Hidangan di atas meja sudah tidak tersisa. Namun, kami belum mau beranjak pergi dari tempat ini. Bukannya pulang, kami malah mengganti menu makanan. "Mau rasa cokelat atau durian?" tanya Mas Raffi, menunjuk gambar es krim sebagai makanan penutup kami. "Cokelat saja," kataku. Dia langsung memesankan makanan yang aku inginkan, lalu pandangannya beralih pada Rayyan yang anteng di tempat duduknya. "Mas, ini sudah sore, loh. Apa Mama tidak akan marah, kita pulang kesorean?" "Biarlah, Ra. Kalaupun marah, jangan diambil hati. Kita juga butuh waktu bersama, kan?" ujar Mas Raffi terdengar indah di telinga. Memang momen seperti ini yang aku inginkan. Pergi bertiga, jalan-jalan dan makan bersama di tempat yang dulu sering kami kunjungi. Salah tidak, sih jika kami makan di restoran orang lain, sedangkan kami pun punya restoran sendiri? Ah, sepertinya tidak. Selain untuk menyenangkan hati, juga mencari referensi rasa dan menu dari tempat yang kemi kunjungi. Terdengar serius, tapi sebenarn
"Sebentar doang, Ra. Kan kelewatan," ujar Reyhan lagi. Mobil yang dikendarai Reyhan melaju sedang membelah jalan yang mulai menggelap. Lampu-lampu dari bangunan mulai dinyalakan, menjadi tanda hari akan berganti malam. Seperti yang Reyhan ucapkan, pria itu benar-benar membawaku ke restoran Mama. Dia menepikan mobil, memperlihatkan aktivitas di restoran yang masih sibuk. "Percaya kan? Kamu berhasil membuat restoran semakin rame."Ada rasa bangga dalam diri ketika melihat pengunjung yang hilir mudik datang dan pergi. Tak terasa, bibirku melengkung tersenyum bahagia. Benarkah itu karenaku? Mungkin iya. Namun, aku tidak ingin sombong. Wajar jika restoran ramai, karena aku memberikan potongan harga sebagai promosi menu baru. "Senang, ya?" Aku mengalihkan pandangan dari bangunan restoran, ke wajah Reyhan yang kembali bicara. "Enggak normal jika aku merasa sedih," kataku seraya terkekeh, dan dibalas tawa oleh pria itu.Reyhan melajukan mobilnya meninggalkan keramaian restoran Mama. D
"Sedang ... tidak sedang apa-apa, kok." Syakila menjawab pertanyaanku dengan ketus, kemudian dia beranjak pergi meninggalkan kamar Bi Marni. Aku mengembuskan napas kasar melihat sikap dia yang seperti anak kecil. "Mbak, tadi Non Syakila minjem—"Bi Marni tidak melanjutkan ucapannya saat aku memberikan isyarat dengan menempelkan telunjuk di bibir. "Tahu. Saya dengar, kok. Kalau nanti Syakila macem-macem lagi, Bibi bilangnya sama Mama langsung, ya. Kalau perlu, Bibi rekam dan kasih ke Mama, biar enggak dikira ngada-ngada." "Baik, Mbak," ucap Bi Marni patuh. Aku bukannya tidak ingin menjadi perantara dan menyampaikan ke Mama tentang bohongnya Syakila. Namun, aku sedang menjaga diri agar tidak dikira tukang ngadu. Ribet memang. Aku bahkan tidak pernah membayangkan akan ada kisah seperti ini dalam jalan pernikahanku dengan Mas Raffi. Dalam anganku, hidupku lurus seperti jalan tol. Punya ipar baik, mertua yang luar biasa sayangnya seperti orang tua sendiri. Namun, sepertinya Tuhan s
"Uang?"Keningku mengkerut mendengar Syakila yang tengah bertelepon. Entah siapa, tapi pembahasannya bukan tentang sekolah. "Ada, masa iya enggak ada. Tidak mungkin kan, anak seorang dokter, cucu orang yang punya rumah sakit, tidak punya uang sebanyak itu? Mustahil ...." Syakila terkikik seraya menutup mulut. Aku semakin curiga pada anak itu. Apa yang dia bicarakan di telepon itu, pasti ada hubungannya dengan uang yang dia pinjam pada Bi Marni tadi. Dan itu bukan untuk keperluan sekolah. Astaga ... pergaulan seperti apa yang membuat Syakila jadi anak yang tinggi hati dan gengsi? "Sayang."Aku berjingkat kaget saat pundak ditepuk dari belakang. Kuusap dada yang bertalu-talu seraya membalikkan badan. "Mas ngapain ke sini? Ngagetin, lagi." Aku bicara ketus karena kesal. "Ada juga aku yang nanya kamu. Sedang apa kamu di sini? Bukannya tadi mau ambil minum?" cecar Mas Raffi. "Tuh, keponakanmu jam segini masih teleponan."Mas Raffi berdecak, lalu keluar dari pintu samping menghampiri
"Opa ....""Hem." Papa bergumam menjawab panggilan cucunya. "Hari ini aku harus bayar ekskul, tapi belum ada uangnya. Tahu sendiri, Ayah enggak ngasih uang buat aku."Mataku melirik ke arah Papa dan Syakila bergantian dari belakang. Anak itu masih saja berusaha mendapatkan uang, yang entah untuk apa. Rasanya aku ingin mengatakan kepada Papa, jika Syakila sedang berbohong. Namun, aku pun tidak tahu dan tidak ada bukti akan digunakan apa yang yang diminta Syakila kepada kakeknya. "Berapa memangnya?" tanya Papa kemudian. "Lima juta lima ratus, Opa."Mataku langsung membulat ketika anak itu mengatakan jumlah uang yang diinginkannya. Fantastis. Lima juta sangat banyak untuk ukuran anak sekolah menurutku. Akan tetapi, Papa tidak terlihat terkejut. Dia santai saja, seolah uang segitu biasa dikeluarkan Syakila untuk sekolahnya. Apa semahal itu biaya kegiatan sekolah anak orang kaya? "Nanti Opa transfer ke pihak sekolah. Sekarang Opa enggak bawa uang tunai.""Yah ... harus cash, dong O
Jadi ... parfum itu sengaja disimpan dia?Aku menghalangi wajah dengan buku menu saat Malika melewatiku, agar wanita itu tidak melihat keberadaanku. Untunglah berhasil. Dia dan temannya duduk di meja yang dekat dengan kasir, lumayan jauh dari tempatku berada saat ini. Entah ini kebetulan atau petunjuk dari Tuhan, jika sebenarnya suamiku tidak salah. Dan lagi-lagi aku telah mencurigai dia mengkhianati pernikahan kami. "Silahkan dinikmati, Nona."Aku berdehem saat Reyhan tiba-tiba muncul mengagetkanku. Kupasang wajah dengan bibir tersenyum untuk menyamarkan perasaan yang tak menentu setelah mendengar ucapan Malika tadi. Aku dibuat tak habis pikir oleh kelakuan wanita yang katanya sudah berubah, tapi masih seperti dulu. Terus mengganggu rumah tanggaku. "Terima kasih, Rey," ucapku kemudian. "Sama-sama. Cobain, dong. Sekalian komentarin menu baru yang aku buat."Aku melihat hidangan yang Reyhan bawa, lalu mengerutkan kening saat melihat satu piring bakwan di samping cangkir kopi.
Hei, pertanyaan macam itu? Kenapa tiba-tiba dia menuduhku? Apa gara-gara dia melihatku dan Reyhan di kafe tadi?"Ngaco, kamu Malika. Mana mungkin aku selingkuh," sanggahku. Malika menyeringai seraya melipat kedua tangannya di perut. "Jangan membodohiku, Raya. Kamu pikir, aku akan menganggap kamu dan laki-laki di kafe tadi hanya sebatas teman? Tidak ada pertemanan bagi wanita yang sudah menikah, dengan laki-laki di luar rumah. Kecuali ... wanitanya memang mu ra han.""Tutup mulutmu!" kataku menekankan kata seperti dia yang mengeja ucapan terakhirnya barusan. Aku sungguh tersinggung dengan kata yang merendahkan diriku sebagai seorang wanita. Rasanya ingin aku membungkam mulut Malika dengan lap kotor agar dia mengerti, tidak pantas kata itu keluar dari bibirnya. Namun, kutahan emosi dengan mengepalkan tangan. Aku maju satu langkah lebih dekat dengan dia, mengikis jarak seraya menatapnya tak biasa. "Jangan sesekali mengucapkan kata yang mencerminkan kepribadianmu sendiri. Emang gak
Aku tidak sama sekali menjawab pertanyaan Mas Raffi. Semakin erat dia memelukku, semakin pecahlah tangisku ini. Seperti anak kecil, aku menangis tersedu mengeluarkan rasa sesak di dalam dada. "Sebenarnya aku tahu, kalau kamu itu marah sama aku. Iya, kan?" ujar Mas Raffi. Tangan yang sedari tadi memeluk, kini beralih mengusap pipi yang basah oleh air mata. Kecupan singkat pun dia berikan di kepala yang masih tertutup hijab. Aku membisu. Meskipun hati membenarkan pertanyaan Mas Raffi, tapi lidah enggan bergerak mengatakan isi hati. "Aku juga tahu, kemarin malam kamu menemukan sesuatu yang mencurigakan dari bajuku. Kenapa gak nanya? Aku nunggu kamu nanya, loh."Suara tangis mulai mereda. Telinga kutajamkan agar mendengar jelas apa yang suamiku ucapakan. Katanya dia tahu, tapi kenapa tidak menjelaskan? Kenapa harus nunggu ditanya, sih? "Pikiranmu padaku, terlalu kejauhan, Ra. Jika dalam kepalamu aku ini selingkuh, itu enggak benar. Tidak ada wanita yang mampu menggetarkan hatiku, s