Ruangan dengan nuansa klasik menyambut Liam begitu dia masuk ke Muse, sebuah wine house yang sudah menjadi tempat langganan pria itu dan teman-temannya sejak mereka masih muda. Levin dan Calvin sudah berada di tempat mereka, di sebuah meja yang terletak di pojok ruangan."Dylan absen, eh?" tanya Liam begitu dia menghampiri kedua teman masa kecilnya itu.Levin mengangkat bahunya. Sebagai orang yang paling dekat dengan Dylan, dia yang selalu tahu keberadaan pria itu. Namun kali ini sepertinya tidak."Dia tidak memberi kabar. Tapi dapat aku pastikan, jika tidak sedang balapan di suatu tempat, dia pasti sedang menghabiskan waktu dengan seorang atau beberapa orang wanita cantik," tandas Levin santai.Calvin terkekeh karena jawaban yang diberikan oleh teman yang sesungguhnya masih sepupu Dylan tersebut."Kau pasti sudah tidak merasa aneh lagi dengan semua tingkah ajaib Dylan, kan?" Calvin tanya dengan jenaka.Levin mendesah pelan. "Jika aku bisa menukarnya dengan sebuah konsol game keluaran
Luna berakhir pulang dengan seorang bocah kecil di gendongannya beberapa waktu kemudian. Ya, Aurora tampaknya kelelahan menjaga ibunya yang masih harus beristirahat di ruang perawatan."Luna, maafkan aku. Kau tahu bahwa aku tidak bisa membiarkan Ola untuk tinggal di rumah sakit. Lebih tepatnya, pihak rumah sakit juga tidak akan mengizinkan. Selain itu, aku tidak bisa mempercayakan Ola pada siapa pun," pungkas Cale beberapa saat lalu sebelum Luna meninggalkan rumah sakit. "Belum lagi dengan kondisi Mami yang kurang baik di rumah, aku tidak bisa membiarkan mereka sendirian. Bisakah kau meluangkan waktumu untuk menjaga mereka?"Sebagai seorang adik yang patuh serta sebagai seorang anak yang tidak ingin durhaka, jelas, pada akhirnya Luna menyanggupi permintaan Cale. Dia sama sekali tidak keberatan, hanya saja, mungkin cuti panjang yang dia ambil pada akhirnya hanya berakhir menjadi pekerjaan lain. Pekerjaan yang lebih mulia.Aurora menggeliat di pangkuan Luna saat mereka masih berada di p
Pagi-pagi sekali, Luna sudah bangun dan menyiapkan sarapan untuknya beserta Vika dan Aurora. Meski agak lelah sebab dia merasa kesulitan tidur semalaman, tetapi wanita itu tetap memaksakan diri. Dia sudah terbiasa bersikap baik-baik saja meski seluruh tubuhnya lelah. Apalagi pekerjaan kantor yang menggunung senantiasa membuatnya harus tetap fit."Mami, Ola, ayo kita sarapan!" teriak wanita itu dari bawah.Roti yang dia panggang sudah masak, menguarkan aroma harum yang semerbak di meja makan. Meski menunya memang sederhana, tetapi itu lebih daripada cukup.Tak berapa lama kemudian, Vika tampak menuruni tangga dengan sang cucu di gendongannya. Aurora terlihat masih mengantuk, menyandarkan kepala di pundak Vika dengan malas."Loh! Ola, kok, digendong?" tanya Luna, menghampiri Vika dan mengambil alih Aurora ke dalam gendongannya. Tidak mau sampai ibunya yang sejujurnya kurang sehat kelelahan karena menggendong bocah gembil itu.Aurora mengucek matanya saat Luna mendaratkan ia di kursi meja
Luna duduk dengan agak gelisah tak jauh dari kelas Aurora berada. Melihat kehadiran Nic barusan seketika membuat wanita itu menjadi waspada. Ah, lagipula, mengapa takdir harus sebercanda ini sampai mempertemukannya kembali dengan bocah itu?Tidak. Luna bukannya tidak menyukai Nic. Nic adalah anak yang lucu dan pintar. Siapa pun pasti akan menyukainya. Hanya saja ... dia adalah putra Liam. Satu kenyataan yang membuat Luna sangat enggan untuk berurusan dengannya.Dua jam yang terasa bagai dua tahun akhirnya berlalu. Anak-anak berlarian keluar dari kelas dan langsung berhambur pada ibu mereka masing-masing. Tak terkecuali juga dengan Aurora yang keluar dengan raut wajah cerianya. Luna sudah siap untuk berdiri dan mengamit lengan gadis kecil itu untuk segera pergi. Namun kehadiran Nic di belakang Aurora, yang sedetik kemudian langsung mensejajarkan langkah mereka, membuat Luna langsung menahan napas."Onty!""Onty!"Aurora dan Nic memanggilnya secara bersamaan. Keduanya saling berpandanga
Liam memijit pangkal hidungnya. Rasa pening membuatnya tidak fokus. Ah, ini karena dia sudah lama tidak minum. Ketika akhirnya harus kembali menenggak minuman beralkohol semalam, performanya tidak sekuat dulu.Pria itu mendesah pelan. Diliriknya jam bulat yang bertengger di dinding kantor. Waktu baru saja menunjukkan pukul sepuluh pagi. Namun tiba-tiba saja, dia ingat mengenai Nic."Apakah anak itu sudah baik-baik saja sekarang?" Liam bermonolog.Mengambil benda pipih di dalam laci meja kantornya, Liam membuka ruang obrolan dengan Tania. Tadinya, dia berniat menanyakan kabar Nic. Namun, tiba-tiba saja terlintas di benaknya obrolan yang terjadi antara dia bersama dengan Calvin dan Levin semalam.Mungkin benar apa yang Levin katakan. Ada baiknya dia melakukan pendekatan dengan Nic. Dengan begitu, akan lebih mudah baginya memberikan penjelasan padanya.Membatalkan niatnya untuk menghubungi Tania, Liam memutuskan untuk pergi ke sekolah Nic. Sebab seharusnya kelas anak itu akan berakhir be
"Tidak apa-apa."Jawaban yang diberikan oleh Nic tentu bukan jawaban yang sesungguhnya, Luna mengetahui hal itu.Perempuan itu memutuskan untuk duduk di sisi Nic dan menatapnya dengan tatapan sungguh-sungguh. Tersenyum tipis, Luna menyentuh puncak kepala Nic dengan lembut."Kalau kau ingin menceritakan sesuatu padaku, ceritakan saja. Meski mungkin aku tidak bisa banyak membantu, setidaknya, dengan mengatakan apa yang kau rasa, kau akan merasa lebih baik-baik saja."Nic pada akhirnya mengangkat wajah dan menatap Luna. Kali ini, dapat Luna lihat permata anak itu berkaca-kaca."Aku iri pada Ola," aku Nic pada akhirnya. Dia kembali menunduk. "Hidupnya pasti menyenangkan. Dia memiliki orang tua yang menyayanginya dengan banyak. Dia juga memiliki aunty sepertimu. Hidupnya tidak memiliki kekurangan sama sekali.""Kata siapa tidak memiliki kekurangan sama sekali?" balas Luna. Membuat Nic kembali menatapnya. "Sesuatu mungkin terlihat indah karena kau tidak bisa melihatnya dengan baik. Kau hany
"Aunty Luna orang yang baik, kenapa kau kasar sekali padanya, Dad?"Liam tidak menggubris ucapan Nic. Bukannya apa, dia tidak ingin mereka berakhir bertengkar seperti sebelum-sebelumnya. Sementara niat Liam mendatanginya adalah untuk memperbaiki hubungan mereka. Lantas, bagaimana dia bisa kembali mengacaukannya dengan lebih parah?"Dad!" pekik Nic karena Liam sama sekali tidak menanggapinya.Liam menghela napas. Sejenak mengalihkan perhatian dari jalan hanya sekadar untuk menatap wajah putranya yang kini sudah merengut kesal."Nic, Dad saat ini sedang menyetir. Dad harus fokus. Sebab jika tidak, itu akan berbahaya untuk kita berdua," pungkas Liam, agar Nic berhenti terus membahas mengenai Luna. Bukannya dia tidak menyukai hal itu, hanya saja, itu tidak begitu nyaman untuknya.Nic mendesah kasar. "Kau menyebalkan sekali," gumamnya.Liam hanya meliriknya dengan singkat. Tidak ingin menimbulkan konflik lagi di antara mereka berdua. Sementara, benaknya perlahan berkelana pada wajah itu. W
"Dad, pokoknya kau harus meminta maaf pada Aunty Luna hari ini," gumam Nic, pagi-pagi sekali saat mereka tengah menyantap sarapan."Kenapa aku harus meminta maaf padanya?""Karena kemarin kau telah menyinggungnya, Dad, astaga!" Nic memutar bola matanya dengan sebal karena sifat datar ayahnya tersebut. Jika bisa, dia ingin mengutuk Liam menjadi batu saja. Tapi di buku yang dia baca, hanya seorang ibu yang bisa mengutuk anak menjadi batu, bukan anak mengutuk ayah.Liam tampak meliriknya sejenak, kemudian melanjutkan sarapan. "Ya, terserah nanti," dia jawab.Tentu saja jawaban tersebut membuat Nic semakin meradang. "Dasar lelaki dingin! Apa yang sulit dari meminta maaf? Bukankah kau sendiri yang selalu bilang padaku agar jangan melupakan kata maaf dan tolong?"Croissant di mulut Liam mendadak terasa begitu keras saat Nic berkata demikian. Sehingga menelannya pun terasa agak sulit sampai dia harus membantu mendorong makanan tersebut dengan meneguk air putih."Dad! Kau mendengarkan aku bic
Pikiran Luna seketika kosong. Tiba-tiba saja, saat ini dia duduk di hadapan Liam dan Nic, dengan suka rela. Oh, padahal sebelumnya dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk mulai membatasi interaksi dengan mereka berdua. Namun yang terjadi malah sebaliknya.Sementara itu, Nic mengamati dua orang dewasa si sekitarnya. Jelas terlihat situasi yang canggung di antara mereka, dan Nic harus mencari cara untuk mencairkan kecanggungan tersebut."Aunty," panggil Nic.Luna menatap bocah tampan yang wajahnya amat menyerupai Liam. Benar-benar hampir keseluruhan wajahnya diwarisi anak tersebut dari ayahnya."Dad membelikan sesuatu untukmu," gumam Nic kembali dengan senyuman lebarnya. Anak tersebut lantas menoleh ke arah ayahnya, seolah memberikan kode kepada Liam. Mengerti apa yang Nic katakan, Liam segera mengeluarkan sesuatu dari dalam saku kemejanya. Sebuah kotak beludru yang bisa Luna tebak isinya."Nic yang mengusulkan aku memberikan ini padamu." Liam mengatakan hal tersebut seolah-olah
BAB 40 Firasat Cale tidak pernah salah. Setiap kali dia merasa sesuatu terjadi, maka memang benar ada yang terjadi. Namun sesungguhnya, Cale tidak berharap firasat buruknya menjadi kenyataan. Sejauh ini, dia hanya ingin hidupnya baik-baik saja. Cukup. Namun, takdir tak pernah sejalan dengan alur yang dia inginkan. Seperti saat ini, saat tiba-tiba dia duduk berhadapan dengan Levin di kafetaria rumah sakit. “Apa kabar, Cale?” Pertanyaan yang seharusnya tak pernah terucap dari bibir Levin terdengar, membuat Cale menghela napas pelan seraya membuang pandang ke mana pun, asal bukan pada wajah Levin di hadapannya. Levin lantas terkekeh sumbang beberapa lama kemudian. Mungkin sadar bahwa pertanyaan yang dia ajukan terlalu konyol meskipun hanya untuk basa-basi. “Aku tidak sengaja melihatmu di meja administrasi tadi, lalu mengikutimu. Tahu, kau pasti akan mengabaikan aku jika aku memanggilmu di jalan,” tandas Levin kembali. Matanya masih menatap Cale lurus, membaca ekspresi wajah lela
Pertunangan Luna dan Liam terjadi begitu saja beberapa waktu setelahnya. Cale berkali-kali bertanya pada Liam, bagaimana menurutnya mengenai pertunangan ini, dan berkali-kali pula Liam menjawab dengan mengambang. Cale tidak mendapat jawaban pasti, apakah ini benar atas dasar keputusannya dari hati yang tulus atau tidak. Cale sampai tidak tahu bagaimana harus menyikapi semuanya."Kau sudah resmi menjadi tunangan adikku sekarang," pungkas Cale saat itu. Sehari setelah acara pertunangan yang meriah selesai digelar.Liam, dengan wajah yang terlihat tidak senang tapi juga tidak sedih itu mengangguk ringan. "Pada akhirnya kau sudah memutuskan?" tanya Cale.Namun diamnya Liam justru membuat Cale agak cemas. Terlebih, saat menangkap ekspresi kebingungan yang mampir di wajahnya."Liam, kau tahu betul bahwa Luna adalah adik kesayanganku, bukan?" Cale menatapnya dengan serius.Liam menelan saliva dengan susah payah. Tampak sulit bagi lelaki itu untuk menjawab. Cale juga sedikitnya tahu bahwa bel
HALO! Di sini ada orang, kan? Coba absen dulu di bawah, biar aku tahu!:) Ehm. Kalian nemu cerita ini di mana? Terus, kenapa bisa suka dan ngikutin cerita MENIKAHI CEO DUDA sampai sejauh ini? Tokoh favoritnya siapa? Tokoh yang bikin kalian penasaran, ada? Atau tokoh yang bikin kalian sebel? O ya, aku mau tanya juga, sejauh ini ceritanya membingungkan kah? Terutama di bab sebelumnya? Itu kayak flashback, ya, tapi dituliskan tidak secara gamblang sebagai flashback. Atau apakah ceritanya bertele-tele? Tolong jawabannya supaya aku bisa berbenah dan bab selanjutnya akan lebih baik. Terima kasih! Masukan dari kalian semua sangat berarti buatku!^^ dan maaf sebelumnya karena aku pernah jarang update huhuhu.
Cale, Liam, dan Levin, berteman sejak mereka duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Membuat mereka dekat bak saudara. Apalagi orang tua mereka merupakan rekan bisnis. Terutama orang tua Liam dan Cale yang juga saling mengenal secara pribadi sejak lama. Saat kuliah, meski mereka memilih kampus dan jurusan berbeda, tidak lantas membuat hubungan ketiganya menjadi renggang. Mereka masih sering berkumpul, bahkan membawa teman dekat mereka yang lain, seperti Dylan dan Calvin.Calvin bilang, mereka itu adalah takdir. Cale yang dewasa, Liam yang cerdas, Levin yang dingin tetapi selalu dapat diandalkan, Dylan si biang onar, dan Calvin yang pelawak. Mereka ada untuk saling melengkapi satu sama lain. Meski hubungan ketiganya cukup erat, bukan berarti mereka tidak pernah bermasalah. Sesekali mereka bertengkar. Dari pertengkaran kecil hingga nyaris besar, semuanya pernah terjadi. Dan yang paling sering berseteru adalah Dylan dan Levin. Karakter mereka yang berbanding terbalik seratus delapan pu
Cale menatap anaknya yang kini tengah terlelap dengan Bianca di atas ranjang rumah sakit. Sementara dirinya baru saja menyelesaikan pekerjaan kantor yang dia kerjakan sambil menunggu istrinya. Lelaki itu merapikan meja lalu berjalan mendekat pada Aurora. Anak tersebut tampaknya begitu kepanasan, sehingga keringat membuat kening dan rambutnya basah. Ia yakin, begitu bangun nanti, rambut anak tersebut akan berubah sangat lepek dan dia harus membuatnya keramas.Cale tersenyum kecil. Meski agak lelah karena dia harus bekerja seraya mengurus Bianca, tetapi lelah tersebut tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan bisa menemani secara langsung setiap perkembangan kesehatan Bianca dan calon bayi di perut wanita itu."Selamat malam, Sayang." Cale mengecup kening Bianca dengan sayang. Siapa pun yang menyaksikan hal itu, pastinya akan bisa merasakan sebesar apa perasaan yang dipunya lelaki itu atas istrinya. "Lekas sembuh. Maaf, kau tidak bisa berbagi kesakitanmu denganku. Jika saja bisa, aku ing
Liam turun dari mobil dan menggendong Nic begitu mereka tiba di depan gedung apartemen. Sementara, Luna sudah Liam antarkan pulang. Tidak, lebih tepatnya, wanita itu memintanya menurunkan ia di perempatan jalan. Mungkin, saking tidak inginnya dia berurusan dengan Liam kembali, Luna sampai takut lelaki itu mengetahui tempat tinggalnya sekarang. "Dad!" teriakkan tiba-tiba yang dilakukan oleh Nic membuat Liam terkejut. "Dino-ku!" lanjut Nic keras. Liam segera menurunkan Nic dari gendongan. Seketika tercengang melihat bocah itu berlari kembali ke mobil sambil menggedor pintu kendaraan beroda empat tersebut, meminta Liam membukakn pintunya untuknya. "Tenang, Nic. Sabar!" pungkas Liam, lekas-lekas membuka kunci mobil. Nic segera masuk dan mengambil sebuah boneka dinosaurus yang baru pertama kali Liam lihat. Boneka dinosaurus yang sejak beberapa waktu lalu selalu berada di pelukan putra kecilnya. "Dino!" Nic bergumam senang sekaligus lega, sebab boneka yang dia pikir hilang tersebut rupa
"Shit!"Umpatan Antonio terdengar pelan. Pria itu menyeka ujung bibirnya yang berdarah, lantas mengangkat wajah dan tersenyum miring melihat Luna sudah berada di sisi Liam.Luna sendiri masih begitu terkejut dengan apa yang terjadi, sehingga ketika Liam mulai maju dan hendak memukul Antonio kembali, Luna lekas menahannya. Terlebih, saat anak buah Antonio tiba-tiba berdatangan dari setiap pintu.Hanya dalam hitungan detik, tubuh Liam kini berada di genggaman orang-orang suruhan Antonio. Pun dengan Luna."Berengsek! Lepaskan kami," geram Luna. Dia mengempaskan keras tangan besar yang memegangi lengannya. Namun biar bagaimana pun, tenaganya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan mereka.Tawa kecil Antonio terdengar. "Bukankah barusan kau sudah menyerahkan wanita ini padaku agar anakmu bebas? Lalu apa-apaan ini?" tanya lelaki itu.Liam berdecih dengan sepasang mata yang masih menatap Antonio dengan tajam. "Dan kau pikir aku akann menyerahkannya begitu saja? Pada pria bajingan sepertimu?
Luna dan Levin berdiri dengan harap-harap cemas. Pasalnya, Liam benar-benar sudah kehilangan akal. Bagaimana bisa dia masuk ke dalam kandang musuh tanpa perlindungan apa pun dan hanya seorang diri?"Dia akan baik-baik saja, bukan?" tanya Luna, melirik pada Levin dengan perasaan cemas yang dia sembunyikan. Namun bagaimana pun, Levin dapat melihat kegusaran yang dia rasa, lebih dari siapa pun."Tenang saja. Kita tidak datang sendirian. Aku sudah membawa beberapa orang untuk berjaga-jaga," tandas Levin. Meski begitu, dia juga merasakan kecemasan yang sama.Luna menghela napas dalam. Duduk di kap mobil sambil mengurut pangkal hidungnya yang terasa agak kaku. Perasaan khawatir yang teramat membuat wanita itu lelah. Hingga ...Bug! Brak!Sebuah kegaduhan terjadi. Dalam waktu sepersekian detik, Luna tiba-tiba saja sudah berada di genggaman dua lelaki berpakaian serba hitam dengan gelang naga di tangan mereka."Shit!" Levin mengumpat, sementara Luna menelan ludah sebab salah seorang pria meng