Kaira memasukan rambut Tania yang panjang ke dalam kloset supaya kotor dan menjijikan, sama seperti dirinya yang di buat bau oleh Tania.
Apalagi, Kaira mendengar Tania menyebut nama Grace secara terang-terangan. Kaira bukan type wanita yang kasar, baru kali ini Kaira membalas perbuatan orang yang merendahkannya.
"Kaira, cukup!" Jay mencegah Kaira untuk meneruskan balasannya.
Jay memberikan jasnya untuk Tania, sedangkan pakaian yang basah adalah pakaian Kaira. Ada rasa yang sedikit menusuk di dada, membuat sesak, tapi Kaira kembali pada janji Jay yang akan membuatnya percaya.
"Kau benar-benar tidak mencintainya seperti yang kau katakan, bukan? Atau, ucapan Tania jauh lebih jujur dari pada yang kau ucapkan? Hatimu yang mana yang harus aku percaya?" batin Kaira.
Jay mendekati Kaira, tapi Tania menarik tangan Jay dan memberikan ponselnya. Awalnya Jay sedikit bingung, namun akhirnya tetap saja menerimanya.
"Kakak ingin bicara pada Kakak Ipar!" ucap Tania.
"Jangan bicara padanya! Tolong, hargai aku sedikit saja! Aku ada di sini!" batin Kaira.
Siapa yang bisa tahu isi hati seseorang jika isi hati itu hanya di diamkan tanpa di keluarkan? Jay juga menatap wajah Kaira tapi Kaira menggeleng.
"Tidak ada yang perlu di bicarakan lagi!" Jay mengembalikan ponsel Tania. "Tania, aku sudah memecatmu, jadi kau tidak perlu datang lagi!" imbuhnya.
"Kakak Ipar..."
"Jason adalah Kakak Iparmu, bukan aku!"
Tania terkejut melihat respon Jay yang lain dari biasanya. Jay hanya memberikan jasnya untuk Tania, tapi pada Kaira, Jay memeluk dan menggendongnya.
"Kau Istriku! Aku tidak mengijinkanmu untuk mengotori tanganmu sendiri. Ada tangan orang lain yang siap melakukannya!" bisik Jay.
"Iya!" Kaira semakin berpegangan erat saat berada dalam gendongan Jay. Terdengar debaran jantung Jay ketika Kaira membenamkan wajahnya di dada bidangnya.
"Hah? Dia juga berdebar, sama sepertiku?" batin Kaira.
Jay menurunkan Kaira di dalam bathtub yang ada di dalam kamar pribadinya. Ruangan kantor yang luas, memiliki ruang pribadi yang nyaman.
"Mandilah!" pinta Jay.
Kaira memutar tombol shower dengan sengaja. Jay yang saat itu belum menjauh, basah terkena air dari shower. Kaira menelan ludahnya saat melihat tubuh Jay di balik kemejanya yang basah.
"Hahaha... Adil bukan kalau Saumiku juga ikut basah?" ledek Kaira.
"Mau adil ya?" goda Jay.
Jay membuka kemejanya dan melemparnya begitu saja ke lantai. Jay juga melepaskan celananya dan hanya tertinggal celana pendek yang di pakainya.
"Istriku ingin adil bukan? Suamimu juga ingin kau adil," goda Jay dengan tangan yang sudah membuka kancing kemeja Kaira.
"Aku hanya bercanda!" Kaira menutup bagian tubuhnya yang hendak di lepaskan seluruh kancing kemejanya oleh Jay.
"Tapi, soal ini aku serius! Kita bukannya sudah suami istri? Wajar bukan kalau kita mandi bersama?"
"Hah? Mandi? Hanya... Hanya mandi bersamanya?" seru Kaira dengan suara yang terbata-bata.
"Sial! Apa yang sedang kau pikirkan, Kaira? Ayolah, bersihkan otakmu!" batin Kaira, berbicara pada dirinya sendiri.
"Apa Istriku sedang mnegharapkan yang lebih? Seperti tadi pagi, misalnya!"
"Haaaa... Jay, berhentilah mengolok-olok Istri sendiri," ucap Kaira dengan lirih karena malu.
"Harusnya kau tahu, bukan? Kau harus melakukan apa supaya aku tidak meledekmu?" ekspresi wajah Jay terlihat begitu menggoda.
Shower masih menyala, sehingga tubuh Jay dan Kaira basah bersama. Tangan Kaira menyentuh kedua pipi Jay. Pandangan matanya berfokus pada bibir Jay yang terlihat begitu sexy.
Kaira belum mengecup bibir Jay, tapi Jay sudah medahuluinya. Ciuman lembut yang terasa sampai ke relung hati terdalam. Kecupan itu berubah menjadi sebuah lumatan. Bibir yang dingin karena guyuran air dari shower, kini sudah terasa hangat.
"Ciumannya kali ini, kenapa begitu berbeda? Kenapa semakin liar dan dalam?" batin Kaira tanpa membuka matanya.
"Bolehkah aku lepas kontrol?" batin Jay.
Selama 1 bulan lebih mereka menikah, yang mereka lakukan hanyalah sebatas ciuman mesra. Tapi, ciuman kali ini berbeda. Jay mencium bibir Kaira seperti akan melahapnya. Saat lidahnya tengah menari-nari di atas kenikmatan, Kaira membuka matanya karena tangan Jay sudah membuka kancing kemeja yang di pakai oleh Kaira.
Kaira tidak melawan dan membiarkan tangan Jay semakin masuk ke dalam dadanya. Sensasi geli, dan ingin lebih, di tahan oleh Kaira. Bibir Jay mulai merambat turun ke leher Kaira.
"Emmmmmmm..." Kaira membungkam bibirnya supaya tidak mnegeluarkan suara yang bisa terdengar dari luar kamar.
Jay menghentikan aksinya dan kemudian wajahnya memerah karena malu. Meskipun malu, tangan Jay tidak keluar dari balik kemeja Kaira.
Kaira menyentuh tangan Jay dan menariknya tapi Jay semakin meremasnya.
"Aku ingin melepaskanmu kali ini. Tapi, aku tidak bisa!" bisik Jay.
"Ini... Ini kantor!" jawab Kaira.
"Lalu, bagaimana?"
"Nanti malam! Kita lanjutkan saja nanti malam," jawab Kaira.
"Kalau Istriku sudah berjanji, aku akan mempercayainya. Sekarang kita..."
TOK... TOK... TOK...
"Presdir!"
***
Kaira di sembunyikan oleh Jay di dalam kamar istirahat di ruangannya. Rasya mendapat hukuman dari Jay karena sudah mengganggu waktunya dengan Kaira.
Jay harus menggantikannya menemui Tuan Smith untuk menanda tangani kontrak yang sudah di setujui. Saat Rasya sudah keluar dari ruangannya, Tania menerobos masuk dan memberikan ponselnya.
"JAY!" panggilan itu keluar dari suara di ponsel yang di bawa Tania.
"Siapa yang mengijinkanmu untuk masuk?" Jay mengabaikan suara Grace.
"Kaka Ipar..."
"Jangan membuatku marah!" bentak Jay.
"Tapi..."
"Tania, kau sudah memiliki Kakak Ipar yang sebenarnya. Kakak Ipar yang mencintai Kakakmu, kaya raya dan juga bisa membantu keluargamu dari jeratan hutang. Tidak sepertiku yang hanya pria miskin," seru Jay dengan tegas.
"Kakak Ipar tidak memperlakukan Kak Grace dengan baik."
"Itu pilihannya dan bukan urusanku!"
Kaira tersenyum mendengar jawaban Jay yang memuaskan hatinya. Tapi, orang-orang type Jay, hatinya mudah tersentuh jika melihat sebuah penderitaan seseorang.
"Kak, ini nomor Kak Grace. Sesekali, tanyalah kabarnya. Dia selalu menanyakan kabarmu selama ini," Tania memberika kertas kecil yang berisi nomor ponsel Grace.
"Keluar!" bentak Jay.
Tania keluar dari ruangan Jay. Kaira juga keluar dari persembunyiannya. Jay langsung menyembunyikan nomor ponsel Grace yang baru saja di berikan oleh Tania padanya.
Kaira yang sudah berjanji untuk mempercayai Jay, tidak akan menaruh curiga apapun padanya. Kaira sudah memakai pakaian yang di siapkan oleh Jay. Pakaian itu sangat cocok untuknya.
Jay menutup wajahnya saat melihat leher Kaira yang putih memiliki beberapa tanda merah karena ulahnya. Mungkin Kaira tidak menyadarinya tapi Jay merasa malu dengan perbuatannya sendiri.
"Jay, kenapa?" tanya Kaira karena Jay menyembunyikan wajahnya.
Kaira menyentuh wajah Jay supaya Jay menatap matanya. Wajah merah Jay membuatnya terlihat sangat lucu.
"Nanti malam, kita harus melakukannya. Jangan di tunda lagi," seru Jay dengan manja.
"Ha?" Kaira terkejut karena dengan wajah yang memerah, Jay masih sempat-sempatnya membahas soal janji nanti malam.
"Aku besok harus pergi ke Jepang sekitar 1 minggu. Aku ingin bekal itu dari Istriku!"
***
MALAM PERTAMA...
Hanya terdengar suara detak jam di dinding. Debaran jantung Jay maupun Kaira, seperti saling bersahutan satu dan yang lainnya. Kaira sudah siap dengan gaun malam yang di belikan oleh Jay. Jay juga sudah bersiap dengan tubuh yang masih basah karena tetesan air dari rambutnya. Lampu sudah di matikan dan hanya tertinggal penerangan yang remang-remang.
"Istriku, ayo kita mulai!"
MALAM PERTAMA... Malam ini begitu sunyi. Rembulan dan bintang, menghiasi langit yang begitu cerah. Desisan angin seperti menyapa tubuh yang sedang merasakan gejolak asmara dan desiran gairah. Seorang wanita sudah menunggu pangerannya menghampiri dengan gejolak yang sama. Tirai kamar bergerak-gerak, seakan hembusan angin mengiringi sebuah cinta yang akan tersampaikan. Lampu kamar sudah di matikan. Di balik cahaya kamar yang remang-remang, Kaira sudah memakai gaun malam tanpa bra. Dengan wajah merah dan malu-malu, ekspresi seperti itu membuat Jay tidak bisa menahan lagi gairahnya yang sudah berada di puncak. Jay mulai jalan mendekat ke arah Kaira yang sudah duduk manis menunggunya. Jay menelan ludahnya, matanya menikmati lekuk tubuh Istrinya yang begitu sempurna. Suara kaki Jay terdengar begitu berirama. Jantung yang berdebar, seperti menambahkan nada.
Saat terbangun dari tidurnya di pagi hari, Kaira merasakan pinggangnya seperti cidera. Betapa buas dan tidak terkontrolnya Jay pada saat melakukannya dengan Kaira semalam. Jay menyadari kalau Kaira sudah terbangun dari mimpi indahnya. Jay mencium tengkuk Kaira dan Kaira merasakan sesuatu yang bergerak-gerak di pinggulnya."Apa yang akan aku katakan pada Jay? Aduhhhh, malunya aku!" batin Kaira. Kaira diam saja saat merasakan Jay sudah memberikan kode untuk mengulang lagi apa yang mereka lakukan semalam. Kaira pura-pura tidur kembali."Sayang, kenapa kau tidak memujiku?" tanya Jay dengan manja."Aduhhhhh... Apa aku memiliki Suami yang tidak tahu malu? Kenapa dia bersikap seperti tidak terjadi apa-apa semalam?" batin Kaira."Sayang, aku tahu kau sudah bangun. Jadi, jawab aku! Apa aku hebat semalam?""Iya!" akhirnya Kaira menjawab
Meskipun dengan susah payah dan menahan nyeri di bagian ujung pahanya, Kaira tetap mengantar Jay ke bandara. Jay akan dinas paling cepat 2 hari dan paling lambat 10 hari. Pasangan yang baru saja di penuhi dengan cinta, harus terpisah oleh sebuah jarak. Saling percaya adalah sumber kekuatan yang pertama. Kaira di berikan cuty 3 hari oleh atasannya karena identitas Kaira sebagai Istri Jay masih di sembunyikan dan menjadi sebuah rahasia."Sayang, aku harus ke Prancis dulu baru ke Jepang.""Iya. Jangan lupa memberiku kabar dan jaga kesehatan," ucap Kaira sebelum Jay masuk ke ruang tunggu. Tuan dan Nyonya Alrecha menemani Kaira selama Jay dinas. Mereka memberikan perhatian pada Kaira bukan hanya sebatas menantu melainkan sudah seperti anak kandung. Kaira masih merasa canggung, tapi Nyonya
"Rasya, apa masih ada penerbangan ke London hari ini?" tanya Jay"Masih!" jawab Rasya."Pesankan aku tiket. Aku harus menemui Istriku.""Pekerjaan?""Ada kau, semua pasti beres.""Aku?" seru Rasya."Kau tinggallah di sini. Aku harus menjelaskannya pada Istriku sebelum semuanya semakin kacau.""Ke Jepang?" tanya Rasya."Setelah menjelaskannya, aku akan segera kembali ke sini.""Cih, kekuatan cinta!" batin Rasya menggerutu.***LONDON... Jay sampai di rumah sekitar tengah malam. Semua orang sudah tertidur termasuk Kaira. Jay melihat mobil Tuan A
Wanita itu langsung menemui Direktur Winny dan mengabaikan Kaira. Kaira juga wanita yang cuek, simple dan tidak suka dengan sesuatu yang berbelit."Aku sudah minta maaf, jadi semua sudah beres," batin Kaira sembari masuk ke dalam ruangannya. Lily memberika setumpuk kertas untuk Kaira periksa, bahkan sebelum duduk dengan benar. Kaira menghela nafas melihat setumpuk kertas yang membuat kepalanya langsung berdenyut."Aduhhh... Pinggangku sakit tapi aku harus duduk lama di kursi ini dan bersenandung dengan kertas-kertas ini," gumam Kaira."Hei, Kai!" bisik Lily."Lily, jangan bisik-bisik!" ucap Kaira sembari menyibakkan rambutnya. Lily menatap Kaira dengan pandangan curiga setelah melihat beberapa tanda merah di leher dan bawah telinga Kaira."Kai...""Apa?" Kaira belum menyadari
"TAPI DIMATAKU, KAU SAMA SEKALI TIDAK MEMILIKI SEBUAH HARGA!""...""..." Kaira maupun Vanka menoleh ke arah sumber suara yang tegas dan juga terdengar begitu gagah."Sayang!" Jay menyambut Kaira dengan merentangkan tangan lalu memeluknya dengan hangat."Apa dia sedang membelaku?" batin Kaira sembari membalas pelukan Jay."Apa yang di katakan Grace benar, kalau pria ini sudah menikah?" batin Vanka. Kaira meletakkan telapak tangannya di kening Jay untuk memastikan suhu tubuhnya."Menunduk!" pinta Kaira. Jay menunduk sesuai arah, lalu Kaira menempelkan keningnya di kening Jay karena setelah memeriksa dengan telapak tangan, suhu tubuh Jay normal."Aneh... Kata Mama sakit, tapi kenapa dia ter
"Haahahahaha...""Berhenti menertawakanku!" sungut Kaira."Istriku begitu lucu. Aku sampai tidak bisa berhenti tertawa," jawab Jay.BUKKKKK... Kaira melemparkan bantal pada wajah Jay. Sejak keluar dari ruang meeting, Jay tidak berhenti tertawa karena teringat ekspresi wajah Kaira yang seperti wanita bodoh. Kaira yang tidak panda berbahasa asing, hanya duduk diam dengan ekspresi wajah yang di buat setenang mungkin."Ap kau menganggapku bodoh?" Kiara mengeluarkan senjata yang paling ampuh, yaitu airmata."Aku bilang kalau Istriku lucu, bukan bodoh!""HUAAAAAAAA... Kau menindasku!""Sayang, jangan menangis! Aku minta, oke. Aku yang bodoh! Aku, bukan Istriku!" Jay kelabakan karena Kaira menangis di depan matanya."Coba mengaku sekali lagi, kalau kau bodoh da
Suasana semakin menegangkan setelah Kaira mendapatkan satu tamparan keras pada pipi kanannya. Kancing bajunya juga sudah berserakan di atas lantai. Kaira menutup dadanya menggunakan kedua tangannya karena Kaira sudah tidak menggunakan bra di saat malam hari tiba. Tenaga pria itu jauh lebih kuat dari bayangan Kaira. Kaira berusaha sebisa mungkin melepaskan diri supaya bisa lari. Lari sejauh yang dia bisa. Berulang kali pria itu menampar Kaira hingga wajahnya penuh dengan lebam. Naura membalasnya dengan mencakar wajah pria itu dengan kukunya."Wanita sialan!" bentaknya. Pria itu menancapkan pisau kecil di leher Kaira, supaya membuat Kaira tidak melawannya. Namun, Kaira memilih mati dengan cara tidak hormat, dibandingkan dengan menyerahkan segala kehormatannya."Kau benar-benar ingin mati ru
Sebuah kesepakatan akhirnya terjalin setelah Jay dan Loreta saling berjabat tangan. Rasya bisa menghela napasnya sedikit lega membiarkan Tuannya itu pergi bersama Loreta.Perjanjian itu akan terpenuhi setelah Loreta mempertemukan Jay dan Kaira. Lalu, Jay melepaskan Orthela untuk kembali ke negara asalnya.Perseteruan sudah cukup membuat kacau. Loreta tidak ingin semuanya berlanjut semakin jauh karena banyak hal yang terbengkalai karena masalah yang tidak juga kunjung selesai.Loreta membawa Jay pergi ke tempat pemakaman. Pria tersebut menyipitkan matanya heran sembari melirik curiga ke arah Loreta.“Apa yang kau rencanakan dengan membawaku ke sini?” tanya Jay. Bariton suara yang tegas itu, membuat sekujur tubuh Loreta merinding.“Anda jangan salah paham, Tuan. Saya membawa Anda ke sini bukan tanpa sebab,” ujar Loreta.Dari pandangan yang cukup jauh, terlihat dua orang sedang menghadap ke salah satu makam yang tidak asing. Jay berlari tidak sabar ingin segera memeluk wanita yang be
"Jangan mendekat!" teriak Kaira. Rasanya cukup mengerikan. Kaira menjadi ketakutan. Ia berusaha pergi meski cukup sulit, tapi Orthela sudah lebih dulu memegang kendali kursi rodanya."Kenapa kau tkut? Bukankah aku sudah cukup membuatmu tenang? Kau bahkan sudah melihat bagaimana aku sangat menyesal," kata Orthela. Ia bahkan tidak merubah ekspresinya. Tetap terlihat sangat menyedihkan."Pergi! Aku memiliki keluargaku sendiri, Orthela. Aku tidak akan pernah pergi denganmu. Tidak akan pernah!" teriak Kaira."Bagaimana kalau Ziel sudah bersamaku? Apa kau tetap akan menolakku?""Apa? Kau menyandera Ziel? Orthela, dia tidak tahu apapun. Ziel msih anak-anak." Pada dasarnya, Kaira bukan wanita yang pandai mengumpat atau berkata kasar. Ia hanya berteriak meluapkan emosinya dengan kata-kata yang masih tertata dengan lembut."Aku tahu kalau kau akan menolakku. Maafkan
Tiga hari Kaira menghilang. Orang yang paling tertekan dan hampir gila adalah Jay. Jay yang tidak pernah menggunakan kekuasaannya, sekarang menekan semua orang untuk mencari Kaira sampai Kaira ditemukan. Nyonya Luna membawa Ziel pergi. Ziel yang tidak tahu apa-apa, tidak boleh terkecoh dengan keadaan yang ada. Orthela tidak memiliki niatan buruk. Racun yang sudah masuk ke dalam tubuh Kaira adalah buatan dari orangnya. Meski sudah mendapatkan penawar, tapi masih ada satu penawaran lagi yang harus hati-hati dan perlahan disuntikan ke dalam tubuh Kaira."Ini di mana?" gumam Kaira. Kaira terbangun dari tidurnya yang cukup panjang. Kepalanya terasa berdenyut dan berkunang-kunang. Tempat itu sangat asing, apalagi seseorang yang menatapnya."Kau sudah sadar? Syukurlah. Aku bisa mengembalikanmu tanpa rasa bersalah," ucap Orthela."Kau!" pekik Kaira."Jangan terlalu banyak gerak dan bicar
Kaira belum sadar setelah pengobatan. Tapi, kondisinya berangsur-angsur membaik. Tuan Alrecha dan Nyonya Luna, akhirnya mengetahui kalau keadaan sedang kacau saat ini. Keysana menemani Kaira sembari mengasuh Ziel. Rasya sibuk mengurus gugatan untuk Orthela dan Jay sekeluarga, mengurus pemakaman Grace karena keluarga Grace, semuanya sudah mengakhiri hidupnya sendiri."Grace, sejauh ini..." Jay terdiam dengan kedua matanya yang sembab. "Sejauh ini, aku tidak membencimu. Kau menunjukkan perubahan yang sangat besar. Sebagai rasa terima kasihku, aku akan merawat rumah terakhirmu," lanjutnya. Nyonya Luna mengusap-usap punggung Jay. Jay yang sedang bersimpuh menaburkan bunga di atas gundukan tanah yang masih basah, tangannya terus saja gemetar. Tuan Alrecha tidak banyak bicara. Ia cukup paham dengan perasaa
Jay masuk ke dalam rumah Orthela. Dia menggendong Grace yang sudah tiada. Tidak hanya itu, Paul yang datang berniat membawa Grace tapi dia malah menjadi sasaran utama kemarahan Jay. Jay menarik kerah kemeja yang Paul kenakan. Jay sudah membuat wajah dan tubuh Paul memar, terluka, berdarah, kesakitan, merintih dan memohon.Srek! Srek! Srek! Suara tubuh Paul yang diseret paksa membuat Delon, Orthela dan Loreta terperanjat kaget. Mata mereka terbelalak lebar. Lantai yang Jay lewati, dibanjiri oleh darah yang mengalir dari Paul dan juga Grace. Wajah Jay suram. Sorot matanya begitu tajam. Delon menelan salivanya karena baru kali ini dia melihat ekspresi iblis dari aura Jay. Jay yang ia kenal sebagai suami yang sangat lembut dan hangat tapi kali ini, ekspresinya begitu kejam.“Menarik!” ujar Jay
“Key, Rasya, aku titip Kaira dan Ziel,” ujar Jay.“Kau mau ke mana? Bukankah pengobatan Kaira hampir selesai?” tanya Keysana.“Ada sesuatu yang harus aku kerjakan. Setelah kembali nanti, aku sendiri yang akan menjelaskannya pada Kaira.” Rasya hanya diam saja. Jay meminta Rasya supaya tetap berada di rumah sakit untuk menjaga situasi di sana. Jay menggenggam erat surat dari Grace yang di dalamnya ternyata ada chip milik Orthela. Jay berfikir kalau ia tidak bisa sepenuhnya lepas tangan dalam masalah ini dan menyerahkannya pada Delon. Kenangan pahit Delon, tragedi, trauma, masih membekas jelas. Jay tidak ingin malah Delon yang terseret lebih dalam lagi. Langkah dan tindakan Jay cepat. Ia berharap kedatangannya jauh lebih dulu dibandingkan Delon di kediaman Orthela.“Delon, aku ber
Brak!“Akh! Uhuk... Uhuk... Uhuk...” Grace memegang perutnya yang ditendang Orthela. Dari mulutnya, keluar darah segar karena ia tempental dan menabrak sisi meja.Plak! Plak! Ortela menarik rambut Grace. Ia menamparnya berkali-kali. Tapi tidak ada rintihan sakit atau permohonan untuk sekedar meminta ampun.“Meski kau sudah menghilangkan semua jejak, apa kau pikir aku tidak tahu kalau kau sudah mengambilnya untuk sample?” gertak Orthela tanpa melepaskan rambut Grace.“Hahahaha... Aku juga sudah tahu akan berakhir seperti ini.”“Aku melepaskanmu, bukankah seharusnya kau membalas budi padaku?” Mata Orthela mendelik, menatap tajam seakan-akan ia akan menelan Grace hidup-hidup. Grace tidak merasa takut karena sejak awal, dia sudah siap.“Apa ini yang kau sebut sebagai kebebasan?&rd
Jay dihubungi oleh rumah sakit untuk segera datang. Ia langsung bergegas, padahal ia baru saja menemukan cara untuk menemukan penawarnya. Hanya saja, Jay lebih mementingkan untuk datang dan mendengarkan apa ucapan Dr. Crombe.“Dokter sudah menunggumu,” ucap Keysana.“Aku langsung ke sana.” Jay langsung berlari dan menuju ruang Dr. Crombe. Ternyata tidak hanya ada Dr. Crombe saja, tapi ada Dr. Sansan.“Anda sudah datang, Tuan. Silahkan duduk!” pinta Dr. Crombe.“Apa ada sesuatu yang—““Anda tenang dulu. Silahkan Anda minum terlebih dahulu.” Dr. Sansan menenangkan Jay yang sangat gelisah. Di atas meja sudah ada sebuah obat. Jay tidak mengetahui obat apa itu. Ia tidak bisa berfikir jernih. Mungkin karena ia belum siap menerima apa yang akan ia dengar.“Se
Grace kembali ke rumah Orthela. Alamat yang sudah Loreta berikan untuknya. Grace datang tanpa persiapan. Ia hanya datang dengan keyakinan sesuai alur yang akan Tuhan takdirkan.“Grace, bukankah ada satu minggu untukmu bebas?” tanya Loreta.“Tidak ada yang ingin aku nikmati,” jawab Grace. Tidak ada siapapun di rumah. Loreta, Paul dan juga Orthela pergi. Grace belum diberi tugas olehnya. Kesempatan bagi Grace untuk menemukan obat penawar. Ia tidak peduli kalau dirinya sedang dalam pengawasan atau Orthela sudah memasang jebakan.Tap... Tap... Tap... Kakinya melangkah cepat memasuki kamar Paul. Sebelum masuk ke dalam neraka, Grace sudah mengetahui keahlian setiap penghuninya. Di dalam kamar paul, Grace mulai mencari formula untuk menetralkan racun yang ada ditubuh Kaira. Grace men