Setelah Artha menerima KTP dari teman satu kamarnya itu, dia langsung mengambil handphone dari slingbagnya. Dan menfoto KTP itu, sekarang dia tahu nama pria itu. Agha Hasiholan P utra Zerrin, pria dengan postur tubuh tegap dengan tinggi 180cm, rambut pirang, wajah tirus, hidung mancung, mata bulat dengan warna maniknya coklat madu, dan bibir tipis.
Sempurna! Apa? Wait!!! Kenapa Artha baru menyadarinya sekarang? Padahal mereka sudah bersama sejak dua jam yang lalu. Di mobil yang sama dan bahkan sekarang mereka ada di kamar yang sama. 'Kemana mata dan pikiranku? Sehingga makhluk Tuhan paling seksi plus ganteng ini tidak kuperhatikan' bathin Artha.
Artha sudah terlebih dulu membersihkan dirinya. Mandi dengan menggunakkan air panas, tubuhnya sekarang sudah semakin rileks dan ringan. Dan kini dia siap merebahkan diri di sofa. Sesuai dengan kesepakatan di awal dirinyalah yang tidur di sofa untuk malam ini. Sebelum merebahkan diri, Artha mengecek ponselnya untuk mengetahui ada tidaknya pesan masuk. Bukannya membuka Aplikasi berlogo hijau, dia malah membuka galeri ponselnya. Dan sekali lagi dia mengamati foto dilayar ponselnya yang menampilkan KTP Agha. 'Ganteng' gumannya tanpa sadar.
Artha semakin terpesona kala pria yang bernama Agha itu keluar dari kamar mandi dengan handuk membalut pinggangnya dan rambut setengah basahnya membuat kaum hawa dimanapun akan meleleh. Perut kotak-kotak ditambah bulu didada bidangnya menambah kesempurnaan dirinya. Mata Artha tak berkedip melihat pemandangan di kamar itu, hingga air liurnya menetespun tak dirasanya. Panggilan dari pria itupun tak didengarnya yang sudah tiga kali memanggilnya.
"Hei ..." Kata Agha sambil menjetikkan jarinya.
Satu kali.
Dua kali.
Tiga kali.
Barulah Artha tersadar dari lamunannya dihitungan ketiga. Seakan dia baru kembali dari dunia antah berantah.
"A-apa?" Artha menjawab dengan gugup.
"Sudah mandanginnya?" kata Agha dengan santainya sambil menuju lemari. Entah apa yang dicarinya di lemari itu. Padahal dirinya juga sangat gugup sekarang ini, sehingga dia mengalihkan rasa gugup itu dengan berpura-pura mencari sesuatu di dalam lemari
"Apaan sihh ...siapa juga yang mandangin kamu? Ge-er."
"Kalau nggak mandangin saya terus kamu ngapain lihat saya tanpa berkedip sampai ileran lagi?" Kata Agha dengan menahan rasa gugup agar tak terlihat oleh gadis didepannya.
Sebenarnya ini salah Agha juga. Dengan percaya dirinya dia keluar dari kamar mandi hanya menggunakan handuk yang melilit dipinggangnya. Apa dia tidak sadar bukan dirinya saja yang berada di kamar ini.
Artha pun mengabaikan pria yang ada disampingnya. Mengambil bantal dari atas tempat tidur dan beranjak ke sofa. Saat akan merebahkan diri, dia teringat kembali akan foto digalerinya. Sontak diapun tertawa dengan terbahak-bahak kala mengingat foto KTP Agha yang sangat jauh berbeda dengan Agha yang sekarang.
"Kenapa kamu? Kesambet setan kamar mandi?"
"Enggak, apaan kesambet, kamu mungkin yang kesambet."
"Lah,,, terus kenapa kamu ketawa tiba-tiba? Ada yang salah dari diriku? Padahal saya sudah berpakaian lengkap saat ini." Kata Agha sambil memeriksa dirinya, takut ada yang robek dari pakaian yang dikenakannya.
"Saya ketawa bukan berarti saya sedang menertawakan kamu. Sudah sana, saya mau tidur."
Artha hendak merebahkan diri di sofa, tiba-tiba saja pria yang bernama Agha itu berkata,"Tunggu dulu, hanya kita berdua di dalam kamar ini, jika bukan menertawakan saya, terus kamu ketawa karena apa? Pasti kan ada sebabnya, karena kamu tertawa sambil melihat saya. Dan saya menyimpulkan bahwa kamu saat ini sedang menertawakan saya."
"Emang saya enggak boleh lihat kamu? Mata kan fungsinya untuk melihat," jawab Artha dengan santai merebahkan dirinya kembali di atas sofa.
"Ya, boleh. Saya tidak melarang kamu buat melihat saya malahan saya senang kamu lihatin terus. Berarti saya begitu menarik dimata kamu," Agha menjawab dengan mengerlingkan matanya.
' Emang sih kamu menarik' bathin Artha. Tapi dia tidak mengatakan itu malah dia menjulurkan lidahnya. "Blek,,, percaya diri sekali Anda."
"Iya dong, apa kamu enggak sadar sedang berduaan dengan seorang pria yang mirip dengan Aktor Michele Marrone? Sebelas duabelas lah sama saya," kata Agha dengan bangganya.
Sementara Artha sudah malas menanggapi celotehan dari lawan bicaranya.
Saat ini Agha sedang duduk dipinggir kasur, sama dengan Artha hendak merebahkan diri juga. Tapi ada satu hal yang mengganjal dari dalam dirinya. Apa gadis ini tidak takut tidur berdua dengan dirinya? Emang sih, mereka tidur terpisah, tetapi tetap saja kan di dalam kamar yang sama. Semoga saja tidak ada setan sebagai orang ketiga. Kan biasanya jika sedang berduaan yang ketiga itu setan. Memikirkannya saja membuat bulu roma Agha berdiri semua. Segera dia tepis pikiran itu dari dalam dirinya.
Tidur berdua dengan orang asing, ini adalah pengalaman pertama bagi Artha maupun Agha. Berharap ini adalah yang terakhir dalam hidup mereka. Jikapun suatu saat itu terjadi, semoga mereka bukan orang asing lagi, melainkan dua insan yang saling mencinta dan tentunya sudah menikah.
"Nama kamu siapa?" Pertanyaan itu tiba-tiba saja keluar dari mulut Agha. Sudah hampir tiga jam mereka bersama, tapi Agha belum tau siapa gadis yang sedang bersamanya. Obrolan gadis itu dengan Baringin saat di mobil tidak jelas didengarnya. Atau lebih tepatnya dia tak ingin bergabung dengan obrolan yang menurutnya tidak jelas itu.
"Kenapa baru sekarang kamu menanyakan itu? Saya kira kamu sudah tahu nama saya sejak awal. Makanya saya nurut saja saat kamu menarik tanganku ke dalam lift untuk menuju kamar ini."
"Eh... Apa?" Agha menggarut tengkuknya yang tidak gatal. "Maaf soal itu, saya refleks menarik tanganmu. Tapi benaran, saya belum tahu namamu."
"Panggil saja saya Artha," jawabnya dengan singkat. "Sudah ya, saya ngantuk. Lain kali saja kita lanjut ngobrol atau jika ingin tahu nama lengkapnya kamu bisa datang ke rumahku" jawabnya lagi sambil menguap dan menutup matanya.
Benar saja, belum sampai lima menit Artha sudah terlelap dan terdengar dengkuran halus. Namun, Agha belum juga terlelap, dia gelisah. Dari tempatnya tidur sekarang dia terus memandangi Artha. Sebenarnya dia tak tega melihat Artha tidur meringkuk di sofa, tapi tidak mungkin juga dia memindahkannya ke tempat tidur. Logika dan hatinya bertolak belakang saat ini.
Akhirnya dia beranikan diri untuk mengangkat tubuh gadis itu dan meletakkannya dengan hati-hati di atas tempat tidur. Saat ini dia melawan logikanya dan menuruti kata hatinya. Dan diapun ikut merebahkan diri disamping Arha.
Entah perasaan apa yang ada pada dirinya. Yang jelas saat ini gadis dihadapannya sangat menarik perhatiaanya. Tanpa berpikir panjang dia tarik gadis itu ke dalam pelukannya. Tak ada perlawanan dari gadis itu. Justru gadis itu ikut memeluk Agha dan menyerukkan kepala kedada Agha. Sontak Aghapun terkejut, tapi tidak melepaskan tangannya dari tubuh gadis itu. Justru dia merasa nyaman dan muncul perasaan aneh dalam dirinya. Perasaan yang sudah lama menghilang.
Aghapun ikut tertidur menyusul mimpi gadis yang ada dipelukannya. Terasa nyaman dan hangat. Belum pernah dia merasakan tidur senyaman dan sehangat ini.
**
Dering ponselpun membangunkan Agha, bukan suara alarm melainkan suara panggilan. Diapun menjulurkan tangannya ke atas nakas karena se ingatnya dia meletakkan ponselnya disitu. Semalam dia mencharger ponselnya.
Tapi, tunggu dimana gadis dalam pelukannya? Bukankah semalam mereka tidur bersama? Dan kemana gadis itu pergi?
Pikiran Agha pun semakin tidak fokus kala dering ponsel itu tidak berhenti juga. Tanpa melihat siapa yang menelepon, diapun menggeser ikon warna hijau yang ada di layar ponsel.
"AGHA!!" Teriak orang yang sedang menelepon itu.
Sontak saja Agha menjauhkan ponselnya dari telinga karena tak ingin membuat dirinya tuli karena teriakan dari penelepon itu. Dan betapa terkejutnya dia saat melihat siapa yang telah menghubunginya.
Bersambung.
Kini Agha sudah berada di ruangannya. Ruangan minimalis yang ada di kantor cabang Medan, cabang Artha Company. Setelah menerima telepon dari kakeknya, dia bergegas ke kantor. Karena teriakan dari sang kakek mengharuskan dia beranjak dari kamar hotel. Dia bangun pukul 11.00 WIB, sementara jam masuk kantornya adalah jam delapan pagi.Karyawan di kantornya sudah melakukan persiapan untuk penyambutan dirinya. Yang disambut malah tidak muncul setelah menunggu selama hampir dua jam lebih. Acara penyambutan itupun bubar begitu saja, banyak karyawan yang kecewa atas kejadian itu. Bagaimana tidak kecewa? Mereka sudah bersusah payah membuat dekorasi di lobi kantor, datang satu jam lebih awal dan bahkan sebagian dari mereka melewatkan sarapan tetapi yang akan disambut tidak muncul.Sebenarnya kedatangan Agha ke kantor cabang sudah diketahui oleh karyawannya seminggu yang lalu. Kabar ini langsung di sampaikan oleh CEO Artha Company. Oleh karena itu mereka membuat sebuah acara untu
Lagi, lagi, dan lagi,,, kenapa harus kamu lagi yang ada dibenakku? Tak bisakah kamu enyah barang sejenak saja dari pikiranku?***Sudah seminggu berlalu sejak Artha meninggalkan hotel tempat dia bermalam bersama pria asing itu. Dan selama seminggu itu pula dia tak bisa tidur dengan nyenyak. Selalu saja pria itu muncul dalam pikirannya bahkan dalam mimpinya. Adegan dimana pria itu memeluknya, begitu hangat itu yang Artha rasakan. Bahkan aroma tubuh pria itu masih saja terasa dalam indra penciumannya.Sesekali Artha menghembuskan napas dengan kasar. Pikirannya masih saja tertuju pada pria itu. Seseorang yang sudah duduk di sampingnya pun tak dia tahu. Padahal sudah menemaninya hampir setengah jam."Tha""Tha"Tak ada sahutan dari si empunya nama. Mau tak mau diapun membuat volume suaranya lebih kuat."ARTHA SAULINA!"Seketika Artha terhenyak dari lamunan panjangnya. Entah sudah berapa lama dia duduk di tempat itu ba
Tok tok tokSebuah pintu ruangan diketuk dari luar, tanpa menunggu persetujuan dari dalam pintu langsung saja dibuka."Pak, lima belas menit lagi meeting akan segera dimulai," Ucok berkata dari balik pintu tanpa melangkah masuk ke ruangan.Agha tak menyahut perkataan asistennya itu atau lebih tepatnya tak mendengarnya. Pikirannya masih sibuk seperti hari-hari sebelumnya. Bukan memikirkan pekerjaan, karena tidak banyak dokumen yang perlu ditanda tangani maupun untuk diperiksanya.Sial!Terdengar umpatan kecil dari mulut Agha. "Di mana aku mencari gadis yang bernama Artha? Sudah cek berbagai media sosial, bukan hanya satu atau dua orang yang bernama Artha. Ada ratusan orang." Agha bermonolog, dia masih sibuk dengan pikirannya dan mengingat percakapannya dengan Ucok dua hari yang lalu."Kamu pikir hanya satu orang yang bernama Artha? Mungkin saja dia tak menggunakan media sosial." Uc
"STOP!" Semua orang diruangan itu sangat terkejut kala mendengar teriakan dari atasan mereka. Kenapa tiba-tiba atasannya ini menghentikan persentasi? Ada apa gerangan? Mungkinkah atasannya ini tidak tertarik dengan persentasinya atau dengan gambar yang ditampilkan? Berbagai pertanyaan muncul dalam benak setiap orang. Tanpa kecuali pak Martinus yang ikut merasa syok, belum pernah ada yang menghentikannya secara tiba-tiba seperti ini. Namun rasa terkejut mereka mereda saat atasannya berdiri dan manyalami pak Martinus. "Terima kasih pak, atas persentasinya. Ini sungguh luar biasa, sekali lagi saya ucapkan terima kasih pak. Kalau boleh tahu kapan bapak akan pulang? Saya berencana untuk mengunjungi resort itu bersama bapak. Anda tidak keberatan jika saya ikut bersama bapak,kan?" Permintaan Agha itu sungguh sangat mencengangkan semua orang. Karena dalam benak mereka pastilah atasannya akan marah tetapi semua yang ada dalam pikiran mereka ditepis ole
Artha kini disibukkan dengan berbagai masakan, hari ini udanya pulang. Dan udanya mengabari bahwa dia tidak pulang sendiri, ada dua orang yang ikut bersamanya. Udanya menyarankan agar membuat makan malam mereka dan untuk kedua orang yang pulang bersamanya. Artha tidak masalah dengan memasak itu adalah salah satu keahliannya yang patut diacungi jempol. Dulu, dia ingin kuliah dengan mengambil jurusan tata boga,tapi bapaknya melarang. Dia tidak berani melawan perkataan bapaknya dan hanya pasrah dengan mengambil jurusan Akuntansi. Namun, diam-diam ia selalu belajar memasak dan bercita-cita ingin memiliki restoran. Meski itu pernah hampir terwujud, jika saja sahabatnya tidak menipunya. Di meja makan telah terhidang berbagai makanan hasil kreasi Artha sendiri. Semuanya adalah makanan khas batak. Ada sayur daun ubi tumbuk, ikan mujair bakar dan yang digoreng dengan sambal andaliman dan sambal tuk-tuk. Ada ikan teri sambal juga. Semua makanan yang terhidang menggugah selera. Dan tan
Setelah makan malam selesai, Artha bergegas ke belakang rumah. Suasana malam ini lumayan dingin langit tampak gelap sebentar lagi mungkin akan turun hujan. Untuk menghagatkan badan Artha menyalakan tungku perapian yang biasa mereka gunakan untuk memasak air minum. Sesekali Artha memasukkan kayu bakar kedalam tungku agar api membesar sehingga dapat lebih menghangatkan tubuhnya karena saat ini ia hanya menggunakan kaos tanpa tambahan jaket. Artha mengingat kembali momen makan malam dimana dia melihat pria yang tidur bersamanya di hotel. Pria itu duduk bersila dengan nyaman dan tersenyum ke arah Artha seakan tak terkejut akan kehadiran Artha. Sepanjang makan malam pria itu selalu melirik Artha dan sesekali melemparkan senyuman. Sementara Artha sendiri sudah tak nyaman dengan posisinya apalagi jantungnya yang tak bisa diajak kompromi berdetak begitu kencang dan bahkan sampai saat ini masih bertalu-talu. Inikah tamu udanya? Pria yang selama ini mengusi
Suasana hening mendominasi malam ini, hanya suara jangkrik yang sesekali terdengar. Tak ada yang memulai pembicaraan, keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Agha dan Artha tengah duduk di depan perapian. Artha membalik sesuatu di dalam bara api dan menambah kayu bakar ke dalam tungku. Priuk besar yang berisi air telah mendidih, sudah cukuplah air itu untuk persediaan minum dua hari ini. “A-pa… .” Agha “Ka-mu… .” Artha Keduanya berbicara secara bersamaan memecah keheningan malam. “Ladies first,” ujar Agha kemudian dengan senyum menawan. Sepertinya pria di sampingnya ini sangat menghormati perempuan terbukti saat dirinya terlebih dahulu mempersilahkan Artha untuk berbicara. Apa yang ada dipikiran Artha buyar seketika. Kalimat yang telah dirangkainya hilang terbawa angin malam. “Ada perlu apa kamu ke desa ini?” Akirnya setelah beberapa detik berlalu Artha bisa menyuarakan kalimatnya. Tapi itu sudah benarkah? Padahal saat makan malam
Setelah Nagundanya ̶̶̶ Lisa melahirkan Artha memutuskan untuk ke rumah bapaknya yang berada di jalan kapten muslim. Sesampainya di rumah keadaan sepi, Artha mengambil kunci di bawah pot bunga dimana kunci rumah biasanya diletakkan. Sudah bertahun-tahun berlalu kebiasaan penghuni rumah ini masih sama. Artha memasukkan anak kunci ke handle pintu dan pintu rumah pun terbuka. Suasana rumah masih sama, tak ada yang berubah letak dan susunan perabot rumahpun nyaris sama. Hanya pohon mangga di depan rumah yang sudah ditebang mungkin sudah tua atau sengaja ditebang. Tak ingin menunggu lama Artha masuk ke kamarnya, setahunya kamar itu ditempati oleh adik bungsunya. Dia ingin mandi karena seharian dalam perjalanan membuat seluruh tubuhnya lengket dan berencana ingin mandi sebelum mengistirahatkan diri sejenak. Artha memindai jam dipergelangan tangannya, masih ada waktu untuk memejamkan mata sebelum para penghuni rumah pulang. Biasanya pukul 5 sore adik-adiknya akan