"Dengar-dengar, kantor kita di akusis sama perusahaan BOYA?"
"Benarkah?"
"Menurut rumor, hal itu benar. Hari ini Presdir baru akan datang sesuai jadwal yang aku tahu."
"Di akusis? Presdir baru? Perusahaan Boya yang mendunia itu? Bagaimana ya orangnya? Apa akan lebih galak dari Farhan?" batin Kaira setelah mendengar celotehan dari teman sekantornya yang sedari tadi asyik ngegosip.
Kaira kembali fokus dengan pekerjaannya yang bergaji tidak seberapa. Jay, sejak malam itu tidak pernah kembali ke rumah mereka yang sangat besar. Jay sudah 2 minggu hidup di luar rumah tanpa Kaira.
Kaira memahami status mereka hanyalah berakting semata jadi Kaira tidak berharap lebih atau menginginkan hal yang akan mengecewakannya.
"Kaira, di panggil HRD!" seru Lily.
"Oke!" jawab Kaira.
Kaira harus naik satu lantai untuk menemui HRD. Kaira menurut saja meskipun tidak tahu alasan apa sampai dirinya di panggil ke ruangan HRD.
"Apa aku bakalan di pecat?" batin Kaira dengan pikiran kacau. "Gimana ya kalau aku di pecat?" batinnya lagi.
Setelah mondar mandir terlalu lama, Kaira memutuskan untuk masuk setelah semua pertimbangan yang di pikirkannya.
TOK... TOK... TOK...
"Masuk!"
"Permisi, Pak Juna!" sapa Kaira sesopan mungkin.
"Kamu kenapa, Kai?" tanya Juna.
"Pak Juna panggil saya kenapa ya?" bukannya menjawab pertanyaan Juna, Kaira malah memberikan pertanyaan yang berbeda.
"Untung aja, waktu acara pernikahan, orang kantor yang datang cuma Bu Direktur Winy dan Pak Manager Dirga yang datang. Aman deh," batin Kaira.
"Kamu sudah dengar, kalau perusahaan kita di Akusisi?"
"Sudah, Pak Juna!" jawab Kaira dengan cepat.
"Apa selama ini aku kerjanya lelet ya? Aku harus berusaha lebih cepat biar gak di pecat," batin Kaira.
"Presdir meminta saya untuk memberikan ini," Juna memberikan satu bag pada Kaira.
"Buat saya, Pak? Pak, saya jangan di pecat," pintanya dengan memelas.
"Siapa yang mau pecat kamu?" tanya Juna dengan bingung.
"Bukannya bingkisan ini untuk barang sogokan biar saya mau di pecat ya?" Kaira berbicara terlalu berterus terang. Juna memegang kepalanya yang berdenyut nyeri melihat tingkah Kaira yang sangat polos.
"Perusahaan ini, tidak menggunakan cara yang kotor. Apa kamu yakin, bisa kerja di sini kalau harus membayar sejumlah sogokan?" ujar Juna dengan santai.
"Iya juga sih! Saya mana punya uang," jawaban Kaira membuat Juna terkekeh.
"Buka dan pakai. Satu jam lagi, Presdir datang. Dia akan resmi menjadi atasan kamu."
"Tugas saya apa Pak Juna kalau sudah pakai ini?"
"Masa harus di jelasin? Tugas kamu, menyambut kedatangannya di barisan paling depan. Sudah jelas?"
"Sudah, Pak!" jawab Kaira.
"Kenapa kamu masih di sini?" tegur Juna setelah Kaira tidak segera pergi dari ruangannya.
"Oh, Pak Juna belum meminta saya pergi, jadi saya belum pergi."
"Kaira, kalau kamu lama-lama di ruangan saya, saya bisa cepat gila. Keluar sekarang!"
"Presdir kenapa juga mau berurusan dengan wanita polos seperti itu?" batin Juna.
Kaira lari dengan cepat seperti di kejar-kejar setan di siang hari bolong. Kaira sudah masuk ke dalam toilet kantor. Kaira membuka bag yang di bawanya. Dress warna merah cerah, desainnya sangat lucu. Cocok di pakai oleh Kaira yang berkulit putih.
Kaira sudah selesai mengganti pakaiannya. Rambutnya sudah tergerai dengan rapi. Kaira kembali ke ruangannya untuk membenahi make up yang sudah hampir luntur.
Waktu sangat cepat berlalu. Kulit kaki Kaira sangat sensitif, tapi Kaira tetap harus pakai heels yang ada di dalam bag, bersamaan dengan dress yang di pakainya. Baru saja memakai heels selama 5 menit, dan berjalan ke arah pintu masuk. Kaki Kaira sudah lecet, terasa sangat pedih.
"Tahan, Kai. Demi pekerjaan!" batin Kaira.
"Oke, Presdir sudah dekat. Pastikan tidak ada keributan sama sekali!" ucap Bu Direktur Winy.
Semuanya sudah siap dalam barisannya. Menyambut pimpinan perusahaan yang baru di perusahaan mereka. Presdir datang dengan Asisten dan juga sekretarisnya.
Mata Kaira mendelik, melihat sosok Presdir yang berjalan semakin dekat ke arahnya. Sosok pria yang berjalan dengan tegap, tegas, dan begitu berwibawa. Membuatnya semakin menawan dalam kegalakannya.
"Ha? Kenapa bisa dia?" batin Kaira nangis bombai,
"SELAMAT DATANG, PRESDIR!" ucap karyawan yang bertugas menyambutnya, sesuai intruksi.
"Suruh dia ke ruangan saya!" Presdir menunjuk ke arah Kaira.
"Sana, ikut!" Manager Dirga menyenggol Kaira.
"Iya, Pak!" Kaira berusaha menyusul rombongan atasannya tapi kakinya yang luka, membuatnya hanya bisa berjalan untuk lomba dengan seekor siput.
"Kalian tunggu saya di lift," pintanya.
"Baik, Presdir Jay."
Jay berbalik, menghampiri Kaira. Kaira berusaha berjalan dengan cepat, supaya Jay tidak memarahinya di depan umum.
"Apa kamu memang selalu berjalan seperti seekor siput?" ledek Jay dengan memperlihatkan ketidaksukaannya pada Kaira.
"Kyaaaaaa..." teriak Kaira setelah Jay tiba-tiba menggendongnya ala bridal style di depan semua karyawan yang masih berdiri di tempatnya.
"Siapa yang membeli heels ini, ke ruangan saya 1 jam lagi!" ujarnya dengan tegas. Jay melempar heels yang di pakai Kaira dengan marah.
Heels itu di beli oleh Direktur Winy, sesuai dengan perintah Jay untuk mencarikan dress dan heels yang cocok untuk Kaira. Dalam catatan, heels tidak boleh terlalu tinggi. Direktur Winy, membelikan heels dengan tinggi 10cm. Baginya, ukuran segitu tidaklah terlalu tinggi.
"Matilah aku!" batin Direktur Winy meratapi nasibnya yang sial.
***
"Sudah tahu tidak bisa pakai heels, kenapa masih di pakai?" omel Jay.
"Emmmm, saya..."
"Berhenti menjawabku!" bentak Jay.
Kaira hanya diam mendengar omelan Jay, karena Jay tidak memberinya waktu untuk menjelasankan. Kaira duduk di atas sofa, sedangkan Jay berlutut dan mengobati kakinya.
"Awhhhh..." pekik Kaira saat Jay sengaja menekan kakinya dengan keras.
"Sekarang kau tahu, kalau luka seperti ini sakit? Luka seperti ini mudah terinfeksi. Kalau aku tidak menyadarinya, apa kau akan membiarkannya?" omelnya lagi.
"Kau mengkhawatirkanku?" tanya Kaira.
"Jangan bermimpi! Jangan berfikir terlalu jauh," jawab Jay.
Jay duduk di sebelah Kaira, setelah selesai mengobati luka kaki Istri yang sudah 2 minggu tidak di temuinya.
"APA..."
"Papa yang memintaku untuk mengakusisi perusahaan ini. Kau jangan berfikir kalau aku yang sengaja melakukannya demi dirimu!" ucap Jay. Jay memotong ucapan Kaira sebelum ucapan itu selesai.
"Aku tidak berfikir untuk menanyakan itu," batin Kaira.
"Apa kau punya ikat rambut?" tanya Jay.
"Punya. Nih!" jawab Kaira.
"Kayanya lucu kalau rambutnya yang bagian atas itu di kuncir," batin Kaira.
"Aku lebih suka melihatmu dengan rambut yang tidak menutupi wajahmu sedikitpun. Memperlihatkan lehermu yang putih dan jenjang," bisik Jay sembari tangannya mengikat rambut Kaira dengan asal. Tanpa sadar, bibir Jay mengecup dan memberikan tanda merah di bagian yang sangat sulit di tutupi.
"Aduhhhhhhhh, Pak!" Kaira mendorong Jay. Tangannya menutupi leher yang baru saja di gigit oleh Jay.
"Kenapa kau hilang kendali lagi?" batin Jay.
"sini, aku lihat!" ucap Jay.
"Lihat apa?" tanya Kaira.
"Lehermu!"
"Dasar mesum!" Kaira memukul Jay lalu keluar dari ruangan Jay tanpa alas kaki.
"Dia kenapa? Aku hanya ingin mengecek lehernya saja."
Direktur Winy sudah menghadap Jay. Kaira make up pada saat hari pernikahan, sehingga membuat Direktur Winy tidak mengenalinya. Saat di dalam kantor, Kaira hanya memakai lipstik tipis, dengan kacamata yang tak lepas dari wajahnya. Di mata Jay, wajah polos seperti itulah yang membuat Kaira menjadi semakin menarik. Jay duduk dengan tenang, melipat tangannya di dada, lalu menunggu Direktur Wini berbicara."Kamu kenapa diam saja?" tanya Jay."Saya menunggu Presdir menghukum saya," jawab Direktur Winy."Jadi dari tadi, aku menunggunya dan dia menungguku?" batin Jay."Apa kau tidak membaca pesanku dengan baik?""Baca, Presdir.""Lalu, kenapa bisa salah?" tanya Jay."Presdir baru menikah, dan sepertinya tertarik dengan Kaira. Apa seperti ini, dunia kelas atas?" batin Direktur Winy."Maaf Presdir, bagi saya, ukuran 10 cm
Kaira terbangun di tengah malam karena perutnya yang keroncongan. Kaira teringat, bahwa dirinya tidak makan malam. Tangannya meraba sesuatu yang keras, tubuhnya juga merasakan seperti memeluk sesuatu tapi bukan sebuah guling."Eh, apa gulingnya berubah menjadi batu?" gumam Kaira."Dia berfikir apa? Aku batu?" batin Jay yang terbangun karena tangan Kaira terus meraba dada bidangnya yang tidak mengenakan baju."Bisa hentikan sentuhan tanganmu itu? Aku tidak bisa menahannya lagi kalau terus merabaku," ucap Jay sembari menghentikan tangan Kaira yang terus bergerak merabanya."Kyaaaaa... Kamu siapa?"DUKKKKKKKK... Kaira lagi-lagi terkejut dan tidak sengaja menendang Jay hingga tergelinding ke atas lantai. Jay begitu kesal. Jay mengelus-elus pinggangnya yang di tendang sangat keras oleh Kaira."Sialan! Sudah mengganggu tidurku, membangunkan
Jay langsung menurunkan Kaira, setelah Tuan dan Nyonya Alrecha memergokinya tengah memaksa Kaira untuk melakukan hal yang tidak senonoh di meja makan. Kaira tidak tahu harus bicara apa. Jay yang melihat Kaira seperti takut, menggenggam erat tangan Kaira. Ketegangan dari suasana mulai mencair, saat Nyonya Luna mengusap lembut kepala Kaira."Kai, kalau anak ini memaksamu lagi, tendang saja!" ucap Nyonya Luna dengan pedas."Anak Mama sebenarnya siapa sih? Aku atau dia?" kesal Jay."Kaira itu baik, nurut. Kalau kamu? Buat Mama selalu pusing," jawan Nyonya Luna."Kai, sini!" pinta Tuan Alrecha dengan memberikan kode sebuah lambaian tangan. Kaira menyelinap pergi, mengikuti langkah Tuan Alrecha. Nyonya Luna dan Jay, masih melanjutkan perseteruan mereka."Mama, dia itu istriku!" seru Jay saat Nyonya Luna melarangnya untu
Saat ini, Kaira sedang menjadi perbincangan hangat di forum kantor. Mereka mengira bahwa Kaira menjadi simpanan Jay, atau yang lebih keterlaluan lagi adalah, mereka mengatakan, Kaira menggoda Jay, yang statusnya adalah pemilik perusahaan yang baru. Seperti yang mereka tahu, rumor Jay sudah menikah telah menyebar. Jay menggendong Kaira, tepat di hari pertamanya masuk ke dalam kantor. Sehingga fakta-fakta seperti itu, menggiring opini buruk tanpa mereka tahu, siapa Istri Jay yang sebenarnya. Kaira tidak menanggapi hal semacam itu dengan serius, tapi sebaliknya, Jay menyelidiki sumber yang memulai untuk memecah belah beberapa pihak yang damai. Kaira masuk kerja seperti hari-hari biasanya, dan tidak menghiraukan pandangan orang lain yang melihatnya dengan tatapan jijik."Kalau aku, meskipun miskin sekalipun, tidak akan menggoda bos besar yang b
Jay bukan pria yang selalu terburu-buru dalam mengambil keputusan. Jay akan membiarkan Kaira untuk menenangkan diri sejenak karena mau bagaimanapun, hubungan Jay dan Kaira terjalin tanpa persetujuan Kaira terlebih dahulu. Jay bukan pria egois yang memaksa Kaira untuk tetap bersamanya. Meskipun sejak menikah, Jay selalu menunjukan rasa nyaman dan ketertarikannya pada Kaira. Biasanya, yang tidak peka dengan perasaan pasangan adalah pihak pria, tapi yang terjadi di dalam hubungan Kaira dan Jay malah sebaliknya. Jay peka dengan keinginan Kaira, tapi Kaira yang terlalu takut dengan posisinya yang hanyalah sebagai seorang pengganti, sangat mengganggu emosinya. Jay berangkat ke kantor seperti hari-hari biasanya. Jay sengaja tidak langsung naik ke lantai dimana ruangannya berada. Jay masuk ke divisi pemasaran tempat Kaira bertugas. Jay membawa sekotak makanan untuk Kaira tapi Jay tid
Lagi-lagi, saat Kaira mulai menerima statusnya sebagai menantu dan Istri pengganti dari Jay, keputusannya patah, pecah menjadi puing-puing. Kaira hanya menelan segala perasaan yang di rasakannya. Kaira hanya menekan hatinya, supaya tidak mencintai Jay, lebih dari saat ini."Dia baik, tampan. Dia juga terus memberikan perhatiannya untukku. Tapi, aku belum pernah mendengar ucapan cinta dari bibirnya," batin Kaira setelah menutup ruang kerja Jay. Kaira segera menghapus airmatanya, setelah Jay membentaknya hanya karena sebuah bingkai foto yang tidak sengaja di rusak oleh Kaira. Kaira kembali mengerjakan pekerjaannya. Setelah jam makan siang, Kaira tidak ikut Lily dan yang lain untuk makan siang di kantin. Kaira memilih sibuk mencari bingkai foto yang sama, dengan yang di rusaknya. Hingga jam istirahat selesai, Kaira belum menemukan apa yang dia cari."
Kaira memalingkan wajahnya dari pandangan Jay yang masih berada di atasnya. Jay merubah posisinya dan duduk di sebelah Kaira. Jay tidak menjawab pertanyaan Kaira. Jay merasa dirinya belum pantas membicarakan hal cinta di saat hati Kaira belum sepenuhnya untuknya."Apa aku harus menjawabnya sekarang, kalau aku mencintaimu? Bagaimana kalau kau menolakku? Hatiku belum siap untuk itu," batin Jay. Kaira berjalan dan berjongkok di depan puing-puing pecahan bingkai yang telah menguras tenaganya. Kaira menyeka airmata yang sedari tadi mengalir keluar seperti hujan."Aku tahu kalau aku bersalah! Tapi, apa kau tidak bisa menghargai usahaku? Kalau kau tidak menerima bingkai ini sebagai pengganti, seharusnya kau letakkan saja tanpa harus merusaknya di depan mataku!" ucap Kaira."Kai...""Jay... Oh, maaf. Maksudku Tuan Jay, Anda juga harus ingat kalau aku
Saat pagi hari tiba, Kaira terbangun dalam dekapan hangat Jay. Kesalahpahaman yang sudah usai, membuat Jay dan Kaira bisa tidur dengan nyenyak dalam ranjang yang sama. Kaira dan Jay, akan memulai semuanya dari awal. Mengakhiri segala keegoisan. Kaira akan mempercayai Jay sepenuhnya selama 1 bulan ini.
Sebuah kesepakatan akhirnya terjalin setelah Jay dan Loreta saling berjabat tangan. Rasya bisa menghela napasnya sedikit lega membiarkan Tuannya itu pergi bersama Loreta.Perjanjian itu akan terpenuhi setelah Loreta mempertemukan Jay dan Kaira. Lalu, Jay melepaskan Orthela untuk kembali ke negara asalnya.Perseteruan sudah cukup membuat kacau. Loreta tidak ingin semuanya berlanjut semakin jauh karena banyak hal yang terbengkalai karena masalah yang tidak juga kunjung selesai.Loreta membawa Jay pergi ke tempat pemakaman. Pria tersebut menyipitkan matanya heran sembari melirik curiga ke arah Loreta.“Apa yang kau rencanakan dengan membawaku ke sini?” tanya Jay. Bariton suara yang tegas itu, membuat sekujur tubuh Loreta merinding.“Anda jangan salah paham, Tuan. Saya membawa Anda ke sini bukan tanpa sebab,” ujar Loreta.Dari pandangan yang cukup jauh, terlihat dua orang sedang menghadap ke salah satu makam yang tidak asing. Jay berlari tidak sabar ingin segera memeluk wanita yang be
"Jangan mendekat!" teriak Kaira. Rasanya cukup mengerikan. Kaira menjadi ketakutan. Ia berusaha pergi meski cukup sulit, tapi Orthela sudah lebih dulu memegang kendali kursi rodanya."Kenapa kau tkut? Bukankah aku sudah cukup membuatmu tenang? Kau bahkan sudah melihat bagaimana aku sangat menyesal," kata Orthela. Ia bahkan tidak merubah ekspresinya. Tetap terlihat sangat menyedihkan."Pergi! Aku memiliki keluargaku sendiri, Orthela. Aku tidak akan pernah pergi denganmu. Tidak akan pernah!" teriak Kaira."Bagaimana kalau Ziel sudah bersamaku? Apa kau tetap akan menolakku?""Apa? Kau menyandera Ziel? Orthela, dia tidak tahu apapun. Ziel msih anak-anak." Pada dasarnya, Kaira bukan wanita yang pandai mengumpat atau berkata kasar. Ia hanya berteriak meluapkan emosinya dengan kata-kata yang masih tertata dengan lembut."Aku tahu kalau kau akan menolakku. Maafkan
Tiga hari Kaira menghilang. Orang yang paling tertekan dan hampir gila adalah Jay. Jay yang tidak pernah menggunakan kekuasaannya, sekarang menekan semua orang untuk mencari Kaira sampai Kaira ditemukan. Nyonya Luna membawa Ziel pergi. Ziel yang tidak tahu apa-apa, tidak boleh terkecoh dengan keadaan yang ada. Orthela tidak memiliki niatan buruk. Racun yang sudah masuk ke dalam tubuh Kaira adalah buatan dari orangnya. Meski sudah mendapatkan penawar, tapi masih ada satu penawaran lagi yang harus hati-hati dan perlahan disuntikan ke dalam tubuh Kaira."Ini di mana?" gumam Kaira. Kaira terbangun dari tidurnya yang cukup panjang. Kepalanya terasa berdenyut dan berkunang-kunang. Tempat itu sangat asing, apalagi seseorang yang menatapnya."Kau sudah sadar? Syukurlah. Aku bisa mengembalikanmu tanpa rasa bersalah," ucap Orthela."Kau!" pekik Kaira."Jangan terlalu banyak gerak dan bicar
Kaira belum sadar setelah pengobatan. Tapi, kondisinya berangsur-angsur membaik. Tuan Alrecha dan Nyonya Luna, akhirnya mengetahui kalau keadaan sedang kacau saat ini. Keysana menemani Kaira sembari mengasuh Ziel. Rasya sibuk mengurus gugatan untuk Orthela dan Jay sekeluarga, mengurus pemakaman Grace karena keluarga Grace, semuanya sudah mengakhiri hidupnya sendiri."Grace, sejauh ini..." Jay terdiam dengan kedua matanya yang sembab. "Sejauh ini, aku tidak membencimu. Kau menunjukkan perubahan yang sangat besar. Sebagai rasa terima kasihku, aku akan merawat rumah terakhirmu," lanjutnya. Nyonya Luna mengusap-usap punggung Jay. Jay yang sedang bersimpuh menaburkan bunga di atas gundukan tanah yang masih basah, tangannya terus saja gemetar. Tuan Alrecha tidak banyak bicara. Ia cukup paham dengan perasaa
Jay masuk ke dalam rumah Orthela. Dia menggendong Grace yang sudah tiada. Tidak hanya itu, Paul yang datang berniat membawa Grace tapi dia malah menjadi sasaran utama kemarahan Jay. Jay menarik kerah kemeja yang Paul kenakan. Jay sudah membuat wajah dan tubuh Paul memar, terluka, berdarah, kesakitan, merintih dan memohon.Srek! Srek! Srek! Suara tubuh Paul yang diseret paksa membuat Delon, Orthela dan Loreta terperanjat kaget. Mata mereka terbelalak lebar. Lantai yang Jay lewati, dibanjiri oleh darah yang mengalir dari Paul dan juga Grace. Wajah Jay suram. Sorot matanya begitu tajam. Delon menelan salivanya karena baru kali ini dia melihat ekspresi iblis dari aura Jay. Jay yang ia kenal sebagai suami yang sangat lembut dan hangat tapi kali ini, ekspresinya begitu kejam.“Menarik!” ujar Jay
“Key, Rasya, aku titip Kaira dan Ziel,” ujar Jay.“Kau mau ke mana? Bukankah pengobatan Kaira hampir selesai?” tanya Keysana.“Ada sesuatu yang harus aku kerjakan. Setelah kembali nanti, aku sendiri yang akan menjelaskannya pada Kaira.” Rasya hanya diam saja. Jay meminta Rasya supaya tetap berada di rumah sakit untuk menjaga situasi di sana. Jay menggenggam erat surat dari Grace yang di dalamnya ternyata ada chip milik Orthela. Jay berfikir kalau ia tidak bisa sepenuhnya lepas tangan dalam masalah ini dan menyerahkannya pada Delon. Kenangan pahit Delon, tragedi, trauma, masih membekas jelas. Jay tidak ingin malah Delon yang terseret lebih dalam lagi. Langkah dan tindakan Jay cepat. Ia berharap kedatangannya jauh lebih dulu dibandingkan Delon di kediaman Orthela.“Delon, aku ber
Brak!“Akh! Uhuk... Uhuk... Uhuk...” Grace memegang perutnya yang ditendang Orthela. Dari mulutnya, keluar darah segar karena ia tempental dan menabrak sisi meja.Plak! Plak! Ortela menarik rambut Grace. Ia menamparnya berkali-kali. Tapi tidak ada rintihan sakit atau permohonan untuk sekedar meminta ampun.“Meski kau sudah menghilangkan semua jejak, apa kau pikir aku tidak tahu kalau kau sudah mengambilnya untuk sample?” gertak Orthela tanpa melepaskan rambut Grace.“Hahahaha... Aku juga sudah tahu akan berakhir seperti ini.”“Aku melepaskanmu, bukankah seharusnya kau membalas budi padaku?” Mata Orthela mendelik, menatap tajam seakan-akan ia akan menelan Grace hidup-hidup. Grace tidak merasa takut karena sejak awal, dia sudah siap.“Apa ini yang kau sebut sebagai kebebasan?&rd
Jay dihubungi oleh rumah sakit untuk segera datang. Ia langsung bergegas, padahal ia baru saja menemukan cara untuk menemukan penawarnya. Hanya saja, Jay lebih mementingkan untuk datang dan mendengarkan apa ucapan Dr. Crombe.“Dokter sudah menunggumu,” ucap Keysana.“Aku langsung ke sana.” Jay langsung berlari dan menuju ruang Dr. Crombe. Ternyata tidak hanya ada Dr. Crombe saja, tapi ada Dr. Sansan.“Anda sudah datang, Tuan. Silahkan duduk!” pinta Dr. Crombe.“Apa ada sesuatu yang—““Anda tenang dulu. Silahkan Anda minum terlebih dahulu.” Dr. Sansan menenangkan Jay yang sangat gelisah. Di atas meja sudah ada sebuah obat. Jay tidak mengetahui obat apa itu. Ia tidak bisa berfikir jernih. Mungkin karena ia belum siap menerima apa yang akan ia dengar.“Se
Grace kembali ke rumah Orthela. Alamat yang sudah Loreta berikan untuknya. Grace datang tanpa persiapan. Ia hanya datang dengan keyakinan sesuai alur yang akan Tuhan takdirkan.“Grace, bukankah ada satu minggu untukmu bebas?” tanya Loreta.“Tidak ada yang ingin aku nikmati,” jawab Grace. Tidak ada siapapun di rumah. Loreta, Paul dan juga Orthela pergi. Grace belum diberi tugas olehnya. Kesempatan bagi Grace untuk menemukan obat penawar. Ia tidak peduli kalau dirinya sedang dalam pengawasan atau Orthela sudah memasang jebakan.Tap... Tap... Tap... Kakinya melangkah cepat memasuki kamar Paul. Sebelum masuk ke dalam neraka, Grace sudah mengetahui keahlian setiap penghuninya. Di dalam kamar paul, Grace mulai mencari formula untuk menetralkan racun yang ada ditubuh Kaira. Grace men