Luna berakhir pulang dengan seorang bocah kecil di gendongannya beberapa waktu kemudian. Ya, Aurora tampaknya kelelahan menjaga ibunya yang masih harus beristirahat di ruang perawatan."Luna, maafkan aku. Kau tahu bahwa aku tidak bisa membiarkan Ola untuk tinggal di rumah sakit. Lebih tepatnya, pihak rumah sakit juga tidak akan mengizinkan. Selain itu, aku tidak bisa mempercayakan Ola pada siapa pun," pungkas Cale beberapa saat lalu sebelum Luna meninggalkan rumah sakit. "Belum lagi dengan kondisi Mami yang kurang baik di rumah, aku tidak bisa membiarkan mereka sendirian. Bisakah kau meluangkan waktumu untuk menjaga mereka?"Sebagai seorang adik yang patuh serta sebagai seorang anak yang tidak ingin durhaka, jelas, pada akhirnya Luna menyanggupi permintaan Cale. Dia sama sekali tidak keberatan, hanya saja, mungkin cuti panjang yang dia ambil pada akhirnya hanya berakhir menjadi pekerjaan lain. Pekerjaan yang lebih mulia.Aurora menggeliat di pangkuan Luna saat mereka masih berada di p
Pagi-pagi sekali, Luna sudah bangun dan menyiapkan sarapan untuknya beserta Vika dan Aurora. Meski agak lelah sebab dia merasa kesulitan tidur semalaman, tetapi wanita itu tetap memaksakan diri. Dia sudah terbiasa bersikap baik-baik saja meski seluruh tubuhnya lelah. Apalagi pekerjaan kantor yang menggunung senantiasa membuatnya harus tetap fit."Mami, Ola, ayo kita sarapan!" teriak wanita itu dari bawah.Roti yang dia panggang sudah masak, menguarkan aroma harum yang semerbak di meja makan. Meski menunya memang sederhana, tetapi itu lebih daripada cukup.Tak berapa lama kemudian, Vika tampak menuruni tangga dengan sang cucu di gendongannya. Aurora terlihat masih mengantuk, menyandarkan kepala di pundak Vika dengan malas."Loh! Ola, kok, digendong?" tanya Luna, menghampiri Vika dan mengambil alih Aurora ke dalam gendongannya. Tidak mau sampai ibunya yang sejujurnya kurang sehat kelelahan karena menggendong bocah gembil itu.Aurora mengucek matanya saat Luna mendaratkan ia di kursi meja
Luna duduk dengan agak gelisah tak jauh dari kelas Aurora berada. Melihat kehadiran Nic barusan seketika membuat wanita itu menjadi waspada. Ah, lagipula, mengapa takdir harus sebercanda ini sampai mempertemukannya kembali dengan bocah itu?Tidak. Luna bukannya tidak menyukai Nic. Nic adalah anak yang lucu dan pintar. Siapa pun pasti akan menyukainya. Hanya saja ... dia adalah putra Liam. Satu kenyataan yang membuat Luna sangat enggan untuk berurusan dengannya.Dua jam yang terasa bagai dua tahun akhirnya berlalu. Anak-anak berlarian keluar dari kelas dan langsung berhambur pada ibu mereka masing-masing. Tak terkecuali juga dengan Aurora yang keluar dengan raut wajah cerianya. Luna sudah siap untuk berdiri dan mengamit lengan gadis kecil itu untuk segera pergi. Namun kehadiran Nic di belakang Aurora, yang sedetik kemudian langsung mensejajarkan langkah mereka, membuat Luna langsung menahan napas."Onty!""Onty!"Aurora dan Nic memanggilnya secara bersamaan. Keduanya saling berpandanga
Liam memijit pangkal hidungnya. Rasa pening membuatnya tidak fokus. Ah, ini karena dia sudah lama tidak minum. Ketika akhirnya harus kembali menenggak minuman beralkohol semalam, performanya tidak sekuat dulu.Pria itu mendesah pelan. Diliriknya jam bulat yang bertengger di dinding kantor. Waktu baru saja menunjukkan pukul sepuluh pagi. Namun tiba-tiba saja, dia ingat mengenai Nic."Apakah anak itu sudah baik-baik saja sekarang?" Liam bermonolog.Mengambil benda pipih di dalam laci meja kantornya, Liam membuka ruang obrolan dengan Tania. Tadinya, dia berniat menanyakan kabar Nic. Namun, tiba-tiba saja terlintas di benaknya obrolan yang terjadi antara dia bersama dengan Calvin dan Levin semalam.Mungkin benar apa yang Levin katakan. Ada baiknya dia melakukan pendekatan dengan Nic. Dengan begitu, akan lebih mudah baginya memberikan penjelasan padanya.Membatalkan niatnya untuk menghubungi Tania, Liam memutuskan untuk pergi ke sekolah Nic. Sebab seharusnya kelas anak itu akan berakhir be
"Tidak apa-apa."Jawaban yang diberikan oleh Nic tentu bukan jawaban yang sesungguhnya, Luna mengetahui hal itu.Perempuan itu memutuskan untuk duduk di sisi Nic dan menatapnya dengan tatapan sungguh-sungguh. Tersenyum tipis, Luna menyentuh puncak kepala Nic dengan lembut."Kalau kau ingin menceritakan sesuatu padaku, ceritakan saja. Meski mungkin aku tidak bisa banyak membantu, setidaknya, dengan mengatakan apa yang kau rasa, kau akan merasa lebih baik-baik saja."Nic pada akhirnya mengangkat wajah dan menatap Luna. Kali ini, dapat Luna lihat permata anak itu berkaca-kaca."Aku iri pada Ola," aku Nic pada akhirnya. Dia kembali menunduk. "Hidupnya pasti menyenangkan. Dia memiliki orang tua yang menyayanginya dengan banyak. Dia juga memiliki aunty sepertimu. Hidupnya tidak memiliki kekurangan sama sekali.""Kata siapa tidak memiliki kekurangan sama sekali?" balas Luna. Membuat Nic kembali menatapnya. "Sesuatu mungkin terlihat indah karena kau tidak bisa melihatnya dengan baik. Kau hany
"Aunty Luna orang yang baik, kenapa kau kasar sekali padanya, Dad?"Liam tidak menggubris ucapan Nic. Bukannya apa, dia tidak ingin mereka berakhir bertengkar seperti sebelum-sebelumnya. Sementara niat Liam mendatanginya adalah untuk memperbaiki hubungan mereka. Lantas, bagaimana dia bisa kembali mengacaukannya dengan lebih parah?"Dad!" pekik Nic karena Liam sama sekali tidak menanggapinya.Liam menghela napas. Sejenak mengalihkan perhatian dari jalan hanya sekadar untuk menatap wajah putranya yang kini sudah merengut kesal."Nic, Dad saat ini sedang menyetir. Dad harus fokus. Sebab jika tidak, itu akan berbahaya untuk kita berdua," pungkas Liam, agar Nic berhenti terus membahas mengenai Luna. Bukannya dia tidak menyukai hal itu, hanya saja, itu tidak begitu nyaman untuknya.Nic mendesah kasar. "Kau menyebalkan sekali," gumamnya.Liam hanya meliriknya dengan singkat. Tidak ingin menimbulkan konflik lagi di antara mereka berdua. Sementara, benaknya perlahan berkelana pada wajah itu. W
"Dad, pokoknya kau harus meminta maaf pada Aunty Luna hari ini," gumam Nic, pagi-pagi sekali saat mereka tengah menyantap sarapan."Kenapa aku harus meminta maaf padanya?""Karena kemarin kau telah menyinggungnya, Dad, astaga!" Nic memutar bola matanya dengan sebal karena sifat datar ayahnya tersebut. Jika bisa, dia ingin mengutuk Liam menjadi batu saja. Tapi di buku yang dia baca, hanya seorang ibu yang bisa mengutuk anak menjadi batu, bukan anak mengutuk ayah.Liam tampak meliriknya sejenak, kemudian melanjutkan sarapan. "Ya, terserah nanti," dia jawab.Tentu saja jawaban tersebut membuat Nic semakin meradang. "Dasar lelaki dingin! Apa yang sulit dari meminta maaf? Bukankah kau sendiri yang selalu bilang padaku agar jangan melupakan kata maaf dan tolong?"Croissant di mulut Liam mendadak terasa begitu keras saat Nic berkata demikian. Sehingga menelannya pun terasa agak sulit sampai dia harus membantu mendorong makanan tersebut dengan meneguk air putih."Dad! Kau mendengarkan aku bic
"Sepertinya menyatukan mereka bukanlah hal yang mudah," adu Aurora pada Nic begitu memasuki kelas dan duduk di kursi yang berhadapan dengannya."Ya, aku tahu. Itu sebabnya sekarang aku sedang mencari cara untuk mendekatkan mereka berdua," ujar Nic seraya meletakkan sebelah tangannya di bawah dagu dengan kepala agak miring, tampak tengah berpikir keras. "Apa kau punya ide?" tanyanya kemudian.Aurora menggeleng singkat. "Aku akan memikirkannya."Kedua anak tersebut lantas duduk dengan keheningan. Saat beberapa teman lain mengajak bicara, mereka sama sekali tidak menggubris. Benar-benar sangat fokus berpikir, sampai tidak sadar bahwa guru sudah memasuki kelas."Ola, Nic, apa yang sedang kalian berdua lakukan?" tegur Sarah, wali kelas mereka, yang menyaksikan kedua bocah itu fokus dengan pikiran mereka sendiri sejak beberapa waktu lalu."Entah, Ma'am. Sejak tadi mereka berdua terlihat melamun," balas salah seorang teman kelas.Sarah mengernyit heran. "Benarkah?" tanyanya. Lalu berjalan men