Gio mengerutkan kening ketika pintu ruangannya diketuk. Sesaat, Gio meminta seseorang yang ada di luar sana untuk masuk. Dan kala menemui Arawinda yang kini mengenakan gaun berwarna hijau matcha, Gio pun buru-buru berdiri dan memberikan salam dengan membungkukan tubuh."Selamat datang, Nyonya Arawinda.""Jangan formal-formal Om."Alis Gio terangkat di kedua sisi. Meski begitu, lelaki matang tersebut pun mengangguk. "Ada apa?""Om sibuk enggak?"Untuk sesaat, retina mata Gio menatap pada layar komputer yang masih menayangkan pekerjaanya. Tetapi, lelaki itu malah menggeleng. Pekerjaan bisa ia selesaikan dengan cepat nanti. "Enggak kok, ada apa? Kamu datang ke sini sendiri?"Dengan polos, Arawinda mengangguk. "Kaivan udah ngebiarin saya keluar sendiri, meski tetap saja, saya diawasin secara tak kasat mata oleh orang-orang dan kamera. But no problem, saya seneng udah bisa jalan-jalan dengan bebas lagi. Enggak terkurung kayak satu tahun terkahir."Gio menganggukan kepala penuh pengertian.
Sembari duduk di kursi penumpang bagian belakang mobil, Kaivan melihat-lihat pemandangan dari setiap jengkal jalan yang ia lewati di Jakarta yang kini panas tak terbendung.Tangan Kaivan bergerak cepat mengambil ponsel kala barang itu berdering. Sesaat, matanya memincing mendapati panggilan dari Ibu.Buru-buru menggeser tombol hijau, Kaivan pun menerima panggilan tersebut. Paruh baya itu amat sangat jarang meneleponnya. "Halo Bu?"Suara Kaivan berubah lembut saat berbicara dengan Ibu."Halo Kaivan.""Ada apa? Kok Ibu tiba-tiba telepon?""Enggak, Ibu cuma kangen aja, sambil mau tahu kabar kamu di sana bagaimana?"Kaivan memperbaiki posisi duduknya sebelum sesaat kemudian menjawab, "Kabar Kaivan baik kok di sini. Gimana kabar Ibu sendiri?""Ibu juga baik.""Mbah Putri, Rama sama Diajeng gimana Bu?""Mereka juga pada sehat-sehat kok Nak. Kamu di sana makan teratur kan? Jangan sampai sakit. Jangan terlalu kelelahan, biar Ibu enggak khawatir terus sama kamu di sini.""Kaivan selalu makan t
Arawinda yang tengah mencatat sesuatu di kertas berbalik kala pintu kamar terbuka secara tiba-tiba. Seperti biasa, Kaivan tak pernah sama sekali menghargai privasi ia sebagai seorang wanita. Lelaki itu selalu berlaku seenak jidat. Mulai dari merampas ciuman pertama Arawinda lalu ... menidurinya?Apa mereka benar-benar melakukan hal yang tidak-tidak malam itu? Bagaimana kalau ia benar-benar hamil?Arawinda memijat kening, kenapa ia termakan oleh omong kosong yang dilontarkan oleh mulut kotor Kaivan?"Apa yang sedang kamu kerjakan Arawinda?" Kaivan yang kini sudah berbaring nyaman di atas lembut dan empuknya pembaringan memperhatikan Arawinda yang masih duduk menghadap buku yang ada di meja."Saya harus memberikan detail catatan pada beberapa hal penting untuk pesta, atas arahan Om Gio, saya akan segera melihat-lihat vendor yang pas yang dan bisa mengambil tanggung jawab dengan baik.""Tidak menggunakan jasa vendor tahun lalu?""Saya merasa ada beberapa kekurangan dari vendor tahun lal
"Saya Zia."Arawinda yang pagi menjelang siang itu tengah melukis mengangguk dan menerima kehadiran Zia dengan canggung.Zia memberesi penampilan sebelum kemudian, duduk di samping Arawinda. Dokter itu tidak membawa apa-apa, tidak seperti Atharya, yang selalu memberikan sebotol susu strawberry setiap mereka bertemu. Mencoba tak acuh, Arawinda pun kembali melukis dengan gerak yang sangat pelan."Bagaimana perasaan Anda akhir-akhir ini, Arawinda?""Umur Anda berapa?" tanya Arawinda tiba-tiba.Zia yang baru saja menghidupkan perekam di ponsel menoleh. Karena pertanyaan Arawinda barusan melampaui batas ekspektasinya."Ah umur saya." Zia menyelipkan rambutnya yang sering berantakan di daun telinga. "Untuk sekarang, saya berumur 33 tahun.""Apa Anda sudah menikah? Mempunyai anak?"Kenapa Arawinda tiba-tiba aneh?Zia sampai agak sulit untuk menjawab karena ia merasa pertanyaan Arawinda cukup mengusik hal-hal pribadi juga privasinya. Tapi dipikir-pikir ia harus terbuka agar bisa dekat denga
"Tentang perubahan yang akan kamu terapkan di pesta nanti, apa semuanya sudah dikonfirmasi oleh Kaivan?""Kaivan?" Arawinda berbalik, menatap Gio dengan kening yang kini mengerut. "Kenapa harus atas persetujuan Kaivan sedang, saya yang diberikan tanggung jawab. Sedang saya yang mengurus pesta ini dan bagaimanapun saya kan anak dari Rajendra Maheswara jadi, saya berhak mengatur pesta dengan keputusan sendiri.."Gio memutar bola mata. "Arawinda, konsep yang sudah tertulis di map yang kami berikan itu sudah final sebelumnya. Kami melalui rapat panjang dan berbagai pembahasan yang rumit—""Tapi konsep itu terlalu biasa-biasa saja. Tidak mewah, tidak wah dan monoton seperti tahun-tahun sebelumnya. Om Gio pasti termakan usia, sama dengan manager umum dan Kaivan. Om, sekarang tahun 2022, jadi Om Gio harus lebih mengikuti jaman. Bedakan dengan lima belas tahun lalu, saat pesta pertemuan kolega ini pertama kali terselenggara." Mobil berhenti di lampu merah, Arawinda membolak-balik halaman yang
Kaivan membasahi bibir bawah sebelum menyimpan kembali buku menu ke tempat semula. Bisa dilihat oleh mata kepalanya, Arawinda yang kini nampak tidak nyaman dan salah tingkah."Udah lama banget kita enggak ketemu.""Aku malah ngira kamu udah mati."Tawa sumbang menyebalkan terdengar."Tapi syukur deh kalau kamu masih hidup, aku seneng banget. Setahun terakhir loh kita enggak hangout.""Sumpah, bener banget, boleh gabung gak?"Kaivan mendengus, ia tak mengerti kenapa Arawinda tak sama sekali menjawab atau setidaknya membantah dua orang gila yang sudah memanfaatkan hidupnya. Sampai kini, mereka duduk di kursi kosong yang tersedia di bangku mereka.Dua parasit yang tidak tahu diri.Karena kesal, Kaivan pun berkata dengan dingin, "Kamu nemu dari mana satwa-satwa tidak tahu diri seperti mereka, Arawinda?"Dan lalu meja pun hening."Kamu itu manusia, Arawinda. Manusia. Tidak pantas untuk berada di lingkup satwa yang tidak tahu malu, yang tidak berattitude dan tukang minta-minta traktiran beg
"Apa?""Buka."Arawinda yang penasaran bergerak cepat membuka barang yang kini diangsurkan Kaivan. "Eh?"Melihat wajah kaget Arawinda, Kaivan pun mengalihkan pandangan."Beneran?" Sebuah ponsel canggih keluaran terbaru ada di tangan Arawinda yang kini nampak girang. Ia tak menyangka akan datang hari ini. Setelah setahun lebih Kaivan menyandra ponselnya. "Kenapa?"Karena semua perlakuan Kaivan tak pernah bisa Arawinda tebak dengan baik. Sejak awal selalu begitu. Kaivan selalu memutuskan hal yang tak masuk di otak mungilnya."Tentu, kamu pasti memerlukan barang itu.""Tapi kenapa?"Tangan Kaivan yang tadinya tersimpan di saku pun terangkat. Mengusap tengkuknya. "Saya rasa sudah waktunya, kamu bisa kembali hidup dengan baik, dengan nyaman. Setahun terakhir, saya merampas semua hak kamu bukan karena apa-apa. Pertama, saya tidak mau kamu lepas dari pengawasan mata saya, padahal kamu adalah amanat terbesar dari Pak Rajendra. Kedua, kamu terlalu labil, emosi-mu masih bergejolak, berlarut-laru
Usai berenang, Arawinda memutuskan untuk mandi dan berganti baju di kamarnya. Cukup menyegarkan dan menyenangkan bisa berolahraga seperti tadi meski tentu saja, ia dan Kaivan banyak sekali bertengkar masalah hal-hal kecil yang sebenarnya tidak terlalu penting.Sesaat, dengan rambut yang masih basah, Arawinda duduk di meja rias. Bukan mengambil hair dryer, melainkan mengambil jurnal. Memutuskan untuk menulis progres pesta yang sudah ia lakukan, sesuai dengan arahan dari Kaivan dan Om Gio, jangan ada yang terlewat, meski itu detail terkecil sekalipun. Dua orang perfectsionis itu benar-benar memiliki banyak tuntutan terhadapnya.Sesaat kala Arawinda tengah sibuk, pintu kamar hotelnya terbuka. Kaivan masuk dengan stelan jas rapinya seperti biasa. "Kamu mau kemana?" tanya Arawinda.Kaivan melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Masih ada lima belas menit sebelum ia bertemu dengan salah satu kolega."Saya memiliki pertemuan yang penting, apa yang sedang kamu lakukan?"Dua bah