"Bahagia? Aku?" Mas Raffi menunjuk dirinya sendiri. "Tentu saja, iya. Suami mana yang tidak bahagia jika sedang bersama istri tercintanya?" Aku tersenyum hambar. Bukan itu yang aku maksud. Namun, untuk menjelaskannya pun aku tidak berani. Kecurigaan yang hadir di dalam hati, biarkanlah menjadi misteri. Aku takut jika apa yang aku pikirkan, hanyalah ilusi yang tidak memiliki bukti. Mungkin Mas Raffi terlihat bahagia, karena memang sedang berdua denganku, bukan karena klien yang baru saja dia temui. Pikiranku harus positif. "Kita sudah sampai, Ra. Mau tunggu di sini saja? Aku gak akan lama, hanya memberikan ini saja." Mas Raffi membuka sabuk pengaman, lalu mengambil pesanan Mbak Kinanti. "Ya, aku di sini saja. Tapi beneran enggak lama, ya?" kataku dengan telunjuk ke arahnya. "He'em." Mas Raffi keluar dari mobil, lalu masuk ke rumah kakaknya setelah asisten rumah tangga Mbak Kinanti membukakan pintu. Pandangan aku edarkan ke sekitar rumah kakak iparku itu. Halamannya tidak seluas
"Mas, serius?" tanyaku tak percaya. Mas Raffi mengusap wajah dengan gusar, nampak jelas sekali ada kesedihan darinya. Perut yang tadi terasa lapar, langsung kenyang oleh kabar yang tidak mengenakkan. Pantas, tadi Mbak Kinanti terlihat murung. Mungkin dia ingin bercerita tentang ini padaku, tapi ragu dan malu. "Masalahnya apa, Mas? Apa yang membuat mereka akan berpisah?" Aku kembali bertanya. "Aku tidak tahu, Ra." Mas Raffi menjambak rambutnya, lalu kembali mengusap wajah yang sudah sangat kacau. "Apa tadi Mbak Kinan bicara langsung sama kamu tentang perceraian?" Aku terus bertanya, mencari tahu yang sebenarnya terjadi di dalam rumah iparku tadi. "Iya. Dia mengatakan tidak kuat dengan hubungan yang menyakitkan, tapi entah apa masalahnya. Dia cuma bilang ingin berpisah dari Mas Rega. Saat kutanyakan masalahnya, dia malah menangis," tutur Mas Raffi. Hening. Ruangan ini menjadi sangat dingin karena aku dan Mas Raffi tidak lagi bicara. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing, yan
Aku dan Mas Raffi terlonjak saat pintu terbuka dan Mama beridiri di sana. Segera kami memisahkan diri, dan beranjak dari kasur milik putraku. "Mama, kapan pulang?" tanya Mas Raffi berpura-pura biasa saja. Padahal, aku tahu hatinya berdebar, takut dimarahi Mama. "Tidak usah nanya kapan Mama pulang? Yang harusnya bertanya itu, Mama. Kenapa kalian tidur di kamar Rayyan? Dempet-dempetan. Kasihan, kan dia jadi kesempitan."Aku menunduk seraya memainkan jari jemari. Rasa dingin yang selalu datang di waktu subuh, kini tidak terasa lagi. Yang ada, suhu badanku mulai memanas dan keringat merembes keluar dari pori-pori kulit. "Sekali-kali boleh, dong kita tidur dengan anak sendiri. Momen ini tidak akan datang dua kali, Mah.""Momen apa? Kalian malah akan bikin Rayyan jadi penakut, maunya tidur ditemani. Susah-susah Mama ngajarin dia berani, malah kalian rusak. Sana, pergi ke kamar kalian." Mama menubruk pundakku dan Mas Raffi untuk bisa menghampiri putraku. Ibu mertuaku itu memasang kembali
"Syakila, kenapa?" tanya Mama lagi. Anak gadis dari Mas Daffa dan Mbak Syahida itu tidak menjawab. Ia menenggelamkan wajah dengan terus tersedu terdengar pilu. Aku dan Mas Raffi saling pandang, lalu menghampiri Syakila yang pundaknya bergetar di pangkuan Mama. "Kak, ada apa? Coba cerita sama Tante," ujarku membujuk. Syakila mengangkat kepala, mengusap wajahnya yang basah oleh air mata. Namun, dia belum mau bicara. Dia tetap menangis dan kembali memeluk pinggang neneknya. "Fi, coba telepon masmu. Apa yang dia buat sampai Syakila datang sambil nangis-nangis seperti ini? Masih pagi-pagi buta, lagi." Mama menyuruh suamiku. Mas Raffi bergerak, dia pergi ke kamar untuk mengambil ponsel. Sedangkan di sini, kami masih membujuk Syakila untuk bicara dan mengatakan yang terjadi di rumahnya. Tidak berapa lama, Mas Raffi kembali. Namun, ada yang tak biasa dari gelagat suamiku itu. Dia seperti menyimpan rahasia yang hanya dibagi dengan Papa yang dipanggilnya menjauh dari kami. Mas Raffi mem
"Syakila, berhenti!" Aku berteriak kencang agar anak itu tidak lagi mengamuk dan mengacak-acak kamar ini. Bukannya berhenti, Syakila malah semakin menjadi. Entah setan apa yang merasuki tubuh anak itu, hingga tidak bisa dikendalikan. Dia seakan tuli, tidak sama sekali peduli denganku yang berteriak melarangnya menghancurkan barang-barang di kamar ini."Kak, cukup! Berhenti, Syakila." Aku kembali bicara. Gadis itu bergeming dengan dada yang naik turun. Pandangannya tajam ke arahku yang berdiri sekitar lima langkah dari dirinya berada. "Tante tahu kamu marah dan kecewa, tapi jangan seperti ini, Sayang. Tenangkan dirimu," ujarku dengan nada lembut. "Tante gak tahu apa yang aku rasakan! Tante bisa bicara seperti itu karena tidak ada di posisi aku!" teriaknya. "Aku malu! Aku enggak mau jadi orang miskin!" Syakila kumat lagi. Tangannya mengambil parfum, lalu melemparkannya ke kaca rias hingga pecah dan mengeluarkan suara yang begitu nyaring. Bi Marni datang seraya menggendong putra
"Hanya ada dua pilihan untukmu, Sya. Ikut dengan Ayah dan Bunda, atau tinggal di sini bersama Oma.""Tapi, jika kamu milih tinggal bersama Oma, di sini, kamu harus mengikuti aturan yang Oma buat. Ini rumah Oma, jadi jangan semau kamu," ujar Mama, menambahkan ucapan Mas Daffa. Syakila diam dengan mata melihat pada Ibunya, juga ibu mertuaku. Mbak Syahida mengatakan sesuatu dengan bahasa isyarat kepada putrinya. Entah apa, karena aku tidak mengerti. Namun setelah itu, wajah Syakila kembali ditekuk. Kupastikan apa yang disampaikan Mbak Syahida adalah ungkapan kesedihan. "Aku mau tinggal di sini, tapi sama Ayah dan Bunda," ujar Syakila setelah beberapa menit diam saja. "Tidak bisa," sanggah Mas Daffa. "Ayah dan Bunda tidak ingin merepotkan Oma dan Opa. Lagipula, di sini sudah ada Om Afi sama Tante Raya. Ayah gak suka rumah yang berisik."Seketika aku langsung teringat rumah milikku dan Mas Raffi yang belum pernah kami tempati. Tidak ada salahnya jika aku menawarkan rumah itu untuk kak
[Syakila bukan lagi gadis manis seperti tiga tahun yang lalu, Ra. Dia sudah berubah dan bahkan berulah.]Manik hitam Mbak Syahida mengembun setelah menuliskan dua kalimat pada ponsel yang dia berikan padaku. "Perubahan seperti apa yang akhirnya membuat Mbak dan Mas melakukan ini semua?" Aku bertanya seraya memberikan ponsel ke tangan Mbak Syahida. Benda pipih itu bergoyang pelan seiring dengan lincahnya jari-jari Mbak Ida menari di atas layar keyboard. Benda itu jadi satu-satunya alat percakapan kami, karena aku tidak mengerti dengan bahasa isyarat yang dikuasi Mbak Syahida. Setelah Mas Raffi mengatakan jika Mas Daffa hanya bersandiwara, aku pun menemui Mbak Syahida yang tengah merenung sendirian di pinggir kolam. Sementara anak dan suaminya, masih membahas tempat tinggal yang akan menjadi episode selanjutnya dalam kehidupan Syakila. [Banyak sekali perubahan dia, Ra. Sejak masuk SMA, Mbak sudah melihat gelagat tidak baik darinya. Semakin lama, dia semakin berani. Pulang malam, nga
"Ayo, bantu angkat!" "Bawa ke kamar Mama aja dulu!" Mama dan Papa saling bersahutan seraya menghampiri Mbak Syahida yang tergeletak tak berdaya. Entahlah gimana mulanya hingga Mbak Syahida pingsan. Padahal, sebelumnya dia baik-baik saja. Mungkinkah dia lelah memikirkan Syakila? "Ra, ambilkan minum!" titah Mama padaku. Aku yang tadi hendak ikut ke kamar Mama, langsung putar balik pergi ke dapur. Bi Marni yang sejak tadi di belakang, langsung menghampiri menanyakan apa yang terjadi. Dengan tangan sibuk menuangkan air ke dalam gelas, aku menceritakan yang terjadi pada Bibi. "Ya Allah ... kasihan Mbak Ida," ujar Bi Marni seraya mengusap dada. Satu gelas air putih sudah di tangan, dan aku bawa ke kamar di mana Mbak Syahida berada. Di sana, Mas Daffa tengah memeriksa keadaan istrinya yang masih menutup mata. Di samping sebelah kanan, Syakila menangis mengkhawatirkan ibunya yang tidak sadarkan diri. "Gimana, Daf?" tanya Papa, pada putra sulungnya. "Pingsan, Pah. Ida shock dan kel