"Wah ... ini kayak kita yang punya kebun, Mam. Ra! Raya ini ibumu gak rugi, hasil panennya dikirim ke kita sebanyak ini?"Papa yang baru saja pulang dari rumah sakit, langsung berseru kaget saat banyak sekali bawaan yang Pak Tarmin turunkan dari bagasi mobil. Seperti yang Ibu bilang, ia memberikan banyak hasil panen untukku dan keluarga di sini. Melihat bawaan Pak Tarmin yang beragam, Papa sampai menggelengkan kepala seraya mata tak lepas dari dua karung besar kacang tanah dan jagung. "Enggak, Pah," kataku seraya berdiri di samping Papa. "Kata Ibu, apa yang dia bagi ke sini, itu lebihnya. Alhamdulillah, Ibu sudah punya untung, juga modal yang tertutupi. Jadi, Ibu gak rugi ngasih ini ke kita.""Alhamdulillah .... Coba sini, telepon ibumu. Papa mau bicara dengan dia." Papa mengulurkan tangan, meminta ponselku. Aku pun menghubungi Ibu, lalu memberikan benda pipih di tanganku kepada Papa setelah Ibu mengangkat telepon dariku. "Assalamualaikum, Ibu!" ucap Papa langsung. Aku kembali m
Usai maghrib, anak-anak Mama datang beserta keluarga kecilnya. Keempat saudara Mas Raffi tengah duduk melingkar seraya menikmati kacang serta jagung rebus yang tadi dimasak Bibi. Aku yang baru saja menyelesaikan salat maghrib, langsung saja bergabung bersama mereka setelah menyapa semua kakak iparku. "Aku kira ini semua bawa kamu, Ra. Baru saja mau protes, kenapa enggak bawa kelomang lagi dari sana? Eh, Mama bilang kalau jagung manis ini Pak Tarmin yang bawa dari kampung," ujar Mas Raffa, seraya mengunyah jagung rebus yang ada di tangannya. "Enggak, Mas. Kalau aku yang pulang kampung, bisa lama di sana. Satu hari enggak cukup buat bernostalgia di kampung halaman." Aku menjawab dengan diakhiri dengan kekehan pelan. "Nostalgia? Kok, jadi inget Dokter Arga, ya? Canda, Ra ...," ujar Mbak Kinanti, yang langsung aku balas dengan bibir yang mengerucut. Suasana semakin hangat karena mereka membicarakan mantan pacarku, yang kini jadi teman sejawat mereka. Bukan Arga yang jadi pembahasan
"Oh, sorry. Aku ganggu, ya?" Rupanya Mbak Kinara. Dia terlihat kikuk saat melihatku dan Mas Raffi seperti yang akan berpelukan. "Enggak, Mbak. Enggak ganggu, kok. Ada apa?" Aku balik bertanya seraya bersikap biasa. "Itu, disuruh Papa untuk turun. Ini masih siang, udah mau mesra-mesraan aja kalian ini. Mentang-mentang anaknya enggak rewel dan lebih deket sama Mama dibanding ibunya," cetus Mbak Kinara lagi. Aku tersenyum hambar menanggapi ucapan kakak iparku yang diakhir kalimatnya terkekeh geli. Aku tahu dia becanda, tapi rasanya tak biasa. Seperti menyindirku karena tidak sedekat Mama dengan Rayyan. Tanpa bicara lagi, aku mengekor di belakang Mbak Kinara. Satu per satu anak tangga aku lewati tanpa bersua dengan kakak suamiku itu. Entah kenapa, dia seperti memberi jarak denganku. Terlebih, setelah pesan yang pernah dia kirim mengenai kecemburuannya pada putraku. "Raffi mana?" tanya Mama saat kami sampai di ruang tengah. Ternyata Mama menyuruh kami turun untuk makan. Terlihat ba
"Gimana pertemuan kalian dengan Reyhan tadi?" tanya Mama saat aku dan Mas Raffi baru saja menghenyakkan bokong di sofa ruang tamu. Kebetulan, Mama dan Rayyan sedang bermain di sana. "Lancar, Mah. Tadi, sih kita ngobrol santai aja sambil dikit-dikit bahas tentang restoran. Kalau langsung menjelaskan dengan sangat serius pada Raya, kasihan. Pelan-pelan saja, biar nggak berat di pikirannya." Mas Raffi menjawab dengan bijak pertanyaan Mama. Aku membalas senyum suamiku yang tersungging seraya menoleh. Bismillah, ini akan menjadi awal yang baik untukku ke depannya. Jika tidak bisa membanggakan keluarga Mas Raffi, setidaknya aku tidak menjadi benalu yang hanya numpang hidup di sini. Ngurus anak kadang-kadang, tapi makan tiap hari. Kan aku merasa gak enak hati meskipun sebenarnya itu wajar, karena aku memang tanggungan Mas Raffi. "Benar. Pelan-pelan saja, nanti pun akan bisa dan paham kalau sudah berjalan. Terus, apa ada rencana buat tambah menu baru?" Mama kembali bertanya. "Nah, kala
"Mi, minta nomor A Yusuf, dong." "Lah, untuk apaan?" tanya wanita di seberang sana. Aku mengerlingkan mata seraya beranjak dari tempat duduk. Berjalan ke arah pintu balkon, lalu menempelkan sebelah pundak ke sana. "Ada yang ingin aku bicarakan pada A Yusuf, Mi. Udah, deh jangan banyak tanya. Eh, sekarang kamu lagi di restoran, kan? Ada A Yusuf, gak? Aku mau ngomong, dong, sebentar." Aku bicara tanpa jeda, tidak memberikan kesempatan Mimi untuk menjawab. Terdengar helaan napas dari Mimi, kemudian dia berteriak membuatku menjauhkan ponsel dari telinga karena suaranya yang nyaring. Sekarang, suara Mimi sudah tidak terdengar lagi. Berganti dengan suara kasak-kusuk, dan entah apa yang menjadi sumbernya. "Mana, Mi?" Pertanyaan itu terdengar jelas di telingaku. Suara laki-laki dari seberang sana. "Ini, A.""Oh .... Saya bawa ke luar, ya?" Suara Mimi saling bersahutan dengan suara laki-laki tadi. Hening kembali. Suara pria tadi dan Mimi tidak terdengar lagi. Ah, aku memang salah tela
"Mama mau dikirim hari ini juga.""Hari ini?" Aku bengong melihat Mama yang menganggukkan kepala dengan pasti. "Iya, hari ini. Mama tidak sabar ingin memakan mata lembu, Ra. Itu, loh siput laut yang pernah Mama cicipi di rumahmu waktu itu."Aku membulatkan mulut seraya manggut-manggut. Aku kira Mama ragu dengan gambar dan harga yang A Yusuf kirim. Ternyata, karena Mama merindukan mata lembu, sama sepertiku. Karena sudah mendapatkan lampu hijau dari Mama, aku pun kembali menghubungi A Yusuf untuk memesan beberapa kilo udang dan kepiting, juga makanan lainnya. Rasanya tidak sabar ingin segera mengolah dan menyajikan makanan itu untuk pelanggan di restoran Mama. Aku menyimpan harapan yang besar. Memimpikan kesuksesan dari sepiring menu masakan. [Hai.]Aku mengerutkan kening membaca pesan dari nomor yang tidak dikenal. A Yusuf? Sepertinya bukan. Nomor A Yusuf sudah aku simpan setelah tadi aku dan dia melakukan transaksi jual beli. Sekarang, aku sedang menunggu barang itu datang. T
"Benar, kamu hanya lelah bekerja, Mas? Apa ada faktor lain yang membuatmu menjadi dingin padaku?" Seperti orang gila, aku bicara sendiri seraya menatap pantulan wajah diri dari cermin. Aku belum menemukan jawaban dari pertanyaan yang bersarang di benakku mengenai Mas Raffi. Kenapa sekarang sikapnya seperti itu? Ada apa? Aku mengingat-ingat kembali beberapa hari ke belakang, mencari kesalahan apa yang aku buat hingga Mas Raffi marah? Namun, tidak ada. Aku tidak membuat kesalahan fatal, yang menimbulkan kemarahan Mas Raffi. Aku juga tidak pernah menyentuh barang apa pun yang berkaitan dengan pekerjaan dia. Tapi, kenapa dia seperti enggan bicara padaku? "Assalamualaikum."Pandanganku langsung tertuju pada daun pintu yang dibuka dari luar. "Waalaikumsalam," ucapku menjawab salamnya. "Sudah salat?" Pertanyaan pertama yang Mas Raffi berikan untukku. Anggukkan kepala adalah jawaban yang kuberi, tapi tidak bicara. Mata ini terus saja mengikuti tubuhnya pergi, hingga akhirnya berhent
"Saya senang, Ra, melihat kehidupan kamu yang sekarang. Hilang sudah sebutan gadis miskin yang dulu tersemat padamu," ujar A Yusuf, lalu menyesap kopi hitam yang aku buatkan untuknya. Bibirku tersenyum simpul menanggapi perkataan A Yusuf. Memang, aku dikenal sebagai gadis miskin sebelum menikah dengan Mas Raffi. Terlebih, sebutan itu sering diucapkan ibunya Arga sewaktu dulu. "Sekarang pun saya masih miskin, A. Apa yang ada pada saya, itu hanyalah titipan semata. Apalah saya yang hanya numpang hidup pada keluarga suami?""Tidak ada kata menumpang. Milik suami, milik istri juga. Harta memang bukan tolak ukur seseorang mempunyai label kaya atau miskin. Semuanya sama. Papa, kamu, A Yusuf, sama. Sama-sama numpang hidup sama Tuhan," ujar Papa menyanggah ucapanku. A Yusuf manggut-manggut. Sedangkan aku menunduk, memainkan jari jemari di bawah meja. Entahlah, jika membahas soal harta, aku merasa paling rendah. Meskipun kata Papa harta bukan tolak ukur seseorang menjadi kaya raya, tapi t