Liam mendapatkan delikan tajam begitu tiba di rumah orang tuanya. Meski enam tahun telah berlalu, dan Liam telah meminta maaf atas apa yang terjadi di masa lalu, tetapi hal itu tidak serta merta membuat orang tuanya--terutama Tania--melunak. Sikap wanita baya itu sangat berubah sejak kejadian Liam kabur dengan Raisa."Grandma, bisakah aku tinggal di sini selama beberapa waktu? Aku sedang malas bertemu dengan Dad," gumam Nic, langsung duduk di pangkuan Tania, neneknya, begitu mereka tiba di kediaman orang tua Liam.Tania mengusap puncak kepala Nic dengan sayang. Meski Nic lahir dari rahim wanita yang tidak pernah dia restui untuk bersanding dengan anaknya, tetapi memang Tania menyayangi anak itu sebagaimana dia menyayangi cucunya yang lain. Lagipula Nic memang tidak memiliki salah apa pun dalam tragedi yang mematahkan banyak hati tersebut."Daddy-mu membuat kesalahan?" tanya Tania, melirik singkat pada Liam yang hanya duduk diam di sofa.Wajah Nic kembali berubah kesal saat Tania berta
Luna harus terbangun di pagi hari yang mendung ini saat sebuah teriakkan demi teriakkan di depan pintu apartemennya terdengar. Padahal, ini akhir pekan dan dia ingin lebih banyak istirahat setelah pertemuannya dengan Liam begitu menguras emosinya kemarin malam. Tapi jika teriakkan itu sudah terdengar lebih dari dua kali, Luna rasa dia tidak akan bisa tertidur lagi, atau apartemennya akan diporakporandakan oleh si kecil cerewet yang selalu datang di waktu tidak tepat."AUNTY, PAKET!"Luna menggelengkan kepala sambil tersenyum kecil saat mendengar teriakkan Aurora, keponakannya, di depan pintu. Dia bisa membayangkan bagaimana ekspresi gadis kecil itu sekarang. Mungkin, mata bulatnya tengah dipenuhi oleh rasa antusias. Bibir kecilnya memanyun. Dengan kepala yang miring, menunggu ia membuka pintu.Tanpa menunggu lama lagi, Luna lekas membuka pintu dan menemukan seorang bocah perempuan dengan rambut panjang yang diikat dua dengan pita merah yang menghiasi. Sementara di sisi kanannya, sosok
Sepulang Adi dari kantor, Nic ikut makan malam bersama dengan kakek dan neneknya. Namun yang dilakukan oleh anak itu selama beberapa sekon ini hanya diam sambil memainkan sendok di tangannya. Sementara nasi di atas piring masih tersisa cukup banyak.Tania yang menyadari keanehan yang dilakukan oleh Nic, menatap suaminya sambil memberikan tatapan seolah bertanya apa yang terjadi pada cucu mereka."Sayang, ada apa?" Adi akhirnya bertanya pada Nic.Sesaat, Nic langsung tersadar dari lamunan. "Tidak ada, Grandpa. Aku hanya sedang kesulitan memikirkan sesuatu."Tania dan Adi kembali saling melemparkan pandang. "Apa karena sekolahmu, hm? Daddy belum memutuskan ke mana kamu akan bersekolah?"Nic menggeleng pelan. "Bukan, Grandma. Aku sedang memikirkan nama wanita yang aku temui di toko mainan tadi. Aku ingat betul bahwa Dad memanggil namanya. Tapi aku lupa nama yang disebutkan oleh Dad."Tania seketika mengulum tawa. Ia kira apa yang me
"Kenapa kau menjanjikan hal yang sangat sulit untuk dilakukan, Ma?"Tania menghela napas untuk ke sekian kalinya mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Adi. Wanita itu menoleh, menatap suaminya lekat."Apa Papa masih berharap Luna menjadi menantu kita?" Tania melayangkan tanya lain, alih-alih menjawab pertanyaan Adi barusan."Ma, Mama lupa apa yang terjadi di masa lalu? Bagaimana sikap kurang ajar Liam yang dengan teganya meninggalkan Luna di hari pernikahan?" Adi tak habis pikir. "Kita telah mempermalukan keluarga Luna bahkan hingga menyebabkan Mas Okta meninggal dunia. Apakah setelah semua itu, Mama masih yakin baik Luna maupun keluarganya akan menerima kita lagi? Terutama, menerima Liam.""Ya, aku tahu. Akan sangat sulit bagi Luna bisa membuka hati kembali pada Liam. Tapi, Pa, setidaknya kita harus mencoba.""Dan membuka luka lama Luna yang belum tentu sudah kering?" respons Adi segera.Bahu Tania merosot. Menyadari apa yang dikatakan oleh Adi ada benarnya. Namun sebagai seorang i
Luna sedikit tidak mengerti mengapa Nic melakukan hal itu, dan ada maksud apa di balik semuanya. Namun, seandainya Nic bukan anak dari Liam, mungkin akan dengan senang hati dia menyetujuinya. Nic itu, terlepas dari latar belakangnya, adalah anak yang sangat menggemaskan dan lucu. Sejujurnya, Luna juga menyukainya."Nic, maafkan aku. Tapi sepertinya aku tidak memiliki waktu," ucap Luna dengan nada sesal. Dia sudah memutuskan untuk tidak berhubungan apa pun lagi dengan Liam. Dan bagaimana pun, berhubungan dengan Nic juga sepertinya akan berbahaya bagi Luna."Kenapa?" Nada suara Nic berubah menjadi sedih. "Apa kau memiliki banyak pekerjaan seperti Dad? Jika ya, aku akan menunggu sampai kau punya waktu luang.""Tidak, Nic. Sepertinya beberapa waktu ke depan aku tidak akan punya waktu kosong," dusta Luna kembali.Terjadi hening selama beberapa sekon, sampai Luna mengira bahwa sambungan telepon telah terputus. Namun ternyata tidak. "Apakah karena Dad pernah menyakitimu?"Pertanyaan yang di
"Sekian rapat hari ini. Silakan kembali dengan aktivitas masing-masing."Liam menutup pertemuan dan meninggalkan ruang rapat begitu saja. Sementara sekretarisnya mengikuti dengan berkas-berkas di tangan."Tidak ada acara di luar setelah ini?" tanya Liam, menoleh sejenak pada bawahannya di belakang.Celyn, wanita dengan tubuh molek yang dibungkus dengan pakaian kantor ketat, menggeleng pelan. "Tidak ada, Pak. Jadwal hari ini sudah kosong," balas wanita itu dengan senyum menawan miliknya.Liam mengangguk singkat. Kembali berjalan lurus memasuki ruangan. Dia pikir, Celyn tidak akan mengikuti sampai ke dalam, tetapi dia salah."Ada sesuatu lagi?" tanya Liam, mengerutkan kening menatap sekretaris yang baru bekerja dengannya selama dua bulan sejak dia dipekerjakan oleh ayahnya dengan kedudukan sebagai CEO.Celyn menggigit bibir bawahnya. "Ehm, tidak. Hanya saja, apa Bapak tidak memiliki jadwal lain di luar kantor malam hari ini?" tanyanya setelah beberapa saat."Saya rasa tidak. Kenapa?" ba
"Nic, aku rasa pertanyaanmu tidak perlu aku jawab," balas Luna pada akhirnya.Nic mengangguk. "Benar. Ini semua karena Dad," simpul anak itu.Luna menghela napas. "Nic, apa pun itu yang terjadi di antara aku dan ayahmu, kau tidak harus kesal padanya.""Dengan atau tanpa masalah kalian pun, aku sudah kesal padanya," balas Nic dengan tampang agak jutek. "Dia selalu saja tidak mengerti apa yang aku rasakan. Dia tidak pernah mau menuruti permintaanku untuk memiliki ibu baru.""Mencari ibu baru bukan hal yang mudah. Lagipula, kenapa kau mencari ibu baru? Kalau boleh tahu, maaf, ke mana ibumu?" Luna menyuarakan tanya yang bergelut di benaknya sejak Nic secara tiba-tiba mengatakan dia ingin Luna menjadi ibunya.Nic mengangkat bahu. "Aku tidak akan mengatakan ke mana Mommy pada orang lain, kecuali orang itu akan menjadi mommy baruku," balas Nic lugas.Luna terdiam. Bukan karena ucapan Nic agak menyinggung dirinya. Akan tetapi karena sikap Nic barusan mirip sekali dengan Liam."Jadi, Luna, kau
Lima bulan setelah pelariannya dan Raisa ke Norwegia, Liam mendapat kabar bahwa ayahnya sakit keras. Liam langsung terbang untuk kembali ke negara asalnya, meninggalkan Raisa yang dalam keadaan hamil besar. Bagaimana pun, Liam masih peduli dan selalu khawatir dengan kesehatan kedua orang tuanya. Sepanjang jalan, tak henti Liam berdo'a semoga dia tidak berakhir menjadi anak durhaka yang tidak ada di detik-detik terakhir kehidupan ayahnya. Namun begitu tiba di rumah, dia mendapati bahwa keadaan ayahnya baik-baik saja. Jelas, Liam marah besar karenanya."Aku terbang ke sini meninggalkan Raisa yang tengah hamil besar sehingga selalu membutuhkan kehadiranku di sisinya. Tapi kalian tega membohongiku seperti ini, uh?!" pekik Liam tertahan."Liam," panggil Tania pelan. Menghampiri Liam dengan penuh perhitungan."Aku tidak habis pikir kenapa kalian sampai melakukan ini," pungkas Liam.Tania tersekat. "Tak habis pikir, katamu?" dia bertanya getir. "Kau mendadak kabur di hari pernikahan. Kau men