"Kita mau ke mana, sih?" tanyaku setelah keluar dari rumah."Ke mana saja asal denganmu," ujar Mas Raffi seraya melirikku yang sedari tadi digandengnya.Kuberikan cubitan kecil di lengannya yang membuat dia terkekeh pelan.Aku tidak tahu Mas Raffi akan membawaku ke mana sekarang. Aku hanya mengikuti ke mana langkah kakinya bergerak. Saat ini, kita tidak pergi menggunakan kendaraan. Kita berjalan kaki, saling bergandengan tangan. "Mau ke mana, Fi? Berduaan saja!" Seorang wanita seumuran Mama berteriak dari dalam rumahnya. "Jalan-jalan, Tante. Sini, temenin kita biar jadi bertiga!" Mas Raffi melambaikan tangan pada wanita yang tengah duduk di kursi teras rumahnya. "Janganlah. Masak, iya nenek-nenek kayak gini jadi pelakor!"Aku dan Mas Raffi tergelak menanggapi candaan wanita itu. Kami pun kembali berjalan melewati rumah-rumah yang berjejer sangat bagus dan besar.Demi Tuhan, aku tidak pernah mengkhayal akan menikah dan tinggal di kawasan perumahan elit seperti sekarang ini. Aku cuk
Melihat mereka hanya akan membuat tekanan darahku meninggi. Aku berjalan mendahului Mas Raffi, dan masuk ke dalam kamar.Entah apa tujuan Mama mengizinkan wanita itu untuk menginap di sini. Keberatan pun aku rasa tidak punya hak. Karena ini rumah Mama, bukan rumahku."Kok, ninggalin?" tanya Mas Raffi saat aku baru saja keluar dari kamar mandi. "Takut gak keburu solat, Mas. Maghrib waktunya singkat," kataku melewatinya.Aku menggelar sejadah, memakai mukena dan siap untuk salat. Tinggal menunggu Mas Raffi yang masih di kamar mandi.Setelah selesai, aku diam seraya menonton tv. Jujur, melihat Malika ada di sini, membuatku malas melakukan apa-apa. Aku pun malas untuk turun ke bawah, meski hanya untuk bercengkrama dengan Mama."Sayang, aku lapar, deh. Makan, yuk!" ajak Mas Raffi seraya menyimpan kepala di pangkuanku."Kamu aja yang makan, aku malas. Mau di sini saja," jawabku tanpa mengalihkan pandangan."Beneran?""Heem.""Yaudah, jangan marah kalau nanti pahalamu diambil Malika.""Maks
Aku mengusap keningku yang sedikit berkeringat saat Bi Marni datang terpogoh-pogoh menghampiriku. "Mbak Raya tidak apa-apa?" tanyanya khawatir."Ah, aku tidak apa-apa, Bi. Bisa buatkan saya jus mangga? Rasanya saya ingin minum yang segar.""Bisa, Mbak. Tunggu sebentar," ujar Bi Marni langsung menyiapkan apa yang aku inginkan.Sambil menunggu Bibi membuat jus mangga, aku duduk kembali di kursi. Mengatur napas, mengontrol emosi yang sedari tadi aku tahan. Malika, wanita itu benar-benar menguji kesabaranku. Dengan terang-terangan dia menyuruhku mengakhiri pernikahan yang baru saja kubangun. Lucu sekali, dia memintaku mundur, agar dia bisa menjadi wanitanya suamiku. Entah di mana pikiran dan perasaan wanita itu, hingga dengan mudahnya mengatakan ingin merebut suamiku."Mbak, jusnya."Aku mengangguk saat Bi Marni menyimpan jus di depanku. Pikiranku masih tersita oleh Malika. Bukan hanya wajahnya yang hitam, tapi rupanya hatinya pun demikian. Kuambil gelas berisikan jus, menegaknya cepat
Paginya, seperti biasa aku akan bangun terlebih dahulu. Membereskan tempat tidur, lalu menyiapkan pakaian untuk Mas Raffi."Ra, hari ini aku tidak akan ke RRC."Aku menoleh pada Mas Raffi yang baru saja keluar dari kamar mandi."Kenapa?" tanyaku."Tidak ada apa-apa. Hanya ingin di rumah bersamamu," ucapnya seraya merentangkan tangan siap untuk memelukku."Stop! Aku sudah wudhu." Aku memberikan isyarat agar Mas Raffi tidak mendekat. Pundaknya merosot, dengan wajah yang ditekuk. Kemudian, kami pun melaksanakan salat berjamaah, sebagai rutinitas setiap subuh.Hal yang paling membahagiakan dalam pernikahan ini ialah, aku mendapatkan suami yang benar-benar bisa menjadi imamku, menyayangiku, dan sabar dalam menghadapiku yang terkadang seperti anak-anak. "Turun, yuk. Akan aku buatkan teh manis untukmu," ucapku seraya melipat mukena. Mengambil kerudung instan, lalu memakainya."Nanti sajalah, aku mau menelepon Bayu, untuk memberitahukan kalau aku tidak akan datang hari ini.""Oke, kalau git
"Kamu sukanya yang mana?" "Semuanya suka, Mas.""Ya, jangan semuanya juga. Uangku tidak cukup kalau beli semuanya," ujar Mas Raffi seraya mencubit pipiku.Saat ini aku dan suamiku tengah melihat-lihat katalog rumah. Ada beberapa gambar rumah dengan ukuran yang berbeda-beda. Rencananya, Mas Raffi akan membeli rumah minimalis untuk kami tinggali berdua. Senang? Tentu saja aku sangat senang. Diperhatikan dan dimanjakan dengan begitu luar biasa, membuatku menempatkan diri ini sebagai wanita paling beruntung. Si upik abu, sekarang jadi ratu."Mas, seandainya kalau kita punya tiga puluh rumah, itu pasti akan melelahkan, ya Mas? Kita tidurnya giliran, gitu. Satu hari di setiap rumah," ujarku seraya menopang dagu."Kalau kita punya rumah sebanyak tiga puluh, kita akan tua di jalan. Gak ada istirahatnya, keliling aja terus kayak gangsing."Aku tertawa renyah seraya kembali melihat-lihat gambar rumah. Kata Mas Raffi, uang tabungannya sudah cukup untuk membeli rumah. Dan dia mau aku yang mem
Dia Arga. Yang kebetulan, sedang belanja kebutuhan bulanannya. Terlihat, dari keranjang yang dia bawa sudah hampir penuh dengan berbagai macam kebutuhan dapur serta makanan ringan."Kenapa tidak ikut masuk?" tanyanya lagi."Tadi ada yang menelpon, jadi dia keluar untuk mengangkatnya.""Memangnya di sini ada larangan tidak boleh menerima panggilan telepon? Sepertinya tidak." Arga melihat ke sana kemari, mencari pengumuman itu. Memang tidak ada, Mas Raffi selalu menghargai orang lain di setiap tindakannya. Dia tidak ingin orang lain terganggu karena suaranya yang mungkin tidak enak didengar. Begitu jawaban yang aku dapat, saat aku tanyakan padanya."Privasi," kataku meninggalkan Arga. Aku tidak ingin terjebak dalam suasana yang tidak mengenakkan. Lebih baik aku menghindar, daripada nanti dilihat Mas Raffi."Tidak ada privasi antara suami dan istri. Hati-hati, nanti dia menyembunyikan sesuatu darimu."Aku yang hendak mengambil shampo, mengurungkan niat saat lagi-lagi, Arga datang dan b
"Mas, kamu yang undang mereka?" tanyaku setelah sampai di depan Mas Raffi. Sungguh, tidak pernah terpikir olehku jika Mas Raffi akan melakukan hal ini. Aku tidak bisa berkata-kata, hanya bisa bengong melihat mobil bergambar bermacam es krim, dan suamiku bergantian."Ya, untukmu. Jangan merajuk lagi, oke?" Aku menghampiri lebih dekat pada mobil itu yang sekarang bagian sampingnya sudah terbuka. Tanpa menunggu nanti lagi, aku langsung meminta mereka untuk memberikanku es krim rasa cokelat."Enak?" tanya Mas Raffi saat aku menikmati makanan dingin itu.Aku hanya mengangguk tanpa bicara. "Makannya di dalam, yuk. Di sini tidak ada tempat duduk.""Tapi, mereka?" tanyaku menunjuk pemilik truk es krim dan temannya yang diam di dalam mobil. "Mereka harus bekerja. Tuh!" Aku melihat ke arah yang ditunjuk suamiku. Ternyata banyak sekali orang-orang yang datang untuk menikmati kesempatan langka ini. Makan es krim gratis, yang dibayar khusus oleh suamiku.Saat aku dan Mas Raffi, serta Bibi sed
Aku kira, tidak ada siapa-siapa, ternyata Mama dan Mbak Cindy sedang ada di sana. Mereka tengah menikmati buah pir yang tadi aku beli dari minimarket."Ada yang ingin bicarakan sama kamu, Ra. Raya punya waktu?" tanya Mama membuatku sedikit tegang.Aku menganggukkan kepala meskipun perasaanku sedikit tidak enak. Dari cara Mama menatapku, mengajakku bicara, sepertinya apa yang ingin Mama bicarakan ini sangat penting. Dan aku, tidak tahu itu apa yang ingin disampaikan."Raya selalu ada waktu. Emangnya Mama mau bicara apa?" tanyaku."Begini, Nak. Tadi, Raffi datang ke Mama, dia minta saran sekaligus minta ijin untuk keluar dari rumah ini. Katanya mau beli rumah, untuk kalian berdua. Betul?" Aku menegakkan tubuh, mengangguk dengan mata tak lepas dari Mama."Nah, sebelum Mama jawab, Mama mau tanya dulu sama kamu. Ini kemauan Raffi, atau kemauan kamu?" Pertanyaan pertama Mama sudah membuat jantungku berdegup kencang. Aku menarik napas pelan, sebelum menjawabnya."Kemauan kita, Ma," jawabku