Terpaksa? Benarkah Mama terpaksa menerimaku hanya demi anaknya bisa mendapatkan jodoh? Tapi ...."Aw!" Aku memekik seraya meringis saat kurasakan lutut ini menghantam sesuatu. "Kamu melamun?" ujar seseorang di depanku. Seraya mengumpulkan ingatan yang berceceran karena teringat ucapan wanita di restoran tadi, aku mendongak melihat pria yang tengah duduk santai di depan mobilnya. Tepat di depan restoran Mama.Reyhan, dengan santainya dia menatapku seraya menaikan satu alis. "Tidak," kataku, "siapa yang melamun?" "Jalan, tuh melek, Raya. Kalau nggak melamun, tidak mungkin kamu tidak melihat mobil sebesar ini di depanmu? Apa tadi ada masalah di dalam?" ujar Reyhan lagi diakhiri dengan pertanyaan. Aku menggelengkan kepala. Meskipun iya, di dalam restoran ada sedikit masalah. Namun, bukan masalah pekerjaan. Melainkan masalah dalam pikiranku yang masih terngiang akan kata-kata yang Malika ucapkan tadi. Iya, Malika. Wanita itulah yang tadi sudah membuat perasaanku tak tenang. Dia yan
"Memangnya aku harus bawa apa?" tanyaku datar. Pasalnya, tadi saat sebelum pulang dari restoran, Mama tidak berpesan apa pun. Dan sekarang, tiba-tiba ia bertanya membuatku bingung sendiri. "Loh, kamu ini gimana, sih? Kan, tadi aku udah pesen sea food. Lupa, ya?"Wanita cantik yang garis wajahnya mirip dengan Mama, berujar dari belakang ibu mertuaku. Ia Mbak Kinanti. Pesen sea food? Oh, ya ampun! Segera aku mengambil ponsel, dan melihat percakapan antara aku dan Mbak Kinanti saat di restoran tadi. Seingatku, kakak iparku itu tidak menyuruhku membawa makanan. Dan saat tadi aku tawari pun, dia ...."Bawa ke rumah Mama?" kataku setelah membaca pesan paling bawah dari kakak iparku itu. Sudah terbaca, tapi aku tidak menyadarinya. Oh, ya ampun. Sepertinya aku memang sudah membuka pesan itu, tapi tidak membacanya karena keburu mendengar percakapan Malika dengan teman-temannya. Aku mengangkat kepala, melihat pada Mbak Kinanti yang juga menatapku kecewa. "Mbak, maaf. Sepertinya ... aku
"Malika?" Mama menyebut anak dari sahabatnya itu. Wanita yang namanya Mama sebut, menghampiri kami dengan senyum yang merekah indah. Dia menyalami kami semua, tak terkecuali aku. Dengan rasa percaya diri yang tinggi, Malika ikut duduk, meskipun tuan rumah belum mempersilakan. "Tante sama Om, apa kabar?" sapanya dengan sangat ramah. "Alhamdulillah baik. Kamu sendiri apa kabar? Waktu itu Tante pernah denger kamu datang ke sini, deh. Kalau gak salah, dari Raya kayaknya." Mama berucap, lalu melihatku sebentar. "Oh, iya, Tante. Waktu itu aku sengaja datang ke sini untuk nemuin Om sama Tante. Tapi, karena kata Raya enggak ada, aku pulang lagi, deh. Maaf, ya baru bisa datang lagi sekarang. Soalnya aku sibuk, sekarang aku jadi model iklan, Tan." Tanpa disuruh, tanpa ditanya, Malika mengatakan pekerjaan barunya. Mama dan Papa manggut-manggut. Sedangkan kakak iparku, sedikit pun tidak memberikan reaksi. Sebelah tangan Mbak Kinara menyusup ke dalam mukenaku, lalu mencubit pahaku sedikit.
"Emh ....""Mama, aku mau pulang. Ngantuk."Lagi-lagi Mbak Kinanti menggantung ucapannya. Ia menoleh melihat putrinya yang bicara seraya menekuk wajah. Gadis sepuluh tahun itu merangkak menghampiri ibunya, lalu menjatuhkan kepala di pangkuan Mbak Kinanti. Melihat kakak sepupunya melakukan itu, Rayyan putraku pun mengikutinya. Dia tidur di pangkuanku, dengan mata tetap melihat pada Safiyah, putri Mbak Kinanti. "Terusin, Mbak," kataku kemudian. "Kayaknya enggak sekarang, Ra. Aku harus bawa Fiya pulang. Kasihan, dia sudah ingin tidur.""Tidur di sini saja," kataku lagi, mencegahnya pergi karena penasaran dengan sesuatu yang ingin dibicarakan Mbak Kinanti."Lain kali saja, ya? Aku pulang sekarang," ujar Mbak Kinanti. "Bangun, Sayang. Kita pamit dulu sama Oma dan Opa."Mbak Kinanti dan putrinya keluar dari ruang bermain. Aku pun menyusul mereka bersama Rayyan yang berada dalam gendongan. Saat kami keluar, ternyata sudah tidak ada Malika bersama Mama dan Papa. Mungkin dia pulang, karen
"Bahagia? Aku?" Mas Raffi menunjuk dirinya sendiri. "Tentu saja, iya. Suami mana yang tidak bahagia jika sedang bersama istri tercintanya?" Aku tersenyum hambar. Bukan itu yang aku maksud. Namun, untuk menjelaskannya pun aku tidak berani. Kecurigaan yang hadir di dalam hati, biarkanlah menjadi misteri. Aku takut jika apa yang aku pikirkan, hanyalah ilusi yang tidak memiliki bukti. Mungkin Mas Raffi terlihat bahagia, karena memang sedang berdua denganku, bukan karena klien yang baru saja dia temui. Pikiranku harus positif. "Kita sudah sampai, Ra. Mau tunggu di sini saja? Aku gak akan lama, hanya memberikan ini saja." Mas Raffi membuka sabuk pengaman, lalu mengambil pesanan Mbak Kinanti. "Ya, aku di sini saja. Tapi beneran enggak lama, ya?" kataku dengan telunjuk ke arahnya. "He'em." Mas Raffi keluar dari mobil, lalu masuk ke rumah kakaknya setelah asisten rumah tangga Mbak Kinanti membukakan pintu. Pandangan aku edarkan ke sekitar rumah kakak iparku itu. Halamannya tidak seluas
"Mas, serius?" tanyaku tak percaya. Mas Raffi mengusap wajah dengan gusar, nampak jelas sekali ada kesedihan darinya. Perut yang tadi terasa lapar, langsung kenyang oleh kabar yang tidak mengenakkan. Pantas, tadi Mbak Kinanti terlihat murung. Mungkin dia ingin bercerita tentang ini padaku, tapi ragu dan malu. "Masalahnya apa, Mas? Apa yang membuat mereka akan berpisah?" Aku kembali bertanya. "Aku tidak tahu, Ra." Mas Raffi menjambak rambutnya, lalu kembali mengusap wajah yang sudah sangat kacau. "Apa tadi Mbak Kinan bicara langsung sama kamu tentang perceraian?" Aku terus bertanya, mencari tahu yang sebenarnya terjadi di dalam rumah iparku tadi. "Iya. Dia mengatakan tidak kuat dengan hubungan yang menyakitkan, tapi entah apa masalahnya. Dia cuma bilang ingin berpisah dari Mas Rega. Saat kutanyakan masalahnya, dia malah menangis," tutur Mas Raffi. Hening. Ruangan ini menjadi sangat dingin karena aku dan Mas Raffi tidak lagi bicara. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing, yan
Aku dan Mas Raffi terlonjak saat pintu terbuka dan Mama beridiri di sana. Segera kami memisahkan diri, dan beranjak dari kasur milik putraku. "Mama, kapan pulang?" tanya Mas Raffi berpura-pura biasa saja. Padahal, aku tahu hatinya berdebar, takut dimarahi Mama. "Tidak usah nanya kapan Mama pulang? Yang harusnya bertanya itu, Mama. Kenapa kalian tidur di kamar Rayyan? Dempet-dempetan. Kasihan, kan dia jadi kesempitan."Aku menunduk seraya memainkan jari jemari. Rasa dingin yang selalu datang di waktu subuh, kini tidak terasa lagi. Yang ada, suhu badanku mulai memanas dan keringat merembes keluar dari pori-pori kulit. "Sekali-kali boleh, dong kita tidur dengan anak sendiri. Momen ini tidak akan datang dua kali, Mah.""Momen apa? Kalian malah akan bikin Rayyan jadi penakut, maunya tidur ditemani. Susah-susah Mama ngajarin dia berani, malah kalian rusak. Sana, pergi ke kamar kalian." Mama menubruk pundakku dan Mas Raffi untuk bisa menghampiri putraku. Ibu mertuaku itu memasang kembali
"Syakila, kenapa?" tanya Mama lagi. Anak gadis dari Mas Daffa dan Mbak Syahida itu tidak menjawab. Ia menenggelamkan wajah dengan terus tersedu terdengar pilu. Aku dan Mas Raffi saling pandang, lalu menghampiri Syakila yang pundaknya bergetar di pangkuan Mama. "Kak, ada apa? Coba cerita sama Tante," ujarku membujuk. Syakila mengangkat kepala, mengusap wajahnya yang basah oleh air mata. Namun, dia belum mau bicara. Dia tetap menangis dan kembali memeluk pinggang neneknya. "Fi, coba telepon masmu. Apa yang dia buat sampai Syakila datang sambil nangis-nangis seperti ini? Masih pagi-pagi buta, lagi." Mama menyuruh suamiku. Mas Raffi bergerak, dia pergi ke kamar untuk mengambil ponsel. Sedangkan di sini, kami masih membujuk Syakila untuk bicara dan mengatakan yang terjadi di rumahnya. Tidak berapa lama, Mas Raffi kembali. Namun, ada yang tak biasa dari gelagat suamiku itu. Dia seperti menyimpan rahasia yang hanya dibagi dengan Papa yang dipanggilnya menjauh dari kami. Mas Raffi mem