"Enggak, tadi gue, cuma liatin doang. Belum, makan nasi," ujar Mas Raffi tergagap. Selera makanku hilang begitu saja saat mendengar suamiku sudah makan siang. Dan yang membuatku sedih ialah, ia makan dengan teman wanitanya, bukan dengan aku, istrinya. Dalam keadaan dada yang sesak, aku tetap membuka dan menghidangkan makanan untuk Mas Raffi, meskipun tanpa bicara. "Raya, sorry. Aku sepertinya salah ngomong. Kukira Raffi tadi ikutan makan, tapi ternyata tidak. Yasudah, aku keluar dulu, ya? Kalian selamat makan!" ujar Mas Bayu seraya berlalu. Aku hanya mengangguk seraya menunduk. Sungguh, aku sedang cemburu."Ra, kamu tidak marah padaku, 'kan?" tanya Mas Raffi yang melihatku membisu."Ra—""Silahkan dimakan, Mas. Em ... maaf, jika makanannya tidak enak. Kalau gitu, aku pulang duluan, ya? Sebenarnya aku cuma mau nganterin ini doang, aku sudah makan di rumah tadi. Selamat makan, Mas!" "Raya!" Aku tidak mengindahkan panggilan Mas Raffi. Aku terus berjalan dengan tergesa meninggalkan
Di dalam kamar, aku menumpahkan kekecewaanku terhadap Mas Raffi. Aku merutuki kebodohanku yang datang ke sana tanpa memberi kabar. Namun, aku tidak akan tahu apa-apa jika Mas Raffi tahu akan kedatanganku. Dengan air mata yang masih membanjiri wajahku, aku mengambil ponsel yang berdering. Rupanya Mas Raffi menghubungiku. Namun, aku abaikan. Aku tidak ingin mengangkat telepon dan berbicara dengannya.Tidak hanya meneleponku, Mas Raffi juga mengirimkan beberapa pesan yang tidak aku balas sama sekali. Aku ingin sendiri, ingin mengendalikan diri yang tidak bisa mengontrol emosi. "Raya ada di rumah 'kan, Bi?" Aku yang hendak akan keluar, mengurungkan niatku saat mendengar derap langkah, juga suara Mas Raffi yang bertanya kepada Bibi."Ada, Mas. Baru saja masuk. Tapi ... wajahnya murung. Tidak secerah saat pergi tadi," jawab Bi Marni.Kembali aku menjatuhkan tubuhku pada ranjang. Aku meringkuk menyembunyikan mata yang sudah memerah dengan air mata."Sayang, kamu marah padaku?" Mas Raffi m
"Sudahlah waktumu denganku kamu gantikan dengan wanita lain. Sekarang, makanan pun kamu habiskan, Mas. Tega." Aku menggerutu."Lalu aku harus apa? Kalau tidak dimakan, nanti kamu tersinggung. Sudah dimakan, masih salah. Aku, kok jadi serba salah, ya?" Aku tidak lagi bicara. Memilih diam seraya memikirkan sesuatu. Entahlah, aku masih menaruh curiga pada wanita bernama Malika itu. Menurutku, dia berlebihan. Mengucapkan terima kasih tidak harus dengan cara datang ke tempat kerja suamiku. Apalagi, sampai membawakan makan siang. 'Apa mungkin hanya perasaanku yang terlalu cemburu? Ah, mungkin saja.' "Ra, tidur?" Mas Raffi kembali mendekat. "Iya, aku ngantuk. Jangan ganggu," ucapku jutek. "Yasudah, tidur saja. Aku temenin." Mas Raffi kembali merebahkan diri di sampingku. Ia mengusap-usap kepalaku hingga akhirnya aku pun terlelap.Entah berapa lama aku tertidur, tapi rasa lapar memaksaku untuk bangun. Saat kulihat jam yang menempel di dinding, rupanya sudah pukul dua. Buru-buru aku pergi
Aku harus tahu, siapa sebenarnya Malika itu. Apa mungkin mantan kekasih Mas Raffi? Namun, Mas Raffi tidak pernah bercerita jika dia pernah punya pacar. Bahkan, dia selalu bilang jika aku, adalah wanita pertama yang menerima pernyataan cinta darinya."Mbak Raya, kenapa diam di sini?" Mama dan Mas Raffi langsung menoleh saat Bibi yang baru saja datang, bertanya padaku. Tentu saja, aku jadi salah tingkah karena ketahuan menguping."Sudah lama di sana, Ra? Kenapa tidak ke sini?" tanya Mama membuatku kian gugup."Ah, tidak. Baru juga nyampe. Raya mau makan, Ma. Tapi ... pengen sambil nonton tv," ujarku berjalan mendekati mereka."Boleh. Di mana pun juga boleh. Asal, harus makan. Tidak boleh, tidak makan," ucap Mama seraya tersenyum.Aku mengambil piring, menuangkan nasi serta lauk, lalu pergi meninggalkan mereka. Aku tidak ingin mengganggu obrolan Mama dan Mas Raffi, tentang masa lalu dan Malika. Sampai di ruang televisi, aku menyalakan tv dan duduk untuk menikmati makan siang yang sudah
"Oke, aku jawab. Dia adalah ...." "Rafi! Bisa bantuin Mama, gak?"Aku dan Mas Raffi menoleh bersamaan ke arah Mama yang berdiri seraya melihat pada suamiku."Bantuin apa, Mah?" tanya Mas Raffi."Mama mau beresin atas lemari, bisa bantu turunin barang-barang dari sana? Mama gak nyampe, Fi. Udah dicoba pakai kursi pun tetap tidak nyampe," keluh Mama membuat suamiku mengangguk-anggukkan kepala."Aku bantuin Mama dulu, ya? Nanti kita ngobrol lagi." Mas Raffi berdiri, ia berjalan mengikuti ke mana Mama pergi.Aku mengembuskan napas kasar. Sedikit lagi Mas Raffi untuk mengatakan siapa Malika, malah terhenti karena panggilan Mama. Dan aku, harus menunggu lagi sampai Mas Raffi punya waktu untuk mengatakannya.Jariku mengetuk-ngetuk remot dalam genggaman. Aku merasa, Mama sengaja memanggil suamiku saat ia akan mengatakan yang sebenarnya. Apa mungkin Mama melarang Mas Raffi untuk jujur padaku?"Astagfirullah ... aku tidak boleh suudzon," ucapku bergumam sendiri.Saat akan berdiri untuk menyimp
Mas Raffi melihatku seraya menelengkan kepala."Yakin akan dipakai semua?"Aku menggeleng."Ambil beberapa saja," pungkasnya melirik pada deretan sepatu wanita.Aku mengangguk paham. Mana mungkin juga aku akan memakai sepatu satu toko yang jelas ukurannya pun tidak sama. Ada yang besar dan kecil di kakiku.Dua pasang sepatu pantofel sudah digenggaman. Sekarang, Mas Raffi mengajakku pergi ke toko yang menjual berbagai merk tas. Namun, aku tidak memilih salah satu dari tas yang ada di sana. Tidak ada yang menarik hatiku untuk mengambilnya."Yakin tidak mau?""Tidak. Ke toko yang lain saja," ucapku.Aku dan Mas Raffi pun akhirnya pergi ke toko pakaian. Memilih beberapa kaus untuk suamiku."Eh, liat, deh. Itu muka laki-lakinya hitam sebelah. Itu ceweknya gak risih apa, jalan sama laki-laki jelek kayak gitu? Kalau aku, sih ogah!" Telingaku panas mendengar dua wanita di sampingku yang tengah berbisik-bisik membicarakan Mas Raffi. "Mungkin dia kaya, makanya ada cewek yang mau. Coba kalau m
"Kita mau ke mana, sih?" tanyaku setelah keluar dari rumah."Ke mana saja asal denganmu," ujar Mas Raffi seraya melirikku yang sedari tadi digandengnya.Kuberikan cubitan kecil di lengannya yang membuat dia terkekeh pelan.Aku tidak tahu Mas Raffi akan membawaku ke mana sekarang. Aku hanya mengikuti ke mana langkah kakinya bergerak. Saat ini, kita tidak pergi menggunakan kendaraan. Kita berjalan kaki, saling bergandengan tangan. "Mau ke mana, Fi? Berduaan saja!" Seorang wanita seumuran Mama berteriak dari dalam rumahnya. "Jalan-jalan, Tante. Sini, temenin kita biar jadi bertiga!" Mas Raffi melambaikan tangan pada wanita yang tengah duduk di kursi teras rumahnya. "Janganlah. Masak, iya nenek-nenek kayak gini jadi pelakor!"Aku dan Mas Raffi tergelak menanggapi candaan wanita itu. Kami pun kembali berjalan melewati rumah-rumah yang berjejer sangat bagus dan besar.Demi Tuhan, aku tidak pernah mengkhayal akan menikah dan tinggal di kawasan perumahan elit seperti sekarang ini. Aku cuk
Melihat mereka hanya akan membuat tekanan darahku meninggi. Aku berjalan mendahului Mas Raffi, dan masuk ke dalam kamar.Entah apa tujuan Mama mengizinkan wanita itu untuk menginap di sini. Keberatan pun aku rasa tidak punya hak. Karena ini rumah Mama, bukan rumahku."Kok, ninggalin?" tanya Mas Raffi saat aku baru saja keluar dari kamar mandi. "Takut gak keburu solat, Mas. Maghrib waktunya singkat," kataku melewatinya.Aku menggelar sejadah, memakai mukena dan siap untuk salat. Tinggal menunggu Mas Raffi yang masih di kamar mandi.Setelah selesai, aku diam seraya menonton tv. Jujur, melihat Malika ada di sini, membuatku malas melakukan apa-apa. Aku pun malas untuk turun ke bawah, meski hanya untuk bercengkrama dengan Mama."Sayang, aku lapar, deh. Makan, yuk!" ajak Mas Raffi seraya menyimpan kepala di pangkuanku."Kamu aja yang makan, aku malas. Mau di sini saja," jawabku tanpa mengalihkan pandangan."Beneran?""Heem.""Yaudah, jangan marah kalau nanti pahalamu diambil Malika.""Maks