"Aku sudah merincikan semua hal yang harus tim kerjakan selama aku cuti. Selain itu, untuk sementara kau yang akan menghandle semua pekerjaanku. Anggap saja, kau menjadi Kepala Editor menggantikan aku selama aku cuti."Chika, editor kepercayaan Luna, mengangguk mantap menanggapi penjelasannya. Meski seharusnya Chika senang mendapat kesempatan untuk menjadi pemimpin, tapi tampaknya tidak seperti itu. Wajahnya sama sekali tidak tampak cerah sama sekali."Apa ada yang kau tidak mengerti, Chika? Atau sesuatu sedang mengacau pikiranmu?" delik Luna, menatap gadis itu."Tidak, Bu." Buru-buru Chika menggeleng. "Hanya saja, aku merasa tertekan.""Tertekan?""Ya. Aku seringkali kesal saat kau membebankan pekerjaan yang terkadang berada di luar nalar untuk dikerjakan secepatnya. Tapi membayangkan menjadi dirimu, meski hanya sementara, aku rasa itu lebih mengerikan.""Kenapa?""Madam Grace terkenal tak tersentuh. Tidak ada seorang pun yang berani terhadapnya. Ucapannya seolah adalah perintah pali
Giovanni Abraham, pria berkacamata, yang dulu berkulit dekil, serta memakai behel. Oh, tidak. Luna tidak memanggilnya Gio, melainkan Vanni. Astaga, dulu Luna seringkali mengganggu lelaki itu.Meski pintar dan selalu menjadi juara setiap kali mengikuti kompetensi Sains, tapi Giovanni adalah siswa yang cukup pendiam dan susah untuk bergaul. Satu-satunya teman yang dia miliki adalah Nadine, sepupunya sendiri. Nadine yang dulu terkenal tomboy dan sering berkelahi selalu melindungi Gio dari gangguan teman-temannya. Namun hanya satu orang yang tidak bisa Nadine hentikan: Luna."Kau bangga menjadi nomor satu sebagai pembully Gio, Luna?" tanya Nadine, menatap sahabatnya sambil geleng-geleng kepala."Lebih tepatnya bangga karena hanya aku satu-satunya orang yang diperbolehkan mengganggu Vanni, selain dirimu sendiri, tentunya."Gio malah tertawa mendengar percakapan Luna dan Nadine."Tapi kau tumbuh dengan baik, eh?" Luna memicing menatap Gio. Menatap lelaki itu dengan saksama dari atas hingga
Beberapa pasang baju, sepatu, tas, dan gaun sudah berhasil Luna kantongi setelah beberapa jam menghabiskan waktu di mall dengan Nadine dan Gio. Meski sebenarnya Luna masih ingin berjalan-jalan, sayangnya, Nadine sudah dijemput oleh lelaki yang menyandang gelar sebagai suaminya sejak lima tahun lalu. Bukan hanya Daniel, tetapi si kembar Will dan Bill juga ikut serta dengannya."Onty Luna!" pekik Bill, si periang. Langsung berlari memeluk kaki Luna saat turun dari mobil ayahnya. Sementara Will yang tenang hanya tersenyum kecil saat Luna menyapa."Kalian datang untuk menjemput Mama, eh?""Betul!" jawab Bill dengan lantang. "Papa juga akan membelikan kami es krim! Es krim cokelat dan stroberi, hore!"Luna berjongkok untuk mencubit pipi si Kembar dengan gemas. Lalu menoleh pada Daniel dan Nadine yang kini sudah saling merangkul dengan mesra."Bagaimana dengan Karina?" tanya Luna, bertanya mengenai putri bungsu Nadine dan Daniel yang baru berusia tujuh bulan."Dia di rumah bersama kakek nen
"Kak!"Luna berlari begitu tiba di rumah sakit dan menemukan Cale tengah berdiri bimbang di depan ruang rawat. Menurut kabar terbaru yang dia berikan, Bianca sudah di pindakhkan ke ruang perawatan beberapa saat lalu. Cale yang melihat Luna seketika menghela napas, tersenyum agak getir saat melihat kedatangan adiknya."Ada apa? Kenapa Kak Bianca masuk rumah sakit? Kandungannya baik-baik saja, kan?" kejar Luna dengan cemas.Cale menggeleng pelan. Dapat Luna lihat dengan jelas seberapa sedihnya lelaki itu akan situasi yang saat ini terjadi akan istri tercintanya."Kondisinya kurang baik. Dia masih belum siuman," jawab Cale."Kenapa bisa?" Luna melirik pada pintu ruangan yang tertutup, di mana Bianca berada."Tiba-tiba saja dia mengeluh sakit perut saat sedang makan. Tapi ini belum waktunya dia melahirkan. Sepertinya ada beberapa hal yang menyebabkan Bianca mengalami kontraksi ringan. Selain itu, penyakit asam lambungnya kumat, membuat keadaannya bertambah parah."Luna menahan napas selam
Ruangan dengan nuansa klasik menyambut Liam begitu dia masuk ke Muse, sebuah wine house yang sudah menjadi tempat langganan pria itu dan teman-temannya sejak mereka masih muda. Levin dan Calvin sudah berada di tempat mereka, di sebuah meja yang terletak di pojok ruangan."Dylan absen, eh?" tanya Liam begitu dia menghampiri kedua teman masa kecilnya itu.Levin mengangkat bahunya. Sebagai orang yang paling dekat dengan Dylan, dia yang selalu tahu keberadaan pria itu. Namun kali ini sepertinya tidak."Dia tidak memberi kabar. Tapi dapat aku pastikan, jika tidak sedang balapan di suatu tempat, dia pasti sedang menghabiskan waktu dengan seorang atau beberapa orang wanita cantik," tandas Levin santai.Calvin terkekeh karena jawaban yang diberikan oleh teman yang sesungguhnya masih sepupu Dylan tersebut."Kau pasti sudah tidak merasa aneh lagi dengan semua tingkah ajaib Dylan, kan?" Calvin tanya dengan jenaka.Levin mendesah pelan. "Jika aku bisa menukarnya dengan sebuah konsol game keluaran
Luna berakhir pulang dengan seorang bocah kecil di gendongannya beberapa waktu kemudian. Ya, Aurora tampaknya kelelahan menjaga ibunya yang masih harus beristirahat di ruang perawatan."Luna, maafkan aku. Kau tahu bahwa aku tidak bisa membiarkan Ola untuk tinggal di rumah sakit. Lebih tepatnya, pihak rumah sakit juga tidak akan mengizinkan. Selain itu, aku tidak bisa mempercayakan Ola pada siapa pun," pungkas Cale beberapa saat lalu sebelum Luna meninggalkan rumah sakit. "Belum lagi dengan kondisi Mami yang kurang baik di rumah, aku tidak bisa membiarkan mereka sendirian. Bisakah kau meluangkan waktumu untuk menjaga mereka?"Sebagai seorang adik yang patuh serta sebagai seorang anak yang tidak ingin durhaka, jelas, pada akhirnya Luna menyanggupi permintaan Cale. Dia sama sekali tidak keberatan, hanya saja, mungkin cuti panjang yang dia ambil pada akhirnya hanya berakhir menjadi pekerjaan lain. Pekerjaan yang lebih mulia.Aurora menggeliat di pangkuan Luna saat mereka masih berada di p
Pagi-pagi sekali, Luna sudah bangun dan menyiapkan sarapan untuknya beserta Vika dan Aurora. Meski agak lelah sebab dia merasa kesulitan tidur semalaman, tetapi wanita itu tetap memaksakan diri. Dia sudah terbiasa bersikap baik-baik saja meski seluruh tubuhnya lelah. Apalagi pekerjaan kantor yang menggunung senantiasa membuatnya harus tetap fit."Mami, Ola, ayo kita sarapan!" teriak wanita itu dari bawah.Roti yang dia panggang sudah masak, menguarkan aroma harum yang semerbak di meja makan. Meski menunya memang sederhana, tetapi itu lebih daripada cukup.Tak berapa lama kemudian, Vika tampak menuruni tangga dengan sang cucu di gendongannya. Aurora terlihat masih mengantuk, menyandarkan kepala di pundak Vika dengan malas."Loh! Ola, kok, digendong?" tanya Luna, menghampiri Vika dan mengambil alih Aurora ke dalam gendongannya. Tidak mau sampai ibunya yang sejujurnya kurang sehat kelelahan karena menggendong bocah gembil itu.Aurora mengucek matanya saat Luna mendaratkan ia di kursi meja
Luna duduk dengan agak gelisah tak jauh dari kelas Aurora berada. Melihat kehadiran Nic barusan seketika membuat wanita itu menjadi waspada. Ah, lagipula, mengapa takdir harus sebercanda ini sampai mempertemukannya kembali dengan bocah itu?Tidak. Luna bukannya tidak menyukai Nic. Nic adalah anak yang lucu dan pintar. Siapa pun pasti akan menyukainya. Hanya saja ... dia adalah putra Liam. Satu kenyataan yang membuat Luna sangat enggan untuk berurusan dengannya.Dua jam yang terasa bagai dua tahun akhirnya berlalu. Anak-anak berlarian keluar dari kelas dan langsung berhambur pada ibu mereka masing-masing. Tak terkecuali juga dengan Aurora yang keluar dengan raut wajah cerianya. Luna sudah siap untuk berdiri dan mengamit lengan gadis kecil itu untuk segera pergi. Namun kehadiran Nic di belakang Aurora, yang sedetik kemudian langsung mensejajarkan langkah mereka, membuat Luna langsung menahan napas."Onty!""Onty!"Aurora dan Nic memanggilnya secara bersamaan. Keduanya saling berpandanga