Sepulang Adi dari kantor, Nic ikut makan malam bersama dengan kakek dan neneknya. Namun yang dilakukan oleh anak itu selama beberapa sekon ini hanya diam sambil memainkan sendok di tangannya. Sementara nasi di atas piring masih tersisa cukup banyak.
Tania yang menyadari keanehan yang dilakukan oleh Nic, menatap suaminya sambil memberikan tatapan seolah bertanya apa yang terjadi pada cucu mereka."Sayang, ada apa?" Adi akhirnya bertanya pada Nic.Sesaat, Nic langsung tersadar dari lamunan. "Tidak ada, Grandpa. Aku hanya sedang kesulitan memikirkan sesuatu."Tania dan Adi kembali saling melemparkan pandang. "Apa karena sekolahmu, hm? Daddy belum memutuskan ke mana kamu akan bersekolah?"Nic menggeleng pelan. "Bukan, Grandma. Aku sedang memikirkan nama wanita yang aku temui di toko mainan tadi. Aku ingat betul bahwa Dad memanggil namanya. Tapi aku lupa nama yang disebutkan oleh Dad."Tania seketika mengulum tawa. Ia kira apa yang me"Kenapa kau menjanjikan hal yang sangat sulit untuk dilakukan, Ma?"Tania menghela napas untuk ke sekian kalinya mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Adi. Wanita itu menoleh, menatap suaminya lekat."Apa Papa masih berharap Luna menjadi menantu kita?" Tania melayangkan tanya lain, alih-alih menjawab pertanyaan Adi barusan."Ma, Mama lupa apa yang terjadi di masa lalu? Bagaimana sikap kurang ajar Liam yang dengan teganya meninggalkan Luna di hari pernikahan?" Adi tak habis pikir. "Kita telah mempermalukan keluarga Luna bahkan hingga menyebabkan Mas Okta meninggal dunia. Apakah setelah semua itu, Mama masih yakin baik Luna maupun keluarganya akan menerima kita lagi? Terutama, menerima Liam.""Ya, aku tahu. Akan sangat sulit bagi Luna bisa membuka hati kembali pada Liam. Tapi, Pa, setidaknya kita harus mencoba.""Dan membuka luka lama Luna yang belum tentu sudah kering?" respons Adi segera.Bahu Tania merosot. Menyadari apa yang dikatakan oleh Adi ada benarnya. Namun sebagai seorang i
Luna sedikit tidak mengerti mengapa Nic melakukan hal itu, dan ada maksud apa di balik semuanya. Namun, seandainya Nic bukan anak dari Liam, mungkin akan dengan senang hati dia menyetujuinya. Nic itu, terlepas dari latar belakangnya, adalah anak yang sangat menggemaskan dan lucu. Sejujurnya, Luna juga menyukainya."Nic, maafkan aku. Tapi sepertinya aku tidak memiliki waktu," ucap Luna dengan nada sesal. Dia sudah memutuskan untuk tidak berhubungan apa pun lagi dengan Liam. Dan bagaimana pun, berhubungan dengan Nic juga sepertinya akan berbahaya bagi Luna."Kenapa?" Nada suara Nic berubah menjadi sedih. "Apa kau memiliki banyak pekerjaan seperti Dad? Jika ya, aku akan menunggu sampai kau punya waktu luang.""Tidak, Nic. Sepertinya beberapa waktu ke depan aku tidak akan punya waktu kosong," dusta Luna kembali.Terjadi hening selama beberapa sekon, sampai Luna mengira bahwa sambungan telepon telah terputus. Namun ternyata tidak. "Apakah karena Dad pernah menyakitimu?"Pertanyaan yang di
"Sekian rapat hari ini. Silakan kembali dengan aktivitas masing-masing."Liam menutup pertemuan dan meninggalkan ruang rapat begitu saja. Sementara sekretarisnya mengikuti dengan berkas-berkas di tangan."Tidak ada acara di luar setelah ini?" tanya Liam, menoleh sejenak pada bawahannya di belakang.Celyn, wanita dengan tubuh molek yang dibungkus dengan pakaian kantor ketat, menggeleng pelan. "Tidak ada, Pak. Jadwal hari ini sudah kosong," balas wanita itu dengan senyum menawan miliknya.Liam mengangguk singkat. Kembali berjalan lurus memasuki ruangan. Dia pikir, Celyn tidak akan mengikuti sampai ke dalam, tetapi dia salah."Ada sesuatu lagi?" tanya Liam, mengerutkan kening menatap sekretaris yang baru bekerja dengannya selama dua bulan sejak dia dipekerjakan oleh ayahnya dengan kedudukan sebagai CEO.Celyn menggigit bibir bawahnya. "Ehm, tidak. Hanya saja, apa Bapak tidak memiliki jadwal lain di luar kantor malam hari ini?" tanyanya setelah beberapa saat."Saya rasa tidak. Kenapa?" ba
"Nic, aku rasa pertanyaanmu tidak perlu aku jawab," balas Luna pada akhirnya.Nic mengangguk. "Benar. Ini semua karena Dad," simpul anak itu.Luna menghela napas. "Nic, apa pun itu yang terjadi di antara aku dan ayahmu, kau tidak harus kesal padanya.""Dengan atau tanpa masalah kalian pun, aku sudah kesal padanya," balas Nic dengan tampang agak jutek. "Dia selalu saja tidak mengerti apa yang aku rasakan. Dia tidak pernah mau menuruti permintaanku untuk memiliki ibu baru.""Mencari ibu baru bukan hal yang mudah. Lagipula, kenapa kau mencari ibu baru? Kalau boleh tahu, maaf, ke mana ibumu?" Luna menyuarakan tanya yang bergelut di benaknya sejak Nic secara tiba-tiba mengatakan dia ingin Luna menjadi ibunya.Nic mengangkat bahu. "Aku tidak akan mengatakan ke mana Mommy pada orang lain, kecuali orang itu akan menjadi mommy baruku," balas Nic lugas.Luna terdiam. Bukan karena ucapan Nic agak menyinggung dirinya. Akan tetapi karena sikap Nic barusan mirip sekali dengan Liam."Jadi, Luna, kau
Lima bulan setelah pelariannya dan Raisa ke Norwegia, Liam mendapat kabar bahwa ayahnya sakit keras. Liam langsung terbang untuk kembali ke negara asalnya, meninggalkan Raisa yang dalam keadaan hamil besar. Bagaimana pun, Liam masih peduli dan selalu khawatir dengan kesehatan kedua orang tuanya. Sepanjang jalan, tak henti Liam berdo'a semoga dia tidak berakhir menjadi anak durhaka yang tidak ada di detik-detik terakhir kehidupan ayahnya. Namun begitu tiba di rumah, dia mendapati bahwa keadaan ayahnya baik-baik saja. Jelas, Liam marah besar karenanya."Aku terbang ke sini meninggalkan Raisa yang tengah hamil besar sehingga selalu membutuhkan kehadiranku di sisinya. Tapi kalian tega membohongiku seperti ini, uh?!" pekik Liam tertahan."Liam," panggil Tania pelan. Menghampiri Liam dengan penuh perhitungan."Aku tidak habis pikir kenapa kalian sampai melakukan ini," pungkas Liam.Tania tersekat. "Tak habis pikir, katamu?" dia bertanya getir. "Kau mendadak kabur di hari pernikahan. Kau men
"Aku sudah merincikan semua hal yang harus tim kerjakan selama aku cuti. Selain itu, untuk sementara kau yang akan menghandle semua pekerjaanku. Anggap saja, kau menjadi Kepala Editor menggantikan aku selama aku cuti."Chika, editor kepercayaan Luna, mengangguk mantap menanggapi penjelasannya. Meski seharusnya Chika senang mendapat kesempatan untuk menjadi pemimpin, tapi tampaknya tidak seperti itu. Wajahnya sama sekali tidak tampak cerah sama sekali."Apa ada yang kau tidak mengerti, Chika? Atau sesuatu sedang mengacau pikiranmu?" delik Luna, menatap gadis itu."Tidak, Bu." Buru-buru Chika menggeleng. "Hanya saja, aku merasa tertekan.""Tertekan?""Ya. Aku seringkali kesal saat kau membebankan pekerjaan yang terkadang berada di luar nalar untuk dikerjakan secepatnya. Tapi membayangkan menjadi dirimu, meski hanya sementara, aku rasa itu lebih mengerikan.""Kenapa?""Madam Grace terkenal tak tersentuh. Tidak ada seorang pun yang berani terhadapnya. Ucapannya seolah adalah perintah pali
Giovanni Abraham, pria berkacamata, yang dulu berkulit dekil, serta memakai behel. Oh, tidak. Luna tidak memanggilnya Gio, melainkan Vanni. Astaga, dulu Luna seringkali mengganggu lelaki itu.Meski pintar dan selalu menjadi juara setiap kali mengikuti kompetensi Sains, tapi Giovanni adalah siswa yang cukup pendiam dan susah untuk bergaul. Satu-satunya teman yang dia miliki adalah Nadine, sepupunya sendiri. Nadine yang dulu terkenal tomboy dan sering berkelahi selalu melindungi Gio dari gangguan teman-temannya. Namun hanya satu orang yang tidak bisa Nadine hentikan: Luna."Kau bangga menjadi nomor satu sebagai pembully Gio, Luna?" tanya Nadine, menatap sahabatnya sambil geleng-geleng kepala."Lebih tepatnya bangga karena hanya aku satu-satunya orang yang diperbolehkan mengganggu Vanni, selain dirimu sendiri, tentunya."Gio malah tertawa mendengar percakapan Luna dan Nadine."Tapi kau tumbuh dengan baik, eh?" Luna memicing menatap Gio. Menatap lelaki itu dengan saksama dari atas hingga
Beberapa pasang baju, sepatu, tas, dan gaun sudah berhasil Luna kantongi setelah beberapa jam menghabiskan waktu di mall dengan Nadine dan Gio. Meski sebenarnya Luna masih ingin berjalan-jalan, sayangnya, Nadine sudah dijemput oleh lelaki yang menyandang gelar sebagai suaminya sejak lima tahun lalu. Bukan hanya Daniel, tetapi si kembar Will dan Bill juga ikut serta dengannya."Onty Luna!" pekik Bill, si periang. Langsung berlari memeluk kaki Luna saat turun dari mobil ayahnya. Sementara Will yang tenang hanya tersenyum kecil saat Luna menyapa."Kalian datang untuk menjemput Mama, eh?""Betul!" jawab Bill dengan lantang. "Papa juga akan membelikan kami es krim! Es krim cokelat dan stroberi, hore!"Luna berjongkok untuk mencubit pipi si Kembar dengan gemas. Lalu menoleh pada Daniel dan Nadine yang kini sudah saling merangkul dengan mesra."Bagaimana dengan Karina?" tanya Luna, bertanya mengenai putri bungsu Nadine dan Daniel yang baru berusia tujuh bulan."Dia di rumah bersama kakek nen