Luna harus terbangun di pagi hari yang mendung ini saat sebuah teriakkan demi teriakkan di depan pintu apartemennya terdengar. Padahal, ini akhir pekan dan dia ingin lebih banyak istirahat setelah pertemuannya dengan Liam begitu menguras emosinya kemarin malam. Tapi jika teriakkan itu sudah terdengar lebih dari dua kali, Luna rasa dia tidak akan bisa tertidur lagi, atau apartemennya akan diporakporandakan oleh si kecil cerewet yang selalu datang di waktu tidak tepat."AUNTY, PAKET!"Luna menggelengkan kepala sambil tersenyum kecil saat mendengar teriakkan Aurora, keponakannya, di depan pintu. Dia bisa membayangkan bagaimana ekspresi gadis kecil itu sekarang. Mungkin, mata bulatnya tengah dipenuhi oleh rasa antusias. Bibir kecilnya memanyun. Dengan kepala yang miring, menunggu ia membuka pintu.Tanpa menunggu lama lagi, Luna lekas membuka pintu dan menemukan seorang bocah perempuan dengan rambut panjang yang diikat dua dengan pita merah yang menghiasi. Sementara di sisi kanannya, sosok
Sepulang Adi dari kantor, Nic ikut makan malam bersama dengan kakek dan neneknya. Namun yang dilakukan oleh anak itu selama beberapa sekon ini hanya diam sambil memainkan sendok di tangannya. Sementara nasi di atas piring masih tersisa cukup banyak.Tania yang menyadari keanehan yang dilakukan oleh Nic, menatap suaminya sambil memberikan tatapan seolah bertanya apa yang terjadi pada cucu mereka."Sayang, ada apa?" Adi akhirnya bertanya pada Nic.Sesaat, Nic langsung tersadar dari lamunan. "Tidak ada, Grandpa. Aku hanya sedang kesulitan memikirkan sesuatu."Tania dan Adi kembali saling melemparkan pandang. "Apa karena sekolahmu, hm? Daddy belum memutuskan ke mana kamu akan bersekolah?"Nic menggeleng pelan. "Bukan, Grandma. Aku sedang memikirkan nama wanita yang aku temui di toko mainan tadi. Aku ingat betul bahwa Dad memanggil namanya. Tapi aku lupa nama yang disebutkan oleh Dad."Tania seketika mengulum tawa. Ia kira apa yang me
"Kenapa kau menjanjikan hal yang sangat sulit untuk dilakukan, Ma?"Tania menghela napas untuk ke sekian kalinya mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Adi. Wanita itu menoleh, menatap suaminya lekat."Apa Papa masih berharap Luna menjadi menantu kita?" Tania melayangkan tanya lain, alih-alih menjawab pertanyaan Adi barusan."Ma, Mama lupa apa yang terjadi di masa lalu? Bagaimana sikap kurang ajar Liam yang dengan teganya meninggalkan Luna di hari pernikahan?" Adi tak habis pikir. "Kita telah mempermalukan keluarga Luna bahkan hingga menyebabkan Mas Okta meninggal dunia. Apakah setelah semua itu, Mama masih yakin baik Luna maupun keluarganya akan menerima kita lagi? Terutama, menerima Liam.""Ya, aku tahu. Akan sangat sulit bagi Luna bisa membuka hati kembali pada Liam. Tapi, Pa, setidaknya kita harus mencoba.""Dan membuka luka lama Luna yang belum tentu sudah kering?" respons Adi segera.Bahu Tania merosot. Menyadari apa yang dikatakan oleh Adi ada benarnya. Namun sebagai seorang i
Luna sedikit tidak mengerti mengapa Nic melakukan hal itu, dan ada maksud apa di balik semuanya. Namun, seandainya Nic bukan anak dari Liam, mungkin akan dengan senang hati dia menyetujuinya. Nic itu, terlepas dari latar belakangnya, adalah anak yang sangat menggemaskan dan lucu. Sejujurnya, Luna juga menyukainya."Nic, maafkan aku. Tapi sepertinya aku tidak memiliki waktu," ucap Luna dengan nada sesal. Dia sudah memutuskan untuk tidak berhubungan apa pun lagi dengan Liam. Dan bagaimana pun, berhubungan dengan Nic juga sepertinya akan berbahaya bagi Luna."Kenapa?" Nada suara Nic berubah menjadi sedih. "Apa kau memiliki banyak pekerjaan seperti Dad? Jika ya, aku akan menunggu sampai kau punya waktu luang.""Tidak, Nic. Sepertinya beberapa waktu ke depan aku tidak akan punya waktu kosong," dusta Luna kembali.Terjadi hening selama beberapa sekon, sampai Luna mengira bahwa sambungan telepon telah terputus. Namun ternyata tidak. "Apakah karena Dad pernah menyakitimu?"Pertanyaan yang di
"Sekian rapat hari ini. Silakan kembali dengan aktivitas masing-masing."Liam menutup pertemuan dan meninggalkan ruang rapat begitu saja. Sementara sekretarisnya mengikuti dengan berkas-berkas di tangan."Tidak ada acara di luar setelah ini?" tanya Liam, menoleh sejenak pada bawahannya di belakang.Celyn, wanita dengan tubuh molek yang dibungkus dengan pakaian kantor ketat, menggeleng pelan. "Tidak ada, Pak. Jadwal hari ini sudah kosong," balas wanita itu dengan senyum menawan miliknya.Liam mengangguk singkat. Kembali berjalan lurus memasuki ruangan. Dia pikir, Celyn tidak akan mengikuti sampai ke dalam, tetapi dia salah."Ada sesuatu lagi?" tanya Liam, mengerutkan kening menatap sekretaris yang baru bekerja dengannya selama dua bulan sejak dia dipekerjakan oleh ayahnya dengan kedudukan sebagai CEO.Celyn menggigit bibir bawahnya. "Ehm, tidak. Hanya saja, apa Bapak tidak memiliki jadwal lain di luar kantor malam hari ini?" tanyanya setelah beberapa saat."Saya rasa tidak. Kenapa?" ba
"Nic, aku rasa pertanyaanmu tidak perlu aku jawab," balas Luna pada akhirnya.Nic mengangguk. "Benar. Ini semua karena Dad," simpul anak itu.Luna menghela napas. "Nic, apa pun itu yang terjadi di antara aku dan ayahmu, kau tidak harus kesal padanya.""Dengan atau tanpa masalah kalian pun, aku sudah kesal padanya," balas Nic dengan tampang agak jutek. "Dia selalu saja tidak mengerti apa yang aku rasakan. Dia tidak pernah mau menuruti permintaanku untuk memiliki ibu baru.""Mencari ibu baru bukan hal yang mudah. Lagipula, kenapa kau mencari ibu baru? Kalau boleh tahu, maaf, ke mana ibumu?" Luna menyuarakan tanya yang bergelut di benaknya sejak Nic secara tiba-tiba mengatakan dia ingin Luna menjadi ibunya.Nic mengangkat bahu. "Aku tidak akan mengatakan ke mana Mommy pada orang lain, kecuali orang itu akan menjadi mommy baruku," balas Nic lugas.Luna terdiam. Bukan karena ucapan Nic agak menyinggung dirinya. Akan tetapi karena sikap Nic barusan mirip sekali dengan Liam."Jadi, Luna, kau
Lima bulan setelah pelariannya dan Raisa ke Norwegia, Liam mendapat kabar bahwa ayahnya sakit keras. Liam langsung terbang untuk kembali ke negara asalnya, meninggalkan Raisa yang dalam keadaan hamil besar. Bagaimana pun, Liam masih peduli dan selalu khawatir dengan kesehatan kedua orang tuanya. Sepanjang jalan, tak henti Liam berdo'a semoga dia tidak berakhir menjadi anak durhaka yang tidak ada di detik-detik terakhir kehidupan ayahnya. Namun begitu tiba di rumah, dia mendapati bahwa keadaan ayahnya baik-baik saja. Jelas, Liam marah besar karenanya."Aku terbang ke sini meninggalkan Raisa yang tengah hamil besar sehingga selalu membutuhkan kehadiranku di sisinya. Tapi kalian tega membohongiku seperti ini, uh?!" pekik Liam tertahan."Liam," panggil Tania pelan. Menghampiri Liam dengan penuh perhitungan."Aku tidak habis pikir kenapa kalian sampai melakukan ini," pungkas Liam.Tania tersekat. "Tak habis pikir, katamu?" dia bertanya getir. "Kau mendadak kabur di hari pernikahan. Kau men
"Aku sudah merincikan semua hal yang harus tim kerjakan selama aku cuti. Selain itu, untuk sementara kau yang akan menghandle semua pekerjaanku. Anggap saja, kau menjadi Kepala Editor menggantikan aku selama aku cuti."Chika, editor kepercayaan Luna, mengangguk mantap menanggapi penjelasannya. Meski seharusnya Chika senang mendapat kesempatan untuk menjadi pemimpin, tapi tampaknya tidak seperti itu. Wajahnya sama sekali tidak tampak cerah sama sekali."Apa ada yang kau tidak mengerti, Chika? Atau sesuatu sedang mengacau pikiranmu?" delik Luna, menatap gadis itu."Tidak, Bu." Buru-buru Chika menggeleng. "Hanya saja, aku merasa tertekan.""Tertekan?""Ya. Aku seringkali kesal saat kau membebankan pekerjaan yang terkadang berada di luar nalar untuk dikerjakan secepatnya. Tapi membayangkan menjadi dirimu, meski hanya sementara, aku rasa itu lebih mengerikan.""Kenapa?""Madam Grace terkenal tak tersentuh. Tidak ada seorang pun yang berani terhadapnya. Ucapannya seolah adalah perintah pali
Pikiran Luna seketika kosong. Tiba-tiba saja, saat ini dia duduk di hadapan Liam dan Nic, dengan suka rela. Oh, padahal sebelumnya dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk mulai membatasi interaksi dengan mereka berdua. Namun yang terjadi malah sebaliknya.Sementara itu, Nic mengamati dua orang dewasa si sekitarnya. Jelas terlihat situasi yang canggung di antara mereka, dan Nic harus mencari cara untuk mencairkan kecanggungan tersebut."Aunty," panggil Nic.Luna menatap bocah tampan yang wajahnya amat menyerupai Liam. Benar-benar hampir keseluruhan wajahnya diwarisi anak tersebut dari ayahnya."Dad membelikan sesuatu untukmu," gumam Nic kembali dengan senyuman lebarnya. Anak tersebut lantas menoleh ke arah ayahnya, seolah memberikan kode kepada Liam. Mengerti apa yang Nic katakan, Liam segera mengeluarkan sesuatu dari dalam saku kemejanya. Sebuah kotak beludru yang bisa Luna tebak isinya."Nic yang mengusulkan aku memberikan ini padamu." Liam mengatakan hal tersebut seolah-olah
BAB 40 Firasat Cale tidak pernah salah. Setiap kali dia merasa sesuatu terjadi, maka memang benar ada yang terjadi. Namun sesungguhnya, Cale tidak berharap firasat buruknya menjadi kenyataan. Sejauh ini, dia hanya ingin hidupnya baik-baik saja. Cukup. Namun, takdir tak pernah sejalan dengan alur yang dia inginkan. Seperti saat ini, saat tiba-tiba dia duduk berhadapan dengan Levin di kafetaria rumah sakit. “Apa kabar, Cale?” Pertanyaan yang seharusnya tak pernah terucap dari bibir Levin terdengar, membuat Cale menghela napas pelan seraya membuang pandang ke mana pun, asal bukan pada wajah Levin di hadapannya. Levin lantas terkekeh sumbang beberapa lama kemudian. Mungkin sadar bahwa pertanyaan yang dia ajukan terlalu konyol meskipun hanya untuk basa-basi. “Aku tidak sengaja melihatmu di meja administrasi tadi, lalu mengikutimu. Tahu, kau pasti akan mengabaikan aku jika aku memanggilmu di jalan,” tandas Levin kembali. Matanya masih menatap Cale lurus, membaca ekspresi wajah lela
Pertunangan Luna dan Liam terjadi begitu saja beberapa waktu setelahnya. Cale berkali-kali bertanya pada Liam, bagaimana menurutnya mengenai pertunangan ini, dan berkali-kali pula Liam menjawab dengan mengambang. Cale tidak mendapat jawaban pasti, apakah ini benar atas dasar keputusannya dari hati yang tulus atau tidak. Cale sampai tidak tahu bagaimana harus menyikapi semuanya."Kau sudah resmi menjadi tunangan adikku sekarang," pungkas Cale saat itu. Sehari setelah acara pertunangan yang meriah selesai digelar.Liam, dengan wajah yang terlihat tidak senang tapi juga tidak sedih itu mengangguk ringan. "Pada akhirnya kau sudah memutuskan?" tanya Cale.Namun diamnya Liam justru membuat Cale agak cemas. Terlebih, saat menangkap ekspresi kebingungan yang mampir di wajahnya."Liam, kau tahu betul bahwa Luna adalah adik kesayanganku, bukan?" Cale menatapnya dengan serius.Liam menelan saliva dengan susah payah. Tampak sulit bagi lelaki itu untuk menjawab. Cale juga sedikitnya tahu bahwa bel
HALO! Di sini ada orang, kan? Coba absen dulu di bawah, biar aku tahu!:) Ehm. Kalian nemu cerita ini di mana? Terus, kenapa bisa suka dan ngikutin cerita MENIKAHI CEO DUDA sampai sejauh ini? Tokoh favoritnya siapa? Tokoh yang bikin kalian penasaran, ada? Atau tokoh yang bikin kalian sebel? O ya, aku mau tanya juga, sejauh ini ceritanya membingungkan kah? Terutama di bab sebelumnya? Itu kayak flashback, ya, tapi dituliskan tidak secara gamblang sebagai flashback. Atau apakah ceritanya bertele-tele? Tolong jawabannya supaya aku bisa berbenah dan bab selanjutnya akan lebih baik. Terima kasih! Masukan dari kalian semua sangat berarti buatku!^^ dan maaf sebelumnya karena aku pernah jarang update huhuhu.
Cale, Liam, dan Levin, berteman sejak mereka duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Membuat mereka dekat bak saudara. Apalagi orang tua mereka merupakan rekan bisnis. Terutama orang tua Liam dan Cale yang juga saling mengenal secara pribadi sejak lama. Saat kuliah, meski mereka memilih kampus dan jurusan berbeda, tidak lantas membuat hubungan ketiganya menjadi renggang. Mereka masih sering berkumpul, bahkan membawa teman dekat mereka yang lain, seperti Dylan dan Calvin.Calvin bilang, mereka itu adalah takdir. Cale yang dewasa, Liam yang cerdas, Levin yang dingin tetapi selalu dapat diandalkan, Dylan si biang onar, dan Calvin yang pelawak. Mereka ada untuk saling melengkapi satu sama lain. Meski hubungan ketiganya cukup erat, bukan berarti mereka tidak pernah bermasalah. Sesekali mereka bertengkar. Dari pertengkaran kecil hingga nyaris besar, semuanya pernah terjadi. Dan yang paling sering berseteru adalah Dylan dan Levin. Karakter mereka yang berbanding terbalik seratus delapan pu
Cale menatap anaknya yang kini tengah terlelap dengan Bianca di atas ranjang rumah sakit. Sementara dirinya baru saja menyelesaikan pekerjaan kantor yang dia kerjakan sambil menunggu istrinya. Lelaki itu merapikan meja lalu berjalan mendekat pada Aurora. Anak tersebut tampaknya begitu kepanasan, sehingga keringat membuat kening dan rambutnya basah. Ia yakin, begitu bangun nanti, rambut anak tersebut akan berubah sangat lepek dan dia harus membuatnya keramas.Cale tersenyum kecil. Meski agak lelah karena dia harus bekerja seraya mengurus Bianca, tetapi lelah tersebut tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan bisa menemani secara langsung setiap perkembangan kesehatan Bianca dan calon bayi di perut wanita itu."Selamat malam, Sayang." Cale mengecup kening Bianca dengan sayang. Siapa pun yang menyaksikan hal itu, pastinya akan bisa merasakan sebesar apa perasaan yang dipunya lelaki itu atas istrinya. "Lekas sembuh. Maaf, kau tidak bisa berbagi kesakitanmu denganku. Jika saja bisa, aku ing
Liam turun dari mobil dan menggendong Nic begitu mereka tiba di depan gedung apartemen. Sementara, Luna sudah Liam antarkan pulang. Tidak, lebih tepatnya, wanita itu memintanya menurunkan ia di perempatan jalan. Mungkin, saking tidak inginnya dia berurusan dengan Liam kembali, Luna sampai takut lelaki itu mengetahui tempat tinggalnya sekarang. "Dad!" teriakkan tiba-tiba yang dilakukan oleh Nic membuat Liam terkejut. "Dino-ku!" lanjut Nic keras. Liam segera menurunkan Nic dari gendongan. Seketika tercengang melihat bocah itu berlari kembali ke mobil sambil menggedor pintu kendaraan beroda empat tersebut, meminta Liam membukakn pintunya untuknya. "Tenang, Nic. Sabar!" pungkas Liam, lekas-lekas membuka kunci mobil. Nic segera masuk dan mengambil sebuah boneka dinosaurus yang baru pertama kali Liam lihat. Boneka dinosaurus yang sejak beberapa waktu lalu selalu berada di pelukan putra kecilnya. "Dino!" Nic bergumam senang sekaligus lega, sebab boneka yang dia pikir hilang tersebut rupa
"Shit!"Umpatan Antonio terdengar pelan. Pria itu menyeka ujung bibirnya yang berdarah, lantas mengangkat wajah dan tersenyum miring melihat Luna sudah berada di sisi Liam.Luna sendiri masih begitu terkejut dengan apa yang terjadi, sehingga ketika Liam mulai maju dan hendak memukul Antonio kembali, Luna lekas menahannya. Terlebih, saat anak buah Antonio tiba-tiba berdatangan dari setiap pintu.Hanya dalam hitungan detik, tubuh Liam kini berada di genggaman orang-orang suruhan Antonio. Pun dengan Luna."Berengsek! Lepaskan kami," geram Luna. Dia mengempaskan keras tangan besar yang memegangi lengannya. Namun biar bagaimana pun, tenaganya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan mereka.Tawa kecil Antonio terdengar. "Bukankah barusan kau sudah menyerahkan wanita ini padaku agar anakmu bebas? Lalu apa-apaan ini?" tanya lelaki itu.Liam berdecih dengan sepasang mata yang masih menatap Antonio dengan tajam. "Dan kau pikir aku akann menyerahkannya begitu saja? Pada pria bajingan sepertimu?
Luna dan Levin berdiri dengan harap-harap cemas. Pasalnya, Liam benar-benar sudah kehilangan akal. Bagaimana bisa dia masuk ke dalam kandang musuh tanpa perlindungan apa pun dan hanya seorang diri?"Dia akan baik-baik saja, bukan?" tanya Luna, melirik pada Levin dengan perasaan cemas yang dia sembunyikan. Namun bagaimana pun, Levin dapat melihat kegusaran yang dia rasa, lebih dari siapa pun."Tenang saja. Kita tidak datang sendirian. Aku sudah membawa beberapa orang untuk berjaga-jaga," tandas Levin. Meski begitu, dia juga merasakan kecemasan yang sama.Luna menghela napas dalam. Duduk di kap mobil sambil mengurut pangkal hidungnya yang terasa agak kaku. Perasaan khawatir yang teramat membuat wanita itu lelah. Hingga ...Bug! Brak!Sebuah kegaduhan terjadi. Dalam waktu sepersekian detik, Luna tiba-tiba saja sudah berada di genggaman dua lelaki berpakaian serba hitam dengan gelang naga di tangan mereka."Shit!" Levin mengumpat, sementara Luna menelan ludah sebab salah seorang pria meng