Luna sedikit tidak mengerti mengapa Nic melakukan hal itu, dan ada maksud apa di balik semuanya. Namun, seandainya Nic bukan anak dari Liam, mungkin akan dengan senang hati dia menyetujuinya. Nic itu, terlepas dari latar belakangnya, adalah anak yang sangat menggemaskan dan lucu. Sejujurnya, Luna juga menyukainya."Nic, maafkan aku. Tapi sepertinya aku tidak memiliki waktu," ucap Luna dengan nada sesal. Dia sudah memutuskan untuk tidak berhubungan apa pun lagi dengan Liam. Dan bagaimana pun, berhubungan dengan Nic juga sepertinya akan berbahaya bagi Luna."Kenapa?" Nada suara Nic berubah menjadi sedih. "Apa kau memiliki banyak pekerjaan seperti Dad? Jika ya, aku akan menunggu sampai kau punya waktu luang.""Tidak, Nic. Sepertinya beberapa waktu ke depan aku tidak akan punya waktu kosong," dusta Luna kembali.Terjadi hening selama beberapa sekon, sampai Luna mengira bahwa sambungan telepon telah terputus. Namun ternyata tidak. "Apakah karena Dad pernah menyakitimu?"Pertanyaan yang di
"Sekian rapat hari ini. Silakan kembali dengan aktivitas masing-masing."Liam menutup pertemuan dan meninggalkan ruang rapat begitu saja. Sementara sekretarisnya mengikuti dengan berkas-berkas di tangan."Tidak ada acara di luar setelah ini?" tanya Liam, menoleh sejenak pada bawahannya di belakang.Celyn, wanita dengan tubuh molek yang dibungkus dengan pakaian kantor ketat, menggeleng pelan. "Tidak ada, Pak. Jadwal hari ini sudah kosong," balas wanita itu dengan senyum menawan miliknya.Liam mengangguk singkat. Kembali berjalan lurus memasuki ruangan. Dia pikir, Celyn tidak akan mengikuti sampai ke dalam, tetapi dia salah."Ada sesuatu lagi?" tanya Liam, mengerutkan kening menatap sekretaris yang baru bekerja dengannya selama dua bulan sejak dia dipekerjakan oleh ayahnya dengan kedudukan sebagai CEO.Celyn menggigit bibir bawahnya. "Ehm, tidak. Hanya saja, apa Bapak tidak memiliki jadwal lain di luar kantor malam hari ini?" tanyanya setelah beberapa saat."Saya rasa tidak. Kenapa?" ba
"Nic, aku rasa pertanyaanmu tidak perlu aku jawab," balas Luna pada akhirnya.Nic mengangguk. "Benar. Ini semua karena Dad," simpul anak itu.Luna menghela napas. "Nic, apa pun itu yang terjadi di antara aku dan ayahmu, kau tidak harus kesal padanya.""Dengan atau tanpa masalah kalian pun, aku sudah kesal padanya," balas Nic dengan tampang agak jutek. "Dia selalu saja tidak mengerti apa yang aku rasakan. Dia tidak pernah mau menuruti permintaanku untuk memiliki ibu baru.""Mencari ibu baru bukan hal yang mudah. Lagipula, kenapa kau mencari ibu baru? Kalau boleh tahu, maaf, ke mana ibumu?" Luna menyuarakan tanya yang bergelut di benaknya sejak Nic secara tiba-tiba mengatakan dia ingin Luna menjadi ibunya.Nic mengangkat bahu. "Aku tidak akan mengatakan ke mana Mommy pada orang lain, kecuali orang itu akan menjadi mommy baruku," balas Nic lugas.Luna terdiam. Bukan karena ucapan Nic agak menyinggung dirinya. Akan tetapi karena sikap Nic barusan mirip sekali dengan Liam."Jadi, Luna, kau
Lima bulan setelah pelariannya dan Raisa ke Norwegia, Liam mendapat kabar bahwa ayahnya sakit keras. Liam langsung terbang untuk kembali ke negara asalnya, meninggalkan Raisa yang dalam keadaan hamil besar. Bagaimana pun, Liam masih peduli dan selalu khawatir dengan kesehatan kedua orang tuanya. Sepanjang jalan, tak henti Liam berdo'a semoga dia tidak berakhir menjadi anak durhaka yang tidak ada di detik-detik terakhir kehidupan ayahnya. Namun begitu tiba di rumah, dia mendapati bahwa keadaan ayahnya baik-baik saja. Jelas, Liam marah besar karenanya."Aku terbang ke sini meninggalkan Raisa yang tengah hamil besar sehingga selalu membutuhkan kehadiranku di sisinya. Tapi kalian tega membohongiku seperti ini, uh?!" pekik Liam tertahan."Liam," panggil Tania pelan. Menghampiri Liam dengan penuh perhitungan."Aku tidak habis pikir kenapa kalian sampai melakukan ini," pungkas Liam.Tania tersekat. "Tak habis pikir, katamu?" dia bertanya getir. "Kau mendadak kabur di hari pernikahan. Kau men
"Aku sudah merincikan semua hal yang harus tim kerjakan selama aku cuti. Selain itu, untuk sementara kau yang akan menghandle semua pekerjaanku. Anggap saja, kau menjadi Kepala Editor menggantikan aku selama aku cuti."Chika, editor kepercayaan Luna, mengangguk mantap menanggapi penjelasannya. Meski seharusnya Chika senang mendapat kesempatan untuk menjadi pemimpin, tapi tampaknya tidak seperti itu. Wajahnya sama sekali tidak tampak cerah sama sekali."Apa ada yang kau tidak mengerti, Chika? Atau sesuatu sedang mengacau pikiranmu?" delik Luna, menatap gadis itu."Tidak, Bu." Buru-buru Chika menggeleng. "Hanya saja, aku merasa tertekan.""Tertekan?""Ya. Aku seringkali kesal saat kau membebankan pekerjaan yang terkadang berada di luar nalar untuk dikerjakan secepatnya. Tapi membayangkan menjadi dirimu, meski hanya sementara, aku rasa itu lebih mengerikan.""Kenapa?""Madam Grace terkenal tak tersentuh. Tidak ada seorang pun yang berani terhadapnya. Ucapannya seolah adalah perintah pali
Giovanni Abraham, pria berkacamata, yang dulu berkulit dekil, serta memakai behel. Oh, tidak. Luna tidak memanggilnya Gio, melainkan Vanni. Astaga, dulu Luna seringkali mengganggu lelaki itu.Meski pintar dan selalu menjadi juara setiap kali mengikuti kompetensi Sains, tapi Giovanni adalah siswa yang cukup pendiam dan susah untuk bergaul. Satu-satunya teman yang dia miliki adalah Nadine, sepupunya sendiri. Nadine yang dulu terkenal tomboy dan sering berkelahi selalu melindungi Gio dari gangguan teman-temannya. Namun hanya satu orang yang tidak bisa Nadine hentikan: Luna."Kau bangga menjadi nomor satu sebagai pembully Gio, Luna?" tanya Nadine, menatap sahabatnya sambil geleng-geleng kepala."Lebih tepatnya bangga karena hanya aku satu-satunya orang yang diperbolehkan mengganggu Vanni, selain dirimu sendiri, tentunya."Gio malah tertawa mendengar percakapan Luna dan Nadine."Tapi kau tumbuh dengan baik, eh?" Luna memicing menatap Gio. Menatap lelaki itu dengan saksama dari atas hingga
Beberapa pasang baju, sepatu, tas, dan gaun sudah berhasil Luna kantongi setelah beberapa jam menghabiskan waktu di mall dengan Nadine dan Gio. Meski sebenarnya Luna masih ingin berjalan-jalan, sayangnya, Nadine sudah dijemput oleh lelaki yang menyandang gelar sebagai suaminya sejak lima tahun lalu. Bukan hanya Daniel, tetapi si kembar Will dan Bill juga ikut serta dengannya."Onty Luna!" pekik Bill, si periang. Langsung berlari memeluk kaki Luna saat turun dari mobil ayahnya. Sementara Will yang tenang hanya tersenyum kecil saat Luna menyapa."Kalian datang untuk menjemput Mama, eh?""Betul!" jawab Bill dengan lantang. "Papa juga akan membelikan kami es krim! Es krim cokelat dan stroberi, hore!"Luna berjongkok untuk mencubit pipi si Kembar dengan gemas. Lalu menoleh pada Daniel dan Nadine yang kini sudah saling merangkul dengan mesra."Bagaimana dengan Karina?" tanya Luna, bertanya mengenai putri bungsu Nadine dan Daniel yang baru berusia tujuh bulan."Dia di rumah bersama kakek nen
"Kak!"Luna berlari begitu tiba di rumah sakit dan menemukan Cale tengah berdiri bimbang di depan ruang rawat. Menurut kabar terbaru yang dia berikan, Bianca sudah di pindakhkan ke ruang perawatan beberapa saat lalu. Cale yang melihat Luna seketika menghela napas, tersenyum agak getir saat melihat kedatangan adiknya."Ada apa? Kenapa Kak Bianca masuk rumah sakit? Kandungannya baik-baik saja, kan?" kejar Luna dengan cemas.Cale menggeleng pelan. Dapat Luna lihat dengan jelas seberapa sedihnya lelaki itu akan situasi yang saat ini terjadi akan istri tercintanya."Kondisinya kurang baik. Dia masih belum siuman," jawab Cale."Kenapa bisa?" Luna melirik pada pintu ruangan yang tertutup, di mana Bianca berada."Tiba-tiba saja dia mengeluh sakit perut saat sedang makan. Tapi ini belum waktunya dia melahirkan. Sepertinya ada beberapa hal yang menyebabkan Bianca mengalami kontraksi ringan. Selain itu, penyakit asam lambungnya kumat, membuat keadaannya bertambah parah."Luna menahan napas selam