"Hanya ada dua pilihan untukmu, Sya. Ikut dengan Ayah dan Bunda, atau tinggal di sini bersama Oma.""Tapi, jika kamu milih tinggal bersama Oma, di sini, kamu harus mengikuti aturan yang Oma buat. Ini rumah Oma, jadi jangan semau kamu," ujar Mama, menambahkan ucapan Mas Daffa. Syakila diam dengan mata melihat pada Ibunya, juga ibu mertuaku. Mbak Syahida mengatakan sesuatu dengan bahasa isyarat kepada putrinya. Entah apa, karena aku tidak mengerti. Namun setelah itu, wajah Syakila kembali ditekuk. Kupastikan apa yang disampaikan Mbak Syahida adalah ungkapan kesedihan. "Aku mau tinggal di sini, tapi sama Ayah dan Bunda," ujar Syakila setelah beberapa menit diam saja. "Tidak bisa," sanggah Mas Daffa. "Ayah dan Bunda tidak ingin merepotkan Oma dan Opa. Lagipula, di sini sudah ada Om Afi sama Tante Raya. Ayah gak suka rumah yang berisik."Seketika aku langsung teringat rumah milikku dan Mas Raffi yang belum pernah kami tempati. Tidak ada salahnya jika aku menawarkan rumah itu untuk kak
[Syakila bukan lagi gadis manis seperti tiga tahun yang lalu, Ra. Dia sudah berubah dan bahkan berulah.]Manik hitam Mbak Syahida mengembun setelah menuliskan dua kalimat pada ponsel yang dia berikan padaku. "Perubahan seperti apa yang akhirnya membuat Mbak dan Mas melakukan ini semua?" Aku bertanya seraya memberikan ponsel ke tangan Mbak Syahida. Benda pipih itu bergoyang pelan seiring dengan lincahnya jari-jari Mbak Ida menari di atas layar keyboard. Benda itu jadi satu-satunya alat percakapan kami, karena aku tidak mengerti dengan bahasa isyarat yang dikuasi Mbak Syahida. Setelah Mas Raffi mengatakan jika Mas Daffa hanya bersandiwara, aku pun menemui Mbak Syahida yang tengah merenung sendirian di pinggir kolam. Sementara anak dan suaminya, masih membahas tempat tinggal yang akan menjadi episode selanjutnya dalam kehidupan Syakila. [Banyak sekali perubahan dia, Ra. Sejak masuk SMA, Mbak sudah melihat gelagat tidak baik darinya. Semakin lama, dia semakin berani. Pulang malam, nga
"Ayo, bantu angkat!" "Bawa ke kamar Mama aja dulu!" Mama dan Papa saling bersahutan seraya menghampiri Mbak Syahida yang tergeletak tak berdaya. Entahlah gimana mulanya hingga Mbak Syahida pingsan. Padahal, sebelumnya dia baik-baik saja. Mungkinkah dia lelah memikirkan Syakila? "Ra, ambilkan minum!" titah Mama padaku. Aku yang tadi hendak ikut ke kamar Mama, langsung putar balik pergi ke dapur. Bi Marni yang sejak tadi di belakang, langsung menghampiri menanyakan apa yang terjadi. Dengan tangan sibuk menuangkan air ke dalam gelas, aku menceritakan yang terjadi pada Bibi. "Ya Allah ... kasihan Mbak Ida," ujar Bi Marni seraya mengusap dada. Satu gelas air putih sudah di tangan, dan aku bawa ke kamar di mana Mbak Syahida berada. Di sana, Mas Daffa tengah memeriksa keadaan istrinya yang masih menutup mata. Di samping sebelah kanan, Syakila menangis mengkhawatirkan ibunya yang tidak sadarkan diri. "Gimana, Daf?" tanya Papa, pada putra sulungnya. "Pingsan, Pah. Ida shock dan kel
Hidangan di atas meja sudah tidak tersisa. Namun, kami belum mau beranjak pergi dari tempat ini. Bukannya pulang, kami malah mengganti menu makanan. "Mau rasa cokelat atau durian?" tanya Mas Raffi, menunjuk gambar es krim sebagai makanan penutup kami. "Cokelat saja," kataku. Dia langsung memesankan makanan yang aku inginkan, lalu pandangannya beralih pada Rayyan yang anteng di tempat duduknya. "Mas, ini sudah sore, loh. Apa Mama tidak akan marah, kita pulang kesorean?" "Biarlah, Ra. Kalaupun marah, jangan diambil hati. Kita juga butuh waktu bersama, kan?" ujar Mas Raffi terdengar indah di telinga. Memang momen seperti ini yang aku inginkan. Pergi bertiga, jalan-jalan dan makan bersama di tempat yang dulu sering kami kunjungi. Salah tidak, sih jika kami makan di restoran orang lain, sedangkan kami pun punya restoran sendiri? Ah, sepertinya tidak. Selain untuk menyenangkan hati, juga mencari referensi rasa dan menu dari tempat yang kemi kunjungi. Terdengar serius, tapi sebenarn
"Sebentar doang, Ra. Kan kelewatan," ujar Reyhan lagi. Mobil yang dikendarai Reyhan melaju sedang membelah jalan yang mulai menggelap. Lampu-lampu dari bangunan mulai dinyalakan, menjadi tanda hari akan berganti malam. Seperti yang Reyhan ucapkan, pria itu benar-benar membawaku ke restoran Mama. Dia menepikan mobil, memperlihatkan aktivitas di restoran yang masih sibuk. "Percaya kan? Kamu berhasil membuat restoran semakin rame."Ada rasa bangga dalam diri ketika melihat pengunjung yang hilir mudik datang dan pergi. Tak terasa, bibirku melengkung tersenyum bahagia. Benarkah itu karenaku? Mungkin iya. Namun, aku tidak ingin sombong. Wajar jika restoran ramai, karena aku memberikan potongan harga sebagai promosi menu baru. "Senang, ya?" Aku mengalihkan pandangan dari bangunan restoran, ke wajah Reyhan yang kembali bicara. "Enggak normal jika aku merasa sedih," kataku seraya terkekeh, dan dibalas tawa oleh pria itu.Reyhan melajukan mobilnya meninggalkan keramaian restoran Mama. D
"Sedang ... tidak sedang apa-apa, kok." Syakila menjawab pertanyaanku dengan ketus, kemudian dia beranjak pergi meninggalkan kamar Bi Marni. Aku mengembuskan napas kasar melihat sikap dia yang seperti anak kecil. "Mbak, tadi Non Syakila minjem—"Bi Marni tidak melanjutkan ucapannya saat aku memberikan isyarat dengan menempelkan telunjuk di bibir. "Tahu. Saya dengar, kok. Kalau nanti Syakila macem-macem lagi, Bibi bilangnya sama Mama langsung, ya. Kalau perlu, Bibi rekam dan kasih ke Mama, biar enggak dikira ngada-ngada." "Baik, Mbak," ucap Bi Marni patuh. Aku bukannya tidak ingin menjadi perantara dan menyampaikan ke Mama tentang bohongnya Syakila. Namun, aku sedang menjaga diri agar tidak dikira tukang ngadu. Ribet memang. Aku bahkan tidak pernah membayangkan akan ada kisah seperti ini dalam jalan pernikahanku dengan Mas Raffi. Dalam anganku, hidupku lurus seperti jalan tol. Punya ipar baik, mertua yang luar biasa sayangnya seperti orang tua sendiri. Namun, sepertinya Tuhan s
"Uang?"Keningku mengkerut mendengar Syakila yang tengah bertelepon. Entah siapa, tapi pembahasannya bukan tentang sekolah. "Ada, masa iya enggak ada. Tidak mungkin kan, anak seorang dokter, cucu orang yang punya rumah sakit, tidak punya uang sebanyak itu? Mustahil ...." Syakila terkikik seraya menutup mulut. Aku semakin curiga pada anak itu. Apa yang dia bicarakan di telepon itu, pasti ada hubungannya dengan uang yang dia pinjam pada Bi Marni tadi. Dan itu bukan untuk keperluan sekolah. Astaga ... pergaulan seperti apa yang membuat Syakila jadi anak yang tinggi hati dan gengsi? "Sayang."Aku berjingkat kaget saat pundak ditepuk dari belakang. Kuusap dada yang bertalu-talu seraya membalikkan badan. "Mas ngapain ke sini? Ngagetin, lagi." Aku bicara ketus karena kesal. "Ada juga aku yang nanya kamu. Sedang apa kamu di sini? Bukannya tadi mau ambil minum?" cecar Mas Raffi. "Tuh, keponakanmu jam segini masih teleponan."Mas Raffi berdecak, lalu keluar dari pintu samping menghampiri
"Opa ....""Hem." Papa bergumam menjawab panggilan cucunya. "Hari ini aku harus bayar ekskul, tapi belum ada uangnya. Tahu sendiri, Ayah enggak ngasih uang buat aku."Mataku melirik ke arah Papa dan Syakila bergantian dari belakang. Anak itu masih saja berusaha mendapatkan uang, yang entah untuk apa. Rasanya aku ingin mengatakan kepada Papa, jika Syakila sedang berbohong. Namun, aku pun tidak tahu dan tidak ada bukti akan digunakan apa yang yang diminta Syakila kepada kakeknya. "Berapa memangnya?" tanya Papa kemudian. "Lima juta lima ratus, Opa."Mataku langsung membulat ketika anak itu mengatakan jumlah uang yang diinginkannya. Fantastis. Lima juta sangat banyak untuk ukuran anak sekolah menurutku. Akan tetapi, Papa tidak terlihat terkejut. Dia santai saja, seolah uang segitu biasa dikeluarkan Syakila untuk sekolahnya. Apa semahal itu biaya kegiatan sekolah anak orang kaya? "Nanti Opa transfer ke pihak sekolah. Sekarang Opa enggak bawa uang tunai.""Yah ... harus cash, dong O