Kaivan terbangun dengan kepala yang sangat berat dan sakit. Lelaki itu meringis sembari memijati kening.Jam berapa sekarang? Kenapa ia bisa berada di sini?Kaivan memaksakan diri untuk sadar dan menatap sepenjuru ruangan. Kamar Arawinda? Bukannya barusan mereka ada pertemuan dengan Chef Arjuna?Desahan terdengar dari mulut Kaivan.Lelaki itu kemudian tersadar bahwa, pasti ia mabuk.Ia kira karena meminum sedikit tidak akan berefek sepatal itu. Kaivan melirik nakas dan mendapati sebuah minuman. Ia mengambilnya untuk menyegarkan diri. Sesaat setelah cairan tersebut masuk ke dalam tenggorokannya, Kaivan bisa merasakan asam yang sangat pekat. Pereda pengar mungkin.Usai menelan semua itu, Kaivan turun dari pembaringan dan memutuskan untuk mandi terlebih dahulu. Ada beberapa helai bajunya di lemari Arawinda. Ia tak kuat jika harus pergi ke kamarnya sendiri.Saat turun dengan kondisi yang sudah lebih sadar, Kaivan pun bertanya pada kepala pelayan, "Dimana Arawinda?""Nyonya Arawinda tadi
"Disini ternyata."Arawinda mendapati Kaivan yang berjalan tenang ke arahnya. "Kenapa bisa?"Kaivan mengangkat ponselnya sembari tersenyum. "Saya bisa ngelacak keberadaan kamu dari ponsel yang sekarang lagi kamu mainin. Kenapa tadi enggak angkat panggilan saya?""Saya lagi mau ngehindar dari kamu, Kaivan! Saya itu marah. Marah sekali. Kamu ngerepotin tahu enggak? Bikin saya pusing sendiri!"Kekehan terdengar, Kaivan berjalan lebih dekat pada Arawinda. "Maaf, saya pikir tidak akan semabuk itu, toh hanya segelas. Lagi pula, alkohol yang saya cicipi tadi cukup enak dan nyaman di lidah saya.""Kalau memang tidak biasa minum, sebaiknya jangan seperti tadi." Arawinda menggerakan gelas berisi wine di tangannya lalu menghidu baunya dalam-dalam sebelum kemudian, meneguk dengan tenang."Siapa yang memberi kamu minuman itu?""Ini punya Papi, ada di kamar. Kenapa? Mau?" tanya Arawinda yang kini tengah duduk di kursi panjang depan kolam renang. Gio sudah tertidur. Rumah sudah sepi. Sedang ia masi
Arawinda terbangun sendirian di atas tempat tidur. Entah ia tertidur selama berapa lama yang jelas matahari sudah meninggi. Sesaat, Arawinda mengedip-ngedipkan matanya untuk menerima sinar matahari yang masuk menusuk di kamar. Kemana Kaivan? Arawinda menyingkirkan selimut yang menutupi tubuhnya. Gadis itu segera turun dari pembaringan untuk sekedar mencuci wajah dan membersihkan giginya. Sembari bertanya-tanya, kenapa tidak ada seorang pun orang di rumah ini yang membangunkannya?Padahal Arawinda ingin berangkat ke hotel pagi ini, manager hotel akan memberitahukan kepada Arawinda tentang progres pengecekan daftar tamu yang tercetak di undangan.Sembari mengelap wajahnya dengan handuk kecil, Arawinda pun masuk kembali ke area ruang kamar dan mendapati Kaivan yang sudah rapi berdiri dan membuka tirai. "Saya kira kamu sudah berangkat?""Kamu gak apa-apa, Arawinda?"Ditanyai begitu, Arawinda heran sendiri. "Maksudnya? Seperti yang kamu lihat, aku enggak apa-apa Kaivan."Kaivan mengang
Jatuh cinta itu memiliki seribu satu jalan dan cara. Ada yang cepat, ada yang membutuhkan waktu, ada yang berbelit, ada yang lurus-lurus saja, ada yang tenang, ada yang dipenuhi dengan kericuhan. Jatuh cinta itu menyenangkan, tapi menyedihkan. Katanya, dua sisi itu yang akan mewarnai kehidupan. Merah muda untuk kebahagiaanya dan hitam untuk kesedihannya. Dan dua perasaan itu sama-sama dibutuhkan dalam hidup. Untuk saling mengenal, untuk saling tahu. Cocok atau tidak. Harus berlanjut atau ya sudah.Dan ia rasa, seumur hidup yang ia lalui dengan panjang dan penuh perjuangan ini, tak pernah sekalipun Arawinda merasakan nano-nano itu, seperti apa yang dikatakan oleh manager umum tadi.Lalu entah kenapa, ia merasa iri. Melihat kehidupan orang lain nampak normal, dengan cinta mereka, dengan kehidupan mereka, dengan keseharian mereka. Kadang Arawinda iri. Ia ingin sehari saja, merasakan dan hidup di tubuh orang lain.Rambut bergelombang Arawinda yang digerai tertiup angin. Karena ia berada
Kaivan melepas jas dan menyisakan kemeja putih yang kini mencetak tubuhnya yang terpahat indah dengan sempurna. Sesaat ia melirik ke kanan kiri, Arawinda tak ada di kamar. Tadi, gadis itu pulang lebih dulu atas titah Kaivan. Toh tak ada yang benar-benar Arawinda kerjakan juga di kantor selain mengobrol dengan Atharya dan membuatnya was-was. Ia takut Atharya bertindak nekat sampai melenyapkan Arawinda. Tanpa basa-basi, Kaivan langsung melangkah ke halaman belakang, menemui Arawinda dengan rambut yang terikat tinggi tengah sibuk dengan bunga-bunga mawar kesayangannya.Sejujurnya, setiap kali Arawinda tengah sibuk dan fokus berkebun begini, Kaivan tidak pernah melewatkan satu hal yang harus ia akui secara jujur. Arawinda memang nampak amat sangat cantik."Aw!"Kaivan berkedip mendengar itu, saat melihat tangan Arawinda yang kini berkucuran darah, Kaivan pun segera mendekat dengan raut khawatir. Tangannya segera mengambil tangan Arawinda. "Kenapa kamu enggak hati-hati, kenapa enggak pak
Arawinda sudah menyiapkan baju-baju untuk pergi mengunjungi beberapa tempat tujuan. Mengirim undangan pada tamu-tamu tinggi yang menjadi sahabat Papi. Entah kenapa, rasanya sedikit menegangkan. Ia bahkan harus belajar tatacara berbicara dan bersikap saat bertemu mereka nanti.Karena Arawinda sadar bahwa posisinya bukan lagi anak dari Rajendra, melainkan sebagai pengurus hotel yang harus bersikap profesional.Dalam perjalanan ini, Arawinda juga agak sedikit sedih karena tak bisa membawa seorang stylishnya. Jadi mau tak mau nanti di sana, ia harus berpakaian dan berdandan sendiri."Arawinda."Saat melirik ke pintu, Arawinda menemui Kaivan yang masuk dengan kaus polonya tengah menjinjing kotak P3K. Dan mau tak mau ia mendesah."Kenapa? Kamu tidak suka dengan kehadiran saya, Arawinda?" tanya Kaivan sembari menempatkan diri di depan Arawinda yang sedang sibuk dengan koper."Kalau saya bilang tidak suka, apakah kamu tersinggung?" Pembicaraan mereka tempo hari, kala Kaivan menyuapi Arawinda
Arawinda makan dengan lahap makanan yang kini terhidang di hadapannya. Kaivan pun mengusap bibirnya sebelum berbicara, "Menikmati malam ini?""Iya." Arawinda menganggukan kepala tanpa ragu. "Makasih.""Tidak perlu berterimakasih, kebahagiaan kamu, kebahagiaan saya."Mendengar perkataan itu, Arawinda pun langsung terbatuk tanpa bisa ditahan-tahan. "Minum-minum."Tangan mungil Arawinda menerima gelas dari Kaivan dan meneguk isinya dengan rakus. "Udah lebih lega? Makannya pelan-pelan, saya enggak akan minta. Punya piring dan menu sendiri.""Bukan begitu." Arawinda mendengus. Padahal ia kaget mendengar perkataan Kaivan yang sedikit menggetarkan dinding perasannya.Kebahagiaannya menjadi alasan kebahagiaan bagi orang lain. Arawinda ... merasa terusik. usik yang menyenangkan sekaligus menggelisahkan."Makan lagi, abisin yang ada di piring. Ingat kan Arawinda, kalau kamu—""Harus menambah berat badan biar ideal." Arawinda menyambung perkataan Kaivan dengan mendelik. "Saya ingat itu dengan
Arawinda sudah berganti baju dengan pakaian yang lebih sopan, mereka datang ke salah satu rumah tamu di waktu sarapan pagi. Di jadwal yang sudah ditentukan. Karena rumah ini termasuk yang paling dekat keberadaanya. Rambut panjang Arawinda yang bergelombang hanya disisir, dengan bantuan Kaivan. Lalu, sebuah bando terpasang di bagian depan. Menahan agar tidak berantakan.Riasan tipis sebisanya sudah Arawinda tempelkan di wajah. Meski begitu, Arawinda masih tetap cantik paripurna. Saat turun dari mobil, Arawinda melihat dua paruh baya yang nampak menyambut kedatangan ia dan Kaivan di teras.Keduanya berjalan penuh senyum dan langsung bersalaman."Arawinda, sudah lama sekali saya tidak melihat kamu, apa kabar Nak?" tanya laki-laki yang nampak seumuran Papi perhatian."Saya baik Om Dhana." Arawinda masih ingat dengan jelas sosok ini. "Saya turut berduka cita atas kepergian Papi-mu pasti sangat berat untuk kamu lalui. Bahkan saat melayatpun, saya enggak bisa ngelihat kamu. Kata Gio, kamu