Aku dan Mas Raffi terlonjak saat pintu terbuka dan Mama beridiri di sana. Segera kami memisahkan diri, dan beranjak dari kasur milik putraku. "Mama, kapan pulang?" tanya Mas Raffi berpura-pura biasa saja. Padahal, aku tahu hatinya berdebar, takut dimarahi Mama. "Tidak usah nanya kapan Mama pulang? Yang harusnya bertanya itu, Mama. Kenapa kalian tidur di kamar Rayyan? Dempet-dempetan. Kasihan, kan dia jadi kesempitan."Aku menunduk seraya memainkan jari jemari. Rasa dingin yang selalu datang di waktu subuh, kini tidak terasa lagi. Yang ada, suhu badanku mulai memanas dan keringat merembes keluar dari pori-pori kulit. "Sekali-kali boleh, dong kita tidur dengan anak sendiri. Momen ini tidak akan datang dua kali, Mah.""Momen apa? Kalian malah akan bikin Rayyan jadi penakut, maunya tidur ditemani. Susah-susah Mama ngajarin dia berani, malah kalian rusak. Sana, pergi ke kamar kalian." Mama menubruk pundakku dan Mas Raffi untuk bisa menghampiri putraku. Ibu mertuaku itu memasang kembali
"Syakila, kenapa?" tanya Mama lagi. Anak gadis dari Mas Daffa dan Mbak Syahida itu tidak menjawab. Ia menenggelamkan wajah dengan terus tersedu terdengar pilu. Aku dan Mas Raffi saling pandang, lalu menghampiri Syakila yang pundaknya bergetar di pangkuan Mama. "Kak, ada apa? Coba cerita sama Tante," ujarku membujuk. Syakila mengangkat kepala, mengusap wajahnya yang basah oleh air mata. Namun, dia belum mau bicara. Dia tetap menangis dan kembali memeluk pinggang neneknya. "Fi, coba telepon masmu. Apa yang dia buat sampai Syakila datang sambil nangis-nangis seperti ini? Masih pagi-pagi buta, lagi." Mama menyuruh suamiku. Mas Raffi bergerak, dia pergi ke kamar untuk mengambil ponsel. Sedangkan di sini, kami masih membujuk Syakila untuk bicara dan mengatakan yang terjadi di rumahnya. Tidak berapa lama, Mas Raffi kembali. Namun, ada yang tak biasa dari gelagat suamiku itu. Dia seperti menyimpan rahasia yang hanya dibagi dengan Papa yang dipanggilnya menjauh dari kami. Mas Raffi mem
"Syakila, berhenti!" Aku berteriak kencang agar anak itu tidak lagi mengamuk dan mengacak-acak kamar ini. Bukannya berhenti, Syakila malah semakin menjadi. Entah setan apa yang merasuki tubuh anak itu, hingga tidak bisa dikendalikan. Dia seakan tuli, tidak sama sekali peduli denganku yang berteriak melarangnya menghancurkan barang-barang di kamar ini."Kak, cukup! Berhenti, Syakila." Aku kembali bicara. Gadis itu bergeming dengan dada yang naik turun. Pandangannya tajam ke arahku yang berdiri sekitar lima langkah dari dirinya berada. "Tante tahu kamu marah dan kecewa, tapi jangan seperti ini, Sayang. Tenangkan dirimu," ujarku dengan nada lembut. "Tante gak tahu apa yang aku rasakan! Tante bisa bicara seperti itu karena tidak ada di posisi aku!" teriaknya. "Aku malu! Aku enggak mau jadi orang miskin!" Syakila kumat lagi. Tangannya mengambil parfum, lalu melemparkannya ke kaca rias hingga pecah dan mengeluarkan suara yang begitu nyaring. Bi Marni datang seraya menggendong putra
"Hanya ada dua pilihan untukmu, Sya. Ikut dengan Ayah dan Bunda, atau tinggal di sini bersama Oma.""Tapi, jika kamu milih tinggal bersama Oma, di sini, kamu harus mengikuti aturan yang Oma buat. Ini rumah Oma, jadi jangan semau kamu," ujar Mama, menambahkan ucapan Mas Daffa. Syakila diam dengan mata melihat pada Ibunya, juga ibu mertuaku. Mbak Syahida mengatakan sesuatu dengan bahasa isyarat kepada putrinya. Entah apa, karena aku tidak mengerti. Namun setelah itu, wajah Syakila kembali ditekuk. Kupastikan apa yang disampaikan Mbak Syahida adalah ungkapan kesedihan. "Aku mau tinggal di sini, tapi sama Ayah dan Bunda," ujar Syakila setelah beberapa menit diam saja. "Tidak bisa," sanggah Mas Daffa. "Ayah dan Bunda tidak ingin merepotkan Oma dan Opa. Lagipula, di sini sudah ada Om Afi sama Tante Raya. Ayah gak suka rumah yang berisik."Seketika aku langsung teringat rumah milikku dan Mas Raffi yang belum pernah kami tempati. Tidak ada salahnya jika aku menawarkan rumah itu untuk kak
[Syakila bukan lagi gadis manis seperti tiga tahun yang lalu, Ra. Dia sudah berubah dan bahkan berulah.]Manik hitam Mbak Syahida mengembun setelah menuliskan dua kalimat pada ponsel yang dia berikan padaku. "Perubahan seperti apa yang akhirnya membuat Mbak dan Mas melakukan ini semua?" Aku bertanya seraya memberikan ponsel ke tangan Mbak Syahida. Benda pipih itu bergoyang pelan seiring dengan lincahnya jari-jari Mbak Ida menari di atas layar keyboard. Benda itu jadi satu-satunya alat percakapan kami, karena aku tidak mengerti dengan bahasa isyarat yang dikuasi Mbak Syahida. Setelah Mas Raffi mengatakan jika Mas Daffa hanya bersandiwara, aku pun menemui Mbak Syahida yang tengah merenung sendirian di pinggir kolam. Sementara anak dan suaminya, masih membahas tempat tinggal yang akan menjadi episode selanjutnya dalam kehidupan Syakila. [Banyak sekali perubahan dia, Ra. Sejak masuk SMA, Mbak sudah melihat gelagat tidak baik darinya. Semakin lama, dia semakin berani. Pulang malam, nga
"Ayo, bantu angkat!" "Bawa ke kamar Mama aja dulu!" Mama dan Papa saling bersahutan seraya menghampiri Mbak Syahida yang tergeletak tak berdaya. Entahlah gimana mulanya hingga Mbak Syahida pingsan. Padahal, sebelumnya dia baik-baik saja. Mungkinkah dia lelah memikirkan Syakila? "Ra, ambilkan minum!" titah Mama padaku. Aku yang tadi hendak ikut ke kamar Mama, langsung putar balik pergi ke dapur. Bi Marni yang sejak tadi di belakang, langsung menghampiri menanyakan apa yang terjadi. Dengan tangan sibuk menuangkan air ke dalam gelas, aku menceritakan yang terjadi pada Bibi. "Ya Allah ... kasihan Mbak Ida," ujar Bi Marni seraya mengusap dada. Satu gelas air putih sudah di tangan, dan aku bawa ke kamar di mana Mbak Syahida berada. Di sana, Mas Daffa tengah memeriksa keadaan istrinya yang masih menutup mata. Di samping sebelah kanan, Syakila menangis mengkhawatirkan ibunya yang tidak sadarkan diri. "Gimana, Daf?" tanya Papa, pada putra sulungnya. "Pingsan, Pah. Ida shock dan kel
Hidangan di atas meja sudah tidak tersisa. Namun, kami belum mau beranjak pergi dari tempat ini. Bukannya pulang, kami malah mengganti menu makanan. "Mau rasa cokelat atau durian?" tanya Mas Raffi, menunjuk gambar es krim sebagai makanan penutup kami. "Cokelat saja," kataku. Dia langsung memesankan makanan yang aku inginkan, lalu pandangannya beralih pada Rayyan yang anteng di tempat duduknya. "Mas, ini sudah sore, loh. Apa Mama tidak akan marah, kita pulang kesorean?" "Biarlah, Ra. Kalaupun marah, jangan diambil hati. Kita juga butuh waktu bersama, kan?" ujar Mas Raffi terdengar indah di telinga. Memang momen seperti ini yang aku inginkan. Pergi bertiga, jalan-jalan dan makan bersama di tempat yang dulu sering kami kunjungi. Salah tidak, sih jika kami makan di restoran orang lain, sedangkan kami pun punya restoran sendiri? Ah, sepertinya tidak. Selain untuk menyenangkan hati, juga mencari referensi rasa dan menu dari tempat yang kemi kunjungi. Terdengar serius, tapi sebenarn
"Sebentar doang, Ra. Kan kelewatan," ujar Reyhan lagi. Mobil yang dikendarai Reyhan melaju sedang membelah jalan yang mulai menggelap. Lampu-lampu dari bangunan mulai dinyalakan, menjadi tanda hari akan berganti malam. Seperti yang Reyhan ucapkan, pria itu benar-benar membawaku ke restoran Mama. Dia menepikan mobil, memperlihatkan aktivitas di restoran yang masih sibuk. "Percaya kan? Kamu berhasil membuat restoran semakin rame."Ada rasa bangga dalam diri ketika melihat pengunjung yang hilir mudik datang dan pergi. Tak terasa, bibirku melengkung tersenyum bahagia. Benarkah itu karenaku? Mungkin iya. Namun, aku tidak ingin sombong. Wajar jika restoran ramai, karena aku memberikan potongan harga sebagai promosi menu baru. "Senang, ya?" Aku mengalihkan pandangan dari bangunan restoran, ke wajah Reyhan yang kembali bicara. "Enggak normal jika aku merasa sedih," kataku seraya terkekeh, dan dibalas tawa oleh pria itu.Reyhan melajukan mobilnya meninggalkan keramaian restoran Mama. D