Jatuh cinta itu memiliki seribu satu jalan dan cara. Ada yang cepat, ada yang membutuhkan waktu, ada yang berbelit, ada yang lurus-lurus saja, ada yang tenang, ada yang dipenuhi dengan kericuhan. Jatuh cinta itu menyenangkan, tapi menyedihkan. Katanya, dua sisi itu yang akan mewarnai kehidupan. Merah muda untuk kebahagiaanya dan hitam untuk kesedihannya. Dan dua perasaan itu sama-sama dibutuhkan dalam hidup. Untuk saling mengenal, untuk saling tahu. Cocok atau tidak. Harus berlanjut atau ya sudah.Dan ia rasa, seumur hidup yang ia lalui dengan panjang dan penuh perjuangan ini, tak pernah sekalipun Arawinda merasakan nano-nano itu, seperti apa yang dikatakan oleh manager umum tadi.Lalu entah kenapa, ia merasa iri. Melihat kehidupan orang lain nampak normal, dengan cinta mereka, dengan kehidupan mereka, dengan keseharian mereka. Kadang Arawinda iri. Ia ingin sehari saja, merasakan dan hidup di tubuh orang lain.Rambut bergelombang Arawinda yang digerai tertiup angin. Karena ia berada
Kaivan melepas jas dan menyisakan kemeja putih yang kini mencetak tubuhnya yang terpahat indah dengan sempurna. Sesaat ia melirik ke kanan kiri, Arawinda tak ada di kamar. Tadi, gadis itu pulang lebih dulu atas titah Kaivan. Toh tak ada yang benar-benar Arawinda kerjakan juga di kantor selain mengobrol dengan Atharya dan membuatnya was-was. Ia takut Atharya bertindak nekat sampai melenyapkan Arawinda. Tanpa basa-basi, Kaivan langsung melangkah ke halaman belakang, menemui Arawinda dengan rambut yang terikat tinggi tengah sibuk dengan bunga-bunga mawar kesayangannya.Sejujurnya, setiap kali Arawinda tengah sibuk dan fokus berkebun begini, Kaivan tidak pernah melewatkan satu hal yang harus ia akui secara jujur. Arawinda memang nampak amat sangat cantik."Aw!"Kaivan berkedip mendengar itu, saat melihat tangan Arawinda yang kini berkucuran darah, Kaivan pun segera mendekat dengan raut khawatir. Tangannya segera mengambil tangan Arawinda. "Kenapa kamu enggak hati-hati, kenapa enggak pak
Arawinda sudah menyiapkan baju-baju untuk pergi mengunjungi beberapa tempat tujuan. Mengirim undangan pada tamu-tamu tinggi yang menjadi sahabat Papi. Entah kenapa, rasanya sedikit menegangkan. Ia bahkan harus belajar tatacara berbicara dan bersikap saat bertemu mereka nanti.Karena Arawinda sadar bahwa posisinya bukan lagi anak dari Rajendra, melainkan sebagai pengurus hotel yang harus bersikap profesional.Dalam perjalanan ini, Arawinda juga agak sedikit sedih karena tak bisa membawa seorang stylishnya. Jadi mau tak mau nanti di sana, ia harus berpakaian dan berdandan sendiri."Arawinda."Saat melirik ke pintu, Arawinda menemui Kaivan yang masuk dengan kaus polonya tengah menjinjing kotak P3K. Dan mau tak mau ia mendesah."Kenapa? Kamu tidak suka dengan kehadiran saya, Arawinda?" tanya Kaivan sembari menempatkan diri di depan Arawinda yang sedang sibuk dengan koper."Kalau saya bilang tidak suka, apakah kamu tersinggung?" Pembicaraan mereka tempo hari, kala Kaivan menyuapi Arawinda
Arawinda makan dengan lahap makanan yang kini terhidang di hadapannya. Kaivan pun mengusap bibirnya sebelum berbicara, "Menikmati malam ini?""Iya." Arawinda menganggukan kepala tanpa ragu. "Makasih.""Tidak perlu berterimakasih, kebahagiaan kamu, kebahagiaan saya."Mendengar perkataan itu, Arawinda pun langsung terbatuk tanpa bisa ditahan-tahan. "Minum-minum."Tangan mungil Arawinda menerima gelas dari Kaivan dan meneguk isinya dengan rakus. "Udah lebih lega? Makannya pelan-pelan, saya enggak akan minta. Punya piring dan menu sendiri.""Bukan begitu." Arawinda mendengus. Padahal ia kaget mendengar perkataan Kaivan yang sedikit menggetarkan dinding perasannya.Kebahagiaannya menjadi alasan kebahagiaan bagi orang lain. Arawinda ... merasa terusik. usik yang menyenangkan sekaligus menggelisahkan."Makan lagi, abisin yang ada di piring. Ingat kan Arawinda, kalau kamu—""Harus menambah berat badan biar ideal." Arawinda menyambung perkataan Kaivan dengan mendelik. "Saya ingat itu dengan
Arawinda sudah berganti baju dengan pakaian yang lebih sopan, mereka datang ke salah satu rumah tamu di waktu sarapan pagi. Di jadwal yang sudah ditentukan. Karena rumah ini termasuk yang paling dekat keberadaanya. Rambut panjang Arawinda yang bergelombang hanya disisir, dengan bantuan Kaivan. Lalu, sebuah bando terpasang di bagian depan. Menahan agar tidak berantakan.Riasan tipis sebisanya sudah Arawinda tempelkan di wajah. Meski begitu, Arawinda masih tetap cantik paripurna. Saat turun dari mobil, Arawinda melihat dua paruh baya yang nampak menyambut kedatangan ia dan Kaivan di teras.Keduanya berjalan penuh senyum dan langsung bersalaman."Arawinda, sudah lama sekali saya tidak melihat kamu, apa kabar Nak?" tanya laki-laki yang nampak seumuran Papi perhatian."Saya baik Om Dhana." Arawinda masih ingat dengan jelas sosok ini. "Saya turut berduka cita atas kepergian Papi-mu pasti sangat berat untuk kamu lalui. Bahkan saat melayatpun, saya enggak bisa ngelihat kamu. Kata Gio, kamu
"Kenapa muka kamu tiba-tiba pucat begitu, Arawinda?" bisik Kaivan sembari memperhatikan Arawinda. Kini mereka tengah makan siang bersama tiga orang lain yang harus mereka undang, karena jaraknya berdekatan, jadi mereka memutuskan untuk bertemu di salah satu restoran privat. Arawinda menggelengkan kepala, sebelah tangannya memegangi perut. "Enggak tahu.""Kamu capek? Sakit?" tanya Kaivan sembari sigap mengambil air putih.Arawinda merasa kesakitan. Amat sangat sakit di bagian perut. Entah apa ia datang bulan atau bagaimana hanya saja, rasanya tidak nyaman."Dimunum dulu." Kaivan perhatian, membantu Arawinda untuk minum dengan pelan."Kenapa Arawinda?"Salah seorang paruh baya yang hadir menanyakan. Arawinda mencoba terlihat baik-baik saja. "Saya enggak kenapa-kenapa kok. Cuma haus, makanya suami bantu saya untuk minum."Kaivan menganggukan kepala. Setelah menyimpan segelas air di meja, diam-diam ia memegang tangan Arawinda. Khawatir. "Kalau begitu, kami sangat berterimakasih atas un
Pemberhentian terakhir mereka adalah di daerah Bandung, atas keputusannya karena tak ingin Arawinda terlalu lelah akhirnya Kaivan meminta ke lima tamu undangan yang ada di kota yang sama untuk menyempatkan diri makan malam bersama. Seperti tadi siang. Akan lebih efisien dan tidak memakan waktu.Hingga akhirnya, kini Kaivan berakhir di kamar hotel yang sama. Tadinya, mereka akan membooking dua kamar hanya saja mengingat mereka adalah sepasang suami-isteri yang pastinya akan disoroti oleh banyak orang, Kaivan pun mengurungkan hal tersebut.Arawinda menatap perutnya yang terasa penuh, ia makan sangat banyak hari ini. Tak bisa dihindari karena semua teman-teman Papi sangat perhatian dan nampak menyayanginya dengan tulus. Mereka berulang kali menanyakan keadaan Arawinda dan selalu membanggakan karena Arawinda kuat bertahan padahal sudah melawati banyak hal yang menyakitkan."Kenapa?" tanya Kaivan sembari berdiri di depan Arawinda."Kenyang banget tahu.""Yaudah, istirahat sebentar, bersih-
Kini, satu-satunya orang yang tersisa dari semua tamu adalah, Pak Ridwan yang tinggal di pedalaman kota Jogja. Sosok pemilik pabrik kaca terbesar di Indonesia dengan kualitas terbaik dan sudah tersohor itu kini tinggal sederhana dan nyaman menikmati hari tau di pedalaman asli kita Jogja. Dan sesungguhnya, Arawinda sudah amat sangat lelah, empat hari tanpa henti terus berkunjung, dari satu tempat ke tempat lainnya. Dari satu orang ke orang lainnya. Ia lelah namun tak bisa berhenti begitu saja. Bagaimana pun, ia harus menyelesaikan urusannya. Ini yang terakhir, besok ia bisa kembali ke ruang kamarnya yang nyaman dan beristirahat sepuasnya, seharian."Makanan?" Arawinda menggelengkan kepala, menolak apa yang Kaivan tawarkan. Ia bahkan tak selera untuk sekedar makan sekarang. Sungguh. "Saya mau istirahat.""Sebentar lagi kita sampai.""Kenapa beliau harus tinggal di pedalaman, dengan jalan rusak dan penuh bebatuan begini? Apa hidup di perkotaan kurang nyaman untuk menikmati hari tua? Pad
Sembari mengigit kuku dan berdiri di depan jendela kamar hotel, Arawinda pun menempelkan ponsel di salah satu telinga. Ia tengah mencoba menelepon Diajeng namun berulang kali, panggilan itu tidak terangkat karenanya, Arawinda pikir, Kaivan harus segera mengetahui kondisi Ibu.Ketika sambungan telepon terakhir Arawinda diabaikan, Arawinda berbalik dan memutuskan untuk mencari Kaivan di luar. Malam sudah menjemput tapi sang suami belum juga kembali. Entah kemana dia sekarang.Saat baru membuka pintu, Arawinda menemui Kaivan yang tengah berjalan ke arah kamarnya."Kenapa?" tanya Kaivan saat mendapati wajah cemas Arawinda. "Kamu lebih baik pulang aja, saya dilarang ngasih tahu ini sama Diajeng, tapi Ibu lagi di rumah sakit sekarang. Katanya, Ibu kena komplikasi dan saya khawatir karena Diajeng enggak angkat telepon-telepon saya."Wajah cerah Kaivan sebelumnya menjadi keruh saat mengetahui hal tersebut."Saya bakalan di sini, ngurusin hotel semampu saya dan mungkin atas arahan Om Gio dan
Arawinda mengikuti langkah cepat Kaivan untuk pergi ke ruang rapat menemui Manager Umum yang kini sudah menunggu mereka di sana. Saat datang, Kaivan langsung duduk di salah satu kursi sedang Arawinda mengisi kursi lain di sampingnya."Dokumen yang saya minta sudah Anda siapkan?""Sudah Tuan Kaivan. Ini laporan kerja operasional hotel, proposal acara tahunan, di tahun-tahun sebelumnya juga di tahun ini. Rating dan peringkat hotel dari berbagai asosiasi terkenal yang menjadi kiblat perbisnisan. Serta data pelanggan tahunan."Kaivan menganggukan kepala puas. Sedang Arawinda hanya bisa menganga melihat apa yang ada di depannya. Berbagai macam dokumen yang nampak tebal sudah ada dan meminta Arawinda baca."Begini." Arawinda mengintrupsi. "Saya gak harus baca semua buku ini kan?""Kamu harus baca semua, Arawinda." Kaivan menaikan bahu. "Ini dasar kamu, agar bisa mengerti dan menjalankan bisnis hotel secara perlahan. Saya dulu juga saat masuk harus membaca semua dokumen ini berhari-hari.""B
Sesampainya di rumah sakit, Diajeng langsung melakukan prosedur agar Ibu bisa ditindak oleh dokter.Dan dengan cemas Diajeng menunggu tak jauh dari Ibu yang tengah diperiksa. Ah, ia harus memberitahukan Rama. Tapi masalahnya, Rama seringkali tidak membawa ponsel ketika pergi ke kebun.Sembari menarik dan mengembuskan napas panjang, Diajeng mencoba untuk tenang. Ia tak boleh berpikiran negatif. Benar, Ibu hanya sakit biasa. Karena terlalu lelah di kebun dan kurang beristirahat, beliau jadi begitu. Sesaat kemudian, Diajeng pun menganggukkan kepala. Hingga kemudian, dokter akhirnya keluar memberitahukan hal yang cukup membuat Diajeng sedih.Ibu hipertensi yang sudah tidak terkontrol. Hingga ada kemungkinan Ibu gagal ginjal dan stroke ringan sekarang. Bahkan kalau dibiarkan secara terus menerus Ibu bisa saja mengalami serangan jantung.Dan rasanya saat itu dunia Diajeng runtuh. Sebagai anak, ia merasa benar-benar gagal karena tak bisa mengurus Ibu dengan baik. Mengurus seorang wanita yang
Arawinda mengigit kuku sembari duduk di tengah pembaringan dengan lutut yang tertekuk. Matanya menatap tembok dan tak lepas dari sana sejak tadi. Mengingat semua kejadian semalam yang sudah ia lewati dengan Kaivan membuat ia tak mempercayai dirinya sendiri lagi. Bagaimana, Arawinda bisa mengeluarkan suara-suara erotis atas setiap sentuhan Kaivan. Bagaimana Arawinda yang seperti orang cabul yang ingin lagi dan lagi memangut bibir sang suami. Menelusuri dan menjambak tubuh Kaivan dengan ekspresi yang memancar menjijikan begitu.Arawinda berteriak tertahan sembari mengacak-acak rambut kepalanya. Ia terlalu malu, sangat amat malu dengan apa yang sudah terjadi.Kaivan sudah melihat tubuhnya. Hampir keseluruhan. Semuanya.Meski ya ... katanya sih, ia dan Kaivan sebelumnya sudah melakukan hal itu. Tapi beda! Kali ini Arawinda mengingat kegilaannya. Tak seperti malam saat ia mabuk dengan Atharya. Ia mengingat sampai tidak sadarkan diri di tempat. Lalu blank setelahnya.Daun pintu kamar nampak
"Eh." Arawinda keheranan kala mendapatkan buket bunga mawar putih dari manajer umum."Hadiah kecil dari saya atas kerja keras Nyonya Arawinda.""Kenapa harus sebegini?" Arawinda penuh senyum. Tiada yang lebih membahagiakan selain karena, apa yang telah ia kerjakan beberapa waktu terakhir banyak dipuji dan diapresiasi oleh orang lain. Apalagi sampai diberikan bunga begini."Bahkan saya rasa, belum cukup memberikan apresiasi untuk semua kerja keras Nyonya. Acara kemarin sukses dan gemerlap karena kerja keras Nyonya Arawinda.""Terima kasih banyak.""Sama-sama. Anda akan pergi kemana?""Saya turun untuk sarapan.""Tuan Kaivan?""Sudah langsung bertemu dengan Om Gio.""Ah iya, saya harus menyusul mereka berdua jadi, saya permisi.""Silahkan," dengan hati dan mood yang lebih baik, Arawinda pun berjalan ke arah restoran hotel. Sesaat dia duduk dan tanpa diminta, semua pegawai langsung siap siaga menghampirinya. Arawinda bertanya menu yang tersedia saat itu sebelum memilih beberapa. Teh hang
Kaivan mengembuskan napas saat Arawinda menjambak kembali rambut kepalanya entah untuk yang keberapa kali sembari menyerocos tak jelas."Pokoknya aku tuuuu benci banget banget sama Kaivan.""Iya, iyaaaa.""Dia nyuruh ini-itu ini-itu kayak bos aja. Padahal siaaaapa?" Arawinda sedikit mengeraskan tekanan suaranya di akhir kalimat. "Siapa pemilik dari hotel ini?!"Gio dan Kaivan secara bersamaan melihat Arawinda yang menepuk dadanya sendiri. "Akuuuuu!"Dan entah kenapa melihat tingkah itu, dua laki-laki itu malah tertawa.Di sisi lain Arawinda yang sudah hampir tak sadarkan diri mendorong kepala Kaivan sekenanya. "Aduh capek banget.""Kalau gitu kamu tidur dan istirahat aja sekarang," perintah Gio."Tapi yaaa!" Arawinda belum selesai berbicara ternyata. Kedua tangan kecilnya hinggap di rahang tegas Kaivan. "Untung dia ganteng banget. Jadi setidaknya walaupun nyebelin seenggaknya dia ganteng. Dan setidaknya, my first kiss—dskskskahdg."Kata yang selanjutnya keluar dari mulut Arawinda terde
Mendengar dari Zia bahwa kini Arawinda tengah menghadapi sosok Agra Atmadeva yang tengah mengamuk di depannya, Kaivan langsung berlari menghampiri sang istri sekuat tenaga."Gadis bodoh, tidak berpendidikan, penyakitan! Lihat saja, banyak kolega yang tidak akan mau bergabung dengan Maheswara lagi.""Ya sudah, tinggal dilihat kalau begitu." Arawinda kembali menyuapkan sesuatu ke dalam mulutnya."Jangan hina istri saya." Kaivan datang dengan suara dinginnya. "Silahkan Anda pergi dari sini. Kita bicarakan baik-baik nanti.""Bicara baik-baik? Saya bahkan tidak sudi."Kaivan tahu bahwa setelah ini, hubungannya dengan Agra Atmadeva akan memasuki babak yang sangat memanas. Tapi, demi apapun, Kaivan tidak merasa gentar. Karena kini ia mempunyai penopang yang kuat. Perusahaan dengan citra baik, orang-orang berkuasa dan cerdas serta sang istri."Lalu apa yang Anda inginkan dengan membuat keributan begini?" tanya Kaivan. "Sikap Anda yang baru saja menghina istri saya dengan tidak senonoh akan te
Arawinda menatap Kaivan yang kini berdiri di atas panggung mempresentasikan gelaran proyek besar yang akan dilakukan oleh Maheswari Group ke depannya. Beberapa orang yang sudah ikut bergabung dalam proyek tersebut disebutkan secara gamblang oleh Kaivan, berterimakasih karena sudah banyak membantu mewujudkan rencana dan keinginan dari perkembangan bisnis Maheswara. Tak hanya itu, sepertinya, setelah mendengar apa yang bisa mereka dapat dari ikut pada proyek ini, banyak kolega-kolega yang akhirnya tertarik. Untuk berinvestasi atau malah membeli apa yang Kaivan tawarkan."Pantas saja Pak Rajendra menjadikan Kaivan taring terdepan bagi Maheswara Group. Cara memimpinnya sangat luar biasa. Dia juga mencoba mengembangkan perusahaan ke ranah lain yang lebih besar."Dengan jelas Arawinda bisa mendengar pembicaraan sosok yang duduk tidak jauh di sampingnya.Gio yang kemudian menjawab. "Dia memang anak yang hebat, anak yang sangat cerdas. Dan sebagai seorang pembisnis sejati, Pak Rajendra tahu d
"Gak bisa tidur ya?"Arawinda merasakan elusan lembut di kepalanya. "Iya.""Mau saya pijet?""Kenapa?""Biar kamu bisa tenang dan tidur. Besok acara besar. Kamu harus banyak beristirahat," ujar Kaivan. Kini mereka berdua tengah berada di kamar hotel. Hari berganti malam, Arawinda nampaknya gelisah. Meski sudah dipersiapkan sematang mungkin, tetap ada peluang tentang apa saja yang bisa terjadi besok hari. Kaivan tahu hal tersebut. Terlebih beberapa pihak yang akhirnya tidak diundang dalam pesta rutin tahunan ini mulai menunjukkan sikap menyebalkan mereka. Apalagi Atmadeva Group. Mereka mulai menyebarkan fitnah-fitnah dan ucapan-ucapan tidak benar pada beberapa rekan bisnis.Dunia perhotelan sebenarnya memiliki lingkup yang kecil. Mereka akan memiliki rekan yang itu lagi dan lagi. Saling kenal satu sama lain.Dan untung saja, karena reputasi Maheswara Group selalu baik sejak dulu. Alih-alih ikut membenci dan menyalahkan, justru orang-orang yang mencoba dihasut oleh Atmadeva Group malah