. Jay menarik kerah kemeja yang Paul kenakan. Jay sudah membuat wajah dan tubuh Paul memar, terluka, berdarah, kesakitan, merintih dan memohon.Srek! Srek! Srek! Suara tubuh Paul yang diseret paksa membuat Delon, Orthela dan Loreta terperanjat kaget. Mata mereka terbelalak lebar. Lantai yang Jay lewati, dibanjiri oleh darah yang mengalir dari Paul dan juga Grace. Wajah Jay suram. Sorot matanya begitu tajam. Delon menelan salivanya karena baru kali ini dia melihat ekspresi iblis dari aura Jay. Jay yang ia kenal sebagai suami yang sangat lembut dan hangat tapi kali ini, ekspresinya begitu kejam.“Menarik!” ujar Jay
“Key, Rasya, aku titip Kaira dan Ziel,” ujar Jay.“Kau mau ke mana? Bukankah pengobatan Kaira hampir selesai?” tanya Keysana.“Ada sesuatu yang harus aku kerjakan. Setelah kembali nanti, aku sendiri yang akan menjelaskannya pada Kaira.” Rasya hanya diam saja. Jay meminta Rasya supaya tetap berada di rumah sakit untuk menjaga situasi di sana. Jay menggenggam erat surat dari Grace yang di dalamnya ternyata ada chip milik Orthela. Jay berfikir kalau ia tidak bisa sepenuhnya lepas tangan dalam masalah ini dan menyerahkannya pada Delon. Kenangan pahit Delon, tragedi, trauma, masih membekas jelas. Jay tidak ingin malah Delon yang terseret lebih dalam lagi. Langkah dan tindakan Jay cepat. Ia berharap kedatangannya jauh lebih dulu dibandingkan Delon di kediaman Orthela.“Delon, aku ber
Brak!“Akh! Uhuk... Uhuk... Uhuk...” Grace memegang perutnya yang ditendang Orthela. Dari mulutnya, keluar darah segar karena ia tempental dan menabrak sisi meja.Plak! Plak! Ortela menarik rambut Grace. Ia menamparnya berkali-kali. Tapi tidak ada rintihan sakit atau permohonan untuk sekedar meminta ampun.“Meski kau sudah menghilangkan semua jejak, apa kau pikir aku tidak tahu kalau kau sudah mengambilnya untuk sample?” gertak Orthela tanpa melepaskan rambut Grace.“Hahahaha... Aku juga sudah tahu akan berakhir seperti ini.”“Aku melepaskanmu, bukankah seharusnya kau membalas budi padaku?” Mata Orthela mendelik, menatap tajam seakan-akan ia akan menelan Grace hidup-hidup. Grace tidak merasa takut karena sejak awal, dia sudah siap.“Apa ini yang kau sebut sebagai kebebasan?&rd
Jay dihubungi oleh rumah sakit untuk segera datang. Ia langsung bergegas, padahal ia baru saja menemukan cara untuk menemukan penawarnya. Hanya saja, Jay lebih mementingkan untuk datang dan mendengarkan apa ucapan Dr. Crombe.“Dokter sudah menunggumu,” ucap Keysana.“Aku langsung ke sana.” Jay langsung berlari dan menuju ruang Dr. Crombe. Ternyata tidak hanya ada Dr. Crombe saja, tapi ada Dr. Sansan.“Anda sudah datang, Tuan. Silahkan duduk!” pinta Dr. Crombe.“Apa ada sesuatu yang—““Anda tenang dulu. Silahkan Anda minum terlebih dahulu.” Dr. Sansan menenangkan Jay yang sangat gelisah. Di atas meja sudah ada sebuah obat. Jay tidak mengetahui obat apa itu. Ia tidak bisa berfikir jernih. Mungkin karena ia belum siap menerima apa yang akan ia dengar.“Se
Grace kembali ke rumah Orthela. Alamat yang sudah Loreta berikan untuknya. Grace datang tanpa persiapan. Ia hanya datang dengan keyakinan sesuai alur yang akan Tuhan takdirkan.“Grace, bukankah ada satu minggu untukmu bebas?” tanya Loreta.“Tidak ada yang ingin aku nikmati,” jawab Grace. Tidak ada siapapun di rumah. Loreta, Paul dan juga Orthela pergi. Grace belum diberi tugas olehnya. Kesempatan bagi Grace untuk menemukan obat penawar. Ia tidak peduli kalau dirinya sedang dalam pengawasan atau Orthela sudah memasang jebakan.Tap... Tap... Tap... Kakinya melangkah cepat memasuki kamar Paul. Sebelum masuk ke dalam neraka, Grace sudah mengetahui keahlian setiap penghuninya. Di dalam kamar paul, Grace mulai mencari formula untuk menetralkan racun yang ada ditubuh Kaira. Grace men