"Oke, aku jawab. Dia adalah ...." "Rafi! Bisa bantuin Mama, gak?"Aku dan Mas Raffi menoleh bersamaan ke arah Mama yang berdiri seraya melihat pada suamiku."Bantuin apa, Mah?" tanya Mas Raffi."Mama mau beresin atas lemari, bisa bantu turunin barang-barang dari sana? Mama gak nyampe, Fi. Udah dicoba pakai kursi pun tetap tidak nyampe," keluh Mama membuat suamiku mengangguk-anggukkan kepala."Aku bantuin Mama dulu, ya? Nanti kita ngobrol lagi." Mas Raffi berdiri, ia berjalan mengikuti ke mana Mama pergi.Aku mengembuskan napas kasar. Sedikit lagi Mas Raffi untuk mengatakan siapa Malika, malah terhenti karena panggilan Mama. Dan aku, harus menunggu lagi sampai Mas Raffi punya waktu untuk mengatakannya.Jariku mengetuk-ngetuk remot dalam genggaman. Aku merasa, Mama sengaja memanggil suamiku saat ia akan mengatakan yang sebenarnya. Apa mungkin Mama melarang Mas Raffi untuk jujur padaku?"Astagfirullah ... aku tidak boleh suudzon," ucapku bergumam sendiri.Saat akan berdiri untuk menyimp
Mas Raffi melihatku seraya menelengkan kepala."Yakin akan dipakai semua?"Aku menggeleng."Ambil beberapa saja," pungkasnya melirik pada deretan sepatu wanita.Aku mengangguk paham. Mana mungkin juga aku akan memakai sepatu satu toko yang jelas ukurannya pun tidak sama. Ada yang besar dan kecil di kakiku.Dua pasang sepatu pantofel sudah digenggaman. Sekarang, Mas Raffi mengajakku pergi ke toko yang menjual berbagai merk tas. Namun, aku tidak memilih salah satu dari tas yang ada di sana. Tidak ada yang menarik hatiku untuk mengambilnya."Yakin tidak mau?""Tidak. Ke toko yang lain saja," ucapku.Aku dan Mas Raffi pun akhirnya pergi ke toko pakaian. Memilih beberapa kaus untuk suamiku."Eh, liat, deh. Itu muka laki-lakinya hitam sebelah. Itu ceweknya gak risih apa, jalan sama laki-laki jelek kayak gitu? Kalau aku, sih ogah!" Telingaku panas mendengar dua wanita di sampingku yang tengah berbisik-bisik membicarakan Mas Raffi. "Mungkin dia kaya, makanya ada cewek yang mau. Coba kalau m
"Kita mau ke mana, sih?" tanyaku setelah keluar dari rumah."Ke mana saja asal denganmu," ujar Mas Raffi seraya melirikku yang sedari tadi digandengnya.Kuberikan cubitan kecil di lengannya yang membuat dia terkekeh pelan.Aku tidak tahu Mas Raffi akan membawaku ke mana sekarang. Aku hanya mengikuti ke mana langkah kakinya bergerak. Saat ini, kita tidak pergi menggunakan kendaraan. Kita berjalan kaki, saling bergandengan tangan. "Mau ke mana, Fi? Berduaan saja!" Seorang wanita seumuran Mama berteriak dari dalam rumahnya. "Jalan-jalan, Tante. Sini, temenin kita biar jadi bertiga!" Mas Raffi melambaikan tangan pada wanita yang tengah duduk di kursi teras rumahnya. "Janganlah. Masak, iya nenek-nenek kayak gini jadi pelakor!"Aku dan Mas Raffi tergelak menanggapi candaan wanita itu. Kami pun kembali berjalan melewati rumah-rumah yang berjejer sangat bagus dan besar.Demi Tuhan, aku tidak pernah mengkhayal akan menikah dan tinggal di kawasan perumahan elit seperti sekarang ini. Aku cuk
Melihat mereka hanya akan membuat tekanan darahku meninggi. Aku berjalan mendahului Mas Raffi, dan masuk ke dalam kamar.Entah apa tujuan Mama mengizinkan wanita itu untuk menginap di sini. Keberatan pun aku rasa tidak punya hak. Karena ini rumah Mama, bukan rumahku."Kok, ninggalin?" tanya Mas Raffi saat aku baru saja keluar dari kamar mandi. "Takut gak keburu solat, Mas. Maghrib waktunya singkat," kataku melewatinya.Aku menggelar sejadah, memakai mukena dan siap untuk salat. Tinggal menunggu Mas Raffi yang masih di kamar mandi.Setelah selesai, aku diam seraya menonton tv. Jujur, melihat Malika ada di sini, membuatku malas melakukan apa-apa. Aku pun malas untuk turun ke bawah, meski hanya untuk bercengkrama dengan Mama."Sayang, aku lapar, deh. Makan, yuk!" ajak Mas Raffi seraya menyimpan kepala di pangkuanku."Kamu aja yang makan, aku malas. Mau di sini saja," jawabku tanpa mengalihkan pandangan."Beneran?""Heem.""Yaudah, jangan marah kalau nanti pahalamu diambil Malika.""Maks
Aku mengusap keningku yang sedikit berkeringat saat Bi Marni datang terpogoh-pogoh menghampiriku. "Mbak Raya tidak apa-apa?" tanyanya khawatir."Ah, aku tidak apa-apa, Bi. Bisa buatkan saya jus mangga? Rasanya saya ingin minum yang segar.""Bisa, Mbak. Tunggu sebentar," ujar Bi Marni langsung menyiapkan apa yang aku inginkan.Sambil menunggu Bibi membuat jus mangga, aku duduk kembali di kursi. Mengatur napas, mengontrol emosi yang sedari tadi aku tahan. Malika, wanita itu benar-benar menguji kesabaranku. Dengan terang-terangan dia menyuruhku mengakhiri pernikahan yang baru saja kubangun. Lucu sekali, dia memintaku mundur, agar dia bisa menjadi wanitanya suamiku. Entah di mana pikiran dan perasaan wanita itu, hingga dengan mudahnya mengatakan ingin merebut suamiku."Mbak, jusnya."Aku mengangguk saat Bi Marni menyimpan jus di depanku. Pikiranku masih tersita oleh Malika. Bukan hanya wajahnya yang hitam, tapi rupanya hatinya pun demikian. Kuambil gelas berisikan jus, menegaknya cepat
Paginya, seperti biasa aku akan bangun terlebih dahulu. Membereskan tempat tidur, lalu menyiapkan pakaian untuk Mas Raffi."Ra, hari ini aku tidak akan ke RRC."Aku menoleh pada Mas Raffi yang baru saja keluar dari kamar mandi."Kenapa?" tanyaku."Tidak ada apa-apa. Hanya ingin di rumah bersamamu," ucapnya seraya merentangkan tangan siap untuk memelukku."Stop! Aku sudah wudhu." Aku memberikan isyarat agar Mas Raffi tidak mendekat. Pundaknya merosot, dengan wajah yang ditekuk. Kemudian, kami pun melaksanakan salat berjamaah, sebagai rutinitas setiap subuh.Hal yang paling membahagiakan dalam pernikahan ini ialah, aku mendapatkan suami yang benar-benar bisa menjadi imamku, menyayangiku, dan sabar dalam menghadapiku yang terkadang seperti anak-anak. "Turun, yuk. Akan aku buatkan teh manis untukmu," ucapku seraya melipat mukena. Mengambil kerudung instan, lalu memakainya."Nanti sajalah, aku mau menelepon Bayu, untuk memberitahukan kalau aku tidak akan datang hari ini.""Oke, kalau git
"Kamu sukanya yang mana?" "Semuanya suka, Mas.""Ya, jangan semuanya juga. Uangku tidak cukup kalau beli semuanya," ujar Mas Raffi seraya mencubit pipiku.Saat ini aku dan suamiku tengah melihat-lihat katalog rumah. Ada beberapa gambar rumah dengan ukuran yang berbeda-beda. Rencananya, Mas Raffi akan membeli rumah minimalis untuk kami tinggali berdua. Senang? Tentu saja aku sangat senang. Diperhatikan dan dimanjakan dengan begitu luar biasa, membuatku menempatkan diri ini sebagai wanita paling beruntung. Si upik abu, sekarang jadi ratu."Mas, seandainya kalau kita punya tiga puluh rumah, itu pasti akan melelahkan, ya Mas? Kita tidurnya giliran, gitu. Satu hari di setiap rumah," ujarku seraya menopang dagu."Kalau kita punya rumah sebanyak tiga puluh, kita akan tua di jalan. Gak ada istirahatnya, keliling aja terus kayak gangsing."Aku tertawa renyah seraya kembali melihat-lihat gambar rumah. Kata Mas Raffi, uang tabungannya sudah cukup untuk membeli rumah. Dan dia mau aku yang mem
Dia Arga. Yang kebetulan, sedang belanja kebutuhan bulanannya. Terlihat, dari keranjang yang dia bawa sudah hampir penuh dengan berbagai macam kebutuhan dapur serta makanan ringan."Kenapa tidak ikut masuk?" tanyanya lagi."Tadi ada yang menelpon, jadi dia keluar untuk mengangkatnya.""Memangnya di sini ada larangan tidak boleh menerima panggilan telepon? Sepertinya tidak." Arga melihat ke sana kemari, mencari pengumuman itu. Memang tidak ada, Mas Raffi selalu menghargai orang lain di setiap tindakannya. Dia tidak ingin orang lain terganggu karena suaranya yang mungkin tidak enak didengar. Begitu jawaban yang aku dapat, saat aku tanyakan padanya."Privasi," kataku meninggalkan Arga. Aku tidak ingin terjebak dalam suasana yang tidak mengenakkan. Lebih baik aku menghindar, daripada nanti dilihat Mas Raffi."Tidak ada privasi antara suami dan istri. Hati-hati, nanti dia menyembunyikan sesuatu darimu."Aku yang hendak mengambil shampo, mengurungkan niat saat lagi-lagi, Arga datang dan b