Bukan hanya bagi wanita, tetapi bagi seorang pria pun, ketika mereka telah mempunyai anak, waktu dan kehidupannya bukan lagi milik mereka sendiri. Terlebih bagi single parents seperti Liam. Dia dituntut untuk menjadi seorang ayah dan juga ibu di saat yang sama. Dan hal itu, terkadang melelahkan.
"Levin dan Dylan akan pergi ke karaoke. Kau akan ikut?"
Pria berlesung pipit membuka pintu ruangan Liam dengan kepalanya yang menyembul, sementara tubuhnya masih tersembunyi di balik pintu.
Liam hendak menjawab, tetapi jerit ponsel di depannya membuat lelaki berusia pertengahan angka tiga puluhan itu seketika mengurungkan niat. Pundaknya lekas merosot tatkala melihat kontak yang tertera di layar. Sambil menggeser tombol hijau, pria itu menggeleng pada temannya.
"Aku rasa tidak bisa. Aku mempunyai seorang pawang di rumah," balas Liam, meletakkan ponselnya di depan telinga.
"DAD!" Dan suara lantang di seberang telepon seketika membuat Liam menjauhkan sejenak benda pipih itu dari telinganya. "Kapan kau akan pulang?!" teriakkan kedua kembali terdengar, tak lebih pelan daripada sebelumnya.
"Kau yakin, eh?" Calvin, rekan kerja sekaligus teman baiknya sejak lama, memicingkan mata pada Liam.
Liam mengangguk dengan mantap. "Ya, pergilah tanpaku," jawabnya sambil membuat gestur mengusir. Jelas Calvin tahu alasan mengapa pria itu bersikap demikian. Jadi, dia tidak bertanya lebih banyak dan lekas menutup pintu.
"Aku akan pulang sebentar lagi. Kau sudah makan malam?"
"Tidak. Aku ingin makan malam di luar denganmu, Dad," jawab suara bocah di seberang telepon dengan nada yang terlalu riang sampai membuat Liam merasa waspada dibuatnya.
"Tumben sekali. Kau tidak sedang merencanakan sesuatu, bukan?" Liam menyuarakan tanya yang terbersit di benak.
"Makanan di rumah memang sehat seperti katamu, Dad. Tapi ada kalanya aku ingin menikmati makanan enak. Bisakah kau melunak padaku sekali saja?"
Liam berusaha keras untuk menahan tawa. "Kau tahu, Nic, ucapanmu barusan tidak seperti bocah berusia lima tahun, tapi seperti ucapan pria berusia lima puluh tahun!" decak Liam, menggeleng pelan. "Lagipula, sekali? Hei, aku seringkali melunak padamu!"
Nic, balita yang menurunkan hampir seratus persen fisik dirinya, terdengar berdecak dramatis. "Sudahlah. Jadi bagaimana? Bisa pulang secepatnya, Dad?"
Liam mengulum senyum. "Ya, aku pulang sekarang. Silakan bersiap-siap agar kita bisa langsung berangkat, Tuan Muda," balas Liam jenaka.
Nic seketika bersorak riang lalu menutup telepon dengan sepihak. Liam membayangkan, anak itu pasti sedang melompat-lompat gembira sekarang. Mandi, memberantakan lemari untuk mencari baju yang keren, dan menata rambutnya lebih lama daripada saat dia membersihkan diri. Ck. Terkadang, Nic agak mirip dengannya.
***
Di sebuah rumah bergaya Eropa, di dalam kamar luas dengan segala macam mainan dan pakaian yang berserakan di sana, seorang bocah tengah berdiri di depan meja rias. Tanpa baju, hanya mengenakan handuk putih yang melilit di pinggang, bocah itu bergaya narsis di depan cermin.
"Waw! Anak tampan ini akan menemukan Mommy baru hari ini!" pungkasnya sambil mengerling pada bayangan dirinya sendiri di cermin.
Dia menurunkan handuk di tubuhnya, kemudian memakai kemeja dan celana jeans yang sudah dia pilih dari puluhan baju di lemarinya. Sesekali, anak itu bersenandung gembira.
"Aku yakin tidak akan ada orang yang tidak terpesona olehku." Sekali lagi anak itu bergumam percaya diri.
Setelah mengenakan pakaian, dia kembali berdiri di depan meja rias untuk menyisir rambutnya. Cukup lama, dia menata rambut agar tampak sangat keren. Dia memiliki rencana yang menghebohkan hari ini sehingga pikirnya dia harus terlihat sangat tampan.
"Rambutku terlalu pirang. Ini terlalu mencolok, dan aku terlihat terlalu keren karenanya," komentar Nic, menggeleng-geleng pelan.
Suara mesin mobil yang berhenti di depan membuat Nic menyudahi acara menata gaya. Buru-buru anak itu melompat dan berlarian cepat keluar, menyambut kedatangan Sang Ayah."Dad! Apa kita akan berangkat sekarang?"
"Hei. Anak Daddy sudah rapi begini," komentar Liam, hendak meraih Nic ke dalam gendongan, tapi anak itu langsung menggeleng tegas, membuat Liam menghentikan gerakan. "Astaga, aku selalu lupa kalau kau sudah besar."
"Ya Tuhan, mungkin kau sudah tua, Dad. Akhir-akhir ini kau selalu melupakan banyak hal."
Liam speechless mendengar ucapan Nic. Jika saja Nic bukan anaknya, Liam mungkin akan menempeleng anak itu dan mengusirnya dari rumah. Astaga, mulutnya benar-benar tidak pernah disaring jika mengomentari apa pun tentangnya. Entah dari mana sifat menyebalkan itu Nic dapatkan.
Tidak mengambil pusing ucapan Nic lebih jauh, Liam lekas membukakan pintu mobil dan membiarkan anaknya masuk.
"Pasang sabuk pengamanmu, Boy."
Patuh dengan apa yang Liam katakan, Nic langsung memakai sabuk pengamannya sendiri.
"Great job!" puji Liam sambil mengusak puncak kepala Nic dengan bangga. Liam akui, anak itu memang bisa melakukan banyak hal sendiri. Selain karena didikannya seperti itu, Nic memang sejak awal sudah terlahir menjadi anak yang pintar.
"Let's go, Dad!" pekik Nic penuh semangat, membuat lelah Liam seketika ikut berganti dengan kegembiraan tatkala melihatnya begitu antusias.
Namun setengah jam kemudian,
"Dad, bisakah kita mampir sebentar di toko mainan?" Nic, dengan tatapan polos yang menghipnotis Liam, berkata demikian.
Liam melirik bocah tersebut. "Apa lagi yang ingin kau beli? Bukankah sudah banyak mainan di rumah?"
"Hanya ingin membeli mainan baru saja. Aku pikir, semua mainan di rumah sudah tua."
"Nak, jika kau lupa, belum sampai satu bulan sejak kau merengek padaku untuk membeli robot Ultraman yang bisa bergerak dan berbicara sendiri."
Nic menggeleng. "Satu bulan itu lama, Dad. Ayolah. Aku berjanji hanya akan mengambil satu mainan, lalu setelahnya kita pergi ke restoran untuk makan. Bagaimana?"
Percuma menolak apa yang dikatakan oleh Nic. Sebab Liam yakin, anak itu akan melakukan berbagai cara untuk membujuk agar dia bisa memenuhi keinginannya. Sama seperti dirinya, Nic sangat picik.
"Baiklah," keluh Liam pada akhirnya. Lalu sorakkan gembira Nic terdengar.
Namun tidak seperti yang Liam pikirkan, sesungguhnya Nic memiliki sebuah misi besar malam hari ini. Misi yang akan berpengaruh untuk kehidupannya kelak. Nic tersenyum samar.
"Apa yang akan kau beli?" tanya Liam sambil menuntun anaknya.
Nic tidak menjawab. Matanya sibuk berjelajah mencari sesuatu yang paling dia inginkan beberapa waktu belakangan ini.
"Nic," panggil Liam karena anak itu tidak menjawab.
Nic lantas mengangkat wajahnya dan menatap Liam. "Aku ingin mencari mommy baru," jawabnya, berhasil membuat Liam membulatkan mata tak percaya.
"Nic, jangan bermain-main! Sudah aku bilang sebelumnya, jangan meminta hal aneh-aneh lagi!" peringat Liam. Sebab beberapa hari sebelumnya pun, anak itu pernah mengatakan hal yang sama, dan Liam langsung memberinya pengertian untuk tidak meminta hal yang tidak bisa dia wujudkan.
"Aku tidak meminta hal aneh. Aku hanya meminta mommy baru, Dad! Mommy yang mirip ibu peri."
"Tidak ada ibu peri di dunia ini, Nic. Bisakah kau berhenti menonton film tidak masuk akal yang membuatmu berpikiran seperti ini?" Liam sedikit kesal setiap kali Nic membahas soal ibu baru untuknya.
"Ibu yang jahat seperti penyihir saja ada, pasti ibu yang mirip dengan ibu peri juga ada. Aku yakin itu!" pungkas Nic, masih pada pendiriannya.
Anak itu lalu berlari. Meninggalkan Liam dengan langkah-langkah kecil tetapi cepatnya. Liam tentu saja berusaha mengejar. Namun gerakan Nic begitu gesit. Mungkin Liam harus memikirkan kemungkinan untuk menjadikan Nic sebagai atlet di kemudian hari. Astaga.
Setelah mencari di beberapa sudut toko dengan perasaan agak kesal, Liam akhirnya menemukan anak itu. Bersama dengan langkah besar yang sedikit dientakkan, Liam berjalan menghampiri bocah tersebut.
"Nic!" panggil Liam lantang.
Nic yang tengah berbicara dengan seorang wanita yang Liam tidak perhatikan baik-baik, menoleh dan menatapnya. Senyum anak itu begitu lebar. Lalu tiba-tiba saja dia mengatakan hal yang membuat Liam tak habis pikir.
"Dad! Aku sudah menemukan Mommy baru!" Nic berteriak gembira padanya.
Liam benar-benar kesal dan malu sehingga berniat untuk menggendong Nic lalu meminta maaf pada wanita asing yang anaknya temui. Namun, gerakannya terhenti saat dia menatap wajah itu. Wajah yang dulu begitu familiar untuknya.
Luna. Adik kecil sekaligus wanita yang dia campakkan di hari pernikahan.
***
"Sudah aku bilang, Dad, ibu peri itu pasti ada!" tandas Nic dengan cengiran lebar. "Bagaimana? Dia cantik, kan? Dan dia juga menyukaiku."Baik Luna maupun Liam sama-sama masih terdiam dengan kelu. Keduanya terlalu terkejut, rupanya dunia sesempit ini, sehingga mereka kembali dipertemukan, dalam momen ini, momen yang tak pernah terduga sebelumnya.Luna berdiri dari posisi jongkoknya barusan. Menatap Nic yang barusan memanggil Liam dengan panggilan Dad, perempuan itu seketika yakin bahwa Nic adalah anak dari lelaki itu. Lelaki yang sampai detik ini tidak ingin dia sebut namanya. Pantas saja ketika pertama kali melihat Nic dia merasa tidak asing. Rupanya, Nic menuruni visual yang sejak remaja dia puja.Begitu sadar dari keterkejutannya, lekas Luna berjalan meninggalkan mereka berdua. Jangankan untuk terlibat dengan Liam lagi, bertemu dengannya saja tidak pernah ada dalam list rencana sepanjang hidupnya. Namun,"Luna!"Suara panggilan beserta tubuh tinggi yang menghadang langkahnya membua
Liam mendapatkan delikan tajam begitu tiba di rumah orang tuanya. Meski enam tahun telah berlalu, dan Liam telah meminta maaf atas apa yang terjadi di masa lalu, tetapi hal itu tidak serta merta membuat orang tuanya--terutama Tania--melunak. Sikap wanita baya itu sangat berubah sejak kejadian Liam kabur dengan Raisa."Grandma, bisakah aku tinggal di sini selama beberapa waktu? Aku sedang malas bertemu dengan Dad," gumam Nic, langsung duduk di pangkuan Tania, neneknya, begitu mereka tiba di kediaman orang tua Liam.Tania mengusap puncak kepala Nic dengan sayang. Meski Nic lahir dari rahim wanita yang tidak pernah dia restui untuk bersanding dengan anaknya, tetapi memang Tania menyayangi anak itu sebagaimana dia menyayangi cucunya yang lain. Lagipula Nic memang tidak memiliki salah apa pun dalam tragedi yang mematahkan banyak hati tersebut."Daddy-mu membuat kesalahan?" tanya Tania, melirik singkat pada Liam yang hanya duduk diam di sofa.Wajah Nic kembali berubah kesal saat Tania berta
Luna harus terbangun di pagi hari yang mendung ini saat sebuah teriakkan demi teriakkan di depan pintu apartemennya terdengar. Padahal, ini akhir pekan dan dia ingin lebih banyak istirahat setelah pertemuannya dengan Liam begitu menguras emosinya kemarin malam. Tapi jika teriakkan itu sudah terdengar lebih dari dua kali, Luna rasa dia tidak akan bisa tertidur lagi, atau apartemennya akan diporakporandakan oleh si kecil cerewet yang selalu datang di waktu tidak tepat."AUNTY, PAKET!"Luna menggelengkan kepala sambil tersenyum kecil saat mendengar teriakkan Aurora, keponakannya, di depan pintu. Dia bisa membayangkan bagaimana ekspresi gadis kecil itu sekarang. Mungkin, mata bulatnya tengah dipenuhi oleh rasa antusias. Bibir kecilnya memanyun. Dengan kepala yang miring, menunggu ia membuka pintu.Tanpa menunggu lama lagi, Luna lekas membuka pintu dan menemukan seorang bocah perempuan dengan rambut panjang yang diikat dua dengan pita merah yang menghiasi. Sementara di sisi kanannya, sosok
Sepulang Adi dari kantor, Nic ikut makan malam bersama dengan kakek dan neneknya. Namun yang dilakukan oleh anak itu selama beberapa sekon ini hanya diam sambil memainkan sendok di tangannya. Sementara nasi di atas piring masih tersisa cukup banyak.Tania yang menyadari keanehan yang dilakukan oleh Nic, menatap suaminya sambil memberikan tatapan seolah bertanya apa yang terjadi pada cucu mereka."Sayang, ada apa?" Adi akhirnya bertanya pada Nic.Sesaat, Nic langsung tersadar dari lamunan. "Tidak ada, Grandpa. Aku hanya sedang kesulitan memikirkan sesuatu."Tania dan Adi kembali saling melemparkan pandang. "Apa karena sekolahmu, hm? Daddy belum memutuskan ke mana kamu akan bersekolah?"Nic menggeleng pelan. "Bukan, Grandma. Aku sedang memikirkan nama wanita yang aku temui di toko mainan tadi. Aku ingat betul bahwa Dad memanggil namanya. Tapi aku lupa nama yang disebutkan oleh Dad."Tania seketika mengulum tawa. Ia kira apa yang me
"Kenapa kau menjanjikan hal yang sangat sulit untuk dilakukan, Ma?"Tania menghela napas untuk ke sekian kalinya mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Adi. Wanita itu menoleh, menatap suaminya lekat."Apa Papa masih berharap Luna menjadi menantu kita?" Tania melayangkan tanya lain, alih-alih menjawab pertanyaan Adi barusan."Ma, Mama lupa apa yang terjadi di masa lalu? Bagaimana sikap kurang ajar Liam yang dengan teganya meninggalkan Luna di hari pernikahan?" Adi tak habis pikir. "Kita telah mempermalukan keluarga Luna bahkan hingga menyebabkan Mas Okta meninggal dunia. Apakah setelah semua itu, Mama masih yakin baik Luna maupun keluarganya akan menerima kita lagi? Terutama, menerima Liam.""Ya, aku tahu. Akan sangat sulit bagi Luna bisa membuka hati kembali pada Liam. Tapi, Pa, setidaknya kita harus mencoba.""Dan membuka luka lama Luna yang belum tentu sudah kering?" respons Adi segera.Bahu Tania merosot. Menyadari apa yang dikatakan oleh Adi ada benarnya. Namun sebagai seorang i
Luna sedikit tidak mengerti mengapa Nic melakukan hal itu, dan ada maksud apa di balik semuanya. Namun, seandainya Nic bukan anak dari Liam, mungkin akan dengan senang hati dia menyetujuinya. Nic itu, terlepas dari latar belakangnya, adalah anak yang sangat menggemaskan dan lucu. Sejujurnya, Luna juga menyukainya."Nic, maafkan aku. Tapi sepertinya aku tidak memiliki waktu," ucap Luna dengan nada sesal. Dia sudah memutuskan untuk tidak berhubungan apa pun lagi dengan Liam. Dan bagaimana pun, berhubungan dengan Nic juga sepertinya akan berbahaya bagi Luna."Kenapa?" Nada suara Nic berubah menjadi sedih. "Apa kau memiliki banyak pekerjaan seperti Dad? Jika ya, aku akan menunggu sampai kau punya waktu luang.""Tidak, Nic. Sepertinya beberapa waktu ke depan aku tidak akan punya waktu kosong," dusta Luna kembali.Terjadi hening selama beberapa sekon, sampai Luna mengira bahwa sambungan telepon telah terputus. Namun ternyata tidak. "Apakah karena Dad pernah menyakitimu?"Pertanyaan yang di
"Sekian rapat hari ini. Silakan kembali dengan aktivitas masing-masing."Liam menutup pertemuan dan meninggalkan ruang rapat begitu saja. Sementara sekretarisnya mengikuti dengan berkas-berkas di tangan."Tidak ada acara di luar setelah ini?" tanya Liam, menoleh sejenak pada bawahannya di belakang.Celyn, wanita dengan tubuh molek yang dibungkus dengan pakaian kantor ketat, menggeleng pelan. "Tidak ada, Pak. Jadwal hari ini sudah kosong," balas wanita itu dengan senyum menawan miliknya.Liam mengangguk singkat. Kembali berjalan lurus memasuki ruangan. Dia pikir, Celyn tidak akan mengikuti sampai ke dalam, tetapi dia salah."Ada sesuatu lagi?" tanya Liam, mengerutkan kening menatap sekretaris yang baru bekerja dengannya selama dua bulan sejak dia dipekerjakan oleh ayahnya dengan kedudukan sebagai CEO.Celyn menggigit bibir bawahnya. "Ehm, tidak. Hanya saja, apa Bapak tidak memiliki jadwal lain di luar kantor malam hari ini?" tanyanya setelah beberapa saat."Saya rasa tidak. Kenapa?" ba
"Nic, aku rasa pertanyaanmu tidak perlu aku jawab," balas Luna pada akhirnya.Nic mengangguk. "Benar. Ini semua karena Dad," simpul anak itu.Luna menghela napas. "Nic, apa pun itu yang terjadi di antara aku dan ayahmu, kau tidak harus kesal padanya.""Dengan atau tanpa masalah kalian pun, aku sudah kesal padanya," balas Nic dengan tampang agak jutek. "Dia selalu saja tidak mengerti apa yang aku rasakan. Dia tidak pernah mau menuruti permintaanku untuk memiliki ibu baru.""Mencari ibu baru bukan hal yang mudah. Lagipula, kenapa kau mencari ibu baru? Kalau boleh tahu, maaf, ke mana ibumu?" Luna menyuarakan tanya yang bergelut di benaknya sejak Nic secara tiba-tiba mengatakan dia ingin Luna menjadi ibunya.Nic mengangkat bahu. "Aku tidak akan mengatakan ke mana Mommy pada orang lain, kecuali orang itu akan menjadi mommy baruku," balas Nic lugas.Luna terdiam. Bukan karena ucapan Nic agak menyinggung dirinya. Akan tetapi karena sikap Nic barusan mirip sekali dengan Liam."Jadi, Luna, kau
Pikiran Luna seketika kosong. Tiba-tiba saja, saat ini dia duduk di hadapan Liam dan Nic, dengan suka rela. Oh, padahal sebelumnya dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk mulai membatasi interaksi dengan mereka berdua. Namun yang terjadi malah sebaliknya.Sementara itu, Nic mengamati dua orang dewasa si sekitarnya. Jelas terlihat situasi yang canggung di antara mereka, dan Nic harus mencari cara untuk mencairkan kecanggungan tersebut."Aunty," panggil Nic.Luna menatap bocah tampan yang wajahnya amat menyerupai Liam. Benar-benar hampir keseluruhan wajahnya diwarisi anak tersebut dari ayahnya."Dad membelikan sesuatu untukmu," gumam Nic kembali dengan senyuman lebarnya. Anak tersebut lantas menoleh ke arah ayahnya, seolah memberikan kode kepada Liam. Mengerti apa yang Nic katakan, Liam segera mengeluarkan sesuatu dari dalam saku kemejanya. Sebuah kotak beludru yang bisa Luna tebak isinya."Nic yang mengusulkan aku memberikan ini padamu." Liam mengatakan hal tersebut seolah-olah
BAB 40 Firasat Cale tidak pernah salah. Setiap kali dia merasa sesuatu terjadi, maka memang benar ada yang terjadi. Namun sesungguhnya, Cale tidak berharap firasat buruknya menjadi kenyataan. Sejauh ini, dia hanya ingin hidupnya baik-baik saja. Cukup. Namun, takdir tak pernah sejalan dengan alur yang dia inginkan. Seperti saat ini, saat tiba-tiba dia duduk berhadapan dengan Levin di kafetaria rumah sakit. “Apa kabar, Cale?” Pertanyaan yang seharusnya tak pernah terucap dari bibir Levin terdengar, membuat Cale menghela napas pelan seraya membuang pandang ke mana pun, asal bukan pada wajah Levin di hadapannya. Levin lantas terkekeh sumbang beberapa lama kemudian. Mungkin sadar bahwa pertanyaan yang dia ajukan terlalu konyol meskipun hanya untuk basa-basi. “Aku tidak sengaja melihatmu di meja administrasi tadi, lalu mengikutimu. Tahu, kau pasti akan mengabaikan aku jika aku memanggilmu di jalan,” tandas Levin kembali. Matanya masih menatap Cale lurus, membaca ekspresi wajah lela
Pertunangan Luna dan Liam terjadi begitu saja beberapa waktu setelahnya. Cale berkali-kali bertanya pada Liam, bagaimana menurutnya mengenai pertunangan ini, dan berkali-kali pula Liam menjawab dengan mengambang. Cale tidak mendapat jawaban pasti, apakah ini benar atas dasar keputusannya dari hati yang tulus atau tidak. Cale sampai tidak tahu bagaimana harus menyikapi semuanya."Kau sudah resmi menjadi tunangan adikku sekarang," pungkas Cale saat itu. Sehari setelah acara pertunangan yang meriah selesai digelar.Liam, dengan wajah yang terlihat tidak senang tapi juga tidak sedih itu mengangguk ringan. "Pada akhirnya kau sudah memutuskan?" tanya Cale.Namun diamnya Liam justru membuat Cale agak cemas. Terlebih, saat menangkap ekspresi kebingungan yang mampir di wajahnya."Liam, kau tahu betul bahwa Luna adalah adik kesayanganku, bukan?" Cale menatapnya dengan serius.Liam menelan saliva dengan susah payah. Tampak sulit bagi lelaki itu untuk menjawab. Cale juga sedikitnya tahu bahwa bel
HALO! Di sini ada orang, kan? Coba absen dulu di bawah, biar aku tahu!:) Ehm. Kalian nemu cerita ini di mana? Terus, kenapa bisa suka dan ngikutin cerita MENIKAHI CEO DUDA sampai sejauh ini? Tokoh favoritnya siapa? Tokoh yang bikin kalian penasaran, ada? Atau tokoh yang bikin kalian sebel? O ya, aku mau tanya juga, sejauh ini ceritanya membingungkan kah? Terutama di bab sebelumnya? Itu kayak flashback, ya, tapi dituliskan tidak secara gamblang sebagai flashback. Atau apakah ceritanya bertele-tele? Tolong jawabannya supaya aku bisa berbenah dan bab selanjutnya akan lebih baik. Terima kasih! Masukan dari kalian semua sangat berarti buatku!^^ dan maaf sebelumnya karena aku pernah jarang update huhuhu.
Cale, Liam, dan Levin, berteman sejak mereka duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Membuat mereka dekat bak saudara. Apalagi orang tua mereka merupakan rekan bisnis. Terutama orang tua Liam dan Cale yang juga saling mengenal secara pribadi sejak lama. Saat kuliah, meski mereka memilih kampus dan jurusan berbeda, tidak lantas membuat hubungan ketiganya menjadi renggang. Mereka masih sering berkumpul, bahkan membawa teman dekat mereka yang lain, seperti Dylan dan Calvin.Calvin bilang, mereka itu adalah takdir. Cale yang dewasa, Liam yang cerdas, Levin yang dingin tetapi selalu dapat diandalkan, Dylan si biang onar, dan Calvin yang pelawak. Mereka ada untuk saling melengkapi satu sama lain. Meski hubungan ketiganya cukup erat, bukan berarti mereka tidak pernah bermasalah. Sesekali mereka bertengkar. Dari pertengkaran kecil hingga nyaris besar, semuanya pernah terjadi. Dan yang paling sering berseteru adalah Dylan dan Levin. Karakter mereka yang berbanding terbalik seratus delapan pu
Cale menatap anaknya yang kini tengah terlelap dengan Bianca di atas ranjang rumah sakit. Sementara dirinya baru saja menyelesaikan pekerjaan kantor yang dia kerjakan sambil menunggu istrinya. Lelaki itu merapikan meja lalu berjalan mendekat pada Aurora. Anak tersebut tampaknya begitu kepanasan, sehingga keringat membuat kening dan rambutnya basah. Ia yakin, begitu bangun nanti, rambut anak tersebut akan berubah sangat lepek dan dia harus membuatnya keramas.Cale tersenyum kecil. Meski agak lelah karena dia harus bekerja seraya mengurus Bianca, tetapi lelah tersebut tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan bisa menemani secara langsung setiap perkembangan kesehatan Bianca dan calon bayi di perut wanita itu."Selamat malam, Sayang." Cale mengecup kening Bianca dengan sayang. Siapa pun yang menyaksikan hal itu, pastinya akan bisa merasakan sebesar apa perasaan yang dipunya lelaki itu atas istrinya. "Lekas sembuh. Maaf, kau tidak bisa berbagi kesakitanmu denganku. Jika saja bisa, aku ing
Liam turun dari mobil dan menggendong Nic begitu mereka tiba di depan gedung apartemen. Sementara, Luna sudah Liam antarkan pulang. Tidak, lebih tepatnya, wanita itu memintanya menurunkan ia di perempatan jalan. Mungkin, saking tidak inginnya dia berurusan dengan Liam kembali, Luna sampai takut lelaki itu mengetahui tempat tinggalnya sekarang. "Dad!" teriakkan tiba-tiba yang dilakukan oleh Nic membuat Liam terkejut. "Dino-ku!" lanjut Nic keras. Liam segera menurunkan Nic dari gendongan. Seketika tercengang melihat bocah itu berlari kembali ke mobil sambil menggedor pintu kendaraan beroda empat tersebut, meminta Liam membukakn pintunya untuknya. "Tenang, Nic. Sabar!" pungkas Liam, lekas-lekas membuka kunci mobil. Nic segera masuk dan mengambil sebuah boneka dinosaurus yang baru pertama kali Liam lihat. Boneka dinosaurus yang sejak beberapa waktu lalu selalu berada di pelukan putra kecilnya. "Dino!" Nic bergumam senang sekaligus lega, sebab boneka yang dia pikir hilang tersebut rupa
"Shit!"Umpatan Antonio terdengar pelan. Pria itu menyeka ujung bibirnya yang berdarah, lantas mengangkat wajah dan tersenyum miring melihat Luna sudah berada di sisi Liam.Luna sendiri masih begitu terkejut dengan apa yang terjadi, sehingga ketika Liam mulai maju dan hendak memukul Antonio kembali, Luna lekas menahannya. Terlebih, saat anak buah Antonio tiba-tiba berdatangan dari setiap pintu.Hanya dalam hitungan detik, tubuh Liam kini berada di genggaman orang-orang suruhan Antonio. Pun dengan Luna."Berengsek! Lepaskan kami," geram Luna. Dia mengempaskan keras tangan besar yang memegangi lengannya. Namun biar bagaimana pun, tenaganya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan mereka.Tawa kecil Antonio terdengar. "Bukankah barusan kau sudah menyerahkan wanita ini padaku agar anakmu bebas? Lalu apa-apaan ini?" tanya lelaki itu.Liam berdecih dengan sepasang mata yang masih menatap Antonio dengan tajam. "Dan kau pikir aku akann menyerahkannya begitu saja? Pada pria bajingan sepertimu?
Luna dan Levin berdiri dengan harap-harap cemas. Pasalnya, Liam benar-benar sudah kehilangan akal. Bagaimana bisa dia masuk ke dalam kandang musuh tanpa perlindungan apa pun dan hanya seorang diri?"Dia akan baik-baik saja, bukan?" tanya Luna, melirik pada Levin dengan perasaan cemas yang dia sembunyikan. Namun bagaimana pun, Levin dapat melihat kegusaran yang dia rasa, lebih dari siapa pun."Tenang saja. Kita tidak datang sendirian. Aku sudah membawa beberapa orang untuk berjaga-jaga," tandas Levin. Meski begitu, dia juga merasakan kecemasan yang sama.Luna menghela napas dalam. Duduk di kap mobil sambil mengurut pangkal hidungnya yang terasa agak kaku. Perasaan khawatir yang teramat membuat wanita itu lelah. Hingga ...Bug! Brak!Sebuah kegaduhan terjadi. Dalam waktu sepersekian detik, Luna tiba-tiba saja sudah berada di genggaman dua lelaki berpakaian serba hitam dengan gelang naga di tangan mereka."Shit!" Levin mengumpat, sementara Luna menelan ludah sebab salah seorang pria meng