Kini Agha sudah berada di ruangannya. Ruangan minimalis yang ada di kantor cabang Medan, cabang Artha Company. Setelah menerima telepon dari kakeknya, dia bergegas ke kantor. Karena teriakan dari sang kakek mengharuskan dia beranjak dari kamar hotel. Dia bangun pukul 11.00 WIB, sementara jam masuk kantornya adalah jam delapan pagi.
Karyawan di kantornya sudah melakukan persiapan untuk penyambutan dirinya. Yang disambut malah tidak muncul setelah menunggu selama hampir dua jam lebih. Acara penyambutan itupun bubar begitu saja, banyak karyawan yang kecewa atas kejadian itu. Bagaimana tidak kecewa? Mereka sudah bersusah payah membuat dekorasi di lobi kantor, datang satu jam lebih awal dan bahkan sebagian dari mereka melewatkan sarapan tetapi yang akan disambut tidak muncul.
Sebenarnya kedatangan Agha ke kantor cabang sudah diketahui oleh karyawannya seminggu yang lalu. Kabar ini langsung di sampaikan oleh CEO Artha Company. Oleh karena itu mereka membuat sebuah acara untuk menyambut manajer mereka. Karena yang mereka tahu Agha adalah cucu pemilik perusahaan. Dan rumor yang beredar, Agha belum bisa menduduki kursi CEO, dia harus belajar dari awal. Jadilah dia ditempatkan di cabang Medan ini. Meski cabang ini belum begitu besar, setidaknya ada sekitar seratus orang karyawan yang bekerja.
Saat ini Agha sedang menatap layar monitor komputernya. Entah apa yang dilihatnya disana, apa dia benar-benar sedang fokus melihat pekerjaannya atau dia masih membanyangkan gadis yang tidur bersamanya semalam? Hanya membayangkannya saja sudah membuat bulu romanya meremang. Merasakan hangat pelukan dari gadis itu, aroma tubuhnya saja masih bisa dia rasakan. Lamunannya seketika buyar kala pintu ruangannya ada yang mengetuk.
Tok tok.
Setelah ada sahutan, pintu ruangan itu terbuka. Dan munculah seorang pria dengan stelan kemeja kotak-kotak dan celana bahan.
"Selamat siang pak, ini berkas-berkas yang perlu ditanda tangani dan ditinjau ulang," sapa Ucok kepada atasannya sambil memberikan berkas-berkas yang dibawanya ke meja Agha.
Dilihatnya Agha masih fokus menatap monitor dan tidak ada sahutan, kembali Ucok melanjutkan laporannya siang ini. "Dan untuk pembangunan Resort yang ada di Pangururan sudah hampir rampung pak, minggu depan kita bisa melihat hasil dari pembangunan itu."
"Cok, kamu sudah makan siang? Dari tadi pagi aku belum makan. Laperrr."
Astaga, apa-apaan ini, sedari tadi Ucok menjelaskan laporannya tidak didengar oleh atasannya ini? Dia niat kerja nggak sih? Ditanya A malah jawabnya D. Jauhkan jarak A ke D? 'Gak pernah berubah' bathin Ucok. Sabar ya Cok!
Sebenarnya fokus Agha terbagi saat ini antara pekerjaan dan gadis yang bersamanya malam itu. 'Artha' gumannya lirih. Kenapa dia tiba-tiba menghilang? Kenapa dia meninggalkanku begitu saja? Apa pesonaku kurang menarik dimatanya? Pertanyaan itu muncul begitu saja tanpa bisa Agha jawab. Yang pasti saat ini dia ingin menemukan gadis itu. Tapi kemana dia mencarinya? Arrghhh nampak Agha begitu frustasi.
"Apa pak? Bapak ngomong apa tadi?" Heran deh lihat bos satu ini, enggak biasanya dia seperti ini. Berkas dihadapannya tidak sebanding dengan berkas yang ada di kantor pusat. Ini masih seperempatnya, tapi dia diabaikan?
"Kenapa kamu Cok? Santai saja, aku baru pertama masuk kerja hari ini kamu sudah menyuguhkanku dengan berbagai macam pekerjaan. Kamu seperti tidak mengenalku saja Cok. Aku nggak mengabaikanmu, hanya saja saat ini sedang lapar. Kamu tahu sendiri kan Aku tidak bisa konsen jika perutku belum terisi. Pesankan saja makanan untuk kita. Kita makan di ruangan ini saja seperti dulu saat kita di Jakarta."
"Kamu memang selalu bisa membaca pikiranku, sudah lima tahun berlalu sifatmu masih saja seperti dulu. Kamu mau makan apa? Toh biasanya kita bisa bahas pekerjaan sambil makan," kata Ucok menimpali bos sekaligus sahabat lamanya itu.
Ucok dan Agha sudah lama menjadi sahabat. Pertama kali merantau ke ibukota Ucok bingung mau kemana. Tak tahu arah dan tujuan, tapi dia nekat berangkat ke Jakarta demi mengubah hidup. Pertemuan pertamanya dengan Agha tanpa sengaja disebuah kafe. Saat itu Ucok sedang duduk di pojok kafe tanpa memesan minum ataupun makanan. Mukanya kusut seperti berhari-hari tidak mandi.
Agha kebetulan di kafe itu sedang mengadakan meeting bersama kliennya bukan klien besar. Selesai meeting, tanpa sengaja mata Agha melihat ke arah meja Ucok. Agha menghampiri meja Ucok, tampak Ucok sangat terkejut saat itu. Melihat dari penampilan Ucok, rasa kemanusiaannya pun muncul kala itu. Agha menawarkan makanan dan minuman kepada Ucok. Sepertinya Ucok memang sudah tidak makan berhari-hari. Karena makanan yang ditawarkan habis seketika.
Selesai makan Agha memperkenalkan dirinya dan menanyakan dari mana Ucok berasal, apa tujuannya datang ke Ibukota. Tanpa berpikir panjang Ucok menceritakan semuanya kepada Agha termasuk kedatangannya ke Ibukota, karena Ucok yakin orang dihadapannya adalah orang baik.
Sejak pertemuan itu mereka menjadi akrab. Agha bahkan memberikan pekerjaan kepada Ucok. Bahkan menjadikan Ucok sebagai tangan kanannya di sebuah bar milik pribadinya. Selama Ucok bekerja bar itu menjadi ramai pengunjung.
Karena penyakit sang ibu, mengharuskan Ucok kembali ke kota asalnya untuk merawat ibundanya. Atas rekomendasi Agha jugalah Ucok bekerja di kantor Cabang Medan ini. Karena Agha tahu betul bagaimana kinerja Ucok bekerja.
**
Tampak Agha memikirkan sesuatu, kembali dia teringat gadis itu. Kemana dia? Kenapa dia pergi tanpa pamit? "Pesankan saja apa yang kamu mau, aku ikut saja."
"Baiklah." Ucok mengambil ponselnya dari saku celana dan membuka aplikasi G*food. Dia mengetikkan apa saja yang ingin mereka makan untuk siang ini. Ada sekitar lima jenis makanan yang dia pesan, mengingat bosnya saat ini sedang lapar.
"Sambil menunggu pesanan, bagaimana perkembangan pembangunan resort itu cok?" Kini Agha sudah duduk di sofa meninggalkan kursi kerjanya. Di seberangnya ada Ucok yang sedang sibuk membuka macbooknya kembali.
"Sejauh ini masih berjalan dengan lancar. Kamu tahu sendiri siapa yang memegang kendali resort itu? Pak Martinus, beliau seakan enggan meninggalkan pembangunan itu. Kata beliau tanggung jawab buat resort itu cukup berat karena desainnya berbentuk rumah batak. Dan harus benar-benar teliti dalam pengerjaannya."
"Pak Martinus? Bukankah selama ini beliau selalu menolak proyek yang kita tawarkan? Bahkan untuk pembangunan Hotel di Bali 2 tahun lalu beliau tolak, bukan? Meskipun dana Untuk pembangunan Hotel itu mencapai lebih dari 5M. Apa alasan beliau untuk menerima proyek itu?"
"Entahlah, yang pasti kinerja beliau patut diacungi jempol. Karena bulan Desember ini resort itu sudah bisa di buka. Padahal pembangunan itu baru berjalan setengah tahun. Banyak yang bilang seharusnya pembangunan itu bisa selesai dan dibuka bulan juli tahun depan. Mengingat begitu rumit desain dari resort itu. Namun, di tangan beliau semuanya bisa selesai dengan cepat." Jelas Ucok panjang lebar.
"Untuk persentasi hasil pembangunan itu minggu depan, bukan?"
"Iya, jika tidak ada kendala, karena Pak Martinus sendiri yang akan datang langsung untuk mempersentasikannya." Kata Ucok sambil membukakan pintu ruangan itu. Sepertinya pesanan mereka datang.
Betul saja begitu pintu di buka, nampaklah seorang laki-laki berpakaian warna hijau menyodorkan pesanan mereka. Ucok menerimanya dan tak lupa ia mengucapkan terima kasih setelah menerima pesanan itu.
Kemudian Ucok membuka setiap kotak makanan itu dan meletakkannya di meja dekat mereka duduk . Ada sekitar lima jenis makanan yang dipesan Ucok dan semuanya itu mengunggah selera.
"Woaahhh banyak sekali ini Cok, sepertinya kau harus mencarikan tempat gym untukku, karena selama disini aku akan banyak-banyak makan. Kamu tidak ingin kan berat badanku naik? Bisa hilang pesonaku di mata para gadis." Kelakar Agha sambil menyendokkan salah satu makanan ke dalam mulutnya.
"Kamu tenang saja pak bos!" Kata Ucok sambil memberi hormat ala tentara.
Sontak mereka tertawa bersama. Ucok memang sudah tahu apa-apa saja kebiasaan atasannya. Bukankah mereka sudah bersama selama delapan tahun? Bahkan meski Ucok sudah kembali ke kota asalnya komunikasi mereka tetap lancar. Karena kedekatan mereka, banyak rumor beredar yang mengatakan mereka pasangan guy. Mereka tak peduli, toh mereka sendiri yang tahu bagaimana hubungan mereka.
"Gha, aku melihatmu begitu lain hari ini," tanya Ucok tiba-tiba. Yang membuat fokus Agha kembali karena saat ini dia begitu menikmati makanan dihadapannya.
"Kenapa kamu berpikir seperti itu?"
"Sudahlah gha, aku tahu kamu luar dalam, kamu tak bisa menyembunyikannya dariku. Kamu sedang memikirkan apa?"
Agha tak menjawab, dia masih asik dengan makanan yang ada di hadapannya. Namun, Ucok juga tak memaksa bos sekaligus sahabatnya itu bercerita. Karena dia tahu suatu saat bosnya itu akan bercerita tanpa diminta.
Bersambung
Lagi, lagi, dan lagi,,, kenapa harus kamu lagi yang ada dibenakku? Tak bisakah kamu enyah barang sejenak saja dari pikiranku?***Sudah seminggu berlalu sejak Artha meninggalkan hotel tempat dia bermalam bersama pria asing itu. Dan selama seminggu itu pula dia tak bisa tidur dengan nyenyak. Selalu saja pria itu muncul dalam pikirannya bahkan dalam mimpinya. Adegan dimana pria itu memeluknya, begitu hangat itu yang Artha rasakan. Bahkan aroma tubuh pria itu masih saja terasa dalam indra penciumannya.Sesekali Artha menghembuskan napas dengan kasar. Pikirannya masih saja tertuju pada pria itu. Seseorang yang sudah duduk di sampingnya pun tak dia tahu. Padahal sudah menemaninya hampir setengah jam."Tha""Tha"Tak ada sahutan dari si empunya nama. Mau tak mau diapun membuat volume suaranya lebih kuat."ARTHA SAULINA!"Seketika Artha terhenyak dari lamunan panjangnya. Entah sudah berapa lama dia duduk di tempat itu ba
Tok tok tokSebuah pintu ruangan diketuk dari luar, tanpa menunggu persetujuan dari dalam pintu langsung saja dibuka."Pak, lima belas menit lagi meeting akan segera dimulai," Ucok berkata dari balik pintu tanpa melangkah masuk ke ruangan.Agha tak menyahut perkataan asistennya itu atau lebih tepatnya tak mendengarnya. Pikirannya masih sibuk seperti hari-hari sebelumnya. Bukan memikirkan pekerjaan, karena tidak banyak dokumen yang perlu ditanda tangani maupun untuk diperiksanya.Sial!Terdengar umpatan kecil dari mulut Agha. "Di mana aku mencari gadis yang bernama Artha? Sudah cek berbagai media sosial, bukan hanya satu atau dua orang yang bernama Artha. Ada ratusan orang." Agha bermonolog, dia masih sibuk dengan pikirannya dan mengingat percakapannya dengan Ucok dua hari yang lalu."Kamu pikir hanya satu orang yang bernama Artha? Mungkin saja dia tak menggunakan media sosial." Uc
"STOP!" Semua orang diruangan itu sangat terkejut kala mendengar teriakan dari atasan mereka. Kenapa tiba-tiba atasannya ini menghentikan persentasi? Ada apa gerangan? Mungkinkah atasannya ini tidak tertarik dengan persentasinya atau dengan gambar yang ditampilkan? Berbagai pertanyaan muncul dalam benak setiap orang. Tanpa kecuali pak Martinus yang ikut merasa syok, belum pernah ada yang menghentikannya secara tiba-tiba seperti ini. Namun rasa terkejut mereka mereda saat atasannya berdiri dan manyalami pak Martinus. "Terima kasih pak, atas persentasinya. Ini sungguh luar biasa, sekali lagi saya ucapkan terima kasih pak. Kalau boleh tahu kapan bapak akan pulang? Saya berencana untuk mengunjungi resort itu bersama bapak. Anda tidak keberatan jika saya ikut bersama bapak,kan?" Permintaan Agha itu sungguh sangat mencengangkan semua orang. Karena dalam benak mereka pastilah atasannya akan marah tetapi semua yang ada dalam pikiran mereka ditepis ole
Artha kini disibukkan dengan berbagai masakan, hari ini udanya pulang. Dan udanya mengabari bahwa dia tidak pulang sendiri, ada dua orang yang ikut bersamanya. Udanya menyarankan agar membuat makan malam mereka dan untuk kedua orang yang pulang bersamanya. Artha tidak masalah dengan memasak itu adalah salah satu keahliannya yang patut diacungi jempol. Dulu, dia ingin kuliah dengan mengambil jurusan tata boga,tapi bapaknya melarang. Dia tidak berani melawan perkataan bapaknya dan hanya pasrah dengan mengambil jurusan Akuntansi. Namun, diam-diam ia selalu belajar memasak dan bercita-cita ingin memiliki restoran. Meski itu pernah hampir terwujud, jika saja sahabatnya tidak menipunya. Di meja makan telah terhidang berbagai makanan hasil kreasi Artha sendiri. Semuanya adalah makanan khas batak. Ada sayur daun ubi tumbuk, ikan mujair bakar dan yang digoreng dengan sambal andaliman dan sambal tuk-tuk. Ada ikan teri sambal juga. Semua makanan yang terhidang menggugah selera. Dan tan
Setelah makan malam selesai, Artha bergegas ke belakang rumah. Suasana malam ini lumayan dingin langit tampak gelap sebentar lagi mungkin akan turun hujan. Untuk menghagatkan badan Artha menyalakan tungku perapian yang biasa mereka gunakan untuk memasak air minum. Sesekali Artha memasukkan kayu bakar kedalam tungku agar api membesar sehingga dapat lebih menghangatkan tubuhnya karena saat ini ia hanya menggunakan kaos tanpa tambahan jaket. Artha mengingat kembali momen makan malam dimana dia melihat pria yang tidur bersamanya di hotel. Pria itu duduk bersila dengan nyaman dan tersenyum ke arah Artha seakan tak terkejut akan kehadiran Artha. Sepanjang makan malam pria itu selalu melirik Artha dan sesekali melemparkan senyuman. Sementara Artha sendiri sudah tak nyaman dengan posisinya apalagi jantungnya yang tak bisa diajak kompromi berdetak begitu kencang dan bahkan sampai saat ini masih bertalu-talu. Inikah tamu udanya? Pria yang selama ini mengusi
Suasana hening mendominasi malam ini, hanya suara jangkrik yang sesekali terdengar. Tak ada yang memulai pembicaraan, keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Agha dan Artha tengah duduk di depan perapian. Artha membalik sesuatu di dalam bara api dan menambah kayu bakar ke dalam tungku. Priuk besar yang berisi air telah mendidih, sudah cukuplah air itu untuk persediaan minum dua hari ini. “A-pa… .” Agha “Ka-mu… .” Artha Keduanya berbicara secara bersamaan memecah keheningan malam. “Ladies first,” ujar Agha kemudian dengan senyum menawan. Sepertinya pria di sampingnya ini sangat menghormati perempuan terbukti saat dirinya terlebih dahulu mempersilahkan Artha untuk berbicara. Apa yang ada dipikiran Artha buyar seketika. Kalimat yang telah dirangkainya hilang terbawa angin malam. “Ada perlu apa kamu ke desa ini?” Akirnya setelah beberapa detik berlalu Artha bisa menyuarakan kalimatnya. Tapi itu sudah benarkah? Padahal saat makan malam
Setelah Nagundanya ̶̶̶ Lisa melahirkan Artha memutuskan untuk ke rumah bapaknya yang berada di jalan kapten muslim. Sesampainya di rumah keadaan sepi, Artha mengambil kunci di bawah pot bunga dimana kunci rumah biasanya diletakkan. Sudah bertahun-tahun berlalu kebiasaan penghuni rumah ini masih sama. Artha memasukkan anak kunci ke handle pintu dan pintu rumah pun terbuka. Suasana rumah masih sama, tak ada yang berubah letak dan susunan perabot rumahpun nyaris sama. Hanya pohon mangga di depan rumah yang sudah ditebang mungkin sudah tua atau sengaja ditebang. Tak ingin menunggu lama Artha masuk ke kamarnya, setahunya kamar itu ditempati oleh adik bungsunya. Dia ingin mandi karena seharian dalam perjalanan membuat seluruh tubuhnya lengket dan berencana ingin mandi sebelum mengistirahatkan diri sejenak. Artha memindai jam dipergelangan tangannya, masih ada waktu untuk memejamkan mata sebelum para penghuni rumah pulang. Biasanya pukul 5 sore adik-adiknya akan
Mentari telah muncul dari peraduannya, memunculkan sinar hangat yang menyilaukan mata. Agha masih berbaring dan bergelung dengan selimut di tempat tidur. Semalaman dia tidak bisa tidur, pikirannya berkelana menginat kembali percakapan antara dirinya dengan calon lae (abang ipar). Karena dari pembicaraan mereka berdua, Rajata calon laenya sangat mendukung hubungan yang akan mereka jalin. “Hei bro, ada yang ingin aku bicarakan denganmu secara empat mata.” Agha menoleh ke kanan dan ke kiri tidak ada orang lain selain dirinya. Agha menunjuk dirinya sendiri mengisyaratkan lawan bicaranya apakah dia yang diajak untuk berbicara. “Iya kamu, siapa lagi yang ada di sini,” kata Rajata dengan tegas menunjukkan sikap militernya. Ketika mereka sudah duduk Rajata pun mengeluarkan sebungkus rokok dari saku celananya, “kamu merokok?” tanyanya kemudian mengangsurkan rokok ke hadapan Agha. Agha hanya menggeleng. “Tidak lae,” jawabnya singkat. ‘Dia sudah
"Capek, Bang?" Rajata menyandarkan punggungnya pada kursi sofa, "iya," jawab Rajata dengan mata terpejam. "Sebentar, biar aku ambilkan minum." Artha bangkit, tapi dengan cepat Rajata mencegahnya, "tidak usah, Dek. Nanti, abang saja yang ambil." "Akhirnya kasusnya selesai. Setelah memakan waktu hampir 2 bulan. Tika dipenjara selama 3 tahun," guman Rajata masih dengan mata terpejam. Akibat kasus penculikan yang dilakukan Tika, gadis berambut gelombang itu mendekam di penjara. Karena setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76F dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Menurut Rajata itu terlalu ringan, seharusnya Tika mendekam selamanya di penjara. Mengingat bagaimana ia merencanakan penculikan pada Artha, sedangkan untuk Tina, kembaran Tika memilih kabur begitu tau Ti
"Menikahlah denganku!"Suara bariton mengejutkan Aisyah. Semua kunci yang dipegang olehnya terjatuh. Saat ini ia sedang ingin menutup pintu ruko tempat butiknya berada. Namun, karena suara bariton mengagetkannya, pintu tak bisa ia tutup.Aisyah semakin terlonjak kaget ketika membalikkan badan. Di hadapannya berdiri seorang pria yang masih lengkap mengenakan seragam berwarna coklat.Pria itu melangkah mendekat untuk membantu menutup pintu butik milik Aisyah."Mau apa kamu?" tanya Aisyah dengan gugup."Aku hanya ingin membantu menutup butikmu."Pria itu memunguti kunci yang berserakan di lantai. "Yan
"Kamu yakin akan melanjutkan pernikahan ini?"Saat ini Agha sedang berada dalam sebuah kamar hotel bersama Artha. Beberapa jam lagi adalah pemberkatan pernikahan mereka. Masih ada waktu untuk menunda pernikahan sebelum pemberkatan dimulai.Para MUA pilihan mamak sudah selesai merias dan membantu Artha memakai gaun. Agha meminta mereka semua meninggalkan dirinya dan Artha. Kini, tinggal ia dan Artha yang tinggal di kamar hotel itu. Agha ingin membujuk Artha sekali lagi untuk menunda pernikahan mereka. Namun, Artha tetap pada pendiriannya untuk melanjutkan pernikahan.Kondisi Artha belum sepenuhnya pulih. Fisik Artha masih lemah dan ia sedikit mengalami trauma akibat penculikan yang dialaminya. Luka dibagian kaki akibat ikatan yang terlalu kuat belum sepenuhnya p
Bab 87"Mamak di rumah aja, gak usah ikut!" Rendra melarang mamak untuk ikut pergi bersama mereka ketika mengekori langkahnya."Kenapa?" Mamak ingin ikut, ia yakin Artha berada di rumah kosong itu."Aku sama Bang Agha saja yang ke rumah itu. Bapak juga gak usah ikut, siapa tahu ada kabar terbaru dari bang Rajata tentang kak Artha," ucap Rendra dengan lembut."Tulang dan Nantulang sebaiknya istirahat saja di rumah. Kalau ada kabar terbaru kabari kami secepatnya. Setelah menemukan jam itu, kami akan pulang."Agha ikut membujuk kedua orang tua Artha agar tak ikut bersama mereka.Akhirnya kedua orang t
Bab 86."Siapa kira-kira?" tatapan mata bapak sangat tajam seolah ingin menghunus jantung Agha."Mak!"Seruan Rendra membuat Agha urung menjawab pertanyaan bapak."Ada apa?" tanya bapak dengan heran pada Rendra.Rendra mengabaikan bapak dan menghampiri mamak yang baru saja meletakkan minuman, "Mamak ada lihat jam aku?""Jam yang mana?""Jam yang seperti itu."Saat menunjuk, mata Rendra tertuju pada pergelangan tangan Agha yang kebetulan sedang memakai jam tangan yang s
Terdengar bunyi dering ponsel yang begitu nyaring, tanpa melihat siapa yang memanggil, Tika langsung menempelkan ponsel ke telinga begitu ia menggeser ikon telepon berwarna hijau. "Gue masih di rumah kosong ini. Kenapa suara lo kedengaran khawatir gitu?" Kemudian Tika melihat ponselnya dan menekan ikon loudspeaker. "Gimana gue gak khawatir, hampir aja gue ketahuan." Suara lawan bicaranya terdengar menghela nafas. "Ketahuan bagaimana? Bukannya semua udah gue kasih tau dan lo udah paham?" "Satu hal yang lo lupa, lo gak kasih tahu parfum yang lo pakai!" Suara diseberang terdengar sangat kesal, "sorry, gue gak berpikir sampai kesitu. Apa itu jadi masalah? Gue yakin lo bisa mengatas
Bab 84"Ternyata lo masih ingat wangi parfum Tika," ejek Riko. "Padahal sudah hampir enam bulan kita semua tidak pernah ketemu sama lo," imbuhnya lagi menatap tak percaya pada pria pirang itu."Lo salah, gue dan Tika dua bulan lalu baru bertemu. Kalo gak percaya tanya aja langsung pada orangnya."Agha melirik tajam pada Tika yang duduk dengan meremas kedua tangannya. Sontak semua mata tertuju pada Tika, dengan cepat Tika mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Agha yang semakin curiga melihatnya."Kalian tahu sendiri 'kan. Parfum yang digunakan Tika sangat menyengat dan bahkan bukan hanya gue yang menyadari jika Tika tidak pernah berganti parfum."Pandangan Agha masih tetap pada Tika yang duduk gelisah dengan kedua tangan masih saling meremas"Gu-e, hanya mencoba parfum Rani. I-ya 'kan Ran?" Tika menjawab dengan gugup sembari menyikut pergelangan tangan Rani meminta pembelaan pada gadis berambut sebahu itu."Santai aja kali Gha. Gue baru beli parfum baru dan meminta Tika untuk m
Bab 83Mentari merangkak menuju barat, tanda sore semakin merayap. Senja menyapa dengan lambaian warna jingganya. Keluarga Artha terlihat panik karena tidak menemukan Artha di kamar ataupun di halaman belakang. "Lapor polisi, Pah!" seru mamak wajahnya terlihat panik dan kelihatan sedikit pucat. Meskipun melapor kepada pihak yang berwajib belum bisa dilakukan, dengan spontan mamak tetap mengatakannya. Karena wanita paruh baya itu begitu panik dan cemas akan anak gadisnya yang tiba-tiba saja tidak berada di rumah. Artha memang selalu keluar, tapi ia selalu pamit sebelum hendak pergi kemanapun.Jika esok ia akan keluar, maka malam sebelum kedua orangtuanya tidur ia akan pamit dan mengatakan kemana tujuannya atau paling tidak ia akan menelepon atau mengirim pesan. Kali ini, Artha tidak pamit meski baru beberapa jam Artha tidak berada di rumah, tapi naluri keibuannya berkata Artha sedang tidak baik-baik saja. "Belum 1x24 jam Artha menghilang," jawab bapak dengan datar, terlihat santai.
Bab 82Entah kenapa selepas makan siang Agha tampak gusar. Sebentar duduk sebentar lagi berdiri. Begitu terus sampai berulang-ulang. Apa mungkin karena akan menghadapi hari pernikahan, tapi itu akan berlangsung 2 minggu lagi. Ia menyambar kunci mobil dan dompet yang berada di atas meja dengan cepat. Satu-satunya yang ada dipikirannya adalah Artha. Keluarga melarang mereka untuk bertemu sementara sampai pada hari H. Namun, saat ini pikirannya tertuju pada Artha, ada rasa yang tak biasa yang mengganjal. Ia pun sulit mengartikannya, padalah saat istirahat sembari makan siang ia sempatkan untuk video call dengan Artha. Ia pun melajukan mobilnya ke kediaman Artha dengan kecepatan rata-rata, beruntung jalanan tidak begitu macet. Mungkin belum jam kantor pulang. Setelah memarkirkan mobil tepat di depan rumah Artha, ia pun turun dan kedua orangtua Artha juga baru turun dari becak. Mereka berpapasan di depan rumah. "Bere, sudah kami bilang jangan d