"Benar, kamu hanya lelah bekerja, Mas? Apa ada faktor lain yang membuatmu menjadi dingin padaku?" Seperti orang gila, aku bicara sendiri seraya menatap pantulan wajah diri dari cermin. Aku belum menemukan jawaban dari pertanyaan yang bersarang di benakku mengenai Mas Raffi. Kenapa sekarang sikapnya seperti itu? Ada apa? Aku mengingat-ingat kembali beberapa hari ke belakang, mencari kesalahan apa yang aku buat hingga Mas Raffi marah? Namun, tidak ada. Aku tidak membuat kesalahan fatal, yang menimbulkan kemarahan Mas Raffi. Aku juga tidak pernah menyentuh barang apa pun yang berkaitan dengan pekerjaan dia. Tapi, kenapa dia seperti enggan bicara padaku? "Assalamualaikum."Pandanganku langsung tertuju pada daun pintu yang dibuka dari luar. "Waalaikumsalam," ucapku menjawab salamnya. "Sudah salat?" Pertanyaan pertama yang Mas Raffi berikan untukku. Anggukkan kepala adalah jawaban yang kuberi, tapi tidak bicara. Mata ini terus saja mengikuti tubuhnya pergi, hingga akhirnya berhent
"Saya senang, Ra, melihat kehidupan kamu yang sekarang. Hilang sudah sebutan gadis miskin yang dulu tersemat padamu," ujar A Yusuf, lalu menyesap kopi hitam yang aku buatkan untuknya. Bibirku tersenyum simpul menanggapi perkataan A Yusuf. Memang, aku dikenal sebagai gadis miskin sebelum menikah dengan Mas Raffi. Terlebih, sebutan itu sering diucapkan ibunya Arga sewaktu dulu. "Sekarang pun saya masih miskin, A. Apa yang ada pada saya, itu hanyalah titipan semata. Apalah saya yang hanya numpang hidup pada keluarga suami?""Tidak ada kata menumpang. Milik suami, milik istri juga. Harta memang bukan tolak ukur seseorang mempunyai label kaya atau miskin. Semuanya sama. Papa, kamu, A Yusuf, sama. Sama-sama numpang hidup sama Tuhan," ujar Papa menyanggah ucapanku. A Yusuf manggut-manggut. Sedangkan aku menunduk, memainkan jari jemari di bawah meja. Entahlah, jika membahas soal harta, aku merasa paling rendah. Meskipun kata Papa harta bukan tolak ukur seseorang menjadi kaya raya, tapi t
"Gimana rasanya, Mah?" tanyaku. Mama belum memberikan jawaban. Ia masih mencicipi hidangan baru yang akan aku jual di restorannya. Seperti rencana sebelumnya, pagi ini aku mulai masuk kerja. Dan untuk kegiatan pertama, aku mencoba memasak udang dan kepiting dengan dibantu juru masak di sini. Menurutku sudah enak, tinggal nunggu komentar Mama mengenai menu baru itu. "Emh ...." Mama bergumam seraya mengunyah daging udang lobster yang menurutku sangat lembut itu. "Enak."Satu kata selanjutnya membuatku tersenyum senang. "Beneran, Mah?" tanyaku memastikan. "Iya, enak. Menurut Mama, bumbu dan teksturnya sudah pas. Coba Reyhan."Mama melempar tanya pada pria yang duduk di sampingnya. Sebagai orang yang sudah lama berkecimpung di dunia perdapuran, aku yakin Reyhan bisa tahu apa kurangnya dari masakanku itu. Reyhan menyuapkan satu sendok bumbu kepiting saus tiram ke dalam mulutnya, lalu kepalanya mengangguk seraya mengacungkan jari jempol padaku. Aku pun meloncat girang melihat ekspre
"Berlakulah sopan pada wanita. Tidak semua wanita yang kalian anggap pelayan, mau melayani pria hidung belang seperti kalian." Meskipun pelan, tapi Reyhan menekankan setiap ucapan yang keluar dari bibirnya. Dan keempat pria yang tadi menggodaku, hanya diam seraya memalingkan wajah.Aku pun pergi setelah Reyhan menarik tanganku menjauh dari sekumpulan orang-orang tak beretika tadi.Tidak nyaman karena dilihat banyak orang, aku pun melepaskan genggaman tangan Reyhan, membuat pria itu berbalik menatapku. "Maaf, aku tidak sopan," ucapnya menyadari kesalahan. Aku mengangguk, kemudian pergi ke ruangan yang memang khusus untukku. Di belakangku, Reyhan mengekor dan langsung duduk ketika sampai di dalam ruangan. "Lain kali, kamu jangan diam saja jika digoda seperti itu. Lawan lah. Meskipun dikatakan pembeli adalah raja, tapi kamu punya hak untuk membela diri.""Tadi aku juga mau membela diri, tapi kamu keburu datang," jawabku seraya mengembuskan napas kasar. "Ra, kamu, tuh penakut. Aku ta
Terpaksa? Benarkah Mama terpaksa menerimaku hanya demi anaknya bisa mendapatkan jodoh? Tapi ...."Aw!" Aku memekik seraya meringis saat kurasakan lutut ini menghantam sesuatu. "Kamu melamun?" ujar seseorang di depanku. Seraya mengumpulkan ingatan yang berceceran karena teringat ucapan wanita di restoran tadi, aku mendongak melihat pria yang tengah duduk santai di depan mobilnya. Tepat di depan restoran Mama.Reyhan, dengan santainya dia menatapku seraya menaikan satu alis. "Tidak," kataku, "siapa yang melamun?" "Jalan, tuh melek, Raya. Kalau nggak melamun, tidak mungkin kamu tidak melihat mobil sebesar ini di depanmu? Apa tadi ada masalah di dalam?" ujar Reyhan lagi diakhiri dengan pertanyaan. Aku menggelengkan kepala. Meskipun iya, di dalam restoran ada sedikit masalah. Namun, bukan masalah pekerjaan. Melainkan masalah dalam pikiranku yang masih terngiang akan kata-kata yang Malika ucapkan tadi. Iya, Malika. Wanita itulah yang tadi sudah membuat perasaanku tak tenang. Dia yan
"Memangnya aku harus bawa apa?" tanyaku datar. Pasalnya, tadi saat sebelum pulang dari restoran, Mama tidak berpesan apa pun. Dan sekarang, tiba-tiba ia bertanya membuatku bingung sendiri. "Loh, kamu ini gimana, sih? Kan, tadi aku udah pesen sea food. Lupa, ya?"Wanita cantik yang garis wajahnya mirip dengan Mama, berujar dari belakang ibu mertuaku. Ia Mbak Kinanti. Pesen sea food? Oh, ya ampun! Segera aku mengambil ponsel, dan melihat percakapan antara aku dan Mbak Kinanti saat di restoran tadi. Seingatku, kakak iparku itu tidak menyuruhku membawa makanan. Dan saat tadi aku tawari pun, dia ...."Bawa ke rumah Mama?" kataku setelah membaca pesan paling bawah dari kakak iparku itu. Sudah terbaca, tapi aku tidak menyadarinya. Oh, ya ampun. Sepertinya aku memang sudah membuka pesan itu, tapi tidak membacanya karena keburu mendengar percakapan Malika dengan teman-temannya. Aku mengangkat kepala, melihat pada Mbak Kinanti yang juga menatapku kecewa. "Mbak, maaf. Sepertinya ... aku
"Malika?" Mama menyebut anak dari sahabatnya itu. Wanita yang namanya Mama sebut, menghampiri kami dengan senyum yang merekah indah. Dia menyalami kami semua, tak terkecuali aku. Dengan rasa percaya diri yang tinggi, Malika ikut duduk, meskipun tuan rumah belum mempersilakan. "Tante sama Om, apa kabar?" sapanya dengan sangat ramah. "Alhamdulillah baik. Kamu sendiri apa kabar? Waktu itu Tante pernah denger kamu datang ke sini, deh. Kalau gak salah, dari Raya kayaknya." Mama berucap, lalu melihatku sebentar. "Oh, iya, Tante. Waktu itu aku sengaja datang ke sini untuk nemuin Om sama Tante. Tapi, karena kata Raya enggak ada, aku pulang lagi, deh. Maaf, ya baru bisa datang lagi sekarang. Soalnya aku sibuk, sekarang aku jadi model iklan, Tan." Tanpa disuruh, tanpa ditanya, Malika mengatakan pekerjaan barunya. Mama dan Papa manggut-manggut. Sedangkan kakak iparku, sedikit pun tidak memberikan reaksi. Sebelah tangan Mbak Kinara menyusup ke dalam mukenaku, lalu mencubit pahaku sedikit.
"Emh ....""Mama, aku mau pulang. Ngantuk."Lagi-lagi Mbak Kinanti menggantung ucapannya. Ia menoleh melihat putrinya yang bicara seraya menekuk wajah. Gadis sepuluh tahun itu merangkak menghampiri ibunya, lalu menjatuhkan kepala di pangkuan Mbak Kinanti. Melihat kakak sepupunya melakukan itu, Rayyan putraku pun mengikutinya. Dia tidur di pangkuanku, dengan mata tetap melihat pada Safiyah, putri Mbak Kinanti. "Terusin, Mbak," kataku kemudian. "Kayaknya enggak sekarang, Ra. Aku harus bawa Fiya pulang. Kasihan, dia sudah ingin tidur.""Tidur di sini saja," kataku lagi, mencegahnya pergi karena penasaran dengan sesuatu yang ingin dibicarakan Mbak Kinanti."Lain kali saja, ya? Aku pulang sekarang," ujar Mbak Kinanti. "Bangun, Sayang. Kita pamit dulu sama Oma dan Opa."Mbak Kinanti dan putrinya keluar dari ruang bermain. Aku pun menyusul mereka bersama Rayyan yang berada dalam gendongan. Saat kami keluar, ternyata sudah tidak ada Malika bersama Mama dan Papa. Mungkin dia pulang, karen