"Pokoknya, aku nggak mau Kek!" Tolak Agha pada kakeknya.
Agha Hasiholan Putra Zerrin, sang pewaris dari Artha Company, biasa dipanggil dengan Agha. Bertubuh tinggi tegap dengan warna mata kecoklatan, hidung mancung, dan rambut berwarna pirang. Dia memiliki seorang kakak perempuan, usianya beda 2 tahun darinya. Kakaknya saat ini tinggal di Dubai dan meneruskan salah satu perusahaan milik keluarganya.
Artha Company bergerak dalam bidang perhotelan dan restoran. Sudah banyak cabang yang tersebar di seluruh penjuru negeri. Perusahaan tersebut masih dipimpin oleh sang kakek, Erhan Zerrin. Pria keturunun Turki dan sudah menetap di Indonesia selama lebih 20 tahun. Menikah dengan seorang wanita cantik bernama Halime. Pernikahan mereka tak berumur panjang hanya lima tahun.
Halime meninggal setelah melahirkan anaknya yang pertama, ayah Agha. Omer Zerrin, yang kemudian menikah dengan seorang wanita asli Indonesia dari suku Batak, bernama Tiur. Namun, Omer dan Tiur juga harus menyusul sang ibunda dalam sebuah kecelakaan.
Kini hanya tinggal Kakek Erhan dan dua cucunya. Agha Zerrin dan Aylin Zerrin. Aylin sendiri sudah lama tinggal di Dubai dan berkarier di sana. Sementara Agha di Indonesia menemani sang kakek. Lebih tepatnya sih, bukan menemani karena Agha tak pernah tinggal atau tidur di rumah kakeknya, dia lebih suka tinggal di apartemennya sendiri. Menikmati hidup dengan sempurna katanya.
"Kenapa aku harus pindah? Tidak ada cara lain kek?" Agha masih tetap mengajukan penolakan.
"Harus!" Kata sang kakek dengan sedikit menahan amarahnya. Hampir 30 menit mereka berdebat. Dan sang cucu masih kekeuh dengan pendiriannya. Tidak mau menuruti perkataannya ataupun mengalah.
"Dasar keras kepala, batu karang. Apa tidak bisa kamu menuruti perkataan kakek yang satu ini?" Hampir saja dia melemparkan asbak yang ada di dekatnya. Jika tidak mengingat almarhum anaknya.
Anaknya satu-satunya harus pergi meninggalkannya dalam sebuah kecelakaan lima tahun lalu. Sebuah truk barang menabrak mobil mereka. Mobil anaknya terseret sampai 100 meter jauhnya, yang mengakibatkan sang anak meninggal di tempat. Menantunya masih bisa ditolong dan dibawa ke rumah sakit terdekat. Namun, saat tiba di rumah sakit, menantunya juga ikut menyusul anaknya.
Hanya saja kalimat terakhir dari sang menantu sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, masih sempat didengarnya. Walau tidak jelas, tetapi dari gerak gerik bibirnya bisa dimengerti.
"Pah, To-long ni-kah-kan Agha de-ngan a-nak abang," hanya itu kalimat terakhir dari menantunya.
Mengingat semua kejadian lima tahun lalu, dia harus berusaha menyakinkan cucunya dan membuatnya pindah ke tempat asal menantunya. Kejadiannya sudah lama, tetapi masih terlintas begitu nyata dipikirannya.
Bagaimana tidak? Dalam waktu bersamaan anak dan menantunya pergi meninggalkannya untuk selamanya. Menyisakan luka yang teramat dalam. Hanya cucunya yang dia miliki saat ini, bagaimana dia bisa marah terhadap cucunya?
"Gha, apapun ceritanya, bagaimanapun caranya, sekeras dan sekuat apapun kamu menolak, kamu harus tetap pindah. Ini satu-satunya cara untuk mewujudkan permintaan terakhir dari almarhum ibumu," ucap kakek dengan lembut dan setenang mungkin.
"Kakek, bisa tidak jangan pindah. Aku mana bisa tinggal di kota seperti itu, kota yang panas, bisa-bisa kulitku kering dan gersang." Agha masih tetap melakukan penolakan mencoba untuk menggoyahkan keputusan kakeknya.
"Gha," panggil kakek Erhan dengan lembut.
"Iya, Kek," Agha menjawab dengan acuh, pandangannya masih tetap ke layar gawainya.
Kakek Erhan masih berusaha untuk membujuk sang cucu, ini adalah satu-satunya cara untuk mewujudkan permintaan almarhum menantunya. Dia tahu bagaimana sifat cucunya yang tidak bisa dikerasi.
"Lihat kakek! Kamu mau jadi anak durhaka?" Entah mengapa berat rasanya mengungkapkan itu kepada sang cucu. Agha pun menggeleng, hanya itu yang bisa dia lakukan agar tidak memancing kemarahan sang kakek.
"Mungkin ini saatnya kakek mengatakannya. Karena ini adalah permintaan terakhir dari ibumu, sebelum ibumu menghembuskan nafas terakhirnya, saat ibumu dibawa ke rumah sakit ...." Kakek menjeda kalimatnya, berat rasanya mengungkapkan itu, mengingat kejadian lima tahun lalu. "Almarhum ibumu menginginkanmu agar menikah dengan anak abangnya. Itu permintaan terakhir ibumu."
"Terus apa hubungannya dengan kakek memindahkanku? Ke pelosok negeri lagi," jawab Agha masih dengan nada ketusnya.
"Ya jelas ada, kamu kan tahu sendiri, kalau ibumu berasal dari kota itu, kota yang panas kamu bilang. Ibumu lahir, besar dan tinggal di sana. Itu kota kelahiran ibumu, tapi ibumu bukan lahir disana, masih jauh dari kota itu, sekitar 6 jam lamanya perjalanan dari pusat kota. Ibumu merantau ke Jakarta saat umur 18 tahun, bertemu dengan ayahmu dan mereka langsung menikah tanpa proses pacaran. Cinta pada pandangan pertama katanya. Siapa tau kamu juga mengikuti jejak ayahmu bertemu dengan anak abang ibumu, dan langsung menjalin tali kasih.
"Kamu harus menikah, agar perusahaan bisa sepenuhnya kamu pimpin, itu syarat konyol dari para penatua di perusahaan. Dan kakek tidak ingin ingkar janji kepada almarhum ibumu, jadi tolong tinggal di kota itu agar kamu bisa menemukan anak ...." Kakek berpikir sejenak, dia lupa harus mengatakan apa.
"Anak Tulang, pariban, namanya ya.. Kek?" Namun, tak disangka sang cucu melanjutkan kalimatnya.
"Baiklah kalau itu kehendak ibu dan lebih banyak kehendak kakek sebenarnya." Jawab Agha kemudian.
Dengan senyum lebar dan semangat yang membara, kakek Erham memeluk Agha. "Baguslah cu, itu baru cucu kesanyangan kakek, tidak sia-sia kakek merawat dan mengawasimu selama lima tahun ini," jawab kakek Erhan sambil mengelus punggung cucunya.
Namun, sedetik kemudian Agha melepas pelukannya dan menatap manik mata sang kakek "jadi, selama ini kakek mengawasiku? Untuk apa kek? Aku bukan anak kecil lagi kek!"
"Iya, kamu bukan anak kecil lagi, dari segi usia dan tinggi badan kamu ,tapi kamu harus perlu diawasi karena begitu banyak yang ingin mengincarmu dan posisimu di perusahaan saat ini."
"Tapi Kek ...."
"Tak ada tapi tapi, besok pukul 18:45 WIB kami sudah harus berangkat, segala keperluanmu sudah disiapkan. Dan ini alamat rumah tulangmu." Kakek memberikan secarik kertas kepada Agha yang bertuliskan alamat sebuah rumah.
"Baiklah, tapi .... " Dengan wajah yang memelas Agha berucap lagi, "aku belum minta izin dan memberi tahu teman-temanku."
"Tak perlu minta izin, apalagi memberitahu teman-teman kamu, si Tika, si Tina, si Teni, dan satu lagi siapa namanya. Ah ... Si Tono kalau siang, dan Tini Kalau malam. Teman macam apa itu."
"Ikhhh... Kakek! Meskipun kelakuan mereka aneh-aneh kek, mereka itu teman solid aku yang selalu setia. Percayalah kek, mereka itu tak pernah memandangku dari segi apapun. Karena aku tak pernah memberi tahu mereka status aku yang sebenarnya 'sang pewaris tunggal'. Namun, baru kali ini sang pewaris harus menikah dulu baru bisa perusahaan diwariskan. Kakek, tidak bisa menolak keputusan itu?" Saat mengatakan 'sang pewaris tunggal' Agha menunjuk dadanya dengan bangga.
Sang kakek hanya tersenyum, sebenarnya ini hanya akal-akalan si kakek tentang sang pewaris harus menikah dulu, mana ada syarat semacam itu. Yang namanya pewaris, jika dia pewaris tunggal otomatis harta warisannya akan jatuh kepada pewaris langsung.
Setelah kepergian Agha dari ruangannya, kakek Erhan menghubungi seseorang. Entah apa yang mereka bicarakan. Mungkinkah ini berhubungan denga kepindahan Agha?
Bersambung.
Note:
Tulang (paman) panggilan kepada saudara laki-laki dari ibu atau panggilan kita kepada laki-laki yang semarga dengan ibu yang urutan keturunannya setingkat dengan ibu.
Pariban (sepupu)
Untuk laki-laki :sebagai panggilan terhadap anak perempuan dari tulang (paman).
Untuk perempuan: sebagai panggilan terhadap anak laki-laki dari namboru.
Namboru: panggilan terhadap saudara perempuan ayah, panggilan terhadap perempuan yang merupakan keturunan semarga dengan ayah yang urutannya setingkat dengan ayah. Panggilan kepada istri dari amangboru.
"Kau jadi kembali ke Indonesia besok?" Aylin menghampiri Artha yang sedang berkemas memasukkan pakaian ke dalam koper."Selesai," ujar Artha setelah menutup kopernya."Bisakah kau berpikir ulang tentang rencanamu itu?" Kini Aylin telah duduk di tepi ranjang mencoba membujuk Artha agar tidak jadi pulang ke Indonesia."Tidak bisa kak Ay, keputusanku sudah bulat tidak bisa diganggu gugat lagi. Lagian tiket sudah aku beli untuk penerbangan besok pagi," ucap Artha sambil memperhatikan barang-barangnya apakah masih ada yang tidak dikemas."Kau berbicara layaknya seorang hakim, padahal kau hanya seorang akuntan yang menghitung berapa kas masuk dan keluar."Artha tertawa dengan perkataan Aylin, "kakak bisa saja, jadi aku harus berkata apa kak? Kakak selalu saja mengusikku agar tidak jadi kembali ke negara kelahiranku, padahal aku disini sudah sangat lama, sudah delapan tahun lebih dan aku sangat merindukan tanah kelahiranku.""Yah, aku tahu it
Keesokan harinya, Artha berangkat ke Indonesia tanpa diantar oleh Aylin. Perjalanan yang ditempuh dari Turki ke Indonesia kurang lebih 20 jam. Itu masih ke Jakarta belum ke Medan. Kota asalnya. Pesawat menuju KNO sedikit delay, karena cuaca pada hari itu mendung. Jadi, pesawat tidak dapat mengudara. Setelah menunggu selama 2 jam lebih, barulah pesawat berangkat.Perjalanan dari Jakarta menuju Medan sekitar 2 jam. Badan Artha pegal semua, yang dia butuhkan saat ini adalah kasur yang empuk. Dia ingin segera sampai dan bisa mengistirahatkan dirinya. Hampir satu harian dia berada dalam pesawat. Membuat dirinya jetlag, akibat terlalu lama di pesawat. Setelah 2 jam berada di pesawat, akhirnya sampai juga di bandara.Sekarang di sinilah dia berada, di kota kelahirannya. Bandara Kualanamu, yang secara resmi beroperasi atau dibuka untuk umum pada tanggal 25 juli 2013. Bandara Kualanamu ini dibangun untuk menggantikan Bandar Udara Internasional Polonia yang telah berusia l
"Sini KTPmu?" Sentak Artha tiba-tiba, saat mereka sudah ada dalam kamar hotel. Mereka kini berada dalam satu kamar hotel. Kamar itu berukuran 4x6 meter persegi, dengan kamar mandi di sebelah kiri pintu masuk. Hanya ada single bed dalam kamar itu, dibagian kanan ada sofa panjang dan juga lemari. Sedangkan dibagian kiri ada jendela dengan gorden yang tertutup, meja kecil dengan peralatan untuk membuat kopi atau teh termasuk teko listrik dan ada juga kulkas mini . Di dinding sebelah kanan pintu masuk tepat di depan tempat tidur ada televisi yang langsung tertempel di dinding kamar. Artha masih kesal dengan kejadian di meja resepsionis tadi. Keputusan sepihak dari pria yang menjadi teman sekamarnya itu membuat dirinya harus berbagi atmosfer yang sama, dengan pria asing yang baru dikenalnya beberapa jam yang lalu. Ralat belum kenal, karena dia belum mengetahui siapa nama pria itu. Sebab itulah dia meminta KTP pria tersebut, agar dia bisa tahu identitasnya. Sebelum
Setelah Artha menerima KTP dari teman satu kamarnya itu, dia langsung mengambil handphone dari slingbagnya. Dan menfoto KTP itu, sekarang dia tahu nama pria itu. Agha Hasiholan P utra Zerrin, pria dengan postur tubuh tegap dengan tinggi 180cm, rambut pirang, wajah tirus, hidung mancung, mata bulat dengan warna maniknya coklat madu, dan bibir tipis.Sempurna! Apa? Wait!!! Kenapa Artha baru menyadarinya sekarang? Padahal mereka sudah bersama sejak dua jam yang lalu. Di mobil yang sama dan bahkan sekarang mereka ada di kamar yang sama. 'Kemana mata dan pikiranku? Sehingga makhluk Tuhan paling seksi plus ganteng ini tidak kuperhatikan' bathin Artha.Artha sudah terlebih dulu membersihkan dirinya. Mandi dengan menggunakkan air panas, tubuhnya sekarang sudah semakin rileks dan ringan. Dan kini dia siap merebahkan diri di sofa. Sesuai dengan kesepakatan di awal dirinyalah yang tidur di sofa untuk malam ini. Sebelum merebahkan diri, Artha mengecek ponselnya untuk mengetahui ad
Kini Agha sudah berada di ruangannya. Ruangan minimalis yang ada di kantor cabang Medan, cabang Artha Company. Setelah menerima telepon dari kakeknya, dia bergegas ke kantor. Karena teriakan dari sang kakek mengharuskan dia beranjak dari kamar hotel. Dia bangun pukul 11.00 WIB, sementara jam masuk kantornya adalah jam delapan pagi.Karyawan di kantornya sudah melakukan persiapan untuk penyambutan dirinya. Yang disambut malah tidak muncul setelah menunggu selama hampir dua jam lebih. Acara penyambutan itupun bubar begitu saja, banyak karyawan yang kecewa atas kejadian itu. Bagaimana tidak kecewa? Mereka sudah bersusah payah membuat dekorasi di lobi kantor, datang satu jam lebih awal dan bahkan sebagian dari mereka melewatkan sarapan tetapi yang akan disambut tidak muncul.Sebenarnya kedatangan Agha ke kantor cabang sudah diketahui oleh karyawannya seminggu yang lalu. Kabar ini langsung di sampaikan oleh CEO Artha Company. Oleh karena itu mereka membuat sebuah acara untu
Lagi, lagi, dan lagi,,, kenapa harus kamu lagi yang ada dibenakku? Tak bisakah kamu enyah barang sejenak saja dari pikiranku?***Sudah seminggu berlalu sejak Artha meninggalkan hotel tempat dia bermalam bersama pria asing itu. Dan selama seminggu itu pula dia tak bisa tidur dengan nyenyak. Selalu saja pria itu muncul dalam pikirannya bahkan dalam mimpinya. Adegan dimana pria itu memeluknya, begitu hangat itu yang Artha rasakan. Bahkan aroma tubuh pria itu masih saja terasa dalam indra penciumannya.Sesekali Artha menghembuskan napas dengan kasar. Pikirannya masih saja tertuju pada pria itu. Seseorang yang sudah duduk di sampingnya pun tak dia tahu. Padahal sudah menemaninya hampir setengah jam."Tha""Tha"Tak ada sahutan dari si empunya nama. Mau tak mau diapun membuat volume suaranya lebih kuat."ARTHA SAULINA!"Seketika Artha terhenyak dari lamunan panjangnya. Entah sudah berapa lama dia duduk di tempat itu ba
Tok tok tokSebuah pintu ruangan diketuk dari luar, tanpa menunggu persetujuan dari dalam pintu langsung saja dibuka."Pak, lima belas menit lagi meeting akan segera dimulai," Ucok berkata dari balik pintu tanpa melangkah masuk ke ruangan.Agha tak menyahut perkataan asistennya itu atau lebih tepatnya tak mendengarnya. Pikirannya masih sibuk seperti hari-hari sebelumnya. Bukan memikirkan pekerjaan, karena tidak banyak dokumen yang perlu ditanda tangani maupun untuk diperiksanya.Sial!Terdengar umpatan kecil dari mulut Agha. "Di mana aku mencari gadis yang bernama Artha? Sudah cek berbagai media sosial, bukan hanya satu atau dua orang yang bernama Artha. Ada ratusan orang." Agha bermonolog, dia masih sibuk dengan pikirannya dan mengingat percakapannya dengan Ucok dua hari yang lalu."Kamu pikir hanya satu orang yang bernama Artha? Mungkin saja dia tak menggunakan media sosial." Uc
"STOP!" Semua orang diruangan itu sangat terkejut kala mendengar teriakan dari atasan mereka. Kenapa tiba-tiba atasannya ini menghentikan persentasi? Ada apa gerangan? Mungkinkah atasannya ini tidak tertarik dengan persentasinya atau dengan gambar yang ditampilkan? Berbagai pertanyaan muncul dalam benak setiap orang. Tanpa kecuali pak Martinus yang ikut merasa syok, belum pernah ada yang menghentikannya secara tiba-tiba seperti ini. Namun rasa terkejut mereka mereda saat atasannya berdiri dan manyalami pak Martinus. "Terima kasih pak, atas persentasinya. Ini sungguh luar biasa, sekali lagi saya ucapkan terima kasih pak. Kalau boleh tahu kapan bapak akan pulang? Saya berencana untuk mengunjungi resort itu bersama bapak. Anda tidak keberatan jika saya ikut bersama bapak,kan?" Permintaan Agha itu sungguh sangat mencengangkan semua orang. Karena dalam benak mereka pastilah atasannya akan marah tetapi semua yang ada dalam pikiran mereka ditepis ole