"Oh, sorry. Aku ganggu, ya?" Rupanya Mbak Kinara. Dia terlihat kikuk saat melihatku dan Mas Raffi seperti yang akan berpelukan. "Enggak, Mbak. Enggak ganggu, kok. Ada apa?" Aku balik bertanya seraya bersikap biasa. "Itu, disuruh Papa untuk turun. Ini masih siang, udah mau mesra-mesraan aja kalian ini. Mentang-mentang anaknya enggak rewel dan lebih deket sama Mama dibanding ibunya," cetus Mbak Kinara lagi. Aku tersenyum hambar menanggapi ucapan kakak iparku yang diakhir kalimatnya terkekeh geli. Aku tahu dia becanda, tapi rasanya tak biasa. Seperti menyindirku karena tidak sedekat Mama dengan Rayyan. Tanpa bicara lagi, aku mengekor di belakang Mbak Kinara. Satu per satu anak tangga aku lewati tanpa bersua dengan kakak suamiku itu. Entah kenapa, dia seperti memberi jarak denganku. Terlebih, setelah pesan yang pernah dia kirim mengenai kecemburuannya pada putraku. "Raffi mana?" tanya Mama saat kami sampai di ruang tengah. Ternyata Mama menyuruh kami turun untuk makan. Terlihat ba
"Gimana pertemuan kalian dengan Reyhan tadi?" tanya Mama saat aku dan Mas Raffi baru saja menghenyakkan bokong di sofa ruang tamu. Kebetulan, Mama dan Rayyan sedang bermain di sana. "Lancar, Mah. Tadi, sih kita ngobrol santai aja sambil dikit-dikit bahas tentang restoran. Kalau langsung menjelaskan dengan sangat serius pada Raya, kasihan. Pelan-pelan saja, biar nggak berat di pikirannya." Mas Raffi menjawab dengan bijak pertanyaan Mama. Aku membalas senyum suamiku yang tersungging seraya menoleh. Bismillah, ini akan menjadi awal yang baik untukku ke depannya. Jika tidak bisa membanggakan keluarga Mas Raffi, setidaknya aku tidak menjadi benalu yang hanya numpang hidup di sini. Ngurus anak kadang-kadang, tapi makan tiap hari. Kan aku merasa gak enak hati meskipun sebenarnya itu wajar, karena aku memang tanggungan Mas Raffi. "Benar. Pelan-pelan saja, nanti pun akan bisa dan paham kalau sudah berjalan. Terus, apa ada rencana buat tambah menu baru?" Mama kembali bertanya. "Nah, kala
"Mi, minta nomor A Yusuf, dong." "Lah, untuk apaan?" tanya wanita di seberang sana. Aku mengerlingkan mata seraya beranjak dari tempat duduk. Berjalan ke arah pintu balkon, lalu menempelkan sebelah pundak ke sana. "Ada yang ingin aku bicarakan pada A Yusuf, Mi. Udah, deh jangan banyak tanya. Eh, sekarang kamu lagi di restoran, kan? Ada A Yusuf, gak? Aku mau ngomong, dong, sebentar." Aku bicara tanpa jeda, tidak memberikan kesempatan Mimi untuk menjawab. Terdengar helaan napas dari Mimi, kemudian dia berteriak membuatku menjauhkan ponsel dari telinga karena suaranya yang nyaring. Sekarang, suara Mimi sudah tidak terdengar lagi. Berganti dengan suara kasak-kusuk, dan entah apa yang menjadi sumbernya. "Mana, Mi?" Pertanyaan itu terdengar jelas di telingaku. Suara laki-laki dari seberang sana. "Ini, A.""Oh .... Saya bawa ke luar, ya?" Suara Mimi saling bersahutan dengan suara laki-laki tadi. Hening kembali. Suara pria tadi dan Mimi tidak terdengar lagi. Ah, aku memang salah tela
"Mama mau dikirim hari ini juga.""Hari ini?" Aku bengong melihat Mama yang menganggukkan kepala dengan pasti. "Iya, hari ini. Mama tidak sabar ingin memakan mata lembu, Ra. Itu, loh siput laut yang pernah Mama cicipi di rumahmu waktu itu."Aku membulatkan mulut seraya manggut-manggut. Aku kira Mama ragu dengan gambar dan harga yang A Yusuf kirim. Ternyata, karena Mama merindukan mata lembu, sama sepertiku. Karena sudah mendapatkan lampu hijau dari Mama, aku pun kembali menghubungi A Yusuf untuk memesan beberapa kilo udang dan kepiting, juga makanan lainnya. Rasanya tidak sabar ingin segera mengolah dan menyajikan makanan itu untuk pelanggan di restoran Mama. Aku menyimpan harapan yang besar. Memimpikan kesuksesan dari sepiring menu masakan. [Hai.]Aku mengerutkan kening membaca pesan dari nomor yang tidak dikenal. A Yusuf? Sepertinya bukan. Nomor A Yusuf sudah aku simpan setelah tadi aku dan dia melakukan transaksi jual beli. Sekarang, aku sedang menunggu barang itu datang. T
"Benar, kamu hanya lelah bekerja, Mas? Apa ada faktor lain yang membuatmu menjadi dingin padaku?" Seperti orang gila, aku bicara sendiri seraya menatap pantulan wajah diri dari cermin. Aku belum menemukan jawaban dari pertanyaan yang bersarang di benakku mengenai Mas Raffi. Kenapa sekarang sikapnya seperti itu? Ada apa? Aku mengingat-ingat kembali beberapa hari ke belakang, mencari kesalahan apa yang aku buat hingga Mas Raffi marah? Namun, tidak ada. Aku tidak membuat kesalahan fatal, yang menimbulkan kemarahan Mas Raffi. Aku juga tidak pernah menyentuh barang apa pun yang berkaitan dengan pekerjaan dia. Tapi, kenapa dia seperti enggan bicara padaku? "Assalamualaikum."Pandanganku langsung tertuju pada daun pintu yang dibuka dari luar. "Waalaikumsalam," ucapku menjawab salamnya. "Sudah salat?" Pertanyaan pertama yang Mas Raffi berikan untukku. Anggukkan kepala adalah jawaban yang kuberi, tapi tidak bicara. Mata ini terus saja mengikuti tubuhnya pergi, hingga akhirnya berhent
"Saya senang, Ra, melihat kehidupan kamu yang sekarang. Hilang sudah sebutan gadis miskin yang dulu tersemat padamu," ujar A Yusuf, lalu menyesap kopi hitam yang aku buatkan untuknya. Bibirku tersenyum simpul menanggapi perkataan A Yusuf. Memang, aku dikenal sebagai gadis miskin sebelum menikah dengan Mas Raffi. Terlebih, sebutan itu sering diucapkan ibunya Arga sewaktu dulu. "Sekarang pun saya masih miskin, A. Apa yang ada pada saya, itu hanyalah titipan semata. Apalah saya yang hanya numpang hidup pada keluarga suami?""Tidak ada kata menumpang. Milik suami, milik istri juga. Harta memang bukan tolak ukur seseorang mempunyai label kaya atau miskin. Semuanya sama. Papa, kamu, A Yusuf, sama. Sama-sama numpang hidup sama Tuhan," ujar Papa menyanggah ucapanku. A Yusuf manggut-manggut. Sedangkan aku menunduk, memainkan jari jemari di bawah meja. Entahlah, jika membahas soal harta, aku merasa paling rendah. Meskipun kata Papa harta bukan tolak ukur seseorang menjadi kaya raya, tapi t
"Gimana rasanya, Mah?" tanyaku. Mama belum memberikan jawaban. Ia masih mencicipi hidangan baru yang akan aku jual di restorannya. Seperti rencana sebelumnya, pagi ini aku mulai masuk kerja. Dan untuk kegiatan pertama, aku mencoba memasak udang dan kepiting dengan dibantu juru masak di sini. Menurutku sudah enak, tinggal nunggu komentar Mama mengenai menu baru itu. "Emh ...." Mama bergumam seraya mengunyah daging udang lobster yang menurutku sangat lembut itu. "Enak."Satu kata selanjutnya membuatku tersenyum senang. "Beneran, Mah?" tanyaku memastikan. "Iya, enak. Menurut Mama, bumbu dan teksturnya sudah pas. Coba Reyhan."Mama melempar tanya pada pria yang duduk di sampingnya. Sebagai orang yang sudah lama berkecimpung di dunia perdapuran, aku yakin Reyhan bisa tahu apa kurangnya dari masakanku itu. Reyhan menyuapkan satu sendok bumbu kepiting saus tiram ke dalam mulutnya, lalu kepalanya mengangguk seraya mengacungkan jari jempol padaku. Aku pun meloncat girang melihat ekspre
"Berlakulah sopan pada wanita. Tidak semua wanita yang kalian anggap pelayan, mau melayani pria hidung belang seperti kalian." Meskipun pelan, tapi Reyhan menekankan setiap ucapan yang keluar dari bibirnya. Dan keempat pria yang tadi menggodaku, hanya diam seraya memalingkan wajah.Aku pun pergi setelah Reyhan menarik tanganku menjauh dari sekumpulan orang-orang tak beretika tadi.Tidak nyaman karena dilihat banyak orang, aku pun melepaskan genggaman tangan Reyhan, membuat pria itu berbalik menatapku. "Maaf, aku tidak sopan," ucapnya menyadari kesalahan. Aku mengangguk, kemudian pergi ke ruangan yang memang khusus untukku. Di belakangku, Reyhan mengekor dan langsung duduk ketika sampai di dalam ruangan. "Lain kali, kamu jangan diam saja jika digoda seperti itu. Lawan lah. Meskipun dikatakan pembeli adalah raja, tapi kamu punya hak untuk membela diri.""Tadi aku juga mau membela diri, tapi kamu keburu datang," jawabku seraya mengembuskan napas kasar. "Ra, kamu, tuh penakut. Aku ta