Paginya, seperti biasa aku akan bangun terlebih dahulu. Membereskan tempat tidur, lalu menyiapkan pakaian untuk Mas Raffi."Ra, hari ini aku tidak akan ke RRC."Aku menoleh pada Mas Raffi yang baru saja keluar dari kamar mandi."Kenapa?" tanyaku."Tidak ada apa-apa. Hanya ingin di rumah bersamamu," ucapnya seraya merentangkan tangan siap untuk memelukku."Stop! Aku sudah wudhu." Aku memberikan isyarat agar Mas Raffi tidak mendekat. Pundaknya merosot, dengan wajah yang ditekuk. Kemudian, kami pun melaksanakan salat berjamaah, sebagai rutinitas setiap subuh.Hal yang paling membahagiakan dalam pernikahan ini ialah, aku mendapatkan suami yang benar-benar bisa menjadi imamku, menyayangiku, dan sabar dalam menghadapiku yang terkadang seperti anak-anak. "Turun, yuk. Akan aku buatkan teh manis untukmu," ucapku seraya melipat mukena. Mengambil kerudung instan, lalu memakainya."Nanti sajalah, aku mau menelepon Bayu, untuk memberitahukan kalau aku tidak akan datang hari ini.""Oke, kalau git
"Kamu sukanya yang mana?" "Semuanya suka, Mas.""Ya, jangan semuanya juga. Uangku tidak cukup kalau beli semuanya," ujar Mas Raffi seraya mencubit pipiku.Saat ini aku dan suamiku tengah melihat-lihat katalog rumah. Ada beberapa gambar rumah dengan ukuran yang berbeda-beda. Rencananya, Mas Raffi akan membeli rumah minimalis untuk kami tinggali berdua. Senang? Tentu saja aku sangat senang. Diperhatikan dan dimanjakan dengan begitu luar biasa, membuatku menempatkan diri ini sebagai wanita paling beruntung. Si upik abu, sekarang jadi ratu."Mas, seandainya kalau kita punya tiga puluh rumah, itu pasti akan melelahkan, ya Mas? Kita tidurnya giliran, gitu. Satu hari di setiap rumah," ujarku seraya menopang dagu."Kalau kita punya rumah sebanyak tiga puluh, kita akan tua di jalan. Gak ada istirahatnya, keliling aja terus kayak gangsing."Aku tertawa renyah seraya kembali melihat-lihat gambar rumah. Kata Mas Raffi, uang tabungannya sudah cukup untuk membeli rumah. Dan dia mau aku yang mem
Dia Arga. Yang kebetulan, sedang belanja kebutuhan bulanannya. Terlihat, dari keranjang yang dia bawa sudah hampir penuh dengan berbagai macam kebutuhan dapur serta makanan ringan."Kenapa tidak ikut masuk?" tanyanya lagi."Tadi ada yang menelpon, jadi dia keluar untuk mengangkatnya.""Memangnya di sini ada larangan tidak boleh menerima panggilan telepon? Sepertinya tidak." Arga melihat ke sana kemari, mencari pengumuman itu. Memang tidak ada, Mas Raffi selalu menghargai orang lain di setiap tindakannya. Dia tidak ingin orang lain terganggu karena suaranya yang mungkin tidak enak didengar. Begitu jawaban yang aku dapat, saat aku tanyakan padanya."Privasi," kataku meninggalkan Arga. Aku tidak ingin terjebak dalam suasana yang tidak mengenakkan. Lebih baik aku menghindar, daripada nanti dilihat Mas Raffi."Tidak ada privasi antara suami dan istri. Hati-hati, nanti dia menyembunyikan sesuatu darimu."Aku yang hendak mengambil shampo, mengurungkan niat saat lagi-lagi, Arga datang dan b
"Mas, kamu yang undang mereka?" tanyaku setelah sampai di depan Mas Raffi. Sungguh, tidak pernah terpikir olehku jika Mas Raffi akan melakukan hal ini. Aku tidak bisa berkata-kata, hanya bisa bengong melihat mobil bergambar bermacam es krim, dan suamiku bergantian."Ya, untukmu. Jangan merajuk lagi, oke?" Aku menghampiri lebih dekat pada mobil itu yang sekarang bagian sampingnya sudah terbuka. Tanpa menunggu nanti lagi, aku langsung meminta mereka untuk memberikanku es krim rasa cokelat."Enak?" tanya Mas Raffi saat aku menikmati makanan dingin itu.Aku hanya mengangguk tanpa bicara. "Makannya di dalam, yuk. Di sini tidak ada tempat duduk.""Tapi, mereka?" tanyaku menunjuk pemilik truk es krim dan temannya yang diam di dalam mobil. "Mereka harus bekerja. Tuh!" Aku melihat ke arah yang ditunjuk suamiku. Ternyata banyak sekali orang-orang yang datang untuk menikmati kesempatan langka ini. Makan es krim gratis, yang dibayar khusus oleh suamiku.Saat aku dan Mas Raffi, serta Bibi sed
Aku kira, tidak ada siapa-siapa, ternyata Mama dan Mbak Cindy sedang ada di sana. Mereka tengah menikmati buah pir yang tadi aku beli dari minimarket."Ada yang ingin bicarakan sama kamu, Ra. Raya punya waktu?" tanya Mama membuatku sedikit tegang.Aku menganggukkan kepala meskipun perasaanku sedikit tidak enak. Dari cara Mama menatapku, mengajakku bicara, sepertinya apa yang ingin Mama bicarakan ini sangat penting. Dan aku, tidak tahu itu apa yang ingin disampaikan."Raya selalu ada waktu. Emangnya Mama mau bicara apa?" tanyaku."Begini, Nak. Tadi, Raffi datang ke Mama, dia minta saran sekaligus minta ijin untuk keluar dari rumah ini. Katanya mau beli rumah, untuk kalian berdua. Betul?" Aku menegakkan tubuh, mengangguk dengan mata tak lepas dari Mama."Nah, sebelum Mama jawab, Mama mau tanya dulu sama kamu. Ini kemauan Raffi, atau kemauan kamu?" Pertanyaan pertama Mama sudah membuat jantungku berdegup kencang. Aku menarik napas pelan, sebelum menjawabnya."Kemauan kita, Ma," jawabku
"Mbak, disuruh Mama ke dapur," ucapku pada Mbak Cindy yang tengah bermain ponsel di ruang televisi."Mau apa?" Mbak Cindy bertanya balik, tanpa melihat ke arahku."Nggak tahu, Mbak. Mungkin nyuruh masak."Mata Mbak Cindy yang tadi fokus pada ponsel, kini beralih padaku. Ia mengerutkan kening seraya menegakkan tubuhnya."Kamu, gak salah bicara, 'kan? Apa tadi? Masak? Raya, seumur-umur aku tidak pernah masak. Mama, tahu itu, kok," jawabnya dengan wajah juteknya dia."Tapi ....""Kamu pasti yang udah racunin pikiran Mama, 'kan? Biar Mama nyuruh aku ke dapur, dan ikut masak. Jangan, sok paling bisa, kamu. Kamu pikir kamu siapa? Kamu itu, gak lebih oke, dari aku!" Aku hanya bisa menarik napas dalam, lalu mengembuskannya saat Mbak Cindy bicara seraya berdiri, dengan telunjuk mengarah ke wajahku. Sungguh, jangankan untuk mengajarkan dia soal pekerjaan rumah, untuk hal sekecil ini pun Mbak Cindy sudah mencak-mencak."Ada apa, ini? Kenapa ribut?" Papa datang dari arah kolam ikan bersama Mas R
Aku mengembuskan napas kasar saat Mbak Cindy yang menjawab pertanyaanku. Sepertinya aku akan selalu salah jika bicara dengan dia. Apa pun yang aku katakan, jawabannya selalu sinis."Cindy, tidak boleh seperti itu menjawab pertanyaan dari orang. Tidak sopan." Mama menegur menantunya. "Belum, Ra. Mama akan berangkat ke yayasan, sebentar lagi. Setelah Pak Tarmin pulang mengantarkan Bi Marni dari pasar," lanjut Mama bicara kepadaku.Aku hanya mengangguk, seraya membulatkan mulut. Sedangkan Mbak Cindy, seperti biasa, ia akan mendelikkan mata kepadaku. Dalam hati, aku mengucapkan istighfar dengan sikap Mbak Cindy itu."Dengar, Mama ingin mengatakan sesuatu kepada kalian."Aku mengalihkan pandangan dari televisi ke wajah Mama yang terlihat sangat serius. Begitu pun Mbak Cindy yang duduk di sofa yang ada di depanku. Ia melihat Mama dengan lekat."Untuk Cindy, Mama tidak mengijinkan kamu keluar dari rumah ini. Apa pun alasannya, kamu tidak boleh keluar. Kecuali, kalau Raffa yang datang dan men
"Citraaa!!" Aku berseru dengan panik saat melihat Citra sudah berada di dalam kolam ikan. Buru-buru aku mengangkat tubuh kecil itu dan membuka semua bajunya."Kenapa masuk ke sana?" tanyaku seraya menggendong Citra."Cici tak ada teman. Cici mau main sama ikan, Tante," ujarnya dengan polos. Aku membawa Citra ke dalam kamarku. Memandikan dia, lalu membungkus tubuhnya dengan handuk. Tidak lupa, aku mengolesi kayu putih agar tubuhnya menghangat."Citra, tidak boleh lagi main ke kolam, ya? Bahaya, kalau nanti Citra terpeleset dan jatuh, gimana?"Anak itu hanya diam seraya mengangguk lemah.Kolam ikan memang tidak terlalu dalam. Hanya sebatas perut Citra. Namun, bawahnya sangat licin dengan pinggiran kolam yang dibentengi bebatuan. Takutnya, Citra akan terpeleset dan jatuh dengan kepala mengenai batu. Itu sangat berbahaya."Citra, sekarang kita turun ke bawah, dan Citra ambil baju di kamarnya Mami, ya?" "Iya, Tante. Tapi, nanti Tante main sama Cici, ya? Tante mau, 'kan?""Iya, Sayang. N
"Raihanum." Aku menyebut nama dari bayi perempuan yang sedang menggeliat di tempat tidurnya. Bibirku tersenyum manis menatap sepasang mata yang mulai melihat dunia. "Selamat pagi, Sayang ...." Aku mengusap pelan pipinya dengan jari telunjukku. Dia menggoyangkan kepalanya seolah merasa terganggu dengan sentuhan lembutku. Bibirnya bergerak seperti mengemut sesuatu. Dan aku semakin gemas melihat itu. "Hey, princess Papa sudah bangun ternyata?" Aku menoleh pada Mas Raffi yang baru saja datang, dan langsung menghampiriku. Bukan. Bukan aku yang dia datangi, melainkan putri kecilnya. "Sepertinya dia haus, Sayang," ujarnya lagi. "Iya. Dia cari sesuatu.""Kasihlah. Kasihan dia."Aku pun mengambil bayi perempuan berusia empat puluh hari itu. Kini, dia menggeliat dalam gendongan, lalu kepalanya ke kanan dan kiri mencari sarapan paginya. Aku membuka kancing piyamaku, kemudian memberikan asupan gizi untuk putriku tercinta. "Persiapan di bawah gimana, Mas?" Aku melihat pada Mas Raffi. "
"Sayang ... udah belum?" "Belum!" Aku berteriak menjawab pertanyaan Mas Raffi. Saat ini aku tengah mondar-mandir di kamar mandi seraya memegang testpack. Sudah lima belas menit aku di dalam sini, tapi benda kecil itu belum menyentuh urinku. Rasanya campur aduk antara takut tidak sesuai dengan ekspektasi, juga penasaran yang luar biasa. "Sayang, ayo, dong! Masa dari tadi belum terus!" Mas Raffi kembali berujar. "Iya, bentar, Mas!"Dengan tangan yang bergetar, aku memasukkan testpack ke dalam urin yang sudah aku tampung dalam wadah. Setelah beberapa detik menunggu, aku mengangkatnya dengan mata terpejam. Sebelah mata aku buka sedikit, mencari garis yang menjadi penentu aku hamil atau tidaknya. Samar-samar aku melihat garis itu, hingga akhirnya mata kubuka lebar-lebar untuk memastikan penglihatanku tidaklah salah. "Dua?" gumamku, kemudian bibir tersenyum. Aku menutup mulut dengan mata yang berkaca-kaca. Ini memang bukan kehamilan pertama, tapi rasanya masih sama seperti waktu tah
"Pagi, Sayang ...."Sepasang tangan melingkar di pinggang, disusul dengan kecupan kecil di pipi. Aku yang tengah berkutat dengan alat masak, membalas sapaan Mas Raffi dengan usapan pelan di lengannya. Hal seperti ini bukan terjadi sekarang, tapi setiap pagi datang. Sikap Mas Raffi selalu hangat dan tambah romantis sejak kami tinggal di rumah ini. Itu mengapa, aku memperkejakan asisten rumah tangga yang pulang pergi. Aku tidak ingin melewatkan keromantisan ini karena ada orang lain di istana kami. "Sudah aku siapkan teh di atas meja. Mas duduk, sebentar lagi gorengan yang aku buat akan matang," ujarku. "Emh ... enggak mau. Aku mau tetap meluk kamu sampai gorengan itu pindah ke meja makan." Mas Raffi berucap manja. "Nanti kamu kecipratan minyak, Mas.""Biarin. Jangankan minyak, percikan api asmara dari luar pun bisa aku padamkan demi kamu.""Hah, gimana-gimana?" Aku menoleh, mencari wajah Mas Raffi yang menyusup di tengkuk leherku. Dia tidak berani mengangkat kepala. Malah semaki
"Gini aja, deh, Fi. Daripada kamu jual perhiasan Raya, mendingan kamu pinjem uang aja dari Mama." Aku yang tadi sudah berpikiran buruk, merasa lebih tenang saat mendengar suara Mama. Ternyata yang masuk tadi bukan Reyhan, melainkan Mama dan Mas Raffi yang membahas perhiasan. Oh, ya ampun. Mas Raffi ketahuan Mama akan menjual perhiasan? Aku berjalan mendekati mereka yang berada di ruang tamu. Pandanganku mengarah pada Mas Raffi yang memberikan isyarat dengan menempelkan jari telunjuk di bibirnya. Aku mengangguk kecil, lalu meraih tangan Mama dan menciumnya. "Rayyan mana, Ra?" tanya Mama tanpa melepaskan tanganku. "Lagi main di ruang tengah, Mah.""Kalau gitu, kamu duduk di sini, Mama mau bicara dengan kalian."Aku dan Mas Raffi saling pandang, lalu aku pun duduk di samping Mama. Begitu pun Mas Raffi. Kami mengapit Mama yang berada di tengah-tengah. "Fi, Ra, kalian ini masih punya orang tua. Ada Mama dan Papa, yang masih bisa bantu kalian. Bukan Mama mau sombong, soal uang, insya
"Semalam aku kaget banget, loh saat Mas Bayu membekap mulutku. Aku kira itu Reyhan."Aku menyeruput jus alpukat seraya memperhatikan Rayyan yang bermain. "Tadi malam, saat aku menyuruh kamu tidur, emang sudah merasakan ketidakberesan di rumah kita. Yang kata aku melihat kucing di kosan, itu sebenarnya yang aku lihat emang manusia.""Kok, gak bilang ke aku?" tanyaku. Saat ini, aku dan Mas Raffi masih membahas kejadian semalam yang membuat tubuh ini bergetar ketakutan. Kami duduk lesehan di teras depan seraya mengasuh Rayyan yang bermain di halaman. "Aku tidak mau kamu takut, Ra. Makanya aku menyuruh kamu tidur cepat. Dan setelah kami tidur, aku langsung menelepon polisi untuk datang secara diam-diam. Dan Bayu juga.""Terus, saat aku bangun dan ke lantai bawah, kamu kan tidak ada. Itu ke mana?" Aku masih bertanya karena penasaran. "Aku di luar. Secara tidak langsung, aku menggiring Reyhan masuk ke kamar tamu lewat jendela. Dan Bayu, saat itu sudah ada di dalam rumah ini. Dia aku su
"Mas Bayu ngapain di sini?" tanyaku, saat dia melepaskan tangannya dari bibirku. "Aku diminta Raffi datang ke sini. Dan kamu tahu, yang ada di kamar itu siapa? Si Reyhan. Dia nyusup masuk ke rumahmu lewat jendela kamar yang tidak dikunci.""Apa?" Rasa terkejutku bertambah berkali lipat. Jika saja tadi aku masuk ke sana, habislah riwayatku. Reyhan pasti akan dengan mudah melakukan perbuatan jahatnya padaku. Suara gagang pintu yang diputar dari dalam kamar tamu, membuatku dan Bayu menoleh. Semakin lama, suara di sana semakin keras. Karena mungkin Reyhan sudah menyadari jika dia masuk perangkap. "Mas Raffi, mana?" tanyaku, karena tak kulihat keberadaan suamiku. "Dia di luar.""Sendirian?" tanyaku lagi. "Temenin, Mas. Aku takut Reyhan menyerang Mas Raffi. Dia belum pulih." Aku panik. Bayu hendak melangkah menjauh dariku, tapi dia urungkan saat ada bayangan yang berjalan mendekat ke arah kami. Tidak lama kemudian, lampu pun menyala membuat ruangan yang gelap menjadi terang. Aku lan
"Mas, kenapa liatin aku terus?" Mama dan Papa, serta semua kakak Mas Raffi sudah pergi beberapa menit yang lalu. Sekarang, tinggallah kami berdua, dan Rayyan yang sudah tidur. Hari memang sudah malam. Perabot pemberian kakak-kakak Mas Raffi pun, sudah disimpan ke tempat yang semestinya. Dibantu kakak dan kakak iparku tentunya. Saat ini, aku dan Mas Raffi tengah duduk berdua di lantai dua rumah kami. Aku dan dia sedang menikmati malam, melihat bintang dan bulan yang bersinar bersamaan. Gorden kaca sengaja dibuka agar langit terlihat jelas. Di depan kami, dua cangkir teh menjadi pelengkap kebersamaanku dengan Mas Raffi. "Malu, ih diliatin terus," kataku lagi, memalingkan wajah ke arah lampu hias berbentuk hati yang berada di sudut ruangan. Mas Raffi menyentuh daguku. Menariknya sangat pelan, agar tatapanku kembali padanya. "Karena aku kagum pada kecantikan istriku ini. Makanya, aku pandang terus.""Ih, gombal, deh," ujarku. Padahal dalam hati, aku bahagia mendapatkan pujian dari
"Saat di hotel waktu itu, sebenarnya Mbak percaya jika kamu tidak melakukan apa-apa dengan Reyhan. Kalau kamu selingkuh dengan Reyhan, untuk apa kamu meminta Mbak datang? Iya, kan?"Aku mengangguk saat Mbak Kinara menjeda ucapannya. Saat ini, hanya ada aku dan dia. Kami duduk berhadapan di meja makan, setelah tadi Mbak Nara memintaku bicara berdua. "Saat kamu pergi dari hotel itu, sebenarnya Mbak masih ada di sana. Mbak menemui Reyhan setelah melihatmu benar-benar keluar dan pergi. Aku meminta Reyhan mengatakan apa yang terjadi antara kami dengannya, versi dia. Meskipun aku tidak percaya pada Reyhan, tapi aku tetap mendengarkan dan merekam pengakuannya. Kamu tahu kenapa?" Mbak Kinara melempar tanya. Aku menggelengkan kepala. Aku tidak mau menduga-duga dan mengatakan yang tidak ada dalam pikiran."Aku cemburu padamu, Ra. Aku iri melihat kedekatan kamu dengan Mama, juga perhatian Mama pada Rayyan.""Ya Allah, Mbak ...." Aku menatap sendu pada Mbak Kinara yang menunduk. "Maafkan Mbak
"Ini untuk kami, Mah?" tanyaku pada Mama, yang tengah membereskan sayuran serta buah segar ke dalam kulkas. Tidak hanya itu, Mama juga membeli bermacam bumbu dapur, juga perlengkapan lainnya. "Iya, Ra. Kalau untuk Mama, tidak mungkin dikeluarkan dari mobil. Ini semua untuk kalian. Mama juga beli vitamin penambah nafsu makan untuk kamu. Tapi, Raffi enggak boleh minum vitamin ini, ya? Dia punya vitamin sendiri dari dokternya," ujar Mama. Aku mengiyakan. Meskipun malu karena keluar dari kamar dalam keadaan rambut yang basah, aku tetap menemui ibu mertua yang tengah berbenah di dapur. Sedangkan Mas Raffi, dia masih di kamar. Sedang berpakaian setelah pada akhir tadi kami mandi bersama. Untunglah, kedua mertuaku paham situasi. Dari mereka tidak ada yang mengetuk pintu kamar sejak kedatangannya. Keduanya kompak membawa bermain Rayyan agar tidak mencari keberadaan orang tuanya. Ck, malu ... aku malu. Tapi, mau gimana lagi? Semuanya gara-gara ... ah, masa iya aku harus menyalahkan Mas