Segalanya terasa seperti mimpi bagi Luna. Orang paling berharga yang dia miliki tiba-tiba saja pergi. Tanpa mengucapkan kata pamit dengan benar. Tanpa memberikan waktu bagi Luna untuk sedikitnya bisa belajar memahami situasi yang terjadi.
"Mami, Luna. Sebentar lagi hujan, kita harus pulang."
Di dekapan Vika, ibunya, Luna duduk diam menatap pusara yang masih baru bertuliskan nama ayahnya. Air matanya sudah kering, tetapi lukanya masih basah, sama seperti tanah kuburan Okta.
Luna menatap Cale. Mendapati kakaknya memberikan anggukan kecil, isyarat agar Luna lekas berdiri. Sebagai anak, mereka harus tetap kuat agar Vika juga kuat.
Luna menyadari betapa Cale berusaha untuk tetap tegar sebagai seorang putra dan anak pertama. Meski tidak bisa setegar Cale, Luna pikir setidaknya dia tidak terlihat begitu rapuh.
Luna membantu ibunya berdiri. Bertekad untuk lebih kuat demi kakaknya, demi ibunya. Namun begitu melihat pigura berisi foto Okta yang tersenyum, Luna seakan kembali ditarik pada pusaran rasa sedih yang mendalam.
"Pi!" Luna memekik. Bersimpuh di depan tempat peristirahatan terakhir Okta. "Aku tidak mau pergi. Papi pasti sendirian. Papi pasti kesepian. Bagaimana jika Papi kedinginan? Aku mau di sini, memeluk Papi. Aku mau pergi bersama Papi."
Pada akhirnya Luna gagal. Sekuat apa pun usahanya, dia tidak bisa berpura-pura tetap kuat. Kepergian ayahnya bukan hanya menyisakan kesedihan yang pekat bagi Luna, tetapi juga rasa sesal yang mendalam.
Andai saja, perjodohan tidak pernah terjadi. Andai saja, Luna tidak bersikeras melanjutkan perjodohan saat awalnya Liam menolak. Andai saja, Liam tidak dengan egois meninggalkan pernikahan begitu saja. Andai saja, mereka tidak pernah terlibat sejak awal.
***
Hujan turun sesaat setelah Cale berhasil membawa Luna pulang. Meski begitu, tidak serta merta Luna baik-baik saja. Perempuan itu masih terlihat murung. Sepasang matanya sembab dan bengkak karena terlalu sering menangis.
"Luna, Mbak Vika."
Baik Luna mau pun ibunya seketika menoleh begitu mendengar panggilan seseorang. Berbeda dengan Luna yang hanya berdiri diam dengan tatapan lelah, Vika langsung berlari menghampiri wanita yang memanggil namanya.
"Bawa suamiku pulang! Bawa dia pulang!" Vika menarik-narik tangan Tania, ibu dari Liam. "Dia baik-baik saja sebelumnya. Dia begitu antusias dengan pernikahan Luna. Tapi dia pulang dalam keadaan tak bernyawa karena anakmu!"
"Maafkan kami, Mbak. Ini semua memang salah kami."
Adi dan Tania memohon maaf dengan sungguh. Namun hal itu sama sekali tidak membuat Vika merasa lebih baik. Wanita tersebut masih menangis, meraung-raung menyesali kepergian suami tercinta. Sayangnya, yang pergi akan tetap pergi, sekeras apa pun tangis yang kita beri.
Luna dan Cale mendekat untuk membawa ibu mereka masuk. Sebelum benar-benar meninggalkan Adi dan Tania, Luna berbicara untuk terakhir kalinya pada mereka berdua.
"Om, Tante," panggil Luna pelan. "Aku sudah menganggap kalian berdua sebagai orang tuaku sendiri. Aku menghormati kalian layaknya aku menghormati Papi dan Mami."
"Luna ...."
"Tapi Om, Tante, mohon beri kami waktu untuk memulihkan diri. Kehilangan Papi sudah cukup membuat kami semua merasa menderita," lanjut Luna lirih.
Tania mendekat perlahan, lantas memeluk tubuh Luna. Membiarkan Luna meletakkan kepala di atas pundaknya, untuk sejenak meredakan lelah dan capai yang dia punya.
"Tante paham," ucap Tania. "Sekali lagi maafkan Tante dan Om karena telah membiarkan kekacauan ini terjadi."
"Ya, dan maafkan Mami jika dia menyalahkan Liam atas kematian Papi. Dia hanya merasa terpukul dan tidak tahu harus melampiaskan ke mana rasa marahnya."
"Kami mengerti," balas Tania, melerai pelukan lantas mengusap setitik air mata yang lagi-lagi menetes di pipi Luna. "Tante dan Om juga marah atas tindakan gegabah yang dilakukan Liam sehingga menyebabkan semua kekacauan ini terjadi, apalagi dengan Mami kamu? Kami sama sekali tidak marah dan memahami semuanya, Luna."
Luna mengangguk pelan. "Kalau begitu, aku pamit masuk. Jangan lupa beristirahat dan makan dengan baik, Om, Tante," pesan Luna.
Dapat Luna lihat Tania dan Adi sedih mendengar ucapannya tersebut. Seolah, mimpi-mimpi mereka untuk bisa menjadikannya menantu telah sirna. Jangankan untuk menjadikan menantu, menjadikan Luna sebagai anak dari sahabatnya yang sudah mereka anggap sebagai anak sendiri saja kini rasanya sudah tidak bisa. Tapi Luna juga tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Ini bukan keadaan yang bisa dia pilih sendiri.
Di dalam kamar, di dekat jendela, Luna melihat ibunya duduk diam dengan tatapan kosong. Tampak jelas betapa terluka hatinya harus merelakan suami yang paling dia cintai. Cale juga masih di sana, berdiri di belakang ibunya dengan tatapan sedih.
"Mi," panggil Luna. Vika menoleh. Namun tidak ada reaksi berarti darinya. "Mami pasti sangat lelah. Kenapa Mami tidak beristirahat?" tanyanya seraya melingkarkan tangannya di leher Vika dan merebahkan kepala di atas kepala ibunya.
"Meskipun ingin, tetapi Mami tidak bisa," jawab Vika lemah.
Luna menggigit bibir bawahnya sendiri, menahan tangis. "Maaf, Mi. Ini semua karenaku. Semua tidak akan terjadi jika aku tidak bersikukuh dengan perjodohan ini."
Menggeleng, Vika menggenggam lembut tangan Luna. "Ini bukan salah siapa pun, Sayang. Bukan salah kamu, salah Liam, atau salah siapa pun. Mami tahu hal itu."
"Mi ...."
"Mungkin sudah ditakdirkan umur Papi kamu hanya sampai hari kemarin. Dengan atau tanpa kejadian kemarin pun, jika takdirnya sudah mengatakan Papi harus meninggal kemarin malam, dia akan tetap meninggal."
Cale dan Luna sama-sama tidak menyangka dengan jawaban tak terduga yang diberikan oleh Vika. Jauh dengan apa yang mereka lihat, Vika rupanya lebih kuat.
Vika menoleh, membuat Luna harus melerai pelukannya. "Sesaat, Mami hanya emosi. Mami terlalu sedih sampai ingin menyalahkan siapa pun atas kematian Papi kalian. Padahal, tidak ada yang patut disalahkan atas kematiannya. Semuanya murni hanya karena Mami terlalu kehilangan."
Tangis Luna pecah mendengar apa yang ibunya katakan. Meski lega, tapi entah mengapa dia lebih senang jika ibunya mengamuk dan menyalahkan Liam atau dirinya atas hal ini. Dia lebih senang ibunya meluapkan seluruh emosi padanya atau pada siapa pun. Dengan begitu ... bebannya tidak akan terlalu berat. Beban penyesalan yang mendalam.
***
Suara rintik air yang jatuh terdengar semakin riuh. Tampaknya hujan mulai turun deras di luar. Liam memandangi Raisa yang baru saja bangun dan tengah menikmati teh hangat yang dia buatkan.
"Sudah merasa lebih baik sekarang?" Liam tanya dengan hangat.
Raisa mengangguk menanggapi Liam. "Ya, aku baik-baik saja," gumam wanita itu.
"Bagaimana dengan mualnya?" Tatapan Liam turun pada perut Raisa yang masih datar.
"Jauh lebih baik sejak kamu datang." Raisa tersenyum penuh cinta seraya menatap Liam intens. Lantas meraih tangan Liam dan menggenggamnya. "Terima kasih karena sudah memilihku."
Liam menarik kedua sudut bibirnya ke atas. "Kau tahu seberapa besar cinta yang aku punya, serta aku tidak akan sebrengsek itu dengan mencampakkan calon buah hatiku sendiri."
Senyum Raisa semakin lebar. "Kita berangkat sekarang?" dia tanya.
Liam melirik pada kaca jendela, di mana air mengalir deras di sana. "Masih hujan, tapi kita tidak punya waktu, jadi ayo!" jawabnya, tersenyum.
Liam meraih mantel tebal milik Raisa dan memakaikannya pada wanita itu. Lantas keduanya berjalan keluar, meninggalkan kota, meninggalkan negara tempat mereka lahir. Keduanya memilih memulai kehidupan baru di tempat yang benar-benar asing dan jauh dari keluarga Liam. Lari dari semua tuntutan keluarga dan apa pun yang berkaitan dengan hal itu.
***
Enam tahun kemudian Suasana sibuk sudah menjadi hal yang biasa di kantor perusahaan Majalah Fashion Diezze. Namun dalam sebulan, selalu saja ada satu dua hari yang terasa lebih hectic daripada biasanya. Dan itu, kebetulan, adalah hari ini. Masalahnya, tidak seperti kantor lain, kantor tersebut juga dipenuhi oleh lalu lalang orang yang membawa stand hanger baju, tas-tas mahal, sepatu, dan properti-properti lain untuk pemotretan atau sesuatu yang lain. Mereka semua sibuk berlarian, berlomba-lomba dengan waktu. Atau, dengan atasan yang selalu ribet dan ingin selalu sat set sat set tanpa mau tahu kendala apa yang mereka alami. Seperti apa yang sedang dirasakan Luna sekarang. Di balik mejanya, Luna tengah disibukkan dengan tampilan majalah yang harus diterbitkan minggu ini. Pemimpin redaksi mereka yang baru tiba-tiba saja mengatakan untuk mengubah tampilan, alasannya agar tidak monoton. Padahal, hei! Luna sudah melakukan upaya terbaiknya dengan tim. Kemarin, atasannya juga sudah menyetuju
Bukan hanya bagi wanita, tetapi bagi seorang pria pun, ketika mereka telah mempunyai anak, waktu dan kehidupannya bukan lagi milik mereka sendiri. Terlebih bagi single parents seperti Liam. Dia dituntut untuk menjadi seorang ayah dan juga ibu di saat yang sama. Dan hal itu, terkadang melelahkan. "Levin dan Dylan akan pergi ke karaoke. Kau akan ikut?" Pria berlesung pipit membuka pintu ruangan Liam dengan kepalanya yang menyembul, sementara tubuhnya masih tersembunyi di balik pintu. Liam hendak menjawab, tetapi jerit ponsel di depannya membuat lelaki berusia pertengahan angka tiga puluhan itu seketika mengurungkan niat. Pundaknya lekas merosot tatkala melihat kontak yang tertera di layar. Sambil menggeser tombol hijau, pria itu menggeleng pada temannya. "Aku rasa tidak bisa. Aku mempunyai seorang pawang di rumah," balas Liam, meletakkan ponselnya di depan telinga. "DAD!" Dan suara lantang di seberang telepon seketika membuat Liam menjauhkan sejenak benda pipih itu dari telinganya.
"Sudah aku bilang, Dad, ibu peri itu pasti ada!" tandas Nic dengan cengiran lebar. "Bagaimana? Dia cantik, kan? Dan dia juga menyukaiku."Baik Luna maupun Liam sama-sama masih terdiam dengan kelu. Keduanya terlalu terkejut, rupanya dunia sesempit ini, sehingga mereka kembali dipertemukan, dalam momen ini, momen yang tak pernah terduga sebelumnya.Luna berdiri dari posisi jongkoknya barusan. Menatap Nic yang barusan memanggil Liam dengan panggilan Dad, perempuan itu seketika yakin bahwa Nic adalah anak dari lelaki itu. Lelaki yang sampai detik ini tidak ingin dia sebut namanya. Pantas saja ketika pertama kali melihat Nic dia merasa tidak asing. Rupanya, Nic menuruni visual yang sejak remaja dia puja.Begitu sadar dari keterkejutannya, lekas Luna berjalan meninggalkan mereka berdua. Jangankan untuk terlibat dengan Liam lagi, bertemu dengannya saja tidak pernah ada dalam list rencana sepanjang hidupnya. Namun,"Luna!"Suara panggilan beserta tubuh tinggi yang menghadang langkahnya membua
Liam mendapatkan delikan tajam begitu tiba di rumah orang tuanya. Meski enam tahun telah berlalu, dan Liam telah meminta maaf atas apa yang terjadi di masa lalu, tetapi hal itu tidak serta merta membuat orang tuanya--terutama Tania--melunak. Sikap wanita baya itu sangat berubah sejak kejadian Liam kabur dengan Raisa."Grandma, bisakah aku tinggal di sini selama beberapa waktu? Aku sedang malas bertemu dengan Dad," gumam Nic, langsung duduk di pangkuan Tania, neneknya, begitu mereka tiba di kediaman orang tua Liam.Tania mengusap puncak kepala Nic dengan sayang. Meski Nic lahir dari rahim wanita yang tidak pernah dia restui untuk bersanding dengan anaknya, tetapi memang Tania menyayangi anak itu sebagaimana dia menyayangi cucunya yang lain. Lagipula Nic memang tidak memiliki salah apa pun dalam tragedi yang mematahkan banyak hati tersebut."Daddy-mu membuat kesalahan?" tanya Tania, melirik singkat pada Liam yang hanya duduk diam di sofa.Wajah Nic kembali berubah kesal saat Tania berta
Luna harus terbangun di pagi hari yang mendung ini saat sebuah teriakkan demi teriakkan di depan pintu apartemennya terdengar. Padahal, ini akhir pekan dan dia ingin lebih banyak istirahat setelah pertemuannya dengan Liam begitu menguras emosinya kemarin malam. Tapi jika teriakkan itu sudah terdengar lebih dari dua kali, Luna rasa dia tidak akan bisa tertidur lagi, atau apartemennya akan diporakporandakan oleh si kecil cerewet yang selalu datang di waktu tidak tepat."AUNTY, PAKET!"Luna menggelengkan kepala sambil tersenyum kecil saat mendengar teriakkan Aurora, keponakannya, di depan pintu. Dia bisa membayangkan bagaimana ekspresi gadis kecil itu sekarang. Mungkin, mata bulatnya tengah dipenuhi oleh rasa antusias. Bibir kecilnya memanyun. Dengan kepala yang miring, menunggu ia membuka pintu.Tanpa menunggu lama lagi, Luna lekas membuka pintu dan menemukan seorang bocah perempuan dengan rambut panjang yang diikat dua dengan pita merah yang menghiasi. Sementara di sisi kanannya, sosok
Sepulang Adi dari kantor, Nic ikut makan malam bersama dengan kakek dan neneknya. Namun yang dilakukan oleh anak itu selama beberapa sekon ini hanya diam sambil memainkan sendok di tangannya. Sementara nasi di atas piring masih tersisa cukup banyak.Tania yang menyadari keanehan yang dilakukan oleh Nic, menatap suaminya sambil memberikan tatapan seolah bertanya apa yang terjadi pada cucu mereka."Sayang, ada apa?" Adi akhirnya bertanya pada Nic.Sesaat, Nic langsung tersadar dari lamunan. "Tidak ada, Grandpa. Aku hanya sedang kesulitan memikirkan sesuatu."Tania dan Adi kembali saling melemparkan pandang. "Apa karena sekolahmu, hm? Daddy belum memutuskan ke mana kamu akan bersekolah?"Nic menggeleng pelan. "Bukan, Grandma. Aku sedang memikirkan nama wanita yang aku temui di toko mainan tadi. Aku ingat betul bahwa Dad memanggil namanya. Tapi aku lupa nama yang disebutkan oleh Dad."Tania seketika mengulum tawa. Ia kira apa yang me
"Kenapa kau menjanjikan hal yang sangat sulit untuk dilakukan, Ma?"Tania menghela napas untuk ke sekian kalinya mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Adi. Wanita itu menoleh, menatap suaminya lekat."Apa Papa masih berharap Luna menjadi menantu kita?" Tania melayangkan tanya lain, alih-alih menjawab pertanyaan Adi barusan."Ma, Mama lupa apa yang terjadi di masa lalu? Bagaimana sikap kurang ajar Liam yang dengan teganya meninggalkan Luna di hari pernikahan?" Adi tak habis pikir. "Kita telah mempermalukan keluarga Luna bahkan hingga menyebabkan Mas Okta meninggal dunia. Apakah setelah semua itu, Mama masih yakin baik Luna maupun keluarganya akan menerima kita lagi? Terutama, menerima Liam.""Ya, aku tahu. Akan sangat sulit bagi Luna bisa membuka hati kembali pada Liam. Tapi, Pa, setidaknya kita harus mencoba.""Dan membuka luka lama Luna yang belum tentu sudah kering?" respons Adi segera.Bahu Tania merosot. Menyadari apa yang dikatakan oleh Adi ada benarnya. Namun sebagai seorang i
Luna sedikit tidak mengerti mengapa Nic melakukan hal itu, dan ada maksud apa di balik semuanya. Namun, seandainya Nic bukan anak dari Liam, mungkin akan dengan senang hati dia menyetujuinya. Nic itu, terlepas dari latar belakangnya, adalah anak yang sangat menggemaskan dan lucu. Sejujurnya, Luna juga menyukainya."Nic, maafkan aku. Tapi sepertinya aku tidak memiliki waktu," ucap Luna dengan nada sesal. Dia sudah memutuskan untuk tidak berhubungan apa pun lagi dengan Liam. Dan bagaimana pun, berhubungan dengan Nic juga sepertinya akan berbahaya bagi Luna."Kenapa?" Nada suara Nic berubah menjadi sedih. "Apa kau memiliki banyak pekerjaan seperti Dad? Jika ya, aku akan menunggu sampai kau punya waktu luang.""Tidak, Nic. Sepertinya beberapa waktu ke depan aku tidak akan punya waktu kosong," dusta Luna kembali.Terjadi hening selama beberapa sekon, sampai Luna mengira bahwa sambungan telepon telah terputus. Namun ternyata tidak. "Apakah karena Dad pernah menyakitimu?"Pertanyaan yang di