"Papi!"
Luna berjalan cepat menghampiri ayahnya yang terjatuh pingsan secara tiba-tiba. Tidak peduli berkali-kali Luna tersandung oleh gaunnya sendiri, wanita itu hanya menatap lurus ayahnya bersama dengan air mata yang akhirnya jatuh berderai.
"Pi! Bangun!" jerit Luna histeris. Dia duduk di sisi ayahnya yang tergeletak tak berdaya. Orang-orang seketika berkerumun di antara pria paruh baya itu. Membuat oksigen terasa semakin menipis.
"Panggil ambulans!" Samar-samar, Luna mendengar suara Adi berteriak di belakang.
Luna juga bisa mendengar Cale berusaha untuk membubarkan kerumunan dengan alasan yang terbersit di benak Luna, bahwa kondisi ayahnya akan semakin memburuk karena pasokan oksigen yang kurang.
Luna sendiri tidak dapat memikirkan apa pun sekarang. Segala sesuatu terasa berjalan dengan cepat. Dia bahkan tidak diberikan waktu untuk bisa memahami kondisi sebelumnya, kemudian ditempa lagi dengan kondisi baru yang lebih membuatnya terpuruk. Dalam waktu yang terasa begitu menyesakkan itu, Luna hanya bisa berusaha bertahan. Apa pun caranya.
***
"Makanlah dulu sebentar, Luna."
Luna yang masih menunggu kabar mengenai ayahnya di depan Unit Gawat Darurat menoleh saat Tania, ibu Liam, datang menghampiri. Selain memikirkan mengenai kondisi ayahnya, di benak Luna masih berkeliaran banyak pertanyaan tentang hilangnya Liam.
Ke mana Liam pergi? Apa yang sebenarnya terjadi hingga lelaki itu meninggalkan acara pernikahan begitu saja? Apa kesalahannya? Dan banyak hal lain yang Luna pertanyakan di benak.
Luna hendak bertanya pada Tania, tapi dia mengurungkan niatnya. Entah mengapa, Luna seakan kehabisan tenaga sekarang.
"Kamu harus makan agar memiliki tenaga. Banyak hal yang harus kamu lakukan setelah ini. Papi kamu juga tidak akan mau melihatmu seperti ini, bukan?"
Luna tidak menjawab, tetapi tangannya lekas mengambil alih roti di tangan Tania dan memakannya dengan enggan. Tenggorokannya terasa sakit, seolah sesuatu menghalangi Luna untuk menelan. Namun dia tetap memaksakan diri menelan makanannya.
"Sebenarnya ke mana Liam pergi?"
Cale tiba-tiba mendekat pada Tania dan melayangkan pertanyaan yang sejujurnya sangat ingin Luna tanyakan sejak tadi. Tapi dia terlalu lelah untuk berbicara apa pun.
Tania menunduk mendengar pertanyaan yang dilayangkan oleh Cale. Ada sesal yang terpatri di wajahnya.
"Kalian semua pasti tahu kenapa hal ini terjadi. Tidak mungkin kalian tidak tahu apa pun, bukan?" cecar Cale.
Luna lekas memegang tangan Cale, menenangkan lelaki itu. Bagaimana pun, hal ini juga membuat Tania merasa terguncang, bukan mereka saja.
"Sebenarnya, Liam sempat menolak perjodohan," gumam Tania setelah beberapa saat. Tentu, hal itu membuat Luna terhenyak.
"Apa maksud Tante?" Akhirnya Luna bersuara.
"Seminggu sebelum pertunangan kamu dan Liam berlangsung, Liam sempat menyuarakan mengenai ketidaksetujuannya dalam perjodohan ini. Dia bilang, dia tidak bisa menikahi gadis yang sudah dia anggap sebagai adiknya sendiri."
Jantung Luna mencelus mendengar penjelasan yang diberikan oleh Tania. Membuatnya sadar, bahwasanya sejak awal hanya dia yang terus mengejar Liam. Bahwasanya, hanya dia yang menganggap Liam istimewa. Sementara Liam, dia menganggapnya demikian?
"Tapi sikapnya baik-baik saja selama ini, seolah-olah Liam tidak keberatan," gumam Luna. Atau mungkin tidak?
Mungkin, Liam telah menyiratkan beberapa hal bahwa dia tidak menyetujui perjodohan ini. Namun Luna tidak menyadarinya. Dia dibutakan oleh euforia karena akhirnya akan menikah dengan lelaki yang sudah lama dia puja-puja.
Mungkin, sikap dingin Liam yang selama ini Luna anggap wajar karena berpikir begitulah ia adalah salah. Mungkin, Liam benar-benar dingin karena tidak menyukainya.
"Kami pikir juga begitu, Luna." Tania menunduk penuh sesal. "Setelah Om Adi meyakinkan Liam, Liam akhirnya menerima perjodohan ini dengan baik."
"Lantas?"
Tania menggeleng pelan. "Tante tidak tahu mengapa dia memutuskan pergi di hari-H pernikahan dan apa yang membuatnya begitu nekat."
Luna memejamkan matanya dengan lelah mendengar hal itu. Tanpa terasa, air mata merembes membasahi pipinya. Hatinya bukan hanya patah, tapi nyaris hancur.
"Sementara menunggu kabar mengenai keadaan Papi, aku akan berusaha mencari keberadaan Liam."
Cale, meski terkadang menyebalkan, tetapi lelaki itu adalah pria yang akan selalu menjadi garda paling depan untuk melindunginya menggantikan Okta. Dia selalu sigap melakukan apa pun untuk Luna, tidak peduli hal apa yang akan dia lalui untuk melindungi Luna dan ibunya.
Lagi-lagi, tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Luna. Perempuan itu hanya memberikan anggukan pelan dan membiarkan Cale pergi menghubungi seseorang.
Namun sebelum sempat Cale kembali, ponsel Tania berdering singkat, menandakan notifikasi pesan. Lekas wanita itu membuka layar ponsel dan seketika tertegun.
Menyadari hal itu, Luna tahu ada yang tidak beres. Namun Luna tidak tahu bahwa ternyata, pesan yang pada akhirnya Tania biarkan Luna baca meninggalkan luka yang teramat dalam untuk perempuan itu.
Liam:
[Maaf, aku meninggalkan acara pernikahan begitu saja. Aku tidak bisa melanjutkan hal yang tidak aku ingini. Aku tahu Mama atau Papa akan marah padaku setelah ini, tapi aku harus melakukannya demi Raisa dan anak yang dia kandung. Maaf aku tidak bisa menjadi anak yang berbakti, aku memilih menjadi ayah yang bertanggung jawab.]Raisa dan anak yang dia kandung. Ayah yang bertanggung jawab. Luna berusaha mencerna dengan baik kalimat demi kalimat itu, sampai akhirnya dia bisa menyimpulkan bahwa Liam pergi bersama dengan kekasihnya yang tengah hamil.
Jelas, hati Luna remuk. Namun hal itu membawa benak Luna berkelana pada momen tujuh hari yang lalu saat dia dan Liam tengah berjalan-jalan di Karnaval, saat lelaki itu mengatakan hal yang berbanding terbalik dengan apa yang terjadi saat ini.
***
H-7 sebelum pernikahan, Luna menatap punggung tegap Liam yang terbungkus oleh hoodie hitam. Liam itu, meski memakai baju apa pun, entah mengapa selalu terlihat menawan. Mungkin, seharusnya dia menjadi model atau bintang film ketimbang bekerja di perusahaan. Luna melirik ke sekitar Karnaval, tempat mereka sedang berjalan-jalan setelah Luna merengek beberapa waktu lalu. Rupanya, Liam tengah menjadi pusat perhatian para gadis. Ya, ke mana pun Liam pergi, tampaknya, dia selalu mencolok dengan tubuh tinggi, kulit kuning langsat, serta wajahnya yang rupawan. Tak jarang, beberapa gadis secara terang-terangan menunjukkan ketertarikan mereka secara langsung kepada Liam. Ah, sial. Luna sadar salah satu hal yang dia sukai dari Liam adalah parasnya. Tapi hal itu pula yang dia benci dari lelaki itu, karena hal itu membuatnya disukai banyak gadis lain. "Liam!" panggil Luna. Dengan segera perempuan itu mensejajarkan langkah dengan Liam seraya menggandeng tangan lelaki tersebut, seolah sedang membu
Segalanya terasa seperti mimpi bagi Luna. Orang paling berharga yang dia miliki tiba-tiba saja pergi. Tanpa mengucapkan kata pamit dengan benar. Tanpa memberikan waktu bagi Luna untuk sedikitnya bisa belajar memahami situasi yang terjadi. "Mami, Luna. Sebentar lagi hujan, kita harus pulang." Di dekapan Vika, ibunya, Luna duduk diam menatap pusara yang masih baru bertuliskan nama ayahnya. Air matanya sudah kering, tetapi lukanya masih basah, sama seperti tanah kuburan Okta. Luna menatap Cale. Mendapati kakaknya memberikan anggukan kecil, isyarat agar Luna lekas berdiri. Sebagai anak, mereka harus tetap kuat agar Vika juga kuat. Luna menyadari betapa Cale berusaha untuk tetap tegar sebagai seorang putra dan anak pertama. Meski tidak bisa setegar Cale, Luna pikir setidaknya dia tidak terlihat begitu rapuh. Luna membantu ibunya berdiri. Bertekad untuk lebih kuat demi kakaknya, demi ibunya. Namun begitu melihat pigura berisi foto Okta yang tersenyum, Luna seakan kembali ditarik pada p
Enam tahun kemudian Suasana sibuk sudah menjadi hal yang biasa di kantor perusahaan Majalah Fashion Diezze. Namun dalam sebulan, selalu saja ada satu dua hari yang terasa lebih hectic daripada biasanya. Dan itu, kebetulan, adalah hari ini. Masalahnya, tidak seperti kantor lain, kantor tersebut juga dipenuhi oleh lalu lalang orang yang membawa stand hanger baju, tas-tas mahal, sepatu, dan properti-properti lain untuk pemotretan atau sesuatu yang lain. Mereka semua sibuk berlarian, berlomba-lomba dengan waktu. Atau, dengan atasan yang selalu ribet dan ingin selalu sat set sat set tanpa mau tahu kendala apa yang mereka alami. Seperti apa yang sedang dirasakan Luna sekarang. Di balik mejanya, Luna tengah disibukkan dengan tampilan majalah yang harus diterbitkan minggu ini. Pemimpin redaksi mereka yang baru tiba-tiba saja mengatakan untuk mengubah tampilan, alasannya agar tidak monoton. Padahal, hei! Luna sudah melakukan upaya terbaiknya dengan tim. Kemarin, atasannya juga sudah menyetuju
Bukan hanya bagi wanita, tetapi bagi seorang pria pun, ketika mereka telah mempunyai anak, waktu dan kehidupannya bukan lagi milik mereka sendiri. Terlebih bagi single parents seperti Liam. Dia dituntut untuk menjadi seorang ayah dan juga ibu di saat yang sama. Dan hal itu, terkadang melelahkan. "Levin dan Dylan akan pergi ke karaoke. Kau akan ikut?" Pria berlesung pipit membuka pintu ruangan Liam dengan kepalanya yang menyembul, sementara tubuhnya masih tersembunyi di balik pintu. Liam hendak menjawab, tetapi jerit ponsel di depannya membuat lelaki berusia pertengahan angka tiga puluhan itu seketika mengurungkan niat. Pundaknya lekas merosot tatkala melihat kontak yang tertera di layar. Sambil menggeser tombol hijau, pria itu menggeleng pada temannya. "Aku rasa tidak bisa. Aku mempunyai seorang pawang di rumah," balas Liam, meletakkan ponselnya di depan telinga. "DAD!" Dan suara lantang di seberang telepon seketika membuat Liam menjauhkan sejenak benda pipih itu dari telinganya.
"Sudah aku bilang, Dad, ibu peri itu pasti ada!" tandas Nic dengan cengiran lebar. "Bagaimana? Dia cantik, kan? Dan dia juga menyukaiku."Baik Luna maupun Liam sama-sama masih terdiam dengan kelu. Keduanya terlalu terkejut, rupanya dunia sesempit ini, sehingga mereka kembali dipertemukan, dalam momen ini, momen yang tak pernah terduga sebelumnya.Luna berdiri dari posisi jongkoknya barusan. Menatap Nic yang barusan memanggil Liam dengan panggilan Dad, perempuan itu seketika yakin bahwa Nic adalah anak dari lelaki itu. Lelaki yang sampai detik ini tidak ingin dia sebut namanya. Pantas saja ketika pertama kali melihat Nic dia merasa tidak asing. Rupanya, Nic menuruni visual yang sejak remaja dia puja.Begitu sadar dari keterkejutannya, lekas Luna berjalan meninggalkan mereka berdua. Jangankan untuk terlibat dengan Liam lagi, bertemu dengannya saja tidak pernah ada dalam list rencana sepanjang hidupnya. Namun,"Luna!"Suara panggilan beserta tubuh tinggi yang menghadang langkahnya membua
Liam mendapatkan delikan tajam begitu tiba di rumah orang tuanya. Meski enam tahun telah berlalu, dan Liam telah meminta maaf atas apa yang terjadi di masa lalu, tetapi hal itu tidak serta merta membuat orang tuanya--terutama Tania--melunak. Sikap wanita baya itu sangat berubah sejak kejadian Liam kabur dengan Raisa."Grandma, bisakah aku tinggal di sini selama beberapa waktu? Aku sedang malas bertemu dengan Dad," gumam Nic, langsung duduk di pangkuan Tania, neneknya, begitu mereka tiba di kediaman orang tua Liam.Tania mengusap puncak kepala Nic dengan sayang. Meski Nic lahir dari rahim wanita yang tidak pernah dia restui untuk bersanding dengan anaknya, tetapi memang Tania menyayangi anak itu sebagaimana dia menyayangi cucunya yang lain. Lagipula Nic memang tidak memiliki salah apa pun dalam tragedi yang mematahkan banyak hati tersebut."Daddy-mu membuat kesalahan?" tanya Tania, melirik singkat pada Liam yang hanya duduk diam di sofa.Wajah Nic kembali berubah kesal saat Tania berta
Luna harus terbangun di pagi hari yang mendung ini saat sebuah teriakkan demi teriakkan di depan pintu apartemennya terdengar. Padahal, ini akhir pekan dan dia ingin lebih banyak istirahat setelah pertemuannya dengan Liam begitu menguras emosinya kemarin malam. Tapi jika teriakkan itu sudah terdengar lebih dari dua kali, Luna rasa dia tidak akan bisa tertidur lagi, atau apartemennya akan diporakporandakan oleh si kecil cerewet yang selalu datang di waktu tidak tepat."AUNTY, PAKET!"Luna menggelengkan kepala sambil tersenyum kecil saat mendengar teriakkan Aurora, keponakannya, di depan pintu. Dia bisa membayangkan bagaimana ekspresi gadis kecil itu sekarang. Mungkin, mata bulatnya tengah dipenuhi oleh rasa antusias. Bibir kecilnya memanyun. Dengan kepala yang miring, menunggu ia membuka pintu.Tanpa menunggu lama lagi, Luna lekas membuka pintu dan menemukan seorang bocah perempuan dengan rambut panjang yang diikat dua dengan pita merah yang menghiasi. Sementara di sisi kanannya, sosok
Sepulang Adi dari kantor, Nic ikut makan malam bersama dengan kakek dan neneknya. Namun yang dilakukan oleh anak itu selama beberapa sekon ini hanya diam sambil memainkan sendok di tangannya. Sementara nasi di atas piring masih tersisa cukup banyak.Tania yang menyadari keanehan yang dilakukan oleh Nic, menatap suaminya sambil memberikan tatapan seolah bertanya apa yang terjadi pada cucu mereka."Sayang, ada apa?" Adi akhirnya bertanya pada Nic.Sesaat, Nic langsung tersadar dari lamunan. "Tidak ada, Grandpa. Aku hanya sedang kesulitan memikirkan sesuatu."Tania dan Adi kembali saling melemparkan pandang. "Apa karena sekolahmu, hm? Daddy belum memutuskan ke mana kamu akan bersekolah?"Nic menggeleng pelan. "Bukan, Grandma. Aku sedang memikirkan nama wanita yang aku temui di toko mainan tadi. Aku ingat betul bahwa Dad memanggil namanya. Tapi aku lupa nama yang disebutkan oleh Dad."Tania seketika mengulum tawa. Ia kira apa yang me