"Syakila, berhenti!" Aku berteriak kencang agar anak itu tidak lagi mengamuk dan mengacak-acak kamar ini. Bukannya berhenti, Syakila malah semakin menjadi. Entah setan apa yang merasuki tubuh anak itu, hingga tidak bisa dikendalikan. Dia seakan tuli, tidak sama sekali peduli denganku yang berteriak melarangnya menghancurkan barang-barang di kamar ini."Kak, cukup! Berhenti, Syakila." Aku kembali bicara. Gadis itu bergeming dengan dada yang naik turun. Pandangannya tajam ke arahku yang berdiri sekitar lima langkah dari dirinya berada. "Tante tahu kamu marah dan kecewa, tapi jangan seperti ini, Sayang. Tenangkan dirimu," ujarku dengan nada lembut. "Tante gak tahu apa yang aku rasakan! Tante bisa bicara seperti itu karena tidak ada di posisi aku!" teriaknya. "Aku malu! Aku enggak mau jadi orang miskin!" Syakila kumat lagi. Tangannya mengambil parfum, lalu melemparkannya ke kaca rias hingga pecah dan mengeluarkan suara yang begitu nyaring. Bi Marni datang seraya menggendong putra
"Hanya ada dua pilihan untukmu, Sya. Ikut dengan Ayah dan Bunda, atau tinggal di sini bersama Oma.""Tapi, jika kamu milih tinggal bersama Oma, di sini, kamu harus mengikuti aturan yang Oma buat. Ini rumah Oma, jadi jangan semau kamu," ujar Mama, menambahkan ucapan Mas Daffa. Syakila diam dengan mata melihat pada Ibunya, juga ibu mertuaku. Mbak Syahida mengatakan sesuatu dengan bahasa isyarat kepada putrinya. Entah apa, karena aku tidak mengerti. Namun setelah itu, wajah Syakila kembali ditekuk. Kupastikan apa yang disampaikan Mbak Syahida adalah ungkapan kesedihan. "Aku mau tinggal di sini, tapi sama Ayah dan Bunda," ujar Syakila setelah beberapa menit diam saja. "Tidak bisa," sanggah Mas Daffa. "Ayah dan Bunda tidak ingin merepotkan Oma dan Opa. Lagipula, di sini sudah ada Om Afi sama Tante Raya. Ayah gak suka rumah yang berisik."Seketika aku langsung teringat rumah milikku dan Mas Raffi yang belum pernah kami tempati. Tidak ada salahnya jika aku menawarkan rumah itu untuk kak
[Syakila bukan lagi gadis manis seperti tiga tahun yang lalu, Ra. Dia sudah berubah dan bahkan berulah.]Manik hitam Mbak Syahida mengembun setelah menuliskan dua kalimat pada ponsel yang dia berikan padaku. "Perubahan seperti apa yang akhirnya membuat Mbak dan Mas melakukan ini semua?" Aku bertanya seraya memberikan ponsel ke tangan Mbak Syahida. Benda pipih itu bergoyang pelan seiring dengan lincahnya jari-jari Mbak Ida menari di atas layar keyboard. Benda itu jadi satu-satunya alat percakapan kami, karena aku tidak mengerti dengan bahasa isyarat yang dikuasi Mbak Syahida. Setelah Mas Raffi mengatakan jika Mas Daffa hanya bersandiwara, aku pun menemui Mbak Syahida yang tengah merenung sendirian di pinggir kolam. Sementara anak dan suaminya, masih membahas tempat tinggal yang akan menjadi episode selanjutnya dalam kehidupan Syakila. [Banyak sekali perubahan dia, Ra. Sejak masuk SMA, Mbak sudah melihat gelagat tidak baik darinya. Semakin lama, dia semakin berani. Pulang malam, nga
"Ayo, bantu angkat!" "Bawa ke kamar Mama aja dulu!" Mama dan Papa saling bersahutan seraya menghampiri Mbak Syahida yang tergeletak tak berdaya. Entahlah gimana mulanya hingga Mbak Syahida pingsan. Padahal, sebelumnya dia baik-baik saja. Mungkinkah dia lelah memikirkan Syakila? "Ra, ambilkan minum!" titah Mama padaku. Aku yang tadi hendak ikut ke kamar Mama, langsung putar balik pergi ke dapur. Bi Marni yang sejak tadi di belakang, langsung menghampiri menanyakan apa yang terjadi. Dengan tangan sibuk menuangkan air ke dalam gelas, aku menceritakan yang terjadi pada Bibi. "Ya Allah ... kasihan Mbak Ida," ujar Bi Marni seraya mengusap dada. Satu gelas air putih sudah di tangan, dan aku bawa ke kamar di mana Mbak Syahida berada. Di sana, Mas Daffa tengah memeriksa keadaan istrinya yang masih menutup mata. Di samping sebelah kanan, Syakila menangis mengkhawatirkan ibunya yang tidak sadarkan diri. "Gimana, Daf?" tanya Papa, pada putra sulungnya. "Pingsan, Pah. Ida shock dan kel
Hidangan di atas meja sudah tidak tersisa. Namun, kami belum mau beranjak pergi dari tempat ini. Bukannya pulang, kami malah mengganti menu makanan. "Mau rasa cokelat atau durian?" tanya Mas Raffi, menunjuk gambar es krim sebagai makanan penutup kami. "Cokelat saja," kataku. Dia langsung memesankan makanan yang aku inginkan, lalu pandangannya beralih pada Rayyan yang anteng di tempat duduknya. "Mas, ini sudah sore, loh. Apa Mama tidak akan marah, kita pulang kesorean?" "Biarlah, Ra. Kalaupun marah, jangan diambil hati. Kita juga butuh waktu bersama, kan?" ujar Mas Raffi terdengar indah di telinga. Memang momen seperti ini yang aku inginkan. Pergi bertiga, jalan-jalan dan makan bersama di tempat yang dulu sering kami kunjungi. Salah tidak, sih jika kami makan di restoran orang lain, sedangkan kami pun punya restoran sendiri? Ah, sepertinya tidak. Selain untuk menyenangkan hati, juga mencari referensi rasa dan menu dari tempat yang kemi kunjungi. Terdengar serius, tapi sebenarn
"Sebentar doang, Ra. Kan kelewatan," ujar Reyhan lagi. Mobil yang dikendarai Reyhan melaju sedang membelah jalan yang mulai menggelap. Lampu-lampu dari bangunan mulai dinyalakan, menjadi tanda hari akan berganti malam. Seperti yang Reyhan ucapkan, pria itu benar-benar membawaku ke restoran Mama. Dia menepikan mobil, memperlihatkan aktivitas di restoran yang masih sibuk. "Percaya kan? Kamu berhasil membuat restoran semakin rame."Ada rasa bangga dalam diri ketika melihat pengunjung yang hilir mudik datang dan pergi. Tak terasa, bibirku melengkung tersenyum bahagia. Benarkah itu karenaku? Mungkin iya. Namun, aku tidak ingin sombong. Wajar jika restoran ramai, karena aku memberikan potongan harga sebagai promosi menu baru. "Senang, ya?" Aku mengalihkan pandangan dari bangunan restoran, ke wajah Reyhan yang kembali bicara. "Enggak normal jika aku merasa sedih," kataku seraya terkekeh, dan dibalas tawa oleh pria itu.Reyhan melajukan mobilnya meninggalkan keramaian restoran Mama. D
"Sedang ... tidak sedang apa-apa, kok." Syakila menjawab pertanyaanku dengan ketus, kemudian dia beranjak pergi meninggalkan kamar Bi Marni. Aku mengembuskan napas kasar melihat sikap dia yang seperti anak kecil. "Mbak, tadi Non Syakila minjem—"Bi Marni tidak melanjutkan ucapannya saat aku memberikan isyarat dengan menempelkan telunjuk di bibir. "Tahu. Saya dengar, kok. Kalau nanti Syakila macem-macem lagi, Bibi bilangnya sama Mama langsung, ya. Kalau perlu, Bibi rekam dan kasih ke Mama, biar enggak dikira ngada-ngada." "Baik, Mbak," ucap Bi Marni patuh. Aku bukannya tidak ingin menjadi perantara dan menyampaikan ke Mama tentang bohongnya Syakila. Namun, aku sedang menjaga diri agar tidak dikira tukang ngadu. Ribet memang. Aku bahkan tidak pernah membayangkan akan ada kisah seperti ini dalam jalan pernikahanku dengan Mas Raffi. Dalam anganku, hidupku lurus seperti jalan tol. Punya ipar baik, mertua yang luar biasa sayangnya seperti orang tua sendiri. Namun, sepertinya Tuhan s
"Uang?"Keningku mengkerut mendengar Syakila yang tengah bertelepon. Entah siapa, tapi pembahasannya bukan tentang sekolah. "Ada, masa iya enggak ada. Tidak mungkin kan, anak seorang dokter, cucu orang yang punya rumah sakit, tidak punya uang sebanyak itu? Mustahil ...." Syakila terkikik seraya menutup mulut. Aku semakin curiga pada anak itu. Apa yang dia bicarakan di telepon itu, pasti ada hubungannya dengan uang yang dia pinjam pada Bi Marni tadi. Dan itu bukan untuk keperluan sekolah. Astaga ... pergaulan seperti apa yang membuat Syakila jadi anak yang tinggi hati dan gengsi? "Sayang."Aku berjingkat kaget saat pundak ditepuk dari belakang. Kuusap dada yang bertalu-talu seraya membalikkan badan. "Mas ngapain ke sini? Ngagetin, lagi." Aku bicara ketus karena kesal. "Ada juga aku yang nanya kamu. Sedang apa kamu di sini? Bukannya tadi mau ambil minum?" cecar Mas Raffi. "Tuh, keponakanmu jam segini masih teleponan."Mas Raffi berdecak, lalu keluar dari pintu samping menghampiri
"Raihanum." Aku menyebut nama dari bayi perempuan yang sedang menggeliat di tempat tidurnya. Bibirku tersenyum manis menatap sepasang mata yang mulai melihat dunia. "Selamat pagi, Sayang ...." Aku mengusap pelan pipinya dengan jari telunjukku. Dia menggoyangkan kepalanya seolah merasa terganggu dengan sentuhan lembutku. Bibirnya bergerak seperti mengemut sesuatu. Dan aku semakin gemas melihat itu. "Hey, princess Papa sudah bangun ternyata?" Aku menoleh pada Mas Raffi yang baru saja datang, dan langsung menghampiriku. Bukan. Bukan aku yang dia datangi, melainkan putri kecilnya. "Sepertinya dia haus, Sayang," ujarnya lagi. "Iya. Dia cari sesuatu.""Kasihlah. Kasihan dia."Aku pun mengambil bayi perempuan berusia empat puluh hari itu. Kini, dia menggeliat dalam gendongan, lalu kepalanya ke kanan dan kiri mencari sarapan paginya. Aku membuka kancing piyamaku, kemudian memberikan asupan gizi untuk putriku tercinta. "Persiapan di bawah gimana, Mas?" Aku melihat pada Mas Raffi. "
"Sayang ... udah belum?" "Belum!" Aku berteriak menjawab pertanyaan Mas Raffi. Saat ini aku tengah mondar-mandir di kamar mandi seraya memegang testpack. Sudah lima belas menit aku di dalam sini, tapi benda kecil itu belum menyentuh urinku. Rasanya campur aduk antara takut tidak sesuai dengan ekspektasi, juga penasaran yang luar biasa. "Sayang, ayo, dong! Masa dari tadi belum terus!" Mas Raffi kembali berujar. "Iya, bentar, Mas!"Dengan tangan yang bergetar, aku memasukkan testpack ke dalam urin yang sudah aku tampung dalam wadah. Setelah beberapa detik menunggu, aku mengangkatnya dengan mata terpejam. Sebelah mata aku buka sedikit, mencari garis yang menjadi penentu aku hamil atau tidaknya. Samar-samar aku melihat garis itu, hingga akhirnya mata kubuka lebar-lebar untuk memastikan penglihatanku tidaklah salah. "Dua?" gumamku, kemudian bibir tersenyum. Aku menutup mulut dengan mata yang berkaca-kaca. Ini memang bukan kehamilan pertama, tapi rasanya masih sama seperti waktu tah
"Pagi, Sayang ...."Sepasang tangan melingkar di pinggang, disusul dengan kecupan kecil di pipi. Aku yang tengah berkutat dengan alat masak, membalas sapaan Mas Raffi dengan usapan pelan di lengannya. Hal seperti ini bukan terjadi sekarang, tapi setiap pagi datang. Sikap Mas Raffi selalu hangat dan tambah romantis sejak kami tinggal di rumah ini. Itu mengapa, aku memperkejakan asisten rumah tangga yang pulang pergi. Aku tidak ingin melewatkan keromantisan ini karena ada orang lain di istana kami. "Sudah aku siapkan teh di atas meja. Mas duduk, sebentar lagi gorengan yang aku buat akan matang," ujarku. "Emh ... enggak mau. Aku mau tetap meluk kamu sampai gorengan itu pindah ke meja makan." Mas Raffi berucap manja. "Nanti kamu kecipratan minyak, Mas.""Biarin. Jangankan minyak, percikan api asmara dari luar pun bisa aku padamkan demi kamu.""Hah, gimana-gimana?" Aku menoleh, mencari wajah Mas Raffi yang menyusup di tengkuk leherku. Dia tidak berani mengangkat kepala. Malah semaki
"Gini aja, deh, Fi. Daripada kamu jual perhiasan Raya, mendingan kamu pinjem uang aja dari Mama." Aku yang tadi sudah berpikiran buruk, merasa lebih tenang saat mendengar suara Mama. Ternyata yang masuk tadi bukan Reyhan, melainkan Mama dan Mas Raffi yang membahas perhiasan. Oh, ya ampun. Mas Raffi ketahuan Mama akan menjual perhiasan? Aku berjalan mendekati mereka yang berada di ruang tamu. Pandanganku mengarah pada Mas Raffi yang memberikan isyarat dengan menempelkan jari telunjuk di bibirnya. Aku mengangguk kecil, lalu meraih tangan Mama dan menciumnya. "Rayyan mana, Ra?" tanya Mama tanpa melepaskan tanganku. "Lagi main di ruang tengah, Mah.""Kalau gitu, kamu duduk di sini, Mama mau bicara dengan kalian."Aku dan Mas Raffi saling pandang, lalu aku pun duduk di samping Mama. Begitu pun Mas Raffi. Kami mengapit Mama yang berada di tengah-tengah. "Fi, Ra, kalian ini masih punya orang tua. Ada Mama dan Papa, yang masih bisa bantu kalian. Bukan Mama mau sombong, soal uang, insya
"Semalam aku kaget banget, loh saat Mas Bayu membekap mulutku. Aku kira itu Reyhan."Aku menyeruput jus alpukat seraya memperhatikan Rayyan yang bermain. "Tadi malam, saat aku menyuruh kamu tidur, emang sudah merasakan ketidakberesan di rumah kita. Yang kata aku melihat kucing di kosan, itu sebenarnya yang aku lihat emang manusia.""Kok, gak bilang ke aku?" tanyaku. Saat ini, aku dan Mas Raffi masih membahas kejadian semalam yang membuat tubuh ini bergetar ketakutan. Kami duduk lesehan di teras depan seraya mengasuh Rayyan yang bermain di halaman. "Aku tidak mau kamu takut, Ra. Makanya aku menyuruh kamu tidur cepat. Dan setelah kami tidur, aku langsung menelepon polisi untuk datang secara diam-diam. Dan Bayu juga.""Terus, saat aku bangun dan ke lantai bawah, kamu kan tidak ada. Itu ke mana?" Aku masih bertanya karena penasaran. "Aku di luar. Secara tidak langsung, aku menggiring Reyhan masuk ke kamar tamu lewat jendela. Dan Bayu, saat itu sudah ada di dalam rumah ini. Dia aku su
"Mas Bayu ngapain di sini?" tanyaku, saat dia melepaskan tangannya dari bibirku. "Aku diminta Raffi datang ke sini. Dan kamu tahu, yang ada di kamar itu siapa? Si Reyhan. Dia nyusup masuk ke rumahmu lewat jendela kamar yang tidak dikunci.""Apa?" Rasa terkejutku bertambah berkali lipat. Jika saja tadi aku masuk ke sana, habislah riwayatku. Reyhan pasti akan dengan mudah melakukan perbuatan jahatnya padaku. Suara gagang pintu yang diputar dari dalam kamar tamu, membuatku dan Bayu menoleh. Semakin lama, suara di sana semakin keras. Karena mungkin Reyhan sudah menyadari jika dia masuk perangkap. "Mas Raffi, mana?" tanyaku, karena tak kulihat keberadaan suamiku. "Dia di luar.""Sendirian?" tanyaku lagi. "Temenin, Mas. Aku takut Reyhan menyerang Mas Raffi. Dia belum pulih." Aku panik. Bayu hendak melangkah menjauh dariku, tapi dia urungkan saat ada bayangan yang berjalan mendekat ke arah kami. Tidak lama kemudian, lampu pun menyala membuat ruangan yang gelap menjadi terang. Aku lan
"Mas, kenapa liatin aku terus?" Mama dan Papa, serta semua kakak Mas Raffi sudah pergi beberapa menit yang lalu. Sekarang, tinggallah kami berdua, dan Rayyan yang sudah tidur. Hari memang sudah malam. Perabot pemberian kakak-kakak Mas Raffi pun, sudah disimpan ke tempat yang semestinya. Dibantu kakak dan kakak iparku tentunya. Saat ini, aku dan Mas Raffi tengah duduk berdua di lantai dua rumah kami. Aku dan dia sedang menikmati malam, melihat bintang dan bulan yang bersinar bersamaan. Gorden kaca sengaja dibuka agar langit terlihat jelas. Di depan kami, dua cangkir teh menjadi pelengkap kebersamaanku dengan Mas Raffi. "Malu, ih diliatin terus," kataku lagi, memalingkan wajah ke arah lampu hias berbentuk hati yang berada di sudut ruangan. Mas Raffi menyentuh daguku. Menariknya sangat pelan, agar tatapanku kembali padanya. "Karena aku kagum pada kecantikan istriku ini. Makanya, aku pandang terus.""Ih, gombal, deh," ujarku. Padahal dalam hati, aku bahagia mendapatkan pujian dari
"Saat di hotel waktu itu, sebenarnya Mbak percaya jika kamu tidak melakukan apa-apa dengan Reyhan. Kalau kamu selingkuh dengan Reyhan, untuk apa kamu meminta Mbak datang? Iya, kan?"Aku mengangguk saat Mbak Kinara menjeda ucapannya. Saat ini, hanya ada aku dan dia. Kami duduk berhadapan di meja makan, setelah tadi Mbak Nara memintaku bicara berdua. "Saat kamu pergi dari hotel itu, sebenarnya Mbak masih ada di sana. Mbak menemui Reyhan setelah melihatmu benar-benar keluar dan pergi. Aku meminta Reyhan mengatakan apa yang terjadi antara kami dengannya, versi dia. Meskipun aku tidak percaya pada Reyhan, tapi aku tetap mendengarkan dan merekam pengakuannya. Kamu tahu kenapa?" Mbak Kinara melempar tanya. Aku menggelengkan kepala. Aku tidak mau menduga-duga dan mengatakan yang tidak ada dalam pikiran."Aku cemburu padamu, Ra. Aku iri melihat kedekatan kamu dengan Mama, juga perhatian Mama pada Rayyan.""Ya Allah, Mbak ...." Aku menatap sendu pada Mbak Kinara yang menunduk. "Maafkan Mbak
"Ini untuk kami, Mah?" tanyaku pada Mama, yang tengah membereskan sayuran serta buah segar ke dalam kulkas. Tidak hanya itu, Mama juga membeli bermacam bumbu dapur, juga perlengkapan lainnya. "Iya, Ra. Kalau untuk Mama, tidak mungkin dikeluarkan dari mobil. Ini semua untuk kalian. Mama juga beli vitamin penambah nafsu makan untuk kamu. Tapi, Raffi enggak boleh minum vitamin ini, ya? Dia punya vitamin sendiri dari dokternya," ujar Mama. Aku mengiyakan. Meskipun malu karena keluar dari kamar dalam keadaan rambut yang basah, aku tetap menemui ibu mertua yang tengah berbenah di dapur. Sedangkan Mas Raffi, dia masih di kamar. Sedang berpakaian setelah pada akhir tadi kami mandi bersama. Untunglah, kedua mertuaku paham situasi. Dari mereka tidak ada yang mengetuk pintu kamar sejak kedatangannya. Keduanya kompak membawa bermain Rayyan agar tidak mencari keberadaan orang tuanya. Ck, malu ... aku malu. Tapi, mau gimana lagi? Semuanya gara-gara ... ah, masa iya aku harus menyalahkan Mas