"Dad, pokoknya kau harus meminta maaf pada Aunty Luna hari ini," gumam Nic, pagi-pagi sekali saat mereka tengah menyantap sarapan."Kenapa aku harus meminta maaf padanya?""Karena kemarin kau telah menyinggungnya, Dad, astaga!" Nic memutar bola matanya dengan sebal karena sifat datar ayahnya tersebut. Jika bisa, dia ingin mengutuk Liam menjadi batu saja. Tapi di buku yang dia baca, hanya seorang ibu yang bisa mengutuk anak menjadi batu, bukan anak mengutuk ayah.Liam tampak meliriknya sejenak, kemudian melanjutkan sarapan. "Ya, terserah nanti," dia jawab.Tentu saja jawaban tersebut membuat Nic semakin meradang. "Dasar lelaki dingin! Apa yang sulit dari meminta maaf? Bukankah kau sendiri yang selalu bilang padaku agar jangan melupakan kata maaf dan tolong?"Croissant di mulut Liam mendadak terasa begitu keras saat Nic berkata demikian. Sehingga menelannya pun terasa agak sulit sampai dia harus membantu mendorong makanan tersebut dengan meneguk air putih."Dad! Kau mendengarkan aku bic
"Sepertinya menyatukan mereka bukanlah hal yang mudah," adu Aurora pada Nic begitu memasuki kelas dan duduk di kursi yang berhadapan dengannya."Ya, aku tahu. Itu sebabnya sekarang aku sedang mencari cara untuk mendekatkan mereka berdua," ujar Nic seraya meletakkan sebelah tangannya di bawah dagu dengan kepala agak miring, tampak tengah berpikir keras. "Apa kau punya ide?" tanyanya kemudian.Aurora menggeleng singkat. "Aku akan memikirkannya."Kedua anak tersebut lantas duduk dengan keheningan. Saat beberapa teman lain mengajak bicara, mereka sama sekali tidak menggubris. Benar-benar sangat fokus berpikir, sampai tidak sadar bahwa guru sudah memasuki kelas."Ola, Nic, apa yang sedang kalian berdua lakukan?" tegur Sarah, wali kelas mereka, yang menyaksikan kedua bocah itu fokus dengan pikiran mereka sendiri sejak beberapa waktu lalu."Entah, Ma'am. Sejak tadi mereka berdua terlihat melamun," balas salah seorang teman kelas.Sarah mengernyit heran. "Benarkah?" tanyanya. Lalu berjalan men
Liam menatap ponselnya yang beberapa saat lalu dia gunakan untuk berkomunikasi dengan Nic. Anak tersebut barusan mengatakan bahwa dia akan pergi ke mall dengan anak bernama Ola yang rupanya merupakan keponakan dari Luna. Liam sempat melarang bocah itu, tentu saja, tetapi bukan Nic namanya jika dia tidak keras kepala. Pada akhirnya, Liam tidak bisa lagi menolak keinginan bocah itu. Sebab jika dia melakukannya, hubungannya dengan Nic mungkin akan kembali renggang, dan dia tidak ingin itu terjadi, sebab rencananya sekarang adalah untuk melakukan pendekatan dengan Nic."Pak, Pak Calvin barusan menitipkan pesan saat kami berpapasan di koridor bahwa nanti malam dia ingin mengundang Anda untuk minum di tempat biasa."Liam meletakkan ponselnya dan menatap Celyn yang datang menghampiri. Pakaian wanita itu kini sudah lebih rapi dari sebelumnya. Meski sebenarnya tetap saja, tidak benar-benar tertutup."Baiklah," jawab Liam singkat.Liam tahu bahwasanya Calvin memiliki niat lain. Toh, dia bisa me
Luna dan anak-anak memutuskan untuk makan setelah mereka berbelanja. Jika dipikir-pikir lagi, saat ini dia tidak lagi terlihat sebagai seorang Kepala Editor di sebuah majalah fashion terkenal, melainkan terlihat seperti baby sitter. Ah, untung saja penampilannya masih terlihat okay meski dia membawa anak-anak!"Jangan bercanda saat sedang makan, Nic, Ola!" pungkas Luna saat mendapati kedua bocah yang dia bawa malah saling colek saus ke wajah. Jika saja kesabaran Luna setipis tissue dibagi dua, mungkin saja dia akan mengamuk sejak tadi.Nic cengengesan. "Jangan marah, Aunty. Kami hanya anak-anak," balas anak tersebut lugu.Luna hanya bisa menghela napas dalam mendengar jawaban Nic yang sebenarnya benar, tetapi entah mengapa dia agak kesal dibuatnya."Sudah menghubungi ayahmu untuk menjemput pulang?" tanya Luna kemudian.Nic mengangguk singkat. "Aku baru saja mengirimkan pesan padanya bahwa aku sedang berada di mall denganmu. Lalu aku akan pulang beberapa saat lagi.""Denganku?""Tidak."
Jantung Liam rasanya ingin berhenti berdetak sepanjang waktu berlalu. Kepalanya terasa seakan hendak pecah memikirkan perihal keberadaan anaknya. Namun, lelaki itu masih bisa berlagak tenang di hadapan Luna. Meski dalam hati dia ingin melampiaskan kemarahan pada wanita itu. Bagaimana bisa, bocah yang beberapa saat lalu menghubunginya, tiba-tiba sekarang menghilang begitu saja? Sementara, ada orang dewasa yang pergi bersamanya."Maafkan aku, aku lalai menjaga Nic."Luna berkata dengan suara bergetar ketika mereka berjalan mengekor langkah security menuju ruang keamanan untuk mengecek rekaman CCTV.Liam tidak menjawab pertanyaan Luna. Saat ini yang paling penting adalah Nic bisa ditemukan. Dia nyaris tidak peduli pada apa pun selain keselamatan anaknya.Security lekas memberitahu kehilangan yang terjadi pada petugas yang berjaga di ruang keamanan. Tanpa menunggu lama, petugas memutar mundur rekaman CCTV ke beberapa jam lalu saat Nic menghilang. Saat akhirnya Liam melihat dengan mata kep
Luna berjalan kembali menuju mobil Liam dan masuk ke dalamnya. Melihat Liam yang tidak pernah mengalihkan sejenak pun perhatiannya sejak tadi, Luna merotasikan bola mata sambil memasang sabuk pengaman."Aku tidak mengatakan apa pun pada Kak Cale tentangmu. Kau tidak perlu khawatir sampai harus mengawasiku seperti itu," gumamnya."Aku sama sekali tidak khawatir," pungkas Liam, menanggapi ucapan Luna. Pria itu lekas menghidupkan kembali mesin mobil dan melajukan kendaraan beroda empat tersebut meninggalkan kawasan rumah sakit.Tidak ada lagi percakapan apa pun setelah itu. Hanya terdengar deru suara mesin dan sesekali klakson yang Liam tekan saat menyiap kendaraan lain. Luna asyik dengan pikirannya sendiri, sementara Liam fokus pada setir.Setelah beberapa lama, Liam menghentikan mobilnya di depan sebuah ... bar?"Kenapa bar?" Luna menyuarakan isi kepalanya.Tidak mengindahkan pertanyaan Luna, Liam keluar dari mobil begitu saja. Bingung sekaligus kesal karena diabaikan, Luna akhirnya ik
"Shit!"Liam mengumpat saat teleponnya tiba-tiba berdering di tengah situasi yang darurat ini. Menyadari bahwa Liam sedang membutuhkan konsentrasi tingkat tinggi saat mengemudi, Luna menawarkan bantuan untuk mengangkat panggilan tersebut. Meski wanita itu hanya melayangkan tatapan padanya, untungnya Liam mengerti dan mengangguk. Lekas, Luna menggeser tombol hijau sehingga panggilan dari nomor asing tersebut kini tersambung."Sepertinya, kau sudah mencari putramu."Suara pria yang Luna kenal sebelumnya, terdengar di ujung telepon."Bajingan!" desis Liam pelan, tetapi tajam. "Jika terjadi lecet sedikit saja pada tubuh putraku, akan aku pastikan kau membusuk di neraka setelahnya, Antonio!"Antonio terkekeh pelan. Terdengar amat menyebalkan di telinga mereka."Berikan proyek pembangunan Lustrio Hotel padaku dan aku akan mengembalikan putra kesayanganmu ini dengan utuh," pungkas Antonio.Liam terkekeh sumbang. "Ada apa dengan Lustrio Hotel sampai kau begitu menginginkannya setengah mati?"
Luna dan Levin berdiri dengan harap-harap cemas. Pasalnya, Liam benar-benar sudah kehilangan akal. Bagaimana bisa dia masuk ke dalam kandang musuh tanpa perlindungan apa pun dan hanya seorang diri?"Dia akan baik-baik saja, bukan?" tanya Luna, melirik pada Levin dengan perasaan cemas yang dia sembunyikan. Namun bagaimana pun, Levin dapat melihat kegusaran yang dia rasa, lebih dari siapa pun."Tenang saja. Kita tidak datang sendirian. Aku sudah membawa beberapa orang untuk berjaga-jaga," tandas Levin. Meski begitu, dia juga merasakan kecemasan yang sama.Luna menghela napas dalam. Duduk di kap mobil sambil mengurut pangkal hidungnya yang terasa agak kaku. Perasaan khawatir yang teramat membuat wanita itu lelah. Hingga ...Bug! Brak!Sebuah kegaduhan terjadi. Dalam waktu sepersekian detik, Luna tiba-tiba saja sudah berada di genggaman dua lelaki berpakaian serba hitam dengan gelang naga di tangan mereka."Shit!" Levin mengumpat, sementara Luna menelan ludah sebab salah seorang pria meng