H-7 sebelum pernikahan, Luna menatap punggung tegap Liam yang terbungkus oleh hoodie hitam. Liam itu, meski memakai baju apa pun, entah mengapa selalu terlihat menawan. Mungkin, seharusnya dia menjadi model atau bintang film ketimbang bekerja di perusahaan.
Luna melirik ke sekitar Karnaval, tempat mereka sedang berjalan-jalan setelah Luna merengek beberapa waktu lalu. Rupanya, Liam tengah menjadi pusat perhatian para gadis. Ya, ke mana pun Liam pergi, tampaknya, dia selalu mencolok dengan tubuh tinggi, kulit kuning langsat, serta wajahnya yang rupawan. Tak jarang, beberapa gadis secara terang-terangan menunjukkan ketertarikan mereka secara langsung kepada Liam.
Ah, sial. Luna sadar salah satu hal yang dia sukai dari Liam adalah parasnya. Tapi hal itu pula yang dia benci dari lelaki itu, karena hal itu membuatnya disukai banyak gadis lain.
"Liam!" panggil Luna. Dengan segera perempuan itu mensejajarkan langkah dengan Liam seraya menggandeng tangan lelaki tersebut, seolah sedang membuktikan pada siapa pun yang saat ini tengah terpesona dengan Liam bahwa Liam adalah miliknya.
"Apa yang kau lakukan?" Liam melirik Luna dengan sedikit memicing.
Luna terkekeh pelan. "Sedang memberitahu orang-orang bahwa kamu adalah milikku."
Liam menghela napas pelan. "Jangan kekanakkan," tandasnya lugas.
Luna tidak peduli Liam berkata apa. Toh, meski berkata demikian, Liam tidak benar-benar berusaha untuk melepaskan tangan Luna dari lengannya.
Ya, Liam seperti itu. Antara ucapan dan tindakannya selalu saja tidak sejalan. Terkadang, Luna jadi menerka-nerka tentang apa yang dia pikirkan.
"Nanti, kau ingin punya anak berapa?" tanya Luna. Tiba-tiba saja pertanyaan itu terbersit ketika dia melihat betapa manisnya anak-anak yang tengah bermain di komedi putar.
"Aku tidak berharap memiliki anak," Liam menjawab.
Luna menoleh pada calon suaminya. "Kenapa?"
Liam mengedikkan bahu. "Anak-anak itu berisik, rewel, menyebalkan," katanya.
"Tapi mereka lucu," jawab Luna. Senyumnya mengembang tatkala angannya berkelana pada bayangan masa depan yang dia miliki dengan Liam. "Kamu tidak ingin tahu bagaimana rupa Liam junior, eh? Mungkin dia akan sangat mirip denganmu. Tampan, pintar, cekatan, dan semoga saja dia lebih hangat dari dirimu."
Liam tidak mengatakan hal apa pun lagi. Pria itu hanya menatap datar pada tawa anak-anak yang bahagia menikmati putaran komedi putar dengan cahaya lampu warna-warni yang tampak cantik.
Meski Luna sedikit kecewa dengan jawaban yang Liam berikan, sebab bagaimana pun Luna ingin memiliki buah hati dengan Liam, tetapi Luna tak ambil pusing. Baginya saat itu, bisa bersama Liam pun sudah menjadi anugerah yang luar biasa. Terkait pada akhirnya mereka akan memiliki anak atau tidak, biar waktu saja yang menentukan.
Namun saat ini, pikirannya terasa buntu. Bagaimana bisa, pria yang beberapa waktu lalu mengatakan tidak ingin memiliki anak dengannya, tiba-tiba saja pergi dengan wanita lain dan mengatakan wanita itu mengandung buah hatinya? Bukankah ini lelucon paling tidak lucu yang pernah dia temui?
Sial. Luna terkekeh miris menyadari fakta yang terpampang di depannya.
Liam bukannya tidak ingin memiliki anak. Hanya saja, dia tidak ingin anak darinya. Intinya, pria itu sama sekali tidak mencintai dan berharap bisa hidup bahagia bersamanya. Liam tidak menginginkannya.
"Luna."
Panggilan Tania menyadarkan Luna dari lamunan. Air matanya lagi-lagi menetes tanpa sadar.
"Aku baik-baik saja," gumam Luna pelan. Bohong. Jelas saja dia bohong. Bagaimana bisa Luna baik-baik saja setelah mengetahui semua hal menyakitkan itu?
"Tapi, Tante, sepertinya aku tidak bisa memaafkan Liam atas hal ini," Luna melanjutkan dengan nada sesal.
Tania mengangguk ringan. "Tante paham. Jika Tante berada di posisimu, Tante juga akan berpikiran hal yang sama."
Luna hendak berkata sesuatu sebelum akhirnya pintu UGD terbuka dan seseorang keluar dari sana dengan sebuah pengumuman yang membuat Luna seketika kehilangan kata.
***
Sementara itu, di dalam sebuah kamar apartemen mewah di pusat kota, Liam duduk di sudut ranjang dengan gelisah. Di sisinya, Raisa, terlelap setelah beberapa saat lalu meminum obat untuk meringankan rasa sakit di perutnya.
Liam menaikkan selimut sampai ke dada Raisa. Mengusap puncak kepala wanitanya dengan sayang.
"Maaf, seharusnya aku mengambil keputusan lebih cepat, tidak harus menunggumu menderita sendirian terlebih dulu seperti saat ini."
Dia menghela napas dengan berat. Teringat dengan percakapan yang terjadi antara dirinya dan Raisa beberapa hari lalu. Pada saat itu, Raisa menekan Liam untuk lekas memberi keputusan terkait keberlangsungan hubungan mereka berdua. Namun Liam tidak bisa memutuskan apa pun. Satu sisi, dia mencintai Raisa. Satu sisi lainnya, dia tidak bisa membatalkan perjodohan begitu saja. Bagaimana pun, Liam merasa tidak nyaman dengan keluarga Okta yang sudah dia hormati sejak dulu. Terlebih, keluarganya memiliki utang budi terhadap keluarga Okta, sehingga perusahaan yang dibangun ayahnya bisa berdiri kokoh seperti sekarang ini.
Liam dilanda kegamangan, sampai dia akhirnya berniat untuk meninggalkan Raisa. Namun tiba-tiba saja, Raisa menyatakan bahwa dirinya hamil. Jelas, Liam merasa terjerat. Dia tidak bisa menjadi pria berengsek yang meninggalkan kekasih dan juga calon bayi di perutnya.
Untuk bisa bersama dengannya, Raisa mengorbankan begitu banyak mimpinya sebagai seorang model. Lantas, bagaimana bisa dia menjadi egois dengan meninggalkannya seperti itu?
"Liam."
Panggilan lirih Raisa membuat Liam seketika memusatkan seluruh atensi padanya. "Ya, ada apa, Raisa?" tanyanya. Lekas mengelus kening Raisa yang basah oleh keringat.
Raisa menggeleng, tersenyum lemah. "Tidak. Aku hanya takut kalau kau pergi. Tapi sekarang aku bersyukur kau ada di sini, bersamaku."
Liam hanya menyunggingkan senyum tipis. Namun tidak ada hal apa pun yang dia katakan. Hanya pandangannya yang lurus menatap wanita itu, menyiratkan sejuta perasaan yang sulit untuk dibaca.
Raisa memeluk pinggang Liam. Menyembunyikan wajahnya di sana. Menghidu aroma khas yang dimiliki oleh lelaki itu. "Aku mencintaimu, Liam. Terima kasih karena telah datang dan memilihku," ucapnya kemudian. Mengangkat wajah dan tersenyum padanya.
Dengan lembut, Liam mengusap kening Raisa. "Jangan terlalu banyak bicara dulu. Istirahatlah. Aku akan menjagamu di sini," pungkas Liam.
Raisa menggeleng lemah. "Aku tidak ingin tidur. Bagaimana jika aku membuka mata dan kau pergi seperti sebelumnya?"
"Aku sudah membuat keputusan untuk tetap bersamamu, Raisa. Apa lagi yang kau takutkan?" tanya Liam tenang. "Kita masih memiliki waktu satu jam sebelum bersiap-siap pergi ke Bandara."
Sesaat, Raisa hanya memandangi wajah Liam. Tatapannya begitu intens, seolah Liam adalah benda berharga yang kehilangannya terasa sangat menakutkan untuk Raisa. Namun setelah beberapa saat, kantuk kembali menyerang, sehingga Raisa akhirnya memejamkan mata dan tertidur dengan lelap.
"Istirahatlah. Aku di sini." Liam menggumam pelan. Suaranya terdengar serak dan berat, seolah sebuah beban yang terasa membelenggu tengah dia tanggung di pundak kanan dan kirinya.
***
Segalanya terasa seperti mimpi bagi Luna. Orang paling berharga yang dia miliki tiba-tiba saja pergi. Tanpa mengucapkan kata pamit dengan benar. Tanpa memberikan waktu bagi Luna untuk sedikitnya bisa belajar memahami situasi yang terjadi. "Mami, Luna. Sebentar lagi hujan, kita harus pulang." Di dekapan Vika, ibunya, Luna duduk diam menatap pusara yang masih baru bertuliskan nama ayahnya. Air matanya sudah kering, tetapi lukanya masih basah, sama seperti tanah kuburan Okta. Luna menatap Cale. Mendapati kakaknya memberikan anggukan kecil, isyarat agar Luna lekas berdiri. Sebagai anak, mereka harus tetap kuat agar Vika juga kuat. Luna menyadari betapa Cale berusaha untuk tetap tegar sebagai seorang putra dan anak pertama. Meski tidak bisa setegar Cale, Luna pikir setidaknya dia tidak terlihat begitu rapuh. Luna membantu ibunya berdiri. Bertekad untuk lebih kuat demi kakaknya, demi ibunya. Namun begitu melihat pigura berisi foto Okta yang tersenyum, Luna seakan kembali ditarik pada p
Enam tahun kemudian Suasana sibuk sudah menjadi hal yang biasa di kantor perusahaan Majalah Fashion Diezze. Namun dalam sebulan, selalu saja ada satu dua hari yang terasa lebih hectic daripada biasanya. Dan itu, kebetulan, adalah hari ini. Masalahnya, tidak seperti kantor lain, kantor tersebut juga dipenuhi oleh lalu lalang orang yang membawa stand hanger baju, tas-tas mahal, sepatu, dan properti-properti lain untuk pemotretan atau sesuatu yang lain. Mereka semua sibuk berlarian, berlomba-lomba dengan waktu. Atau, dengan atasan yang selalu ribet dan ingin selalu sat set sat set tanpa mau tahu kendala apa yang mereka alami. Seperti apa yang sedang dirasakan Luna sekarang. Di balik mejanya, Luna tengah disibukkan dengan tampilan majalah yang harus diterbitkan minggu ini. Pemimpin redaksi mereka yang baru tiba-tiba saja mengatakan untuk mengubah tampilan, alasannya agar tidak monoton. Padahal, hei! Luna sudah melakukan upaya terbaiknya dengan tim. Kemarin, atasannya juga sudah menyetuju
Bukan hanya bagi wanita, tetapi bagi seorang pria pun, ketika mereka telah mempunyai anak, waktu dan kehidupannya bukan lagi milik mereka sendiri. Terlebih bagi single parents seperti Liam. Dia dituntut untuk menjadi seorang ayah dan juga ibu di saat yang sama. Dan hal itu, terkadang melelahkan. "Levin dan Dylan akan pergi ke karaoke. Kau akan ikut?" Pria berlesung pipit membuka pintu ruangan Liam dengan kepalanya yang menyembul, sementara tubuhnya masih tersembunyi di balik pintu. Liam hendak menjawab, tetapi jerit ponsel di depannya membuat lelaki berusia pertengahan angka tiga puluhan itu seketika mengurungkan niat. Pundaknya lekas merosot tatkala melihat kontak yang tertera di layar. Sambil menggeser tombol hijau, pria itu menggeleng pada temannya. "Aku rasa tidak bisa. Aku mempunyai seorang pawang di rumah," balas Liam, meletakkan ponselnya di depan telinga. "DAD!" Dan suara lantang di seberang telepon seketika membuat Liam menjauhkan sejenak benda pipih itu dari telinganya.
"Sudah aku bilang, Dad, ibu peri itu pasti ada!" tandas Nic dengan cengiran lebar. "Bagaimana? Dia cantik, kan? Dan dia juga menyukaiku."Baik Luna maupun Liam sama-sama masih terdiam dengan kelu. Keduanya terlalu terkejut, rupanya dunia sesempit ini, sehingga mereka kembali dipertemukan, dalam momen ini, momen yang tak pernah terduga sebelumnya.Luna berdiri dari posisi jongkoknya barusan. Menatap Nic yang barusan memanggil Liam dengan panggilan Dad, perempuan itu seketika yakin bahwa Nic adalah anak dari lelaki itu. Lelaki yang sampai detik ini tidak ingin dia sebut namanya. Pantas saja ketika pertama kali melihat Nic dia merasa tidak asing. Rupanya, Nic menuruni visual yang sejak remaja dia puja.Begitu sadar dari keterkejutannya, lekas Luna berjalan meninggalkan mereka berdua. Jangankan untuk terlibat dengan Liam lagi, bertemu dengannya saja tidak pernah ada dalam list rencana sepanjang hidupnya. Namun,"Luna!"Suara panggilan beserta tubuh tinggi yang menghadang langkahnya membua
Liam mendapatkan delikan tajam begitu tiba di rumah orang tuanya. Meski enam tahun telah berlalu, dan Liam telah meminta maaf atas apa yang terjadi di masa lalu, tetapi hal itu tidak serta merta membuat orang tuanya--terutama Tania--melunak. Sikap wanita baya itu sangat berubah sejak kejadian Liam kabur dengan Raisa."Grandma, bisakah aku tinggal di sini selama beberapa waktu? Aku sedang malas bertemu dengan Dad," gumam Nic, langsung duduk di pangkuan Tania, neneknya, begitu mereka tiba di kediaman orang tua Liam.Tania mengusap puncak kepala Nic dengan sayang. Meski Nic lahir dari rahim wanita yang tidak pernah dia restui untuk bersanding dengan anaknya, tetapi memang Tania menyayangi anak itu sebagaimana dia menyayangi cucunya yang lain. Lagipula Nic memang tidak memiliki salah apa pun dalam tragedi yang mematahkan banyak hati tersebut."Daddy-mu membuat kesalahan?" tanya Tania, melirik singkat pada Liam yang hanya duduk diam di sofa.Wajah Nic kembali berubah kesal saat Tania berta
Luna harus terbangun di pagi hari yang mendung ini saat sebuah teriakkan demi teriakkan di depan pintu apartemennya terdengar. Padahal, ini akhir pekan dan dia ingin lebih banyak istirahat setelah pertemuannya dengan Liam begitu menguras emosinya kemarin malam. Tapi jika teriakkan itu sudah terdengar lebih dari dua kali, Luna rasa dia tidak akan bisa tertidur lagi, atau apartemennya akan diporakporandakan oleh si kecil cerewet yang selalu datang di waktu tidak tepat."AUNTY, PAKET!"Luna menggelengkan kepala sambil tersenyum kecil saat mendengar teriakkan Aurora, keponakannya, di depan pintu. Dia bisa membayangkan bagaimana ekspresi gadis kecil itu sekarang. Mungkin, mata bulatnya tengah dipenuhi oleh rasa antusias. Bibir kecilnya memanyun. Dengan kepala yang miring, menunggu ia membuka pintu.Tanpa menunggu lama lagi, Luna lekas membuka pintu dan menemukan seorang bocah perempuan dengan rambut panjang yang diikat dua dengan pita merah yang menghiasi. Sementara di sisi kanannya, sosok
Sepulang Adi dari kantor, Nic ikut makan malam bersama dengan kakek dan neneknya. Namun yang dilakukan oleh anak itu selama beberapa sekon ini hanya diam sambil memainkan sendok di tangannya. Sementara nasi di atas piring masih tersisa cukup banyak.Tania yang menyadari keanehan yang dilakukan oleh Nic, menatap suaminya sambil memberikan tatapan seolah bertanya apa yang terjadi pada cucu mereka."Sayang, ada apa?" Adi akhirnya bertanya pada Nic.Sesaat, Nic langsung tersadar dari lamunan. "Tidak ada, Grandpa. Aku hanya sedang kesulitan memikirkan sesuatu."Tania dan Adi kembali saling melemparkan pandang. "Apa karena sekolahmu, hm? Daddy belum memutuskan ke mana kamu akan bersekolah?"Nic menggeleng pelan. "Bukan, Grandma. Aku sedang memikirkan nama wanita yang aku temui di toko mainan tadi. Aku ingat betul bahwa Dad memanggil namanya. Tapi aku lupa nama yang disebutkan oleh Dad."Tania seketika mengulum tawa. Ia kira apa yang me
"Kenapa kau menjanjikan hal yang sangat sulit untuk dilakukan, Ma?"Tania menghela napas untuk ke sekian kalinya mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Adi. Wanita itu menoleh, menatap suaminya lekat."Apa Papa masih berharap Luna menjadi menantu kita?" Tania melayangkan tanya lain, alih-alih menjawab pertanyaan Adi barusan."Ma, Mama lupa apa yang terjadi di masa lalu? Bagaimana sikap kurang ajar Liam yang dengan teganya meninggalkan Luna di hari pernikahan?" Adi tak habis pikir. "Kita telah mempermalukan keluarga Luna bahkan hingga menyebabkan Mas Okta meninggal dunia. Apakah setelah semua itu, Mama masih yakin baik Luna maupun keluarganya akan menerima kita lagi? Terutama, menerima Liam.""Ya, aku tahu. Akan sangat sulit bagi Luna bisa membuka hati kembali pada Liam. Tapi, Pa, setidaknya kita harus mencoba.""Dan membuka luka lama Luna yang belum tentu sudah kering?" respons Adi segera.Bahu Tania merosot. Menyadari apa yang dikatakan oleh Adi ada benarnya. Namun sebagai seorang i