"Saya senang, Ra, melihat kehidupan kamu yang sekarang. Hilang sudah sebutan gadis miskin yang dulu tersemat padamu," ujar A Yusuf, lalu menyesap kopi hitam yang aku buatkan untuknya. Bibirku tersenyum simpul menanggapi perkataan A Yusuf. Memang, aku dikenal sebagai gadis miskin sebelum menikah dengan Mas Raffi. Terlebih, sebutan itu sering diucapkan ibunya Arga sewaktu dulu. "Sekarang pun saya masih miskin, A. Apa yang ada pada saya, itu hanyalah titipan semata. Apalah saya yang hanya numpang hidup pada keluarga suami?""Tidak ada kata menumpang. Milik suami, milik istri juga. Harta memang bukan tolak ukur seseorang mempunyai label kaya atau miskin. Semuanya sama. Papa, kamu, A Yusuf, sama. Sama-sama numpang hidup sama Tuhan," ujar Papa menyanggah ucapanku. A Yusuf manggut-manggut. Sedangkan aku menunduk, memainkan jari jemari di bawah meja. Entahlah, jika membahas soal harta, aku merasa paling rendah. Meskipun kata Papa harta bukan tolak ukur seseorang menjadi kaya raya, tapi t
"Gimana rasanya, Mah?" tanyaku. Mama belum memberikan jawaban. Ia masih mencicipi hidangan baru yang akan aku jual di restorannya. Seperti rencana sebelumnya, pagi ini aku mulai masuk kerja. Dan untuk kegiatan pertama, aku mencoba memasak udang dan kepiting dengan dibantu juru masak di sini. Menurutku sudah enak, tinggal nunggu komentar Mama mengenai menu baru itu. "Emh ...." Mama bergumam seraya mengunyah daging udang lobster yang menurutku sangat lembut itu. "Enak."Satu kata selanjutnya membuatku tersenyum senang. "Beneran, Mah?" tanyaku memastikan. "Iya, enak. Menurut Mama, bumbu dan teksturnya sudah pas. Coba Reyhan."Mama melempar tanya pada pria yang duduk di sampingnya. Sebagai orang yang sudah lama berkecimpung di dunia perdapuran, aku yakin Reyhan bisa tahu apa kurangnya dari masakanku itu. Reyhan menyuapkan satu sendok bumbu kepiting saus tiram ke dalam mulutnya, lalu kepalanya mengangguk seraya mengacungkan jari jempol padaku. Aku pun meloncat girang melihat ekspre
"Berlakulah sopan pada wanita. Tidak semua wanita yang kalian anggap pelayan, mau melayani pria hidung belang seperti kalian." Meskipun pelan, tapi Reyhan menekankan setiap ucapan yang keluar dari bibirnya. Dan keempat pria yang tadi menggodaku, hanya diam seraya memalingkan wajah.Aku pun pergi setelah Reyhan menarik tanganku menjauh dari sekumpulan orang-orang tak beretika tadi.Tidak nyaman karena dilihat banyak orang, aku pun melepaskan genggaman tangan Reyhan, membuat pria itu berbalik menatapku. "Maaf, aku tidak sopan," ucapnya menyadari kesalahan. Aku mengangguk, kemudian pergi ke ruangan yang memang khusus untukku. Di belakangku, Reyhan mengekor dan langsung duduk ketika sampai di dalam ruangan. "Lain kali, kamu jangan diam saja jika digoda seperti itu. Lawan lah. Meskipun dikatakan pembeli adalah raja, tapi kamu punya hak untuk membela diri.""Tadi aku juga mau membela diri, tapi kamu keburu datang," jawabku seraya mengembuskan napas kasar. "Ra, kamu, tuh penakut. Aku ta
Terpaksa? Benarkah Mama terpaksa menerimaku hanya demi anaknya bisa mendapatkan jodoh? Tapi ...."Aw!" Aku memekik seraya meringis saat kurasakan lutut ini menghantam sesuatu. "Kamu melamun?" ujar seseorang di depanku. Seraya mengumpulkan ingatan yang berceceran karena teringat ucapan wanita di restoran tadi, aku mendongak melihat pria yang tengah duduk santai di depan mobilnya. Tepat di depan restoran Mama.Reyhan, dengan santainya dia menatapku seraya menaikan satu alis. "Tidak," kataku, "siapa yang melamun?" "Jalan, tuh melek, Raya. Kalau nggak melamun, tidak mungkin kamu tidak melihat mobil sebesar ini di depanmu? Apa tadi ada masalah di dalam?" ujar Reyhan lagi diakhiri dengan pertanyaan. Aku menggelengkan kepala. Meskipun iya, di dalam restoran ada sedikit masalah. Namun, bukan masalah pekerjaan. Melainkan masalah dalam pikiranku yang masih terngiang akan kata-kata yang Malika ucapkan tadi. Iya, Malika. Wanita itulah yang tadi sudah membuat perasaanku tak tenang. Dia yan
"Memangnya aku harus bawa apa?" tanyaku datar. Pasalnya, tadi saat sebelum pulang dari restoran, Mama tidak berpesan apa pun. Dan sekarang, tiba-tiba ia bertanya membuatku bingung sendiri. "Loh, kamu ini gimana, sih? Kan, tadi aku udah pesen sea food. Lupa, ya?"Wanita cantik yang garis wajahnya mirip dengan Mama, berujar dari belakang ibu mertuaku. Ia Mbak Kinanti. Pesen sea food? Oh, ya ampun! Segera aku mengambil ponsel, dan melihat percakapan antara aku dan Mbak Kinanti saat di restoran tadi. Seingatku, kakak iparku itu tidak menyuruhku membawa makanan. Dan saat tadi aku tawari pun, dia ...."Bawa ke rumah Mama?" kataku setelah membaca pesan paling bawah dari kakak iparku itu. Sudah terbaca, tapi aku tidak menyadarinya. Oh, ya ampun. Sepertinya aku memang sudah membuka pesan itu, tapi tidak membacanya karena keburu mendengar percakapan Malika dengan teman-temannya. Aku mengangkat kepala, melihat pada Mbak Kinanti yang juga menatapku kecewa. "Mbak, maaf. Sepertinya ... aku
"Malika?" Mama menyebut anak dari sahabatnya itu. Wanita yang namanya Mama sebut, menghampiri kami dengan senyum yang merekah indah. Dia menyalami kami semua, tak terkecuali aku. Dengan rasa percaya diri yang tinggi, Malika ikut duduk, meskipun tuan rumah belum mempersilakan. "Tante sama Om, apa kabar?" sapanya dengan sangat ramah. "Alhamdulillah baik. Kamu sendiri apa kabar? Waktu itu Tante pernah denger kamu datang ke sini, deh. Kalau gak salah, dari Raya kayaknya." Mama berucap, lalu melihatku sebentar. "Oh, iya, Tante. Waktu itu aku sengaja datang ke sini untuk nemuin Om sama Tante. Tapi, karena kata Raya enggak ada, aku pulang lagi, deh. Maaf, ya baru bisa datang lagi sekarang. Soalnya aku sibuk, sekarang aku jadi model iklan, Tan." Tanpa disuruh, tanpa ditanya, Malika mengatakan pekerjaan barunya. Mama dan Papa manggut-manggut. Sedangkan kakak iparku, sedikit pun tidak memberikan reaksi. Sebelah tangan Mbak Kinara menyusup ke dalam mukenaku, lalu mencubit pahaku sedikit.
"Emh ....""Mama, aku mau pulang. Ngantuk."Lagi-lagi Mbak Kinanti menggantung ucapannya. Ia menoleh melihat putrinya yang bicara seraya menekuk wajah. Gadis sepuluh tahun itu merangkak menghampiri ibunya, lalu menjatuhkan kepala di pangkuan Mbak Kinanti. Melihat kakak sepupunya melakukan itu, Rayyan putraku pun mengikutinya. Dia tidur di pangkuanku, dengan mata tetap melihat pada Safiyah, putri Mbak Kinanti. "Terusin, Mbak," kataku kemudian. "Kayaknya enggak sekarang, Ra. Aku harus bawa Fiya pulang. Kasihan, dia sudah ingin tidur.""Tidur di sini saja," kataku lagi, mencegahnya pergi karena penasaran dengan sesuatu yang ingin dibicarakan Mbak Kinanti."Lain kali saja, ya? Aku pulang sekarang," ujar Mbak Kinanti. "Bangun, Sayang. Kita pamit dulu sama Oma dan Opa."Mbak Kinanti dan putrinya keluar dari ruang bermain. Aku pun menyusul mereka bersama Rayyan yang berada dalam gendongan. Saat kami keluar, ternyata sudah tidak ada Malika bersama Mama dan Papa. Mungkin dia pulang, karen
"Bahagia? Aku?" Mas Raffi menunjuk dirinya sendiri. "Tentu saja, iya. Suami mana yang tidak bahagia jika sedang bersama istri tercintanya?" Aku tersenyum hambar. Bukan itu yang aku maksud. Namun, untuk menjelaskannya pun aku tidak berani. Kecurigaan yang hadir di dalam hati, biarkanlah menjadi misteri. Aku takut jika apa yang aku pikirkan, hanyalah ilusi yang tidak memiliki bukti. Mungkin Mas Raffi terlihat bahagia, karena memang sedang berdua denganku, bukan karena klien yang baru saja dia temui. Pikiranku harus positif. "Kita sudah sampai, Ra. Mau tunggu di sini saja? Aku gak akan lama, hanya memberikan ini saja." Mas Raffi membuka sabuk pengaman, lalu mengambil pesanan Mbak Kinanti. "Ya, aku di sini saja. Tapi beneran enggak lama, ya?" kataku dengan telunjuk ke arahnya. "He'em." Mas Raffi keluar dari mobil, lalu masuk ke rumah kakaknya setelah asisten rumah tangga Mbak Kinanti membukakan pintu. Pandangan aku edarkan ke sekitar rumah kakak iparku itu. Halamannya tidak seluas
"Raihanum." Aku menyebut nama dari bayi perempuan yang sedang menggeliat di tempat tidurnya. Bibirku tersenyum manis menatap sepasang mata yang mulai melihat dunia. "Selamat pagi, Sayang ...." Aku mengusap pelan pipinya dengan jari telunjukku. Dia menggoyangkan kepalanya seolah merasa terganggu dengan sentuhan lembutku. Bibirnya bergerak seperti mengemut sesuatu. Dan aku semakin gemas melihat itu. "Hey, princess Papa sudah bangun ternyata?" Aku menoleh pada Mas Raffi yang baru saja datang, dan langsung menghampiriku. Bukan. Bukan aku yang dia datangi, melainkan putri kecilnya. "Sepertinya dia haus, Sayang," ujarnya lagi. "Iya. Dia cari sesuatu.""Kasihlah. Kasihan dia."Aku pun mengambil bayi perempuan berusia empat puluh hari itu. Kini, dia menggeliat dalam gendongan, lalu kepalanya ke kanan dan kiri mencari sarapan paginya. Aku membuka kancing piyamaku, kemudian memberikan asupan gizi untuk putriku tercinta. "Persiapan di bawah gimana, Mas?" Aku melihat pada Mas Raffi. "
"Sayang ... udah belum?" "Belum!" Aku berteriak menjawab pertanyaan Mas Raffi. Saat ini aku tengah mondar-mandir di kamar mandi seraya memegang testpack. Sudah lima belas menit aku di dalam sini, tapi benda kecil itu belum menyentuh urinku. Rasanya campur aduk antara takut tidak sesuai dengan ekspektasi, juga penasaran yang luar biasa. "Sayang, ayo, dong! Masa dari tadi belum terus!" Mas Raffi kembali berujar. "Iya, bentar, Mas!"Dengan tangan yang bergetar, aku memasukkan testpack ke dalam urin yang sudah aku tampung dalam wadah. Setelah beberapa detik menunggu, aku mengangkatnya dengan mata terpejam. Sebelah mata aku buka sedikit, mencari garis yang menjadi penentu aku hamil atau tidaknya. Samar-samar aku melihat garis itu, hingga akhirnya mata kubuka lebar-lebar untuk memastikan penglihatanku tidaklah salah. "Dua?" gumamku, kemudian bibir tersenyum. Aku menutup mulut dengan mata yang berkaca-kaca. Ini memang bukan kehamilan pertama, tapi rasanya masih sama seperti waktu tah
"Pagi, Sayang ...."Sepasang tangan melingkar di pinggang, disusul dengan kecupan kecil di pipi. Aku yang tengah berkutat dengan alat masak, membalas sapaan Mas Raffi dengan usapan pelan di lengannya. Hal seperti ini bukan terjadi sekarang, tapi setiap pagi datang. Sikap Mas Raffi selalu hangat dan tambah romantis sejak kami tinggal di rumah ini. Itu mengapa, aku memperkejakan asisten rumah tangga yang pulang pergi. Aku tidak ingin melewatkan keromantisan ini karena ada orang lain di istana kami. "Sudah aku siapkan teh di atas meja. Mas duduk, sebentar lagi gorengan yang aku buat akan matang," ujarku. "Emh ... enggak mau. Aku mau tetap meluk kamu sampai gorengan itu pindah ke meja makan." Mas Raffi berucap manja. "Nanti kamu kecipratan minyak, Mas.""Biarin. Jangankan minyak, percikan api asmara dari luar pun bisa aku padamkan demi kamu.""Hah, gimana-gimana?" Aku menoleh, mencari wajah Mas Raffi yang menyusup di tengkuk leherku. Dia tidak berani mengangkat kepala. Malah semaki
"Gini aja, deh, Fi. Daripada kamu jual perhiasan Raya, mendingan kamu pinjem uang aja dari Mama." Aku yang tadi sudah berpikiran buruk, merasa lebih tenang saat mendengar suara Mama. Ternyata yang masuk tadi bukan Reyhan, melainkan Mama dan Mas Raffi yang membahas perhiasan. Oh, ya ampun. Mas Raffi ketahuan Mama akan menjual perhiasan? Aku berjalan mendekati mereka yang berada di ruang tamu. Pandanganku mengarah pada Mas Raffi yang memberikan isyarat dengan menempelkan jari telunjuk di bibirnya. Aku mengangguk kecil, lalu meraih tangan Mama dan menciumnya. "Rayyan mana, Ra?" tanya Mama tanpa melepaskan tanganku. "Lagi main di ruang tengah, Mah.""Kalau gitu, kamu duduk di sini, Mama mau bicara dengan kalian."Aku dan Mas Raffi saling pandang, lalu aku pun duduk di samping Mama. Begitu pun Mas Raffi. Kami mengapit Mama yang berada di tengah-tengah. "Fi, Ra, kalian ini masih punya orang tua. Ada Mama dan Papa, yang masih bisa bantu kalian. Bukan Mama mau sombong, soal uang, insya
"Semalam aku kaget banget, loh saat Mas Bayu membekap mulutku. Aku kira itu Reyhan."Aku menyeruput jus alpukat seraya memperhatikan Rayyan yang bermain. "Tadi malam, saat aku menyuruh kamu tidur, emang sudah merasakan ketidakberesan di rumah kita. Yang kata aku melihat kucing di kosan, itu sebenarnya yang aku lihat emang manusia.""Kok, gak bilang ke aku?" tanyaku. Saat ini, aku dan Mas Raffi masih membahas kejadian semalam yang membuat tubuh ini bergetar ketakutan. Kami duduk lesehan di teras depan seraya mengasuh Rayyan yang bermain di halaman. "Aku tidak mau kamu takut, Ra. Makanya aku menyuruh kamu tidur cepat. Dan setelah kami tidur, aku langsung menelepon polisi untuk datang secara diam-diam. Dan Bayu juga.""Terus, saat aku bangun dan ke lantai bawah, kamu kan tidak ada. Itu ke mana?" Aku masih bertanya karena penasaran. "Aku di luar. Secara tidak langsung, aku menggiring Reyhan masuk ke kamar tamu lewat jendela. Dan Bayu, saat itu sudah ada di dalam rumah ini. Dia aku su
"Mas Bayu ngapain di sini?" tanyaku, saat dia melepaskan tangannya dari bibirku. "Aku diminta Raffi datang ke sini. Dan kamu tahu, yang ada di kamar itu siapa? Si Reyhan. Dia nyusup masuk ke rumahmu lewat jendela kamar yang tidak dikunci.""Apa?" Rasa terkejutku bertambah berkali lipat. Jika saja tadi aku masuk ke sana, habislah riwayatku. Reyhan pasti akan dengan mudah melakukan perbuatan jahatnya padaku. Suara gagang pintu yang diputar dari dalam kamar tamu, membuatku dan Bayu menoleh. Semakin lama, suara di sana semakin keras. Karena mungkin Reyhan sudah menyadari jika dia masuk perangkap. "Mas Raffi, mana?" tanyaku, karena tak kulihat keberadaan suamiku. "Dia di luar.""Sendirian?" tanyaku lagi. "Temenin, Mas. Aku takut Reyhan menyerang Mas Raffi. Dia belum pulih." Aku panik. Bayu hendak melangkah menjauh dariku, tapi dia urungkan saat ada bayangan yang berjalan mendekat ke arah kami. Tidak lama kemudian, lampu pun menyala membuat ruangan yang gelap menjadi terang. Aku lan
"Mas, kenapa liatin aku terus?" Mama dan Papa, serta semua kakak Mas Raffi sudah pergi beberapa menit yang lalu. Sekarang, tinggallah kami berdua, dan Rayyan yang sudah tidur. Hari memang sudah malam. Perabot pemberian kakak-kakak Mas Raffi pun, sudah disimpan ke tempat yang semestinya. Dibantu kakak dan kakak iparku tentunya. Saat ini, aku dan Mas Raffi tengah duduk berdua di lantai dua rumah kami. Aku dan dia sedang menikmati malam, melihat bintang dan bulan yang bersinar bersamaan. Gorden kaca sengaja dibuka agar langit terlihat jelas. Di depan kami, dua cangkir teh menjadi pelengkap kebersamaanku dengan Mas Raffi. "Malu, ih diliatin terus," kataku lagi, memalingkan wajah ke arah lampu hias berbentuk hati yang berada di sudut ruangan. Mas Raffi menyentuh daguku. Menariknya sangat pelan, agar tatapanku kembali padanya. "Karena aku kagum pada kecantikan istriku ini. Makanya, aku pandang terus.""Ih, gombal, deh," ujarku. Padahal dalam hati, aku bahagia mendapatkan pujian dari
"Saat di hotel waktu itu, sebenarnya Mbak percaya jika kamu tidak melakukan apa-apa dengan Reyhan. Kalau kamu selingkuh dengan Reyhan, untuk apa kamu meminta Mbak datang? Iya, kan?"Aku mengangguk saat Mbak Kinara menjeda ucapannya. Saat ini, hanya ada aku dan dia. Kami duduk berhadapan di meja makan, setelah tadi Mbak Nara memintaku bicara berdua. "Saat kamu pergi dari hotel itu, sebenarnya Mbak masih ada di sana. Mbak menemui Reyhan setelah melihatmu benar-benar keluar dan pergi. Aku meminta Reyhan mengatakan apa yang terjadi antara kami dengannya, versi dia. Meskipun aku tidak percaya pada Reyhan, tapi aku tetap mendengarkan dan merekam pengakuannya. Kamu tahu kenapa?" Mbak Kinara melempar tanya. Aku menggelengkan kepala. Aku tidak mau menduga-duga dan mengatakan yang tidak ada dalam pikiran."Aku cemburu padamu, Ra. Aku iri melihat kedekatan kamu dengan Mama, juga perhatian Mama pada Rayyan.""Ya Allah, Mbak ...." Aku menatap sendu pada Mbak Kinara yang menunduk. "Maafkan Mbak
"Ini untuk kami, Mah?" tanyaku pada Mama, yang tengah membereskan sayuran serta buah segar ke dalam kulkas. Tidak hanya itu, Mama juga membeli bermacam bumbu dapur, juga perlengkapan lainnya. "Iya, Ra. Kalau untuk Mama, tidak mungkin dikeluarkan dari mobil. Ini semua untuk kalian. Mama juga beli vitamin penambah nafsu makan untuk kamu. Tapi, Raffi enggak boleh minum vitamin ini, ya? Dia punya vitamin sendiri dari dokternya," ujar Mama. Aku mengiyakan. Meskipun malu karena keluar dari kamar dalam keadaan rambut yang basah, aku tetap menemui ibu mertua yang tengah berbenah di dapur. Sedangkan Mas Raffi, dia masih di kamar. Sedang berpakaian setelah pada akhir tadi kami mandi bersama. Untunglah, kedua mertuaku paham situasi. Dari mereka tidak ada yang mengetuk pintu kamar sejak kedatangannya. Keduanya kompak membawa bermain Rayyan agar tidak mencari keberadaan orang tuanya. Ck, malu ... aku malu. Tapi, mau gimana lagi? Semuanya gara-gara ... ah, masa iya aku harus menyalahkan Mas