BAB 40 Firasat Cale tidak pernah salah. Setiap kali dia merasa sesuatu terjadi, maka memang benar ada yang terjadi. Namun sesungguhnya, Cale tidak berharap firasat buruknya menjadi kenyataan. Sejauh ini, dia hanya ingin hidupnya baik-baik saja. Cukup. Namun, takdir tak pernah sejalan dengan alur yang dia inginkan. Seperti saat ini, saat tiba-tiba dia duduk berhadapan dengan Levin di kafetaria rumah sakit. “Apa kabar, Cale?” Pertanyaan yang seharusnya tak pernah terucap dari bibir Levin terdengar, membuat Cale menghela napas pelan seraya membuang pandang ke mana pun, asal bukan pada wajah Levin di hadapannya. Levin lantas terkekeh sumbang beberapa lama kemudian. Mungkin sadar bahwa pertanyaan yang dia ajukan terlalu konyol meskipun hanya untuk basa-basi. “Aku tidak sengaja melihatmu di meja administrasi tadi, lalu mengikutimu. Tahu, kau pasti akan mengabaikan aku jika aku memanggilmu di jalan,” tandas Levin kembali. Matanya masih menatap Cale lurus, membaca ekspresi wajah lela
Pikiran Luna seketika kosong. Tiba-tiba saja, saat ini dia duduk di hadapan Liam dan Nic, dengan suka rela. Oh, padahal sebelumnya dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk mulai membatasi interaksi dengan mereka berdua. Namun yang terjadi malah sebaliknya.Sementara itu, Nic mengamati dua orang dewasa si sekitarnya. Jelas terlihat situasi yang canggung di antara mereka, dan Nic harus mencari cara untuk mencairkan kecanggungan tersebut."Aunty," panggil Nic.Luna menatap bocah tampan yang wajahnya amat menyerupai Liam. Benar-benar hampir keseluruhan wajahnya diwarisi anak tersebut dari ayahnya."Dad membelikan sesuatu untukmu," gumam Nic kembali dengan senyuman lebarnya. Anak tersebut lantas menoleh ke arah ayahnya, seolah memberikan kode kepada Liam. Mengerti apa yang Nic katakan, Liam segera mengeluarkan sesuatu dari dalam saku kemejanya. Sebuah kotak beludru yang bisa Luna tebak isinya."Nic yang mengusulkan aku memberikan ini padamu." Liam mengatakan hal tersebut seolah-olah
"Jangan terlalu gugup, Sayang. Rileks. Jangan sampai membuat kesalahan."Luna, gadis dengan balutan gaun pengantin berwarna putih, tersenyum kecil menanggapi ucapan ayahnya. Dia melirik pada tangan ayahnya yang sesekali saling bertaut agak gemetar."Pi, mungkin seharusnya aku yang mengatakan hal itu padamu," tandas Luna.Wanita itu menarik tangan Okta, ayahnya. Menepuk-nepuk pelan punggung tangan Okta yang sudah mulai mengkeriput. Luna tahu, ayahnya bahkan lebih gugup daripada dirinya saat ini.Okta tersenyum canggung. "Apakah sikap Papi terlalu kentara?" tanyanya.Luna mengangguk pelan. "Iya. Papi terlihat begitu jelas sedang merasa gugup." Dia tersenyum, melirik pada tas kecilnya di atas meja rias. "Mau minum pil penenang?" tawarnya kemudian. Ingat bahwa dia memiliki benda itu untuk berjaga-jaga."Memang boleh?"Luna terkekeh pelan mendengar pertanyaan spontan yang diajukan oleh ayahnya. Pada saat seperti ini, entah mengapa Luna merasa bahwa ayahnya lebih kekanakkan daripada dirinya
"Papi!" Luna berjalan cepat menghampiri ayahnya yang terjatuh pingsan secara tiba-tiba. Tidak peduli berkali-kali Luna tersandung oleh gaunnya sendiri, wanita itu hanya menatap lurus ayahnya bersama dengan air mata yang akhirnya jatuh berderai. "Pi! Bangun!" jerit Luna histeris. Dia duduk di sisi ayahnya yang tergeletak tak berdaya. Orang-orang seketika berkerumun di antara pria paruh baya itu. Membuat oksigen terasa semakin menipis. "Panggil ambulans!" Samar-samar, Luna mendengar suara Adi berteriak di belakang. Luna juga bisa mendengar Cale berusaha untuk membubarkan kerumunan dengan alasan yang terbersit di benak Luna, bahwa kondisi ayahnya akan semakin memburuk karena pasokan oksigen yang kurang. Luna sendiri tidak dapat memikirkan apa pun sekarang. Segala sesuatu terasa berjalan dengan cepat. Dia bahkan tidak diberikan waktu untuk bisa memahami kondisi sebelumnya, kemudian ditempa lagi dengan kondisi baru yang lebih membuatnya terpuruk. Dalam waktu yang terasa begitu menyesak
H-7 sebelum pernikahan, Luna menatap punggung tegap Liam yang terbungkus oleh hoodie hitam. Liam itu, meski memakai baju apa pun, entah mengapa selalu terlihat menawan. Mungkin, seharusnya dia menjadi model atau bintang film ketimbang bekerja di perusahaan. Luna melirik ke sekitar Karnaval, tempat mereka sedang berjalan-jalan setelah Luna merengek beberapa waktu lalu. Rupanya, Liam tengah menjadi pusat perhatian para gadis. Ya, ke mana pun Liam pergi, tampaknya, dia selalu mencolok dengan tubuh tinggi, kulit kuning langsat, serta wajahnya yang rupawan. Tak jarang, beberapa gadis secara terang-terangan menunjukkan ketertarikan mereka secara langsung kepada Liam. Ah, sial. Luna sadar salah satu hal yang dia sukai dari Liam adalah parasnya. Tapi hal itu pula yang dia benci dari lelaki itu, karena hal itu membuatnya disukai banyak gadis lain. "Liam!" panggil Luna. Dengan segera perempuan itu mensejajarkan langkah dengan Liam seraya menggandeng tangan lelaki tersebut, seolah sedang membu
Segalanya terasa seperti mimpi bagi Luna. Orang paling berharga yang dia miliki tiba-tiba saja pergi. Tanpa mengucapkan kata pamit dengan benar. Tanpa memberikan waktu bagi Luna untuk sedikitnya bisa belajar memahami situasi yang terjadi. "Mami, Luna. Sebentar lagi hujan, kita harus pulang." Di dekapan Vika, ibunya, Luna duduk diam menatap pusara yang masih baru bertuliskan nama ayahnya. Air matanya sudah kering, tetapi lukanya masih basah, sama seperti tanah kuburan Okta. Luna menatap Cale. Mendapati kakaknya memberikan anggukan kecil, isyarat agar Luna lekas berdiri. Sebagai anak, mereka harus tetap kuat agar Vika juga kuat. Luna menyadari betapa Cale berusaha untuk tetap tegar sebagai seorang putra dan anak pertama. Meski tidak bisa setegar Cale, Luna pikir setidaknya dia tidak terlihat begitu rapuh. Luna membantu ibunya berdiri. Bertekad untuk lebih kuat demi kakaknya, demi ibunya. Namun begitu melihat pigura berisi foto Okta yang tersenyum, Luna seakan kembali ditarik pada p
Enam tahun kemudian Suasana sibuk sudah menjadi hal yang biasa di kantor perusahaan Majalah Fashion Diezze. Namun dalam sebulan, selalu saja ada satu dua hari yang terasa lebih hectic daripada biasanya. Dan itu, kebetulan, adalah hari ini. Masalahnya, tidak seperti kantor lain, kantor tersebut juga dipenuhi oleh lalu lalang orang yang membawa stand hanger baju, tas-tas mahal, sepatu, dan properti-properti lain untuk pemotretan atau sesuatu yang lain. Mereka semua sibuk berlarian, berlomba-lomba dengan waktu. Atau, dengan atasan yang selalu ribet dan ingin selalu sat set sat set tanpa mau tahu kendala apa yang mereka alami. Seperti apa yang sedang dirasakan Luna sekarang. Di balik mejanya, Luna tengah disibukkan dengan tampilan majalah yang harus diterbitkan minggu ini. Pemimpin redaksi mereka yang baru tiba-tiba saja mengatakan untuk mengubah tampilan, alasannya agar tidak monoton. Padahal, hei! Luna sudah melakukan upaya terbaiknya dengan tim. Kemarin, atasannya juga sudah menyetuju
Bukan hanya bagi wanita, tetapi bagi seorang pria pun, ketika mereka telah mempunyai anak, waktu dan kehidupannya bukan lagi milik mereka sendiri. Terlebih bagi single parents seperti Liam. Dia dituntut untuk menjadi seorang ayah dan juga ibu di saat yang sama. Dan hal itu, terkadang melelahkan. "Levin dan Dylan akan pergi ke karaoke. Kau akan ikut?" Pria berlesung pipit membuka pintu ruangan Liam dengan kepalanya yang menyembul, sementara tubuhnya masih tersembunyi di balik pintu. Liam hendak menjawab, tetapi jerit ponsel di depannya membuat lelaki berusia pertengahan angka tiga puluhan itu seketika mengurungkan niat. Pundaknya lekas merosot tatkala melihat kontak yang tertera di layar. Sambil menggeser tombol hijau, pria itu menggeleng pada temannya. "Aku rasa tidak bisa. Aku mempunyai seorang pawang di rumah," balas Liam, meletakkan ponselnya di depan telinga. "DAD!" Dan suara lantang di seberang telepon seketika membuat Liam menjauhkan sejenak benda pipih itu dari telinganya.