"Kamu sukanya yang mana?" "Semuanya suka, Mas.""Ya, jangan semuanya juga. Uangku tidak cukup kalau beli semuanya," ujar Mas Raffi seraya mencubit pipiku.Saat ini aku dan suamiku tengah melihat-lihat katalog rumah. Ada beberapa gambar rumah dengan ukuran yang berbeda-beda. Rencananya, Mas Raffi akan membeli rumah minimalis untuk kami tinggali berdua. Senang? Tentu saja aku sangat senang. Diperhatikan dan dimanjakan dengan begitu luar biasa, membuatku menempatkan diri ini sebagai wanita paling beruntung. Si upik abu, sekarang jadi ratu."Mas, seandainya kalau kita punya tiga puluh rumah, itu pasti akan melelahkan, ya Mas? Kita tidurnya giliran, gitu. Satu hari di setiap rumah," ujarku seraya menopang dagu."Kalau kita punya rumah sebanyak tiga puluh, kita akan tua di jalan. Gak ada istirahatnya, keliling aja terus kayak gangsing."Aku tertawa renyah seraya kembali melihat-lihat gambar rumah. Kata Mas Raffi, uang tabungannya sudah cukup untuk membeli rumah. Dan dia mau aku yang mem
Dia Arga. Yang kebetulan, sedang belanja kebutuhan bulanannya. Terlihat, dari keranjang yang dia bawa sudah hampir penuh dengan berbagai macam kebutuhan dapur serta makanan ringan."Kenapa tidak ikut masuk?" tanyanya lagi."Tadi ada yang menelpon, jadi dia keluar untuk mengangkatnya.""Memangnya di sini ada larangan tidak boleh menerima panggilan telepon? Sepertinya tidak." Arga melihat ke sana kemari, mencari pengumuman itu. Memang tidak ada, Mas Raffi selalu menghargai orang lain di setiap tindakannya. Dia tidak ingin orang lain terganggu karena suaranya yang mungkin tidak enak didengar. Begitu jawaban yang aku dapat, saat aku tanyakan padanya."Privasi," kataku meninggalkan Arga. Aku tidak ingin terjebak dalam suasana yang tidak mengenakkan. Lebih baik aku menghindar, daripada nanti dilihat Mas Raffi."Tidak ada privasi antara suami dan istri. Hati-hati, nanti dia menyembunyikan sesuatu darimu."Aku yang hendak mengambil shampo, mengurungkan niat saat lagi-lagi, Arga datang dan b
"Mas, kamu yang undang mereka?" tanyaku setelah sampai di depan Mas Raffi. Sungguh, tidak pernah terpikir olehku jika Mas Raffi akan melakukan hal ini. Aku tidak bisa berkata-kata, hanya bisa bengong melihat mobil bergambar bermacam es krim, dan suamiku bergantian."Ya, untukmu. Jangan merajuk lagi, oke?" Aku menghampiri lebih dekat pada mobil itu yang sekarang bagian sampingnya sudah terbuka. Tanpa menunggu nanti lagi, aku langsung meminta mereka untuk memberikanku es krim rasa cokelat."Enak?" tanya Mas Raffi saat aku menikmati makanan dingin itu.Aku hanya mengangguk tanpa bicara. "Makannya di dalam, yuk. Di sini tidak ada tempat duduk.""Tapi, mereka?" tanyaku menunjuk pemilik truk es krim dan temannya yang diam di dalam mobil. "Mereka harus bekerja. Tuh!" Aku melihat ke arah yang ditunjuk suamiku. Ternyata banyak sekali orang-orang yang datang untuk menikmati kesempatan langka ini. Makan es krim gratis, yang dibayar khusus oleh suamiku.Saat aku dan Mas Raffi, serta Bibi sed
Aku kira, tidak ada siapa-siapa, ternyata Mama dan Mbak Cindy sedang ada di sana. Mereka tengah menikmati buah pir yang tadi aku beli dari minimarket."Ada yang ingin bicarakan sama kamu, Ra. Raya punya waktu?" tanya Mama membuatku sedikit tegang.Aku menganggukkan kepala meskipun perasaanku sedikit tidak enak. Dari cara Mama menatapku, mengajakku bicara, sepertinya apa yang ingin Mama bicarakan ini sangat penting. Dan aku, tidak tahu itu apa yang ingin disampaikan."Raya selalu ada waktu. Emangnya Mama mau bicara apa?" tanyaku."Begini, Nak. Tadi, Raffi datang ke Mama, dia minta saran sekaligus minta ijin untuk keluar dari rumah ini. Katanya mau beli rumah, untuk kalian berdua. Betul?" Aku menegakkan tubuh, mengangguk dengan mata tak lepas dari Mama."Nah, sebelum Mama jawab, Mama mau tanya dulu sama kamu. Ini kemauan Raffi, atau kemauan kamu?" Pertanyaan pertama Mama sudah membuat jantungku berdegup kencang. Aku menarik napas pelan, sebelum menjawabnya."Kemauan kita, Ma," jawabku
"Mbak, disuruh Mama ke dapur," ucapku pada Mbak Cindy yang tengah bermain ponsel di ruang televisi."Mau apa?" Mbak Cindy bertanya balik, tanpa melihat ke arahku."Nggak tahu, Mbak. Mungkin nyuruh masak."Mata Mbak Cindy yang tadi fokus pada ponsel, kini beralih padaku. Ia mengerutkan kening seraya menegakkan tubuhnya."Kamu, gak salah bicara, 'kan? Apa tadi? Masak? Raya, seumur-umur aku tidak pernah masak. Mama, tahu itu, kok," jawabnya dengan wajah juteknya dia."Tapi ....""Kamu pasti yang udah racunin pikiran Mama, 'kan? Biar Mama nyuruh aku ke dapur, dan ikut masak. Jangan, sok paling bisa, kamu. Kamu pikir kamu siapa? Kamu itu, gak lebih oke, dari aku!" Aku hanya bisa menarik napas dalam, lalu mengembuskannya saat Mbak Cindy bicara seraya berdiri, dengan telunjuk mengarah ke wajahku. Sungguh, jangankan untuk mengajarkan dia soal pekerjaan rumah, untuk hal sekecil ini pun Mbak Cindy sudah mencak-mencak."Ada apa, ini? Kenapa ribut?" Papa datang dari arah kolam ikan bersama Mas R
Aku mengembuskan napas kasar saat Mbak Cindy yang menjawab pertanyaanku. Sepertinya aku akan selalu salah jika bicara dengan dia. Apa pun yang aku katakan, jawabannya selalu sinis."Cindy, tidak boleh seperti itu menjawab pertanyaan dari orang. Tidak sopan." Mama menegur menantunya. "Belum, Ra. Mama akan berangkat ke yayasan, sebentar lagi. Setelah Pak Tarmin pulang mengantarkan Bi Marni dari pasar," lanjut Mama bicara kepadaku.Aku hanya mengangguk, seraya membulatkan mulut. Sedangkan Mbak Cindy, seperti biasa, ia akan mendelikkan mata kepadaku. Dalam hati, aku mengucapkan istighfar dengan sikap Mbak Cindy itu."Dengar, Mama ingin mengatakan sesuatu kepada kalian."Aku mengalihkan pandangan dari televisi ke wajah Mama yang terlihat sangat serius. Begitu pun Mbak Cindy yang duduk di sofa yang ada di depanku. Ia melihat Mama dengan lekat."Untuk Cindy, Mama tidak mengijinkan kamu keluar dari rumah ini. Apa pun alasannya, kamu tidak boleh keluar. Kecuali, kalau Raffa yang datang dan men
"Citraaa!!" Aku berseru dengan panik saat melihat Citra sudah berada di dalam kolam ikan. Buru-buru aku mengangkat tubuh kecil itu dan membuka semua bajunya."Kenapa masuk ke sana?" tanyaku seraya menggendong Citra."Cici tak ada teman. Cici mau main sama ikan, Tante," ujarnya dengan polos. Aku membawa Citra ke dalam kamarku. Memandikan dia, lalu membungkus tubuhnya dengan handuk. Tidak lupa, aku mengolesi kayu putih agar tubuhnya menghangat."Citra, tidak boleh lagi main ke kolam, ya? Bahaya, kalau nanti Citra terpeleset dan jatuh, gimana?"Anak itu hanya diam seraya mengangguk lemah.Kolam ikan memang tidak terlalu dalam. Hanya sebatas perut Citra. Namun, bawahnya sangat licin dengan pinggiran kolam yang dibentengi bebatuan. Takutnya, Citra akan terpeleset dan jatuh dengan kepala mengenai batu. Itu sangat berbahaya."Citra, sekarang kita turun ke bawah, dan Citra ambil baju di kamarnya Mami, ya?" "Iya, Tante. Tapi, nanti Tante main sama Cici, ya? Tante mau, 'kan?""Iya, Sayang. N
Aku tidak mempedulikan Mbak Cindy yang matanya sudah menyimpan amarah. Aku lebih memilih pergi mengabaikan dia yang menggerutu dengan bahasa kasarnya."Sudahlah aku seperti baby sitter anaknya, sekarang mau menjadikanku babu, juga?" ujarku bergumam seraya menyelimuti Citra yang tengah tidur meringkuk.Kutatap wajah mungil itu. Perpaduan wajah cantik Mbak Cindy dan wajah tegas Mas Raffa terukir indah menjadi satu. Citra begitu lucu dan menggemaskan. Namun, kecantikan Mbak Cindy tidak menggambarkan hatinya. Begitu kontras dan sangat jauh berbeda. Kasihan Citra, dia jadi korban keegoisan ibu kandungnya sendiri."Yaudah, aku pamit, ya? Jangan lupa, kabarin aku, jika nanti ada sesuatu yang menggembirakan.""Siap, pokoknya, kalau perlu aku akan rekam dan kasih ke kamu, agar kamu puas," ujar Mbak Cindy pada Malika.Mereka berjalan ke arah pintu utama, melewatiku yang tengah duduk melantai seraya membereskan mainan Citra. Setelah mengantar Malika ke depan pintu, Mbak Cindy kembali masuk, kem