"Jangan terlalu gugup, Sayang. Rileks. Jangan sampai membuat kesalahan."
Luna, gadis dengan balutan gaun pengantin berwarna putih, tersenyum kecil menanggapi ucapan ayahnya. Dia melirik pada tangan ayahnya yang sesekali saling bertaut agak gemetar.
"Pi, mungkin seharusnya aku yang mengatakan hal itu padamu," tandas Luna.
Wanita itu menarik tangan Okta, ayahnya. Menepuk-nepuk pelan punggung tangan Okta yang sudah mulai mengkeriput. Luna tahu, ayahnya bahkan lebih gugup daripada dirinya saat ini.
Okta tersenyum canggung. "Apakah sikap Papi terlalu kentara?" tanyanya.
Luna mengangguk pelan. "Iya. Papi terlihat begitu jelas sedang merasa gugup." Dia tersenyum, melirik pada tas kecilnya di atas meja rias. "Mau minum pil penenang?" tawarnya kemudian. Ingat bahwa dia memiliki benda itu untuk berjaga-jaga.
"Memang boleh?"
Luna terkekeh pelan mendengar pertanyaan spontan yang diajukan oleh ayahnya. Pada saat seperti ini, entah mengapa Luna merasa bahwa ayahnya lebih kekanakkan daripada dirinya sendiri.
"Tentu boleh, Papiiii. Tidak ada yang melarang sama sekali," gumam Luna. Dia merogoh tas kecil miliknya dan mengeluarkan sebuah botol kecil berisi obat penenang yang diresepkan oleh dokter pribadinya.
Luna memberikan satu butir pil yang dia ambil dari botol tersebut pada ayahnya. Memperhatikan setiap gerak-gerik yang ayahnya lakukan saat meminum pil tersebut. Tiba-tiba saja, Luna teringat akan kenangan masa lalu dengan pria paruh baya tersebut. Kenangan yang terasa baru saja terjadi kemarin hari, saat dirinya merengek tidak mau naik ke panggung untuk memperoleh penghargaan yang hendak diberikan padanya sebagai murid terbaik.
Luna kecil saat itu kesal karena ayahnya tidak datang di hari perpisahan Taman Kanak-Kanak. Dia tidak ingin naik ke podium meski wali kelas terus membujuk. Semakin dipaksa, semakin Luna enggan. Bahkan Vika, ibunya, sudah tidak bisa melakukan penawaran apa pun lagi dengannya. Luna terus kekeh ingin kehadiran ayahnya saat itu juga. Untunglah, sesaat sebelum Vika hendak naik mewakili Luna, Okta datang. Lekas saja Luna berhambur ke pelukan lelaki itu, memintanya untuk naik ke atas panggung bersama.
Lebih daripada Luna, pada saat itu, justru Okta yang gugup bukan main. Di saat Luna menyampaikan pidato singkatnya, Okta hanya berdiri diam dengan tangis yang hampir pecah.
Luna pernah bertanya pada ibunya, "Bagaimana bisa Papi berakhir menjadi seorang pimpinan perusahaan besar, sementara Papi memiliki demam panggung seperti itu?"
Vika yang kebetulan dulu adalah sekretaris pribadi Okta menjawab dengan seulas senyum hangat yang membuat Luna merasa damai, "Papi kamu hebat dalam pekerjaannya. Dia selalu menyampaikan isi kepalanya dengan lugas, entah saat rapat, persentasi, atau saat berbicara dengan siapa pun. Dia luwes berkomunikasi serta selalu percaya diri. Tapi jika itu menyangkut tentang kamu dan kakakmu, sayangnya, dia tidak pernah sepercaya diri itu."
"Kenapa?" Luna bingung dengan jawaban yang diberikan Vika.
"Sebab dia terlalu mencintai kalian berdua," gumam Vika, mengelus rambut Luna yang tengah tertidur di pangkuannya. "Dia tidak takut salah dalam pekerjaannya, tetapi takut salah dalam hal mendidik dan membesarkan anaknya. Baginya, kalian berdua adalah hal paling berharga yang dia miliki. Hal yang selalu membuatnya antusias sekaligus takut."
Mungkin sejak saat itu, Luna mulai berpikir bahwa ayahnya lebih hebat daripada superhero apa pun yang pernah dia tonton. Ayahnya harus dihormati, lebih dari siapa pun manusia berpengaruh di dunia ini. Ayahnya adalah cinta pertama baginya. Sosok yang menjadi inspirasi, sosok yang takkan tergantikan.
"Sudah merasa lebih baik?" tanya Luna, menerima botol air mineral yang baru saja ditenggak oleh Okta.
Okta mengangguk seraya mengusap peluh yang membasahi dahi. "Ya, Papi baik-baik saja," jawabnya. Namun Luna masih bisa melihat kegugupan di wajahnya.
"Pi," panggil Luna. "Liam adalah pria yang baik. Papi mengenalnya sejak dia kecil. Dia menghormati Papi dan selalu menjagaku sejak dulu. Jangan terlalu mengkhawatirkan apa pun. Pada akhirnya aku jatuh pada pelukan lelaki yang Papi pilihkan sendiri untukku, bukan?"
Sepasang mata Okta berkaca-kaca. Sampai akhirnya, buliran bening jatuh di pipi lelaki itu. "Papi hanya tidak mengira bahwa sudah saatnya Papi melepaskan tanggung jawab atasmu pada pria lain, Sayang. Rasanya baru kemarin Papi menggendong bayi kecil yang menangis keras di rumah sakit. Mengajarimu berjalan, membawamu keliling kota, lalu membersamaimu setiap kali kamu lulus dari sekolah."
Hati Luna tercubit mendengar ucapan Okta. Pernikahan anak perempuan selalu menyisakan kesedihan yang terasa lebih pekat untuk seorang ayah.
Tak terasa, tetes demi tetes air mata akhirnya jatuh di wajah Luna. Sama seperti Okta, Luna juga merasakan hal serupa. Perasaan sedih, hampa, kosong, dan takut kehilangan semua momen kebersamaan yang dulu mereka lakukan semakin menyelimuti hati keduanya.
Luna berdiri dari duduknya. Lekas memeluk tubuh tegap Okta. "Aku masih anak Papi meski statusku sudah menjadi istri Liam, bukannya begitu?" hibur Luna pada ayahnya, serta pada dirinya sendiri.
Okta mengangguk. Balas memeluk tubuh putrinya yang terbalut gaun putih panjang yang terlihat menawan dan pas di tubuh Luna. Namun momen syahdu tersebut harus terinterupsi saat seseorang tiba-tiba saja membuka pintu dengan sekali gebrakan. Cale, kakak Luna.
"Cale, kau baik-baik saja, eh?" Okta bertanya setelah mengatasi keterkejutannya.
Pria dengan tuxedo hitam di ambang pintu berdiri diam. Wajahnya menyiratkan berbagai hal, tetapi tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir ranumnya. Tentu saja, hal itu membuat perasaan Luna dan Okta seketika menjadi tak karuan. Mereka berdua mulai berpikir hal yang tidak-tidak. Lalu benar saja, Cale selanjutnya mengatakan hal paling mengejutkan yang pernah Luna dan Okta dengar. Hal yang sama sekali tidak pernah mereka harapkan serta bayangkan.
"Liam tidak ada. Dia kabur dari pernikahan."
Jantung Luna rasanya berhenti berdenyut untuk sesaat. Isi kepalanya mendadak kosong. Luna bagaikan dihantam oleh badai saat tengah tenang.
"Jangan mengatakan hal yang tidak masuk akal, Cale!" pekik Okta, lekas menangkis ucapan Cale. "Papi tahu kamu selalu mengganggu adikmu. Tapi ini bukan waktu yang tepat. Dewasalah!"
Okta mengira bahwa Cale mempermainkan mereka. Namun Luna tahu bahwa hal itu bukan akal-akalan Cale. Bahkan sesaat setelah Cale datang, Luna sudah mulai memikirkan kemungkinan terburuk yang akan dia dengar. Kemungkinan yang baru saja dia pikirkan beberapa saat lalu, ketika pikirannya tiba-tiba berkelana pada hari saat dia melihat Liam bersama dengan wanita lain.
Saat Cale hanya diam tak merespons kembali ucapannya, Okta tampaknya tahu bahwa sesuatu yang salah benar-benar terjadi. Lelaki itu lantas dengan secepat kilat meninggalkan ruang tunggu.
Luna sendiri tidak bisa hanya berdiri diam. Dia menyusul ayahnya, bersama Cale yang dengan segera mendampingi dirinya seraya membawakan ekor gaun Luna.
Terdengar keributan di ballroom hotel tempat acara dilaksanakan. Begitu tiba, Luna tahu itu adalah ayahnya. Namun yang mengejutkan, secara tiba-tiba, dia melihat pemandangan yang membuat dirinya seketika akan tumbang.
"Papi!" jerit Luna keras, menghampiri pria paruh baya yang jatuh pingsan di kerumunan.
***
"Papi!" Luna berjalan cepat menghampiri ayahnya yang terjatuh pingsan secara tiba-tiba. Tidak peduli berkali-kali Luna tersandung oleh gaunnya sendiri, wanita itu hanya menatap lurus ayahnya bersama dengan air mata yang akhirnya jatuh berderai. "Pi! Bangun!" jerit Luna histeris. Dia duduk di sisi ayahnya yang tergeletak tak berdaya. Orang-orang seketika berkerumun di antara pria paruh baya itu. Membuat oksigen terasa semakin menipis. "Panggil ambulans!" Samar-samar, Luna mendengar suara Adi berteriak di belakang. Luna juga bisa mendengar Cale berusaha untuk membubarkan kerumunan dengan alasan yang terbersit di benak Luna, bahwa kondisi ayahnya akan semakin memburuk karena pasokan oksigen yang kurang. Luna sendiri tidak dapat memikirkan apa pun sekarang. Segala sesuatu terasa berjalan dengan cepat. Dia bahkan tidak diberikan waktu untuk bisa memahami kondisi sebelumnya, kemudian ditempa lagi dengan kondisi baru yang lebih membuatnya terpuruk. Dalam waktu yang terasa begitu menyesak
H-7 sebelum pernikahan, Luna menatap punggung tegap Liam yang terbungkus oleh hoodie hitam. Liam itu, meski memakai baju apa pun, entah mengapa selalu terlihat menawan. Mungkin, seharusnya dia menjadi model atau bintang film ketimbang bekerja di perusahaan. Luna melirik ke sekitar Karnaval, tempat mereka sedang berjalan-jalan setelah Luna merengek beberapa waktu lalu. Rupanya, Liam tengah menjadi pusat perhatian para gadis. Ya, ke mana pun Liam pergi, tampaknya, dia selalu mencolok dengan tubuh tinggi, kulit kuning langsat, serta wajahnya yang rupawan. Tak jarang, beberapa gadis secara terang-terangan menunjukkan ketertarikan mereka secara langsung kepada Liam. Ah, sial. Luna sadar salah satu hal yang dia sukai dari Liam adalah parasnya. Tapi hal itu pula yang dia benci dari lelaki itu, karena hal itu membuatnya disukai banyak gadis lain. "Liam!" panggil Luna. Dengan segera perempuan itu mensejajarkan langkah dengan Liam seraya menggandeng tangan lelaki tersebut, seolah sedang membu
Segalanya terasa seperti mimpi bagi Luna. Orang paling berharga yang dia miliki tiba-tiba saja pergi. Tanpa mengucapkan kata pamit dengan benar. Tanpa memberikan waktu bagi Luna untuk sedikitnya bisa belajar memahami situasi yang terjadi. "Mami, Luna. Sebentar lagi hujan, kita harus pulang." Di dekapan Vika, ibunya, Luna duduk diam menatap pusara yang masih baru bertuliskan nama ayahnya. Air matanya sudah kering, tetapi lukanya masih basah, sama seperti tanah kuburan Okta. Luna menatap Cale. Mendapati kakaknya memberikan anggukan kecil, isyarat agar Luna lekas berdiri. Sebagai anak, mereka harus tetap kuat agar Vika juga kuat. Luna menyadari betapa Cale berusaha untuk tetap tegar sebagai seorang putra dan anak pertama. Meski tidak bisa setegar Cale, Luna pikir setidaknya dia tidak terlihat begitu rapuh. Luna membantu ibunya berdiri. Bertekad untuk lebih kuat demi kakaknya, demi ibunya. Namun begitu melihat pigura berisi foto Okta yang tersenyum, Luna seakan kembali ditarik pada p
Enam tahun kemudian Suasana sibuk sudah menjadi hal yang biasa di kantor perusahaan Majalah Fashion Diezze. Namun dalam sebulan, selalu saja ada satu dua hari yang terasa lebih hectic daripada biasanya. Dan itu, kebetulan, adalah hari ini. Masalahnya, tidak seperti kantor lain, kantor tersebut juga dipenuhi oleh lalu lalang orang yang membawa stand hanger baju, tas-tas mahal, sepatu, dan properti-properti lain untuk pemotretan atau sesuatu yang lain. Mereka semua sibuk berlarian, berlomba-lomba dengan waktu. Atau, dengan atasan yang selalu ribet dan ingin selalu sat set sat set tanpa mau tahu kendala apa yang mereka alami. Seperti apa yang sedang dirasakan Luna sekarang. Di balik mejanya, Luna tengah disibukkan dengan tampilan majalah yang harus diterbitkan minggu ini. Pemimpin redaksi mereka yang baru tiba-tiba saja mengatakan untuk mengubah tampilan, alasannya agar tidak monoton. Padahal, hei! Luna sudah melakukan upaya terbaiknya dengan tim. Kemarin, atasannya juga sudah menyetuju
Bukan hanya bagi wanita, tetapi bagi seorang pria pun, ketika mereka telah mempunyai anak, waktu dan kehidupannya bukan lagi milik mereka sendiri. Terlebih bagi single parents seperti Liam. Dia dituntut untuk menjadi seorang ayah dan juga ibu di saat yang sama. Dan hal itu, terkadang melelahkan. "Levin dan Dylan akan pergi ke karaoke. Kau akan ikut?" Pria berlesung pipit membuka pintu ruangan Liam dengan kepalanya yang menyembul, sementara tubuhnya masih tersembunyi di balik pintu. Liam hendak menjawab, tetapi jerit ponsel di depannya membuat lelaki berusia pertengahan angka tiga puluhan itu seketika mengurungkan niat. Pundaknya lekas merosot tatkala melihat kontak yang tertera di layar. Sambil menggeser tombol hijau, pria itu menggeleng pada temannya. "Aku rasa tidak bisa. Aku mempunyai seorang pawang di rumah," balas Liam, meletakkan ponselnya di depan telinga. "DAD!" Dan suara lantang di seberang telepon seketika membuat Liam menjauhkan sejenak benda pipih itu dari telinganya.
"Sudah aku bilang, Dad, ibu peri itu pasti ada!" tandas Nic dengan cengiran lebar. "Bagaimana? Dia cantik, kan? Dan dia juga menyukaiku."Baik Luna maupun Liam sama-sama masih terdiam dengan kelu. Keduanya terlalu terkejut, rupanya dunia sesempit ini, sehingga mereka kembali dipertemukan, dalam momen ini, momen yang tak pernah terduga sebelumnya.Luna berdiri dari posisi jongkoknya barusan. Menatap Nic yang barusan memanggil Liam dengan panggilan Dad, perempuan itu seketika yakin bahwa Nic adalah anak dari lelaki itu. Lelaki yang sampai detik ini tidak ingin dia sebut namanya. Pantas saja ketika pertama kali melihat Nic dia merasa tidak asing. Rupanya, Nic menuruni visual yang sejak remaja dia puja.Begitu sadar dari keterkejutannya, lekas Luna berjalan meninggalkan mereka berdua. Jangankan untuk terlibat dengan Liam lagi, bertemu dengannya saja tidak pernah ada dalam list rencana sepanjang hidupnya. Namun,"Luna!"Suara panggilan beserta tubuh tinggi yang menghadang langkahnya membua
Liam mendapatkan delikan tajam begitu tiba di rumah orang tuanya. Meski enam tahun telah berlalu, dan Liam telah meminta maaf atas apa yang terjadi di masa lalu, tetapi hal itu tidak serta merta membuat orang tuanya--terutama Tania--melunak. Sikap wanita baya itu sangat berubah sejak kejadian Liam kabur dengan Raisa."Grandma, bisakah aku tinggal di sini selama beberapa waktu? Aku sedang malas bertemu dengan Dad," gumam Nic, langsung duduk di pangkuan Tania, neneknya, begitu mereka tiba di kediaman orang tua Liam.Tania mengusap puncak kepala Nic dengan sayang. Meski Nic lahir dari rahim wanita yang tidak pernah dia restui untuk bersanding dengan anaknya, tetapi memang Tania menyayangi anak itu sebagaimana dia menyayangi cucunya yang lain. Lagipula Nic memang tidak memiliki salah apa pun dalam tragedi yang mematahkan banyak hati tersebut."Daddy-mu membuat kesalahan?" tanya Tania, melirik singkat pada Liam yang hanya duduk diam di sofa.Wajah Nic kembali berubah kesal saat Tania berta
Luna harus terbangun di pagi hari yang mendung ini saat sebuah teriakkan demi teriakkan di depan pintu apartemennya terdengar. Padahal, ini akhir pekan dan dia ingin lebih banyak istirahat setelah pertemuannya dengan Liam begitu menguras emosinya kemarin malam. Tapi jika teriakkan itu sudah terdengar lebih dari dua kali, Luna rasa dia tidak akan bisa tertidur lagi, atau apartemennya akan diporakporandakan oleh si kecil cerewet yang selalu datang di waktu tidak tepat."AUNTY, PAKET!"Luna menggelengkan kepala sambil tersenyum kecil saat mendengar teriakkan Aurora, keponakannya, di depan pintu. Dia bisa membayangkan bagaimana ekspresi gadis kecil itu sekarang. Mungkin, mata bulatnya tengah dipenuhi oleh rasa antusias. Bibir kecilnya memanyun. Dengan kepala yang miring, menunggu ia membuka pintu.Tanpa menunggu lama lagi, Luna lekas membuka pintu dan menemukan seorang bocah perempuan dengan rambut panjang yang diikat dua dengan pita merah yang menghiasi. Sementara di sisi kanannya, sosok