"Mas, kamu yang undang mereka?" tanyaku setelah sampai di depan Mas Raffi. Sungguh, tidak pernah terpikir olehku jika Mas Raffi akan melakukan hal ini. Aku tidak bisa berkata-kata, hanya bisa bengong melihat mobil bergambar bermacam es krim, dan suamiku bergantian."Ya, untukmu. Jangan merajuk lagi, oke?" Aku menghampiri lebih dekat pada mobil itu yang sekarang bagian sampingnya sudah terbuka. Tanpa menunggu nanti lagi, aku langsung meminta mereka untuk memberikanku es krim rasa cokelat."Enak?" tanya Mas Raffi saat aku menikmati makanan dingin itu.Aku hanya mengangguk tanpa bicara. "Makannya di dalam, yuk. Di sini tidak ada tempat duduk.""Tapi, mereka?" tanyaku menunjuk pemilik truk es krim dan temannya yang diam di dalam mobil. "Mereka harus bekerja. Tuh!" Aku melihat ke arah yang ditunjuk suamiku. Ternyata banyak sekali orang-orang yang datang untuk menikmati kesempatan langka ini. Makan es krim gratis, yang dibayar khusus oleh suamiku.Saat aku dan Mas Raffi, serta Bibi sed
Aku kira, tidak ada siapa-siapa, ternyata Mama dan Mbak Cindy sedang ada di sana. Mereka tengah menikmati buah pir yang tadi aku beli dari minimarket."Ada yang ingin bicarakan sama kamu, Ra. Raya punya waktu?" tanya Mama membuatku sedikit tegang.Aku menganggukkan kepala meskipun perasaanku sedikit tidak enak. Dari cara Mama menatapku, mengajakku bicara, sepertinya apa yang ingin Mama bicarakan ini sangat penting. Dan aku, tidak tahu itu apa yang ingin disampaikan."Raya selalu ada waktu. Emangnya Mama mau bicara apa?" tanyaku."Begini, Nak. Tadi, Raffi datang ke Mama, dia minta saran sekaligus minta ijin untuk keluar dari rumah ini. Katanya mau beli rumah, untuk kalian berdua. Betul?" Aku menegakkan tubuh, mengangguk dengan mata tak lepas dari Mama."Nah, sebelum Mama jawab, Mama mau tanya dulu sama kamu. Ini kemauan Raffi, atau kemauan kamu?" Pertanyaan pertama Mama sudah membuat jantungku berdegup kencang. Aku menarik napas pelan, sebelum menjawabnya."Kemauan kita, Ma," jawabku
"Mbak, disuruh Mama ke dapur," ucapku pada Mbak Cindy yang tengah bermain ponsel di ruang televisi."Mau apa?" Mbak Cindy bertanya balik, tanpa melihat ke arahku."Nggak tahu, Mbak. Mungkin nyuruh masak."Mata Mbak Cindy yang tadi fokus pada ponsel, kini beralih padaku. Ia mengerutkan kening seraya menegakkan tubuhnya."Kamu, gak salah bicara, 'kan? Apa tadi? Masak? Raya, seumur-umur aku tidak pernah masak. Mama, tahu itu, kok," jawabnya dengan wajah juteknya dia."Tapi ....""Kamu pasti yang udah racunin pikiran Mama, 'kan? Biar Mama nyuruh aku ke dapur, dan ikut masak. Jangan, sok paling bisa, kamu. Kamu pikir kamu siapa? Kamu itu, gak lebih oke, dari aku!" Aku hanya bisa menarik napas dalam, lalu mengembuskannya saat Mbak Cindy bicara seraya berdiri, dengan telunjuk mengarah ke wajahku. Sungguh, jangankan untuk mengajarkan dia soal pekerjaan rumah, untuk hal sekecil ini pun Mbak Cindy sudah mencak-mencak."Ada apa, ini? Kenapa ribut?" Papa datang dari arah kolam ikan bersama Mas R
Aku mengembuskan napas kasar saat Mbak Cindy yang menjawab pertanyaanku. Sepertinya aku akan selalu salah jika bicara dengan dia. Apa pun yang aku katakan, jawabannya selalu sinis."Cindy, tidak boleh seperti itu menjawab pertanyaan dari orang. Tidak sopan." Mama menegur menantunya. "Belum, Ra. Mama akan berangkat ke yayasan, sebentar lagi. Setelah Pak Tarmin pulang mengantarkan Bi Marni dari pasar," lanjut Mama bicara kepadaku.Aku hanya mengangguk, seraya membulatkan mulut. Sedangkan Mbak Cindy, seperti biasa, ia akan mendelikkan mata kepadaku. Dalam hati, aku mengucapkan istighfar dengan sikap Mbak Cindy itu."Dengar, Mama ingin mengatakan sesuatu kepada kalian."Aku mengalihkan pandangan dari televisi ke wajah Mama yang terlihat sangat serius. Begitu pun Mbak Cindy yang duduk di sofa yang ada di depanku. Ia melihat Mama dengan lekat."Untuk Cindy, Mama tidak mengijinkan kamu keluar dari rumah ini. Apa pun alasannya, kamu tidak boleh keluar. Kecuali, kalau Raffa yang datang dan men
"Citraaa!!" Aku berseru dengan panik saat melihat Citra sudah berada di dalam kolam ikan. Buru-buru aku mengangkat tubuh kecil itu dan membuka semua bajunya."Kenapa masuk ke sana?" tanyaku seraya menggendong Citra."Cici tak ada teman. Cici mau main sama ikan, Tante," ujarnya dengan polos. Aku membawa Citra ke dalam kamarku. Memandikan dia, lalu membungkus tubuhnya dengan handuk. Tidak lupa, aku mengolesi kayu putih agar tubuhnya menghangat."Citra, tidak boleh lagi main ke kolam, ya? Bahaya, kalau nanti Citra terpeleset dan jatuh, gimana?"Anak itu hanya diam seraya mengangguk lemah.Kolam ikan memang tidak terlalu dalam. Hanya sebatas perut Citra. Namun, bawahnya sangat licin dengan pinggiran kolam yang dibentengi bebatuan. Takutnya, Citra akan terpeleset dan jatuh dengan kepala mengenai batu. Itu sangat berbahaya."Citra, sekarang kita turun ke bawah, dan Citra ambil baju di kamarnya Mami, ya?" "Iya, Tante. Tapi, nanti Tante main sama Cici, ya? Tante mau, 'kan?""Iya, Sayang. N
Aku tidak mempedulikan Mbak Cindy yang matanya sudah menyimpan amarah. Aku lebih memilih pergi mengabaikan dia yang menggerutu dengan bahasa kasarnya."Sudahlah aku seperti baby sitter anaknya, sekarang mau menjadikanku babu, juga?" ujarku bergumam seraya menyelimuti Citra yang tengah tidur meringkuk.Kutatap wajah mungil itu. Perpaduan wajah cantik Mbak Cindy dan wajah tegas Mas Raffa terukir indah menjadi satu. Citra begitu lucu dan menggemaskan. Namun, kecantikan Mbak Cindy tidak menggambarkan hatinya. Begitu kontras dan sangat jauh berbeda. Kasihan Citra, dia jadi korban keegoisan ibu kandungnya sendiri."Yaudah, aku pamit, ya? Jangan lupa, kabarin aku, jika nanti ada sesuatu yang menggembirakan.""Siap, pokoknya, kalau perlu aku akan rekam dan kasih ke kamu, agar kamu puas," ujar Mbak Cindy pada Malika.Mereka berjalan ke arah pintu utama, melewatiku yang tengah duduk melantai seraya membereskan mainan Citra. Setelah mengantar Malika ke depan pintu, Mbak Cindy kembali masuk, kem
[Raya.][Katanya mau ketemu, kapan?][Aku siap jadi pendengar setiamu.][Kalau ada apa-apa, hubungi aku saja. Aku siap datang kapan saja.][Aku masih sangat menyayangimu, Ra.]Aku mengusap wajah dengan kasar saat membaca pesan yang masuk ke ponselku. Yang membuatku heran ialah, kontak itu bernama 'Arga'. Sedangkan aku tidak menyimpan nomor dari pria itu. Suami mana yang tidak akan marah, jika ada pria lain yang mengirimkan pesan seperti itu kepada istrinya. Itu pun yang dialami Mas Raffi sekarang ini. Dia pasti tengah menahan amarah, hingga menghindariku dengan pergi ke kamar mandi."Ini tidak mungkin Arga, aku tidak pernah menyimpan nomor dia lagi," ujarku seraya terus memperhatikan kontak itu. "Sudah berkirim pesannya?" Aku mengangkat kepala melihat pada Mas Raffi yang baru saja keluar dari kamar mandi."Mas, aku tidak pernah berkirim pesan dengan orang ini. Aku juga tidak menyimpan nomor Arga.""Kalau tidak kamu simpan, nama itu tidak akan ada di daftar kontak kamu, Ra. Sepertin
Aku mengusap kedua mata, lalu turun dari ranjang untuk membuka pintu."Mbak, Ibu sama Bapak, nungguin Mbak sama Mas Raffi untuk makan bersama," ujar Bi Marni saat aku sudah membuka pintu."Iya, Bi. Aku turun sekarang." Aku menutup pintu setelah asisten rumah tangga itu menjauh dari kamarku.Kembali aku menghampiri Mas Raffi. Mengusap pipinya untuk membangunkan dia. Aku pun mengecup keningnya, agar dia tahu jika aku tersiksa dengan kediamannya."Mas, ditungguin Mama di bawah. Ayo, turun," ucapku mengguncang pelan tangannya."Aku tidak lapar, kamu saja yang makan." Hatiku senang saat Mas Raffi mulai membuka suara, tapi kembali merengut saat dia kembali diam dengan menutup seluruh tubuhnya dengan selimut.Meski tanpa Mas Raffi, aku memutuskan untuk turun menemui Mama. Takutnya, Mama pun tidak makan dan malah terus menunggu aku dan Mas Raffi. Dan benar saja, saat aku sampai di meja makan, piring Mama masih kosong. Ia benar-benar menunggu aku dan putra bungsunya."Lho, mana Raffi, Ra?" t