"Sini KTPmu?" Sentak Artha tiba-tiba, saat mereka sudah ada dalam kamar hotel.
Mereka kini berada dalam satu kamar hotel. Kamar itu berukuran 4x6 meter persegi, dengan kamar mandi di sebelah kiri pintu masuk. Hanya ada single bed dalam kamar itu, dibagian kanan ada sofa panjang dan juga lemari. Sedangkan dibagian kiri ada jendela dengan gorden yang tertutup, meja kecil dengan peralatan untuk membuat kopi atau teh termasuk teko listrik dan ada juga kulkas mini . Di dinding sebelah kanan pintu masuk tepat di depan tempat tidur ada televisi yang langsung tertempel di dinding kamar.
Artha masih kesal dengan kejadian di meja resepsionis tadi. Keputusan sepihak dari pria yang menjadi teman sekamarnya itu membuat dirinya harus berbagi atmosfer yang sama, dengan pria asing yang baru dikenalnya beberapa jam yang lalu. Ralat belum kenal, karena dia belum mengetahui siapa nama pria itu. Sebab itulah dia meminta KTP pria tersebut, agar dia bisa tahu identitasnya.
Sebelum menjawab pertanyaan Artha, pria itu meletakkan kopernya di sembarang arah dan memakai sandal hotel. "Untuk apa?" Jawabnya kemudian. Namun, pria itu masih heran, kenapa logatnya jadi berubah? Bicaranya juga sudah lebih lembut meski sedikit berteriak.
"Untuk jaga-jaga."
"Maksudnya?" Tanyanya dengan penuh kebingungan. Apa hubungannya kamar hotel ini dengan KTP?
"Siapa tahu kamu akan berbuat macam-macam terhadap saya, disini saya yang akan jadi korban, bukan?" Jawab Artha sambil membuka kopernya, untuk mengeluarkan pakaian ganti.
Macam-macam? Jadi Korban? Apa lagi ini? Masih belum paham apa maksud dari gadis ini.
"Kan kita tidur di kamar yang sama nih dan bahkan tempat tidur yang sama karena hanya ada satu tempat tidur di kamar ini. Kalau kamu tidur di sofa, enggak akan muat karena tinggi tubuhmu melebihi panjang sofa. Mau tidak mau kita berbagi tempat tidur dengan guling sebagai pembatas. Saya kalau sudah ketemu sama yang namanya kasur langsung terlelap dan bahkan seperti mayat jika tidur. Saya takut, saat saya terlelap kamu curi-curi kesempatan buat melakukan tindakan yang dapat merugikan saya."
"Nah, terus apa hubungannya dengan KTP? Saya enggak mau kasih sembarangan ke kamu, saya takut juga nanti KTP saya kamu gunakan untuk pinjol" pria tersebut menjawab masih dalam mode kebingungan.
Dengan menghela nafas panjang, karena hampir saja kesabaran Artha habis di tambah dengan matanya yang sudah 5 watt. Tempat tidur dihapannya juga sudah memanggilnya untuk segera dia tiduri. "Saya hanya akan menfoto KTPmu karena saya membutuhkan identitas kamu untuk berjaga-jaga jika besok kamu menghilang dari kamar hotel ini. Kemana saya akan cari kamu jika kamu sudah melakukan sesuatu hal yang membuat saya jadi korban. Dalam banyak kasus 'pemerkosaan' yang jadi korban itu perempuan karena mereka akan hamil dan hilanglah mahkota mereka. Sedangkan laki-laki? Tinggal enaknya saja" Artha menjelaskan dengan panjang lebar sambil menekankan kata 'pemerkosaan' agar lebih jelas.
"Kenapa tidak kamu saja yang tidur di sofa?" Katanya dengan begitu santai.
What??? Sofa yang begitu kecil apa bisa nyaman dia tidur disana. Oke, baiklah. Daripada urusannya makin panjang kali lebar, lebih baik mengalah.
"Oke!" Ada jeda sejenak sebelum Artha melanjutkan perkataannya. "Tapi, tetap saja saya butuh KTPmu. Siapa yang tahu jika saat saya terlelap kamu cari kesempatan. Lagian kita belum kenal satu sama lain. Jadi saya perlu tahu identitasmu."
Siapa juga yang mau tidur sekamar dengan orang asing? Ini bukan keinginannya, pria dihadapannyalah yang membuat mereka harus menginap di kamar yang sama malam ini.
*FLASHBACK ON*
Jadi, setelah mereka turun dari mobil dan Artha menanyakan perihal biaya mobil yang mereka gunakan. Pria itu mengabaikannya. Dan melenggang menuju meja resepsionis.
"Selamat malam pak, buk" sapanya dengan sopan. "Ada yang bisa saya bantu?" Lanjutnya lagi sambil tersenyum kepada kedua tamu dihadapannya. Dari name tag yang digunakan gadis itu bernama Sari Sinulingga.
"Selamat malam juga mbak Sari, saya ingin memesan kamar untuk malam ini. Kira-kira masih ada tidak ya?" Sahut pria berambut pirang dengan jambang yang mulai panjang dengan sopan.
"Oh baik pak, sebentar saya check dulu untuk kamarnya" sahut Sari sambil duduk untuk membuka komputer. Tak sampai 3 menit dia menampakkan wajahnya kembali dengan berdiri. "Maaf pak, buk menunggu lama. Kamarnya masih ada, sisa satu kamar lagi."
Tanpa diminta oleh resepsionis, Artha langsung saja memberikan KTPnya. Sontak pria berambut pirang itu langsung terkejut melihat kejadian itu.
"Saya mau kamar itu mbak, sekarang juga saya ingin check in, ini ID Card saya mbak. Berikan kamar itu pada saya saja mbak dan buat atas nama saya saja". Katanya tanpa melihat pria disampingnya yang sudah bergeser dua langkah dari meja resepsionis itu. Karena Artha ingin memiliki kamar itu sehingga dia langsung maju menghadap resepsionis . Takut kamar itu akan diambil oleh pria pirang disebelahnya.
Bukan hanya pria itu saja yang terkejut, Sari pun sama terkejutnya dengan pria itu. Dia sempat berpikir mereka adalah pasangan suami istri atau kekasih. Pasalnya hanya pria pirang itu yang menyapa.
"Bukannya kalian pasangan? Tak ada salahnya kan jika kalian tidur di kamar yang sama?" Kata Sari.
"Bu...."
Belum sempat Artha melanjutkan perkataannya. Pria di sebelahnya langsung memotong ucapannya. " Iya, mbak kami sepasang kekasih. Check in atas nama saya saja. Ini ID Card saya". Katanya sambil menyodorkan ID Cardnya.
"Apa katamu?" Pa-sa-ngan ke-ka-sih?" Kata Artha mengeja ucapannya. Ingin protes rasanya tak mungkin. Jam sudah menunjukkan tengah malam. Kemana lagi dia akan cari penginanpan?
Sari langsung saja mengambil ID Card pria itu dan langsung melakukan registrasi tanpa meperdulikan omongan pasangan dihadapannya. Tak sampai sepuluh menit, proses check in pun selesai.
"Ini kunci kamarnya pak, buk. Kamarnya ada di lantai 3 nomor 6D. Silahkan gunakan lift sebelah kanan" kata Sari memberikan kunci kamar berupa kartu dan menunjukkan arah lift.
"Ayo, sampai kapan kamu akan berdiri disana?" Ajak pria itu sambil menarik tangan Artha. Tangan satunya dia gunakan untuk menarik kopernya.
Sontak Artha pun mengikuti langkah pria dihadapannya menuju lift. Dia menurut saja saat pria itu mengajaknya masuk ke dalam lift. Seolah ada yang menghipnotis dirinya dan tanpa banyak protes masuk ke dalam lift. Pria itu menekan tombol lift dan segera pintu lift tertutup membawa mereka ke lantai 3.
Ting.
Pintu lift pun terbuka kedua arah berlawanan. Keluarlah mereka dari lift membawa koper masing-masing menuju kamar mereka. Tak perlu bersusah payah untuk mencari keberadaan kamar hunian mereka karena kamar itu tepat berada di depan lift.
Tanpa berlama-lama pria pirang itu menempelkan kartu kunci kamar ke pintu kamar hotel. Tanpa menunggu lama pintupun terbuka dan segeralah mereka masuk ke kamar hotel.
*FLASHBACK OFF*
Bersambung.
Setelah Artha menerima KTP dari teman satu kamarnya itu, dia langsung mengambil handphone dari slingbagnya. Dan menfoto KTP itu, sekarang dia tahu nama pria itu. Agha Hasiholan P utra Zerrin, pria dengan postur tubuh tegap dengan tinggi 180cm, rambut pirang, wajah tirus, hidung mancung, mata bulat dengan warna maniknya coklat madu, dan bibir tipis.Sempurna! Apa? Wait!!! Kenapa Artha baru menyadarinya sekarang? Padahal mereka sudah bersama sejak dua jam yang lalu. Di mobil yang sama dan bahkan sekarang mereka ada di kamar yang sama. 'Kemana mata dan pikiranku? Sehingga makhluk Tuhan paling seksi plus ganteng ini tidak kuperhatikan' bathin Artha.Artha sudah terlebih dulu membersihkan dirinya. Mandi dengan menggunakkan air panas, tubuhnya sekarang sudah semakin rileks dan ringan. Dan kini dia siap merebahkan diri di sofa. Sesuai dengan kesepakatan di awal dirinyalah yang tidur di sofa untuk malam ini. Sebelum merebahkan diri, Artha mengecek ponselnya untuk mengetahui ad
Kini Agha sudah berada di ruangannya. Ruangan minimalis yang ada di kantor cabang Medan, cabang Artha Company. Setelah menerima telepon dari kakeknya, dia bergegas ke kantor. Karena teriakan dari sang kakek mengharuskan dia beranjak dari kamar hotel. Dia bangun pukul 11.00 WIB, sementara jam masuk kantornya adalah jam delapan pagi.Karyawan di kantornya sudah melakukan persiapan untuk penyambutan dirinya. Yang disambut malah tidak muncul setelah menunggu selama hampir dua jam lebih. Acara penyambutan itupun bubar begitu saja, banyak karyawan yang kecewa atas kejadian itu. Bagaimana tidak kecewa? Mereka sudah bersusah payah membuat dekorasi di lobi kantor, datang satu jam lebih awal dan bahkan sebagian dari mereka melewatkan sarapan tetapi yang akan disambut tidak muncul.Sebenarnya kedatangan Agha ke kantor cabang sudah diketahui oleh karyawannya seminggu yang lalu. Kabar ini langsung di sampaikan oleh CEO Artha Company. Oleh karena itu mereka membuat sebuah acara untu
Lagi, lagi, dan lagi,,, kenapa harus kamu lagi yang ada dibenakku? Tak bisakah kamu enyah barang sejenak saja dari pikiranku?***Sudah seminggu berlalu sejak Artha meninggalkan hotel tempat dia bermalam bersama pria asing itu. Dan selama seminggu itu pula dia tak bisa tidur dengan nyenyak. Selalu saja pria itu muncul dalam pikirannya bahkan dalam mimpinya. Adegan dimana pria itu memeluknya, begitu hangat itu yang Artha rasakan. Bahkan aroma tubuh pria itu masih saja terasa dalam indra penciumannya.Sesekali Artha menghembuskan napas dengan kasar. Pikirannya masih saja tertuju pada pria itu. Seseorang yang sudah duduk di sampingnya pun tak dia tahu. Padahal sudah menemaninya hampir setengah jam."Tha""Tha"Tak ada sahutan dari si empunya nama. Mau tak mau diapun membuat volume suaranya lebih kuat."ARTHA SAULINA!"Seketika Artha terhenyak dari lamunan panjangnya. Entah sudah berapa lama dia duduk di tempat itu ba
Tok tok tokSebuah pintu ruangan diketuk dari luar, tanpa menunggu persetujuan dari dalam pintu langsung saja dibuka."Pak, lima belas menit lagi meeting akan segera dimulai," Ucok berkata dari balik pintu tanpa melangkah masuk ke ruangan.Agha tak menyahut perkataan asistennya itu atau lebih tepatnya tak mendengarnya. Pikirannya masih sibuk seperti hari-hari sebelumnya. Bukan memikirkan pekerjaan, karena tidak banyak dokumen yang perlu ditanda tangani maupun untuk diperiksanya.Sial!Terdengar umpatan kecil dari mulut Agha. "Di mana aku mencari gadis yang bernama Artha? Sudah cek berbagai media sosial, bukan hanya satu atau dua orang yang bernama Artha. Ada ratusan orang." Agha bermonolog, dia masih sibuk dengan pikirannya dan mengingat percakapannya dengan Ucok dua hari yang lalu."Kamu pikir hanya satu orang yang bernama Artha? Mungkin saja dia tak menggunakan media sosial." Uc
"STOP!" Semua orang diruangan itu sangat terkejut kala mendengar teriakan dari atasan mereka. Kenapa tiba-tiba atasannya ini menghentikan persentasi? Ada apa gerangan? Mungkinkah atasannya ini tidak tertarik dengan persentasinya atau dengan gambar yang ditampilkan? Berbagai pertanyaan muncul dalam benak setiap orang. Tanpa kecuali pak Martinus yang ikut merasa syok, belum pernah ada yang menghentikannya secara tiba-tiba seperti ini. Namun rasa terkejut mereka mereda saat atasannya berdiri dan manyalami pak Martinus. "Terima kasih pak, atas persentasinya. Ini sungguh luar biasa, sekali lagi saya ucapkan terima kasih pak. Kalau boleh tahu kapan bapak akan pulang? Saya berencana untuk mengunjungi resort itu bersama bapak. Anda tidak keberatan jika saya ikut bersama bapak,kan?" Permintaan Agha itu sungguh sangat mencengangkan semua orang. Karena dalam benak mereka pastilah atasannya akan marah tetapi semua yang ada dalam pikiran mereka ditepis ole
Artha kini disibukkan dengan berbagai masakan, hari ini udanya pulang. Dan udanya mengabari bahwa dia tidak pulang sendiri, ada dua orang yang ikut bersamanya. Udanya menyarankan agar membuat makan malam mereka dan untuk kedua orang yang pulang bersamanya. Artha tidak masalah dengan memasak itu adalah salah satu keahliannya yang patut diacungi jempol. Dulu, dia ingin kuliah dengan mengambil jurusan tata boga,tapi bapaknya melarang. Dia tidak berani melawan perkataan bapaknya dan hanya pasrah dengan mengambil jurusan Akuntansi. Namun, diam-diam ia selalu belajar memasak dan bercita-cita ingin memiliki restoran. Meski itu pernah hampir terwujud, jika saja sahabatnya tidak menipunya. Di meja makan telah terhidang berbagai makanan hasil kreasi Artha sendiri. Semuanya adalah makanan khas batak. Ada sayur daun ubi tumbuk, ikan mujair bakar dan yang digoreng dengan sambal andaliman dan sambal tuk-tuk. Ada ikan teri sambal juga. Semua makanan yang terhidang menggugah selera. Dan tan
Setelah makan malam selesai, Artha bergegas ke belakang rumah. Suasana malam ini lumayan dingin langit tampak gelap sebentar lagi mungkin akan turun hujan. Untuk menghagatkan badan Artha menyalakan tungku perapian yang biasa mereka gunakan untuk memasak air minum. Sesekali Artha memasukkan kayu bakar kedalam tungku agar api membesar sehingga dapat lebih menghangatkan tubuhnya karena saat ini ia hanya menggunakan kaos tanpa tambahan jaket. Artha mengingat kembali momen makan malam dimana dia melihat pria yang tidur bersamanya di hotel. Pria itu duduk bersila dengan nyaman dan tersenyum ke arah Artha seakan tak terkejut akan kehadiran Artha. Sepanjang makan malam pria itu selalu melirik Artha dan sesekali melemparkan senyuman. Sementara Artha sendiri sudah tak nyaman dengan posisinya apalagi jantungnya yang tak bisa diajak kompromi berdetak begitu kencang dan bahkan sampai saat ini masih bertalu-talu. Inikah tamu udanya? Pria yang selama ini mengusi
Suasana hening mendominasi malam ini, hanya suara jangkrik yang sesekali terdengar. Tak ada yang memulai pembicaraan, keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Agha dan Artha tengah duduk di depan perapian. Artha membalik sesuatu di dalam bara api dan menambah kayu bakar ke dalam tungku. Priuk besar yang berisi air telah mendidih, sudah cukuplah air itu untuk persediaan minum dua hari ini. “A-pa… .” Agha “Ka-mu… .” Artha Keduanya berbicara secara bersamaan memecah keheningan malam. “Ladies first,” ujar Agha kemudian dengan senyum menawan. Sepertinya pria di sampingnya ini sangat menghormati perempuan terbukti saat dirinya terlebih dahulu mempersilahkan Artha untuk berbicara. Apa yang ada dipikiran Artha buyar seketika. Kalimat yang telah dirangkainya hilang terbawa angin malam. “Ada perlu apa kamu ke desa ini?” Akirnya setelah beberapa detik berlalu Artha bisa menyuarakan kalimatnya. Tapi itu sudah benarkah? Padahal saat makan malam