"Bibi! Aku mau berangkat, tapi Pak Tarmin 'kan tidak ada, pergi sama Mama. Terus, aku naik apa?" Bi Marni yang tengah membawa rantang dari dapur, melihatku yang berjalan menuruni tangga."Lah, iya, ya? Naik taxi online, mau?" tawarnya."Gimana caranya, Bi?" "Biar Bibi yang pesankan. Mbak Raya, tunggu dulu, duduk manis saja, nanti juga datang," ujar Bi Marni mengeluarkan ponselnya. Ia memberikan rantang berisikan makan siang untuk Mas Raffi, padaku. Kemudian mengotak-atik ponsel dengan serius."Lama gak, Bi?" "Tidak akan. Yuk, Bibi antar ke depan."Aku pun mengangguk, dan berjalan beriringan menuju pintu utama. Aku dan Bi Marni duduk di teras rumah seraya mengobrol ringan. Tidak berapa lama, taxi yang aku pesan sudah datang. Aku pun berpamitan pada Bibi dan mobil pun langsung berangkat."Bismillah, semoga tidak nyasar," ucapku dengan pelan.Menunggu sampai ke tempat tujuan, aku mengeluarkan ponsel untuk sekedar melihat dunia maya. Tidak ada yang menarik, semuanya biasa saja. Mungkin
"Enggak, tadi gue, cuma liatin doang. Belum, makan nasi," ujar Mas Raffi tergagap. Selera makanku hilang begitu saja saat mendengar suamiku sudah makan siang. Dan yang membuatku sedih ialah, ia makan dengan teman wanitanya, bukan dengan aku, istrinya. Dalam keadaan dada yang sesak, aku tetap membuka dan menghidangkan makanan untuk Mas Raffi, meskipun tanpa bicara. "Raya, sorry. Aku sepertinya salah ngomong. Kukira Raffi tadi ikutan makan, tapi ternyata tidak. Yasudah, aku keluar dulu, ya? Kalian selamat makan!" ujar Mas Bayu seraya berlalu. Aku hanya mengangguk seraya menunduk. Sungguh, aku sedang cemburu."Ra, kamu tidak marah padaku, 'kan?" tanya Mas Raffi yang melihatku membisu."Ra—""Silahkan dimakan, Mas. Em ... maaf, jika makanannya tidak enak. Kalau gitu, aku pulang duluan, ya? Sebenarnya aku cuma mau nganterin ini doang, aku sudah makan di rumah tadi. Selamat makan, Mas!" "Raya!" Aku tidak mengindahkan panggilan Mas Raffi. Aku terus berjalan dengan tergesa meninggalkan
Di dalam kamar, aku menumpahkan kekecewaanku terhadap Mas Raffi. Aku merutuki kebodohanku yang datang ke sana tanpa memberi kabar. Namun, aku tidak akan tahu apa-apa jika Mas Raffi tahu akan kedatanganku. Dengan air mata yang masih membanjiri wajahku, aku mengambil ponsel yang berdering. Rupanya Mas Raffi menghubungiku. Namun, aku abaikan. Aku tidak ingin mengangkat telepon dan berbicara dengannya.Tidak hanya meneleponku, Mas Raffi juga mengirimkan beberapa pesan yang tidak aku balas sama sekali. Aku ingin sendiri, ingin mengendalikan diri yang tidak bisa mengontrol emosi. "Raya ada di rumah 'kan, Bi?" Aku yang hendak akan keluar, mengurungkan niatku saat mendengar derap langkah, juga suara Mas Raffi yang bertanya kepada Bibi."Ada, Mas. Baru saja masuk. Tapi ... wajahnya murung. Tidak secerah saat pergi tadi," jawab Bi Marni.Kembali aku menjatuhkan tubuhku pada ranjang. Aku meringkuk menyembunyikan mata yang sudah memerah dengan air mata."Sayang, kamu marah padaku?" Mas Raffi m
"Sudahlah waktumu denganku kamu gantikan dengan wanita lain. Sekarang, makanan pun kamu habiskan, Mas. Tega." Aku menggerutu."Lalu aku harus apa? Kalau tidak dimakan, nanti kamu tersinggung. Sudah dimakan, masih salah. Aku, kok jadi serba salah, ya?" Aku tidak lagi bicara. Memilih diam seraya memikirkan sesuatu. Entahlah, aku masih menaruh curiga pada wanita bernama Malika itu. Menurutku, dia berlebihan. Mengucapkan terima kasih tidak harus dengan cara datang ke tempat kerja suamiku. Apalagi, sampai membawakan makan siang. 'Apa mungkin hanya perasaanku yang terlalu cemburu? Ah, mungkin saja.' "Ra, tidur?" Mas Raffi kembali mendekat. "Iya, aku ngantuk. Jangan ganggu," ucapku jutek. "Yasudah, tidur saja. Aku temenin." Mas Raffi kembali merebahkan diri di sampingku. Ia mengusap-usap kepalaku hingga akhirnya aku pun terlelap.Entah berapa lama aku tertidur, tapi rasa lapar memaksaku untuk bangun. Saat kulihat jam yang menempel di dinding, rupanya sudah pukul dua. Buru-buru aku pergi
Aku harus tahu, siapa sebenarnya Malika itu. Apa mungkin mantan kekasih Mas Raffi? Namun, Mas Raffi tidak pernah bercerita jika dia pernah punya pacar. Bahkan, dia selalu bilang jika aku, adalah wanita pertama yang menerima pernyataan cinta darinya."Mbak Raya, kenapa diam di sini?" Mama dan Mas Raffi langsung menoleh saat Bibi yang baru saja datang, bertanya padaku. Tentu saja, aku jadi salah tingkah karena ketahuan menguping."Sudah lama di sana, Ra? Kenapa tidak ke sini?" tanya Mama membuatku kian gugup."Ah, tidak. Baru juga nyampe. Raya mau makan, Ma. Tapi ... pengen sambil nonton tv," ujarku berjalan mendekati mereka."Boleh. Di mana pun juga boleh. Asal, harus makan. Tidak boleh, tidak makan," ucap Mama seraya tersenyum.Aku mengambil piring, menuangkan nasi serta lauk, lalu pergi meninggalkan mereka. Aku tidak ingin mengganggu obrolan Mama dan Mas Raffi, tentang masa lalu dan Malika. Sampai di ruang televisi, aku menyalakan tv dan duduk untuk menikmati makan siang yang sudah
"Oke, aku jawab. Dia adalah ...." "Rafi! Bisa bantuin Mama, gak?"Aku dan Mas Raffi menoleh bersamaan ke arah Mama yang berdiri seraya melihat pada suamiku."Bantuin apa, Mah?" tanya Mas Raffi."Mama mau beresin atas lemari, bisa bantu turunin barang-barang dari sana? Mama gak nyampe, Fi. Udah dicoba pakai kursi pun tetap tidak nyampe," keluh Mama membuat suamiku mengangguk-anggukkan kepala."Aku bantuin Mama dulu, ya? Nanti kita ngobrol lagi." Mas Raffi berdiri, ia berjalan mengikuti ke mana Mama pergi.Aku mengembuskan napas kasar. Sedikit lagi Mas Raffi untuk mengatakan siapa Malika, malah terhenti karena panggilan Mama. Dan aku, harus menunggu lagi sampai Mas Raffi punya waktu untuk mengatakannya.Jariku mengetuk-ngetuk remot dalam genggaman. Aku merasa, Mama sengaja memanggil suamiku saat ia akan mengatakan yang sebenarnya. Apa mungkin Mama melarang Mas Raffi untuk jujur padaku?"Astagfirullah ... aku tidak boleh suudzon," ucapku bergumam sendiri.Saat akan berdiri untuk menyimp
Mas Raffi melihatku seraya menelengkan kepala."Yakin akan dipakai semua?"Aku menggeleng."Ambil beberapa saja," pungkasnya melirik pada deretan sepatu wanita.Aku mengangguk paham. Mana mungkin juga aku akan memakai sepatu satu toko yang jelas ukurannya pun tidak sama. Ada yang besar dan kecil di kakiku.Dua pasang sepatu pantofel sudah digenggaman. Sekarang, Mas Raffi mengajakku pergi ke toko yang menjual berbagai merk tas. Namun, aku tidak memilih salah satu dari tas yang ada di sana. Tidak ada yang menarik hatiku untuk mengambilnya."Yakin tidak mau?""Tidak. Ke toko yang lain saja," ucapku.Aku dan Mas Raffi pun akhirnya pergi ke toko pakaian. Memilih beberapa kaus untuk suamiku."Eh, liat, deh. Itu muka laki-lakinya hitam sebelah. Itu ceweknya gak risih apa, jalan sama laki-laki jelek kayak gitu? Kalau aku, sih ogah!" Telingaku panas mendengar dua wanita di sampingku yang tengah berbisik-bisik membicarakan Mas Raffi. "Mungkin dia kaya, makanya ada cewek yang mau. Coba kalau m
"Kita mau ke mana, sih?" tanyaku setelah keluar dari rumah."Ke mana saja asal denganmu," ujar Mas Raffi seraya melirikku yang sedari tadi digandengnya.Kuberikan cubitan kecil di lengannya yang membuat dia terkekeh pelan.Aku tidak tahu Mas Raffi akan membawaku ke mana sekarang. Aku hanya mengikuti ke mana langkah kakinya bergerak. Saat ini, kita tidak pergi menggunakan kendaraan. Kita berjalan kaki, saling bergandengan tangan. "Mau ke mana, Fi? Berduaan saja!" Seorang wanita seumuran Mama berteriak dari dalam rumahnya. "Jalan-jalan, Tante. Sini, temenin kita biar jadi bertiga!" Mas Raffi melambaikan tangan pada wanita yang tengah duduk di kursi teras rumahnya. "Janganlah. Masak, iya nenek-nenek kayak gini jadi pelakor!"Aku dan Mas Raffi tergelak menanggapi candaan wanita itu. Kami pun kembali berjalan melewati rumah-rumah yang berjejer sangat bagus dan besar.Demi Tuhan, aku tidak pernah mengkhayal akan menikah dan tinggal di kawasan perumahan elit seperti sekarang ini. Aku cuk
"Raihanum." Aku menyebut nama dari bayi perempuan yang sedang menggeliat di tempat tidurnya. Bibirku tersenyum manis menatap sepasang mata yang mulai melihat dunia. "Selamat pagi, Sayang ...." Aku mengusap pelan pipinya dengan jari telunjukku. Dia menggoyangkan kepalanya seolah merasa terganggu dengan sentuhan lembutku. Bibirnya bergerak seperti mengemut sesuatu. Dan aku semakin gemas melihat itu. "Hey, princess Papa sudah bangun ternyata?" Aku menoleh pada Mas Raffi yang baru saja datang, dan langsung menghampiriku. Bukan. Bukan aku yang dia datangi, melainkan putri kecilnya. "Sepertinya dia haus, Sayang," ujarnya lagi. "Iya. Dia cari sesuatu.""Kasihlah. Kasihan dia."Aku pun mengambil bayi perempuan berusia empat puluh hari itu. Kini, dia menggeliat dalam gendongan, lalu kepalanya ke kanan dan kiri mencari sarapan paginya. Aku membuka kancing piyamaku, kemudian memberikan asupan gizi untuk putriku tercinta. "Persiapan di bawah gimana, Mas?" Aku melihat pada Mas Raffi. "
"Sayang ... udah belum?" "Belum!" Aku berteriak menjawab pertanyaan Mas Raffi. Saat ini aku tengah mondar-mandir di kamar mandi seraya memegang testpack. Sudah lima belas menit aku di dalam sini, tapi benda kecil itu belum menyentuh urinku. Rasanya campur aduk antara takut tidak sesuai dengan ekspektasi, juga penasaran yang luar biasa. "Sayang, ayo, dong! Masa dari tadi belum terus!" Mas Raffi kembali berujar. "Iya, bentar, Mas!"Dengan tangan yang bergetar, aku memasukkan testpack ke dalam urin yang sudah aku tampung dalam wadah. Setelah beberapa detik menunggu, aku mengangkatnya dengan mata terpejam. Sebelah mata aku buka sedikit, mencari garis yang menjadi penentu aku hamil atau tidaknya. Samar-samar aku melihat garis itu, hingga akhirnya mata kubuka lebar-lebar untuk memastikan penglihatanku tidaklah salah. "Dua?" gumamku, kemudian bibir tersenyum. Aku menutup mulut dengan mata yang berkaca-kaca. Ini memang bukan kehamilan pertama, tapi rasanya masih sama seperti waktu tah
"Pagi, Sayang ...."Sepasang tangan melingkar di pinggang, disusul dengan kecupan kecil di pipi. Aku yang tengah berkutat dengan alat masak, membalas sapaan Mas Raffi dengan usapan pelan di lengannya. Hal seperti ini bukan terjadi sekarang, tapi setiap pagi datang. Sikap Mas Raffi selalu hangat dan tambah romantis sejak kami tinggal di rumah ini. Itu mengapa, aku memperkejakan asisten rumah tangga yang pulang pergi. Aku tidak ingin melewatkan keromantisan ini karena ada orang lain di istana kami. "Sudah aku siapkan teh di atas meja. Mas duduk, sebentar lagi gorengan yang aku buat akan matang," ujarku. "Emh ... enggak mau. Aku mau tetap meluk kamu sampai gorengan itu pindah ke meja makan." Mas Raffi berucap manja. "Nanti kamu kecipratan minyak, Mas.""Biarin. Jangankan minyak, percikan api asmara dari luar pun bisa aku padamkan demi kamu.""Hah, gimana-gimana?" Aku menoleh, mencari wajah Mas Raffi yang menyusup di tengkuk leherku. Dia tidak berani mengangkat kepala. Malah semaki
"Gini aja, deh, Fi. Daripada kamu jual perhiasan Raya, mendingan kamu pinjem uang aja dari Mama." Aku yang tadi sudah berpikiran buruk, merasa lebih tenang saat mendengar suara Mama. Ternyata yang masuk tadi bukan Reyhan, melainkan Mama dan Mas Raffi yang membahas perhiasan. Oh, ya ampun. Mas Raffi ketahuan Mama akan menjual perhiasan? Aku berjalan mendekati mereka yang berada di ruang tamu. Pandanganku mengarah pada Mas Raffi yang memberikan isyarat dengan menempelkan jari telunjuk di bibirnya. Aku mengangguk kecil, lalu meraih tangan Mama dan menciumnya. "Rayyan mana, Ra?" tanya Mama tanpa melepaskan tanganku. "Lagi main di ruang tengah, Mah.""Kalau gitu, kamu duduk di sini, Mama mau bicara dengan kalian."Aku dan Mas Raffi saling pandang, lalu aku pun duduk di samping Mama. Begitu pun Mas Raffi. Kami mengapit Mama yang berada di tengah-tengah. "Fi, Ra, kalian ini masih punya orang tua. Ada Mama dan Papa, yang masih bisa bantu kalian. Bukan Mama mau sombong, soal uang, insya
"Semalam aku kaget banget, loh saat Mas Bayu membekap mulutku. Aku kira itu Reyhan."Aku menyeruput jus alpukat seraya memperhatikan Rayyan yang bermain. "Tadi malam, saat aku menyuruh kamu tidur, emang sudah merasakan ketidakberesan di rumah kita. Yang kata aku melihat kucing di kosan, itu sebenarnya yang aku lihat emang manusia.""Kok, gak bilang ke aku?" tanyaku. Saat ini, aku dan Mas Raffi masih membahas kejadian semalam yang membuat tubuh ini bergetar ketakutan. Kami duduk lesehan di teras depan seraya mengasuh Rayyan yang bermain di halaman. "Aku tidak mau kamu takut, Ra. Makanya aku menyuruh kamu tidur cepat. Dan setelah kami tidur, aku langsung menelepon polisi untuk datang secara diam-diam. Dan Bayu juga.""Terus, saat aku bangun dan ke lantai bawah, kamu kan tidak ada. Itu ke mana?" Aku masih bertanya karena penasaran. "Aku di luar. Secara tidak langsung, aku menggiring Reyhan masuk ke kamar tamu lewat jendela. Dan Bayu, saat itu sudah ada di dalam rumah ini. Dia aku su
"Mas Bayu ngapain di sini?" tanyaku, saat dia melepaskan tangannya dari bibirku. "Aku diminta Raffi datang ke sini. Dan kamu tahu, yang ada di kamar itu siapa? Si Reyhan. Dia nyusup masuk ke rumahmu lewat jendela kamar yang tidak dikunci.""Apa?" Rasa terkejutku bertambah berkali lipat. Jika saja tadi aku masuk ke sana, habislah riwayatku. Reyhan pasti akan dengan mudah melakukan perbuatan jahatnya padaku. Suara gagang pintu yang diputar dari dalam kamar tamu, membuatku dan Bayu menoleh. Semakin lama, suara di sana semakin keras. Karena mungkin Reyhan sudah menyadari jika dia masuk perangkap. "Mas Raffi, mana?" tanyaku, karena tak kulihat keberadaan suamiku. "Dia di luar.""Sendirian?" tanyaku lagi. "Temenin, Mas. Aku takut Reyhan menyerang Mas Raffi. Dia belum pulih." Aku panik. Bayu hendak melangkah menjauh dariku, tapi dia urungkan saat ada bayangan yang berjalan mendekat ke arah kami. Tidak lama kemudian, lampu pun menyala membuat ruangan yang gelap menjadi terang. Aku lan
"Mas, kenapa liatin aku terus?" Mama dan Papa, serta semua kakak Mas Raffi sudah pergi beberapa menit yang lalu. Sekarang, tinggallah kami berdua, dan Rayyan yang sudah tidur. Hari memang sudah malam. Perabot pemberian kakak-kakak Mas Raffi pun, sudah disimpan ke tempat yang semestinya. Dibantu kakak dan kakak iparku tentunya. Saat ini, aku dan Mas Raffi tengah duduk berdua di lantai dua rumah kami. Aku dan dia sedang menikmati malam, melihat bintang dan bulan yang bersinar bersamaan. Gorden kaca sengaja dibuka agar langit terlihat jelas. Di depan kami, dua cangkir teh menjadi pelengkap kebersamaanku dengan Mas Raffi. "Malu, ih diliatin terus," kataku lagi, memalingkan wajah ke arah lampu hias berbentuk hati yang berada di sudut ruangan. Mas Raffi menyentuh daguku. Menariknya sangat pelan, agar tatapanku kembali padanya. "Karena aku kagum pada kecantikan istriku ini. Makanya, aku pandang terus.""Ih, gombal, deh," ujarku. Padahal dalam hati, aku bahagia mendapatkan pujian dari
"Saat di hotel waktu itu, sebenarnya Mbak percaya jika kamu tidak melakukan apa-apa dengan Reyhan. Kalau kamu selingkuh dengan Reyhan, untuk apa kamu meminta Mbak datang? Iya, kan?"Aku mengangguk saat Mbak Kinara menjeda ucapannya. Saat ini, hanya ada aku dan dia. Kami duduk berhadapan di meja makan, setelah tadi Mbak Nara memintaku bicara berdua. "Saat kamu pergi dari hotel itu, sebenarnya Mbak masih ada di sana. Mbak menemui Reyhan setelah melihatmu benar-benar keluar dan pergi. Aku meminta Reyhan mengatakan apa yang terjadi antara kami dengannya, versi dia. Meskipun aku tidak percaya pada Reyhan, tapi aku tetap mendengarkan dan merekam pengakuannya. Kamu tahu kenapa?" Mbak Kinara melempar tanya. Aku menggelengkan kepala. Aku tidak mau menduga-duga dan mengatakan yang tidak ada dalam pikiran."Aku cemburu padamu, Ra. Aku iri melihat kedekatan kamu dengan Mama, juga perhatian Mama pada Rayyan.""Ya Allah, Mbak ...." Aku menatap sendu pada Mbak Kinara yang menunduk. "Maafkan Mbak
"Ini untuk kami, Mah?" tanyaku pada Mama, yang tengah membereskan sayuran serta buah segar ke dalam kulkas. Tidak hanya itu, Mama juga membeli bermacam bumbu dapur, juga perlengkapan lainnya. "Iya, Ra. Kalau untuk Mama, tidak mungkin dikeluarkan dari mobil. Ini semua untuk kalian. Mama juga beli vitamin penambah nafsu makan untuk kamu. Tapi, Raffi enggak boleh minum vitamin ini, ya? Dia punya vitamin sendiri dari dokternya," ujar Mama. Aku mengiyakan. Meskipun malu karena keluar dari kamar dalam keadaan rambut yang basah, aku tetap menemui ibu mertua yang tengah berbenah di dapur. Sedangkan Mas Raffi, dia masih di kamar. Sedang berpakaian setelah pada akhir tadi kami mandi bersama. Untunglah, kedua mertuaku paham situasi. Dari mereka tidak ada yang mengetuk pintu kamar sejak kedatangannya. Keduanya kompak membawa bermain Rayyan agar tidak mencari keberadaan orang tuanya. Ck, malu ... aku malu. Tapi, mau gimana lagi? Semuanya gara-gara ... ah, masa iya aku harus menyalahkan Mas