Enam tahun kemudian
Suasana sibuk sudah menjadi hal yang biasa di kantor perusahaan Majalah Fashion Diezze. Namun dalam sebulan, selalu saja ada satu dua hari yang terasa lebih hectic daripada biasanya. Dan itu, kebetulan, adalah hari ini. Masalahnya, tidak seperti kantor lain, kantor tersebut juga dipenuhi oleh lalu lalang orang yang membawa stand hanger baju, tas-tas mahal, sepatu, dan properti-properti lain untuk pemotretan atau sesuatu yang lain. Mereka semua sibuk berlarian, berlomba-lomba dengan waktu. Atau, dengan atasan yang selalu ribet dan ingin selalu sat set sat set tanpa mau tahu kendala apa yang mereka alami. Seperti apa yang sedang dirasakan Luna sekarang.
Di balik mejanya, Luna tengah disibukkan dengan tampilan majalah yang harus diterbitkan minggu ini. Pemimpin redaksi mereka yang baru tiba-tiba saja mengatakan untuk mengubah tampilan, alasannya agar tidak monoton. Padahal, hei! Luna sudah melakukan upaya terbaiknya dengan tim. Kemarin, atasannya juga sudah menyetujui. Tapi di waktu yang hampir mepet, dia mengubah keputusan. Hal itu tentu tidak hanya berpengaruh untuk Luna, tetapi para editor yang mengerjakannya. Meski bekerja di tengah tekanan karena waktu yang mepet, untungnya editor berhasil mengerjakan sesuai tenggat waktu yang dia berikan. Hal tersebut mengingatkannya pada beberapa tahun lalu, saat dia masih menjadi seorang editor magang.
Bekerja di bawah tekanan Kepala Editor yang cerewet serta Pemimpin Redaksi yang ribet, membuat Luna harus mati-matian tetap waras. Jika saja mentalnya tidak kuat, mungkin dalam kurun waktu kurang dari satu bulan dia akan mengundurkan diri. Jika tidak begitu, bisa saja dia bekerja, tetapi sebulan kemudian gila.
Rasanya, Luna ingin resign saja. Namun berkat pekerjaan itu pula, dia bisa melupakan patah hatinya. Bekerja seperti robot, tidak memiliki waktu untuk bersantai dan sendiri, membuat Luna lelah dan selalu pulang hanya untuk tidur. Dia tidak memiliki waktu untuk meratapi nasib atau pun menyesali hal-hal yang membuatnya kembali terluka.
Jika dibilang Luna telah lupa, tentu tidak. Sesibuk apa pun, terkadang ingatan menyakitkan itu mampir untuk menyapa. Namun Luna selalu berusaha menepis semua kenangan buruk itu dengan berusaha fokus.
Dering ponsel di meja membuat lamunan Luna buyar. Perempuan itu lekas mengambil benda pipih tersebut dan menggeser tombol hijau di layar. Tak berapa lama, terdengar suara lelaki di seberang sana.
"Kamu lembur lagi hari ini?"
Sambil memeriksa kembali pekerjaannya, Luna berbicara dengan orang di seberang telepon. "Aku akan berusaha untuk pulang secepatnya, jangan khawatir."
"Jadi kamu lembur?" cecar lawan bicara Luna lagi.
Luna menghela napas sebal. "Tidak, Kak Cale. Aku akan pulang sebentar lagi. Bisakah kau berhenti untuk merecokiku?" balas Luna.
"Aku tidak sedang merecokimu. Tapi kamu ingat ini hari apa?"
"Jum'at?" Luna berpikir sejenak. "Besok aku libur dan akan istirahat total, okay?"
"Luna," ucap Cale, terdengar agak menekan. "Kamu benar-benar lupa dengan hari ini?" dia kembali bertanya dengan nada yang, yah, seolah menegaskan sesuatu.
Luna menghentikan aktivitasnya meninjau pekerjaan, lantas terdiam selama beberapa sekon sebelum akhirnya membuat ekspresi terkejut. "Astaga!" dia memekik seketika. "Kak, aku lupa!"
Cale terdengar menghela napas dengan keras. "Lekaslah datang. Kamu tahu sendiri bagaimana Ola. Tinggal satu jam sebelum acara dimulai."
Luna lekas menyelesaikan pekerjaannya. "Baik, aku akan pulang secepat-cepatnya."
Tanpa menunggu jawaban Cale, Luna langsung menutup sambungan telepon. Lalu bergegas merapikan barang-barangnya dan pulang.
***
Luna mampir di sebuah toko mainan di perjalanan menuju rumah kakaknya, Cale. Pasalnya, dia melupakan hari paling penting untuk keponakan manisnya, Aurora. Astaga, padahal Luna sudah berencana untuk membuat kue ulang tahun untuk Ola dengan tangannya sendiri. Tapi dia malah lupa. Ini semua gara-gara pekerjaan yang setiap harinya selalu menggunung, sampai dia melupakan banyak hal. Karena sudah tidak ada waktu lagi, Luna tidak bisa membuat kue. Dia memutuskan untuk membeli kado berupa mainan saja.
Sialnya, toko mainan itu begitu besar. Rak-rak berjejer dengan area tertentu diisi oleh mainan tertentu. Saking besarnya, Luna jadi bingung sendiri.
"Permisi!" Luna memanggil karyawan toko.
Wanita dengan kemeja hitam rapi menghampiri dirinya dengan segera. "Aku ingin membeli mainan untuk keponakan perempuanku," gumamnya.
"Oh, tentu. Mari, saya antar."
"Tunggu." Luna menghentikan karyawan tersebut saat hendak mengajaknya menuju jajaran rak boneka. "Keponakanku agak tomboy," gumamnya dengan cengiran polos.
Karyawan wanita itu tersenyum maklum. "Kalau begitu, Mbak tahu apa yang dia sukai?"
Luna berpikir sejenak. "Dia suka boneka Barbie. Tapi biasanya hanya untuk dimutilasi." Lagi-lagi perempuan itu tersenyum, kali ini dengan ekspresi agak meringis. "Dia suka robot atau mobil-mobilan, tetapi dalam kurun waktu satu hari mainannya bisa hancur."
"Bagaimana dengan jam tangan? Ada banyak jenis jam tangan canggih dan unik untuk anak-anak."
Luna merenung sejenak, sebelum akhirnya dia mengangguk setuju. "Baiklah. Semoga saja ada yang cocok."
Dia berjalan mengikuti karyawan toko sambil melihat-lihat barangkali ada inspirasi lain untuk kado. Karena terlalu asyik melihat-lihat, tak sadar Luna menabrak seorang anak sampai anak lelaki itu hampir jatuh tersungkur.
"Hei, kamu tidak apa-apa?" lekas Luna berjongkok. Memegang kedua lengan atas bocah tampan tersebut.
Ia menggeleng. "Ya, aku baik-baik saja." Tersenyum hingga menunjukkan gigi depannya yang ompong, anak itu memiringkan wajah saat menatap Luna. "Wah! Kau cantik sekali. Apa kau menyukai anak-anak?"
Luna mengerutkan kening tak mengerti, tapi kemudian tersenyum kecil. "Ya, bisa dibilang begitu. Tapi, aku hanya menyukai anak-anak baik."
"Aku anak yang baik. Jadi, kau akan menyukaiku 'kan?"
Luna terkekeh mendengar celotehan bocah lelaki itu. "Bagaimana aku bisa tahu kalau kau adalah anak yang baik?" dia bertanya dengan nada agak jenaka.
Bocah itu meletakkan telunjuknya di depan dagu. "Aku bisa mandi sendiri, makan sendiri, belajar sendiri, bahkan pergi ke sekolah sendiri. Selain itu, aku anak yang tampan. Apa kau yakin tidak akan menyukaiku?"
Perkataan penuh percaya diri yang diucapkan oleh anak itu membuat Luna terhibur. "Ya, sepertinya aku memang sudah menyukaimu," gumamnya. Dengan gemas, dia mencubit pelan pipi tembam anak tersebut. "Jadi, siapa namamu?"
"Nic!" Tiba-tiba terdengar suara bariton memanggil bocah itu.
Bocah tersebut dan Luna seketika menoleh ke asal suara. Dan seketika itu pula, Luna mematung. Hal yang tidak pernah dia duga, tiba-tiba saja terjadi di depan matanya.
"Ya, Nic adalah namaku." Anak bernama Nic itu tersenyum lebar. Kemudian berjalan menghampiri pria tinggi yang berjalan ke arahnya. "Dad! Aku sudah menemukan Mommy baru!" lanjut anak itu dengan lantang sambil menunjuk ke arah Luna.
Dan pada detik itu, saat Luna dan ayah dari Nic saling berpandangan, dunia rasanya berhenti berotasi. Di sana, di dalam tempat itu, keduanya terdiam dengan dada yang bergemuruh.
***
Bukan hanya bagi wanita, tetapi bagi seorang pria pun, ketika mereka telah mempunyai anak, waktu dan kehidupannya bukan lagi milik mereka sendiri. Terlebih bagi single parents seperti Liam. Dia dituntut untuk menjadi seorang ayah dan juga ibu di saat yang sama. Dan hal itu, terkadang melelahkan. "Levin dan Dylan akan pergi ke karaoke. Kau akan ikut?" Pria berlesung pipit membuka pintu ruangan Liam dengan kepalanya yang menyembul, sementara tubuhnya masih tersembunyi di balik pintu. Liam hendak menjawab, tetapi jerit ponsel di depannya membuat lelaki berusia pertengahan angka tiga puluhan itu seketika mengurungkan niat. Pundaknya lekas merosot tatkala melihat kontak yang tertera di layar. Sambil menggeser tombol hijau, pria itu menggeleng pada temannya. "Aku rasa tidak bisa. Aku mempunyai seorang pawang di rumah," balas Liam, meletakkan ponselnya di depan telinga. "DAD!" Dan suara lantang di seberang telepon seketika membuat Liam menjauhkan sejenak benda pipih itu dari telinganya.
"Sudah aku bilang, Dad, ibu peri itu pasti ada!" tandas Nic dengan cengiran lebar. "Bagaimana? Dia cantik, kan? Dan dia juga menyukaiku."Baik Luna maupun Liam sama-sama masih terdiam dengan kelu. Keduanya terlalu terkejut, rupanya dunia sesempit ini, sehingga mereka kembali dipertemukan, dalam momen ini, momen yang tak pernah terduga sebelumnya.Luna berdiri dari posisi jongkoknya barusan. Menatap Nic yang barusan memanggil Liam dengan panggilan Dad, perempuan itu seketika yakin bahwa Nic adalah anak dari lelaki itu. Lelaki yang sampai detik ini tidak ingin dia sebut namanya. Pantas saja ketika pertama kali melihat Nic dia merasa tidak asing. Rupanya, Nic menuruni visual yang sejak remaja dia puja.Begitu sadar dari keterkejutannya, lekas Luna berjalan meninggalkan mereka berdua. Jangankan untuk terlibat dengan Liam lagi, bertemu dengannya saja tidak pernah ada dalam list rencana sepanjang hidupnya. Namun,"Luna!"Suara panggilan beserta tubuh tinggi yang menghadang langkahnya membua
Liam mendapatkan delikan tajam begitu tiba di rumah orang tuanya. Meski enam tahun telah berlalu, dan Liam telah meminta maaf atas apa yang terjadi di masa lalu, tetapi hal itu tidak serta merta membuat orang tuanya--terutama Tania--melunak. Sikap wanita baya itu sangat berubah sejak kejadian Liam kabur dengan Raisa."Grandma, bisakah aku tinggal di sini selama beberapa waktu? Aku sedang malas bertemu dengan Dad," gumam Nic, langsung duduk di pangkuan Tania, neneknya, begitu mereka tiba di kediaman orang tua Liam.Tania mengusap puncak kepala Nic dengan sayang. Meski Nic lahir dari rahim wanita yang tidak pernah dia restui untuk bersanding dengan anaknya, tetapi memang Tania menyayangi anak itu sebagaimana dia menyayangi cucunya yang lain. Lagipula Nic memang tidak memiliki salah apa pun dalam tragedi yang mematahkan banyak hati tersebut."Daddy-mu membuat kesalahan?" tanya Tania, melirik singkat pada Liam yang hanya duduk diam di sofa.Wajah Nic kembali berubah kesal saat Tania berta
Luna harus terbangun di pagi hari yang mendung ini saat sebuah teriakkan demi teriakkan di depan pintu apartemennya terdengar. Padahal, ini akhir pekan dan dia ingin lebih banyak istirahat setelah pertemuannya dengan Liam begitu menguras emosinya kemarin malam. Tapi jika teriakkan itu sudah terdengar lebih dari dua kali, Luna rasa dia tidak akan bisa tertidur lagi, atau apartemennya akan diporakporandakan oleh si kecil cerewet yang selalu datang di waktu tidak tepat."AUNTY, PAKET!"Luna menggelengkan kepala sambil tersenyum kecil saat mendengar teriakkan Aurora, keponakannya, di depan pintu. Dia bisa membayangkan bagaimana ekspresi gadis kecil itu sekarang. Mungkin, mata bulatnya tengah dipenuhi oleh rasa antusias. Bibir kecilnya memanyun. Dengan kepala yang miring, menunggu ia membuka pintu.Tanpa menunggu lama lagi, Luna lekas membuka pintu dan menemukan seorang bocah perempuan dengan rambut panjang yang diikat dua dengan pita merah yang menghiasi. Sementara di sisi kanannya, sosok
Sepulang Adi dari kantor, Nic ikut makan malam bersama dengan kakek dan neneknya. Namun yang dilakukan oleh anak itu selama beberapa sekon ini hanya diam sambil memainkan sendok di tangannya. Sementara nasi di atas piring masih tersisa cukup banyak.Tania yang menyadari keanehan yang dilakukan oleh Nic, menatap suaminya sambil memberikan tatapan seolah bertanya apa yang terjadi pada cucu mereka."Sayang, ada apa?" Adi akhirnya bertanya pada Nic.Sesaat, Nic langsung tersadar dari lamunan. "Tidak ada, Grandpa. Aku hanya sedang kesulitan memikirkan sesuatu."Tania dan Adi kembali saling melemparkan pandang. "Apa karena sekolahmu, hm? Daddy belum memutuskan ke mana kamu akan bersekolah?"Nic menggeleng pelan. "Bukan, Grandma. Aku sedang memikirkan nama wanita yang aku temui di toko mainan tadi. Aku ingat betul bahwa Dad memanggil namanya. Tapi aku lupa nama yang disebutkan oleh Dad."Tania seketika mengulum tawa. Ia kira apa yang me
"Kenapa kau menjanjikan hal yang sangat sulit untuk dilakukan, Ma?"Tania menghela napas untuk ke sekian kalinya mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Adi. Wanita itu menoleh, menatap suaminya lekat."Apa Papa masih berharap Luna menjadi menantu kita?" Tania melayangkan tanya lain, alih-alih menjawab pertanyaan Adi barusan."Ma, Mama lupa apa yang terjadi di masa lalu? Bagaimana sikap kurang ajar Liam yang dengan teganya meninggalkan Luna di hari pernikahan?" Adi tak habis pikir. "Kita telah mempermalukan keluarga Luna bahkan hingga menyebabkan Mas Okta meninggal dunia. Apakah setelah semua itu, Mama masih yakin baik Luna maupun keluarganya akan menerima kita lagi? Terutama, menerima Liam.""Ya, aku tahu. Akan sangat sulit bagi Luna bisa membuka hati kembali pada Liam. Tapi, Pa, setidaknya kita harus mencoba.""Dan membuka luka lama Luna yang belum tentu sudah kering?" respons Adi segera.Bahu Tania merosot. Menyadari apa yang dikatakan oleh Adi ada benarnya. Namun sebagai seorang i
Luna sedikit tidak mengerti mengapa Nic melakukan hal itu, dan ada maksud apa di balik semuanya. Namun, seandainya Nic bukan anak dari Liam, mungkin akan dengan senang hati dia menyetujuinya. Nic itu, terlepas dari latar belakangnya, adalah anak yang sangat menggemaskan dan lucu. Sejujurnya, Luna juga menyukainya."Nic, maafkan aku. Tapi sepertinya aku tidak memiliki waktu," ucap Luna dengan nada sesal. Dia sudah memutuskan untuk tidak berhubungan apa pun lagi dengan Liam. Dan bagaimana pun, berhubungan dengan Nic juga sepertinya akan berbahaya bagi Luna."Kenapa?" Nada suara Nic berubah menjadi sedih. "Apa kau memiliki banyak pekerjaan seperti Dad? Jika ya, aku akan menunggu sampai kau punya waktu luang.""Tidak, Nic. Sepertinya beberapa waktu ke depan aku tidak akan punya waktu kosong," dusta Luna kembali.Terjadi hening selama beberapa sekon, sampai Luna mengira bahwa sambungan telepon telah terputus. Namun ternyata tidak. "Apakah karena Dad pernah menyakitimu?"Pertanyaan yang di
"Sekian rapat hari ini. Silakan kembali dengan aktivitas masing-masing."Liam menutup pertemuan dan meninggalkan ruang rapat begitu saja. Sementara sekretarisnya mengikuti dengan berkas-berkas di tangan."Tidak ada acara di luar setelah ini?" tanya Liam, menoleh sejenak pada bawahannya di belakang.Celyn, wanita dengan tubuh molek yang dibungkus dengan pakaian kantor ketat, menggeleng pelan. "Tidak ada, Pak. Jadwal hari ini sudah kosong," balas wanita itu dengan senyum menawan miliknya.Liam mengangguk singkat. Kembali berjalan lurus memasuki ruangan. Dia pikir, Celyn tidak akan mengikuti sampai ke dalam, tetapi dia salah."Ada sesuatu lagi?" tanya Liam, mengerutkan kening menatap sekretaris yang baru bekerja dengannya selama dua bulan sejak dia dipekerjakan oleh ayahnya dengan kedudukan sebagai CEO.Celyn menggigit bibir bawahnya. "Ehm, tidak. Hanya saja, apa Bapak tidak memiliki jadwal lain di luar kantor malam hari ini?" tanyanya setelah beberapa saat."Saya rasa tidak. Kenapa?" ba