Kaivan membasahi bibir bawah sebelum menyimpan kembali buku menu ke tempat semula. Bisa dilihat oleh mata kepalanya, Arawinda yang kini nampak tidak nyaman dan salah tingkah."Udah lama banget kita enggak ketemu.""Aku malah ngira kamu udah mati."Tawa sumbang menyebalkan terdengar."Tapi syukur deh kalau kamu masih hidup, aku seneng banget. Setahun terakhir loh kita enggak hangout.""Sumpah, bener banget, boleh gabung gak?"Kaivan mendengus, ia tak mengerti kenapa Arawinda tak sama sekali menjawab atau setidaknya membantah dua orang gila yang sudah memanfaatkan hidupnya. Sampai kini, mereka duduk di kursi kosong yang tersedia di bangku mereka.Dua parasit yang tidak tahu diri.Karena kesal, Kaivan pun berkata dengan dingin, "Kamu nemu dari mana satwa-satwa tidak tahu diri seperti mereka, Arawinda?"Dan lalu meja pun hening."Kamu itu manusia, Arawinda. Manusia. Tidak pantas untuk berada di lingkup satwa yang tidak tahu malu, yang tidak berattitude dan tukang minta-minta traktiran beg
"Apa?""Buka."Arawinda yang penasaran bergerak cepat membuka barang yang kini diangsurkan Kaivan. "Eh?"Melihat wajah kaget Arawinda, Kaivan pun mengalihkan pandangan."Beneran?" Sebuah ponsel canggih keluaran terbaru ada di tangan Arawinda yang kini nampak girang. Ia tak menyangka akan datang hari ini. Setelah setahun lebih Kaivan menyandra ponselnya. "Kenapa?"Karena semua perlakuan Kaivan tak pernah bisa Arawinda tebak dengan baik. Sejak awal selalu begitu. Kaivan selalu memutuskan hal yang tak masuk di otak mungilnya."Tentu, kamu pasti memerlukan barang itu.""Tapi kenapa?"Tangan Kaivan yang tadinya tersimpan di saku pun terangkat. Mengusap tengkuknya. "Saya rasa sudah waktunya, kamu bisa kembali hidup dengan baik, dengan nyaman. Setahun terakhir, saya merampas semua hak kamu bukan karena apa-apa. Pertama, saya tidak mau kamu lepas dari pengawasan mata saya, padahal kamu adalah amanat terbesar dari Pak Rajendra. Kedua, kamu terlalu labil, emosi-mu masih bergejolak, berlarut-laru
Usai berenang, Arawinda memutuskan untuk mandi dan berganti baju di kamarnya. Cukup menyegarkan dan menyenangkan bisa berolahraga seperti tadi meski tentu saja, ia dan Kaivan banyak sekali bertengkar masalah hal-hal kecil yang sebenarnya tidak terlalu penting.Sesaat, dengan rambut yang masih basah, Arawinda duduk di meja rias. Bukan mengambil hair dryer, melainkan mengambil jurnal. Memutuskan untuk menulis progres pesta yang sudah ia lakukan, sesuai dengan arahan dari Kaivan dan Om Gio, jangan ada yang terlewat, meski itu detail terkecil sekalipun. Dua orang perfectsionis itu benar-benar memiliki banyak tuntutan terhadapnya.Sesaat kala Arawinda tengah sibuk, pintu kamar hotelnya terbuka. Kaivan masuk dengan stelan jas rapinya seperti biasa. "Kamu mau kemana?" tanya Arawinda.Kaivan melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Masih ada lima belas menit sebelum ia bertemu dengan salah satu kolega."Saya memiliki pertemuan yang penting, apa yang sedang kamu lakukan?"Dua bah
"Saya memberikan jurnal pesta yang sudah saya tulis kepada Bapak Kaivan sebelumnya. Dan saya juga sudah beberapa kali berkonsultasi menanyakan tentang langkah yang saya ambil ini, Pak Gio. Dan Pak Kaivan menyetujuinya. Anggap saja ini penyegaran, pembaharuan agar pesta tahunan ini tidak membosankan bagi orang-orang yang hadir." Arawinda tersenyum tipis setelah menjelaskan semua ucapan Gio. "Saya tidak akan mengacak-acak apapun di sini, saya melakukan yang terbaik, Anda tenang saja."Gio melirik Kaivan yang menganggukan kepala, sisi bibirnya sedikit terangkat dengan mata yang masih fokus mengawasi Arawinda. "Nah selanjutnya untuk undangan, sudah selesai dicetak. Saya sudah meminta bantuan kepada manager umum untuk mendata nama-nama yang terdaftar di pesta tahunan di jurnal sebelumnya. Ada beberapa yang baru ditambahkan dan dikurangi sesuai persetujuan Pak Kaivan juga. Akan mulai disebar beberapa hari lagi."Arawinda lalu membalik halaman buku yang ada di tangannya. "Untuk makanan, har
Arawinda menarik dan mengembuskan napasnya. Tahan mabuk katanya? Gadis itu terkekeh kecil sembari menggelengkan kepala. "Chef Arjuna, sesuai dengan pembicaraan dan pilihan saya barusan, tolong dilaksanakan dengan sangat baik ya. Semuanya. Saya tidak ingin ada celah dan komentar buruk di pesta nanti tentang makanan dan minuman yang tersaji. Semuanya harus sempurna.""Baik Nyonya Arawinda.""Kalau begitu, terimakasih banyak atas pertemuan hari ini, saya dan ... suami pamit. Sampai bertemu lagi.""Ya, sampai bertemu lagi."Arawinda lalu mengalungkan tangan Kaivan dipundaknya. Membawa sang suami untuk keluar dari dalam ruangan tersebut dengan susah payah. Langkahnya terhuyung-huyung sedang Kaivan masih meracau."Dinosaurus, dinosaurus dimakan pake saus.""Yang bener aja!" Arawinda hampir terkekeh andai saja ia tidak tengah memendam amarah pada sang suami. Sesampainya di mobil, Arawinda langsung mendudukan sang suami di kursi penumpang bagian depan dan memasangkan sealbelt. "Nyusahin tah
Kaivan terbangun dengan kepala yang sangat berat dan sakit. Lelaki itu meringis sembari memijati kening.Jam berapa sekarang? Kenapa ia bisa berada di sini?Kaivan memaksakan diri untuk sadar dan menatap sepenjuru ruangan. Kamar Arawinda? Bukannya barusan mereka ada pertemuan dengan Chef Arjuna?Desahan terdengar dari mulut Kaivan.Lelaki itu kemudian tersadar bahwa, pasti ia mabuk.Ia kira karena meminum sedikit tidak akan berefek sepatal itu. Kaivan melirik nakas dan mendapati sebuah minuman. Ia mengambilnya untuk menyegarkan diri. Sesaat setelah cairan tersebut masuk ke dalam tenggorokannya, Kaivan bisa merasakan asam yang sangat pekat. Pereda pengar mungkin.Usai menelan semua itu, Kaivan turun dari pembaringan dan memutuskan untuk mandi terlebih dahulu. Ada beberapa helai bajunya di lemari Arawinda. Ia tak kuat jika harus pergi ke kamarnya sendiri.Saat turun dengan kondisi yang sudah lebih sadar, Kaivan pun bertanya pada kepala pelayan, "Dimana Arawinda?""Nyonya Arawinda tadi
"Disini ternyata."Arawinda mendapati Kaivan yang berjalan tenang ke arahnya. "Kenapa bisa?"Kaivan mengangkat ponselnya sembari tersenyum. "Saya bisa ngelacak keberadaan kamu dari ponsel yang sekarang lagi kamu mainin. Kenapa tadi enggak angkat panggilan saya?""Saya lagi mau ngehindar dari kamu, Kaivan! Saya itu marah. Marah sekali. Kamu ngerepotin tahu enggak? Bikin saya pusing sendiri!"Kekehan terdengar, Kaivan berjalan lebih dekat pada Arawinda. "Maaf, saya pikir tidak akan semabuk itu, toh hanya segelas. Lagi pula, alkohol yang saya cicipi tadi cukup enak dan nyaman di lidah saya.""Kalau memang tidak biasa minum, sebaiknya jangan seperti tadi." Arawinda menggerakan gelas berisi wine di tangannya lalu menghidu baunya dalam-dalam sebelum kemudian, meneguk dengan tenang."Siapa yang memberi kamu minuman itu?""Ini punya Papi, ada di kamar. Kenapa? Mau?" tanya Arawinda yang kini tengah duduk di kursi panjang depan kolam renang. Gio sudah tertidur. Rumah sudah sepi. Sedang ia masi
Arawinda terbangun sendirian di atas tempat tidur. Entah ia tertidur selama berapa lama yang jelas matahari sudah meninggi. Sesaat, Arawinda mengedip-ngedipkan matanya untuk menerima sinar matahari yang masuk menusuk di kamar. Kemana Kaivan? Arawinda menyingkirkan selimut yang menutupi tubuhnya. Gadis itu segera turun dari pembaringan untuk sekedar mencuci wajah dan membersihkan giginya. Sembari bertanya-tanya, kenapa tidak ada seorang pun orang di rumah ini yang membangunkannya?Padahal Arawinda ingin berangkat ke hotel pagi ini, manager hotel akan memberitahukan kepada Arawinda tentang progres pengecekan daftar tamu yang tercetak di undangan.Sembari mengelap wajahnya dengan handuk kecil, Arawinda pun masuk kembali ke area ruang kamar dan mendapati Kaivan yang sudah rapi berdiri dan membuka tirai. "Saya kira kamu sudah berangkat?""Kamu gak apa-apa, Arawinda?"Ditanyai begitu, Arawinda heran sendiri. "Maksudnya? Seperti yang kamu lihat, aku enggak apa-apa Kaivan."Kaivan mengang