"Kak!"Luna berlari begitu tiba di rumah sakit dan menemukan Cale tengah berdiri bimbang di depan ruang rawat. Menurut kabar terbaru yang dia berikan, Bianca sudah di pindakhkan ke ruang perawatan beberapa saat lalu. Cale yang melihat Luna seketika menghela napas, tersenyum agak getir saat melihat kedatangan adiknya."Ada apa? Kenapa Kak Bianca masuk rumah sakit? Kandungannya baik-baik saja, kan?" kejar Luna dengan cemas.Cale menggeleng pelan. Dapat Luna lihat dengan jelas seberapa sedihnya lelaki itu akan situasi yang saat ini terjadi akan istri tercintanya."Kondisinya kurang baik. Dia masih belum siuman," jawab Cale."Kenapa bisa?" Luna melirik pada pintu ruangan yang tertutup, di mana Bianca berada."Tiba-tiba saja dia mengeluh sakit perut saat sedang makan. Tapi ini belum waktunya dia melahirkan. Sepertinya ada beberapa hal yang menyebabkan Bianca mengalami kontraksi ringan. Selain itu, penyakit asam lambungnya kumat, membuat keadaannya bertambah parah."Luna menahan napas selam
Ruangan dengan nuansa klasik menyambut Liam begitu dia masuk ke Muse, sebuah wine house yang sudah menjadi tempat langganan pria itu dan teman-temannya sejak mereka masih muda. Levin dan Calvin sudah berada di tempat mereka, di sebuah meja yang terletak di pojok ruangan."Dylan absen, eh?" tanya Liam begitu dia menghampiri kedua teman masa kecilnya itu.Levin mengangkat bahunya. Sebagai orang yang paling dekat dengan Dylan, dia yang selalu tahu keberadaan pria itu. Namun kali ini sepertinya tidak."Dia tidak memberi kabar. Tapi dapat aku pastikan, jika tidak sedang balapan di suatu tempat, dia pasti sedang menghabiskan waktu dengan seorang atau beberapa orang wanita cantik," tandas Levin santai.Calvin terkekeh karena jawaban yang diberikan oleh teman yang sesungguhnya masih sepupu Dylan tersebut."Kau pasti sudah tidak merasa aneh lagi dengan semua tingkah ajaib Dylan, kan?" Calvin tanya dengan jenaka.Levin mendesah pelan. "Jika aku bisa menukarnya dengan sebuah konsol game keluaran
Luna berakhir pulang dengan seorang bocah kecil di gendongannya beberapa waktu kemudian. Ya, Aurora tampaknya kelelahan menjaga ibunya yang masih harus beristirahat di ruang perawatan."Luna, maafkan aku. Kau tahu bahwa aku tidak bisa membiarkan Ola untuk tinggal di rumah sakit. Lebih tepatnya, pihak rumah sakit juga tidak akan mengizinkan. Selain itu, aku tidak bisa mempercayakan Ola pada siapa pun," pungkas Cale beberapa saat lalu sebelum Luna meninggalkan rumah sakit. "Belum lagi dengan kondisi Mami yang kurang baik di rumah, aku tidak bisa membiarkan mereka sendirian. Bisakah kau meluangkan waktumu untuk menjaga mereka?"Sebagai seorang adik yang patuh serta sebagai seorang anak yang tidak ingin durhaka, jelas, pada akhirnya Luna menyanggupi permintaan Cale. Dia sama sekali tidak keberatan, hanya saja, mungkin cuti panjang yang dia ambil pada akhirnya hanya berakhir menjadi pekerjaan lain. Pekerjaan yang lebih mulia.Aurora menggeliat di pangkuan Luna saat mereka masih berada di p
Pagi-pagi sekali, Luna sudah bangun dan menyiapkan sarapan untuknya beserta Vika dan Aurora. Meski agak lelah sebab dia merasa kesulitan tidur semalaman, tetapi wanita itu tetap memaksakan diri. Dia sudah terbiasa bersikap baik-baik saja meski seluruh tubuhnya lelah. Apalagi pekerjaan kantor yang menggunung senantiasa membuatnya harus tetap fit."Mami, Ola, ayo kita sarapan!" teriak wanita itu dari bawah.Roti yang dia panggang sudah masak, menguarkan aroma harum yang semerbak di meja makan. Meski menunya memang sederhana, tetapi itu lebih daripada cukup.Tak berapa lama kemudian, Vika tampak menuruni tangga dengan sang cucu di gendongannya. Aurora terlihat masih mengantuk, menyandarkan kepala di pundak Vika dengan malas."Loh! Ola, kok, digendong?" tanya Luna, menghampiri Vika dan mengambil alih Aurora ke dalam gendongannya. Tidak mau sampai ibunya yang sejujurnya kurang sehat kelelahan karena menggendong bocah gembil itu.Aurora mengucek matanya saat Luna mendaratkan ia di kursi meja
Luna duduk dengan agak gelisah tak jauh dari kelas Aurora berada. Melihat kehadiran Nic barusan seketika membuat wanita itu menjadi waspada. Ah, lagipula, mengapa takdir harus sebercanda ini sampai mempertemukannya kembali dengan bocah itu?Tidak. Luna bukannya tidak menyukai Nic. Nic adalah anak yang lucu dan pintar. Siapa pun pasti akan menyukainya. Hanya saja ... dia adalah putra Liam. Satu kenyataan yang membuat Luna sangat enggan untuk berurusan dengannya.Dua jam yang terasa bagai dua tahun akhirnya berlalu. Anak-anak berlarian keluar dari kelas dan langsung berhambur pada ibu mereka masing-masing. Tak terkecuali juga dengan Aurora yang keluar dengan raut wajah cerianya. Luna sudah siap untuk berdiri dan mengamit lengan gadis kecil itu untuk segera pergi. Namun kehadiran Nic di belakang Aurora, yang sedetik kemudian langsung mensejajarkan langkah mereka, membuat Luna langsung menahan napas."Onty!""Onty!"Aurora dan Nic memanggilnya secara bersamaan. Keduanya saling berpandanga
Liam memijit pangkal hidungnya. Rasa pening membuatnya tidak fokus. Ah, ini karena dia sudah lama tidak minum. Ketika akhirnya harus kembali menenggak minuman beralkohol semalam, performanya tidak sekuat dulu.Pria itu mendesah pelan. Diliriknya jam bulat yang bertengger di dinding kantor. Waktu baru saja menunjukkan pukul sepuluh pagi. Namun tiba-tiba saja, dia ingat mengenai Nic."Apakah anak itu sudah baik-baik saja sekarang?" Liam bermonolog.Mengambil benda pipih di dalam laci meja kantornya, Liam membuka ruang obrolan dengan Tania. Tadinya, dia berniat menanyakan kabar Nic. Namun, tiba-tiba saja terlintas di benaknya obrolan yang terjadi antara dia bersama dengan Calvin dan Levin semalam.Mungkin benar apa yang Levin katakan. Ada baiknya dia melakukan pendekatan dengan Nic. Dengan begitu, akan lebih mudah baginya memberikan penjelasan padanya.Membatalkan niatnya untuk menghubungi Tania, Liam memutuskan untuk pergi ke sekolah Nic. Sebab seharusnya kelas anak itu akan berakhir be
"Tidak apa-apa."Jawaban yang diberikan oleh Nic tentu bukan jawaban yang sesungguhnya, Luna mengetahui hal itu.Perempuan itu memutuskan untuk duduk di sisi Nic dan menatapnya dengan tatapan sungguh-sungguh. Tersenyum tipis, Luna menyentuh puncak kepala Nic dengan lembut."Kalau kau ingin menceritakan sesuatu padaku, ceritakan saja. Meski mungkin aku tidak bisa banyak membantu, setidaknya, dengan mengatakan apa yang kau rasa, kau akan merasa lebih baik-baik saja."Nic pada akhirnya mengangkat wajah dan menatap Luna. Kali ini, dapat Luna lihat permata anak itu berkaca-kaca."Aku iri pada Ola," aku Nic pada akhirnya. Dia kembali menunduk. "Hidupnya pasti menyenangkan. Dia memiliki orang tua yang menyayanginya dengan banyak. Dia juga memiliki aunty sepertimu. Hidupnya tidak memiliki kekurangan sama sekali.""Kata siapa tidak memiliki kekurangan sama sekali?" balas Luna. Membuat Nic kembali menatapnya. "Sesuatu mungkin terlihat indah karena kau tidak bisa melihatnya dengan baik. Kau hany
"Aunty Luna orang yang baik, kenapa kau kasar sekali padanya, Dad?"Liam tidak menggubris ucapan Nic. Bukannya apa, dia tidak ingin mereka berakhir bertengkar seperti sebelum-sebelumnya. Sementara niat Liam mendatanginya adalah untuk memperbaiki hubungan mereka. Lantas, bagaimana dia bisa kembali mengacaukannya dengan lebih parah?"Dad!" pekik Nic karena Liam sama sekali tidak menanggapinya.Liam menghela napas. Sejenak mengalihkan perhatian dari jalan hanya sekadar untuk menatap wajah putranya yang kini sudah merengut kesal."Nic, Dad saat ini sedang menyetir. Dad harus fokus. Sebab jika tidak, itu akan berbahaya untuk kita berdua," pungkas Liam, agar Nic berhenti terus membahas mengenai Luna. Bukannya dia tidak menyukai hal itu, hanya saja, itu tidak begitu nyaman untuknya.Nic mendesah kasar. "Kau menyebalkan sekali," gumamnya.Liam hanya meliriknya dengan singkat. Tidak ingin menimbulkan konflik lagi di antara mereka berdua. Sementara, benaknya perlahan berkelana pada wajah itu. W