Keesokan harinya, Artha berangkat ke Indonesia tanpa diantar oleh Aylin. Perjalanan yang ditempuh dari Turki ke Indonesia kurang lebih 20 jam. Itu masih ke Jakarta belum ke Medan. Kota asalnya. Pesawat menuju KNO sedikit delay, karena cuaca pada hari itu mendung. Jadi, pesawat tidak dapat mengudara. Setelah menunggu selama 2 jam lebih, barulah pesawat berangkat.
Perjalanan dari Jakarta menuju Medan sekitar 2 jam. Badan Artha pegal semua, yang dia butuhkan saat ini adalah kasur yang empuk. Dia ingin segera sampai dan bisa mengistirahatkan dirinya. Hampir satu harian dia berada dalam pesawat. Membuat dirinya jetlag, akibat terlalu lama di pesawat. Setelah 2 jam berada di pesawat, akhirnya sampai juga di bandara.
Sekarang di sinilah dia berada, di kota kelahirannya. Bandara Kualanamu, yang secara resmi beroperasi atau dibuka untuk umum pada tanggal 25 juli 2013. Bandara Kualanamu ini dibangun untuk menggantikan Bandar Udara Internasional Polonia yang telah berusia lebih dari 85 tahun.
Saat ini sudah pukul 11 malam, ini adalah penerbangan terakhir. Sehingga suasana di bandara ini lumayan sepi. Mungkin saja tidak ada mobil atau taxi yang akan membawa Artha keluar dari bandara untuk mencari penginapan. Sesampainya di pintu keluar bandara, dia hanya melihat satu mobil. Apakah mobil itu sedang menunggunya? Atau justru mobil sudah ada penumpangnya? Artha memberanikan diri untuk bertanya.
"Bang," sapanya kepada orang tersebut, "bisa antar saya bang?"
Yang ditanyapun tersenyum, bingung harus mau jawab apa pasalnya dia sudah ada penumpang. "I-iya de, adek mau kemana?"
"Mau ke kota bang, tapi sepertinya hanya ini ya mobilnya? Gak ada yang lain?" Sahutnya sambil melihat ke sekitar berharap ada mobil atau angkutan lainnya.
"Iya dek, hanya motor ini yang ada, yang lain sudah pada pulang dan bawa sewa juga."
(Motor adalah sebutan mobil di daerah Medan. Penggunaan istilah 'mobil' kurang populer di Medan. Mereka lebih senang menyebut mobil dengan nama 'motor).
Kenapa begitu? Apa mereka sudah pada ngantuk? Atau sudah tau tak akan ada penumpang lagi?
Seakan tau apa yang dipikirkan oleh lawan bicaranya, si supirpun berkata" semua supir sudah pada pulang dek, hanya saya yang betah tinggal, bersyukur masih ada sewa, cantik lagi". Dengan tersenyum jahil dan logat kas daerah Medan dia menggoda Artha.
Apa maksudnya ini? Apa supir ini mesum? Takut juga jika naik mobil ini jika hanya mereka berdua.
"Lae, kita jadi berangkat nggak?"suara dari dalam mobil memutus obrolon mereka. Katanya tadi tak ada sewa. Ehhh,,, tapi tak apalah, mudah-mudahan bisa ikut nebeng. Modus juga ini supir ya.
(Lae artinya secara asli ipar, seorang pria dan memiliki saudari maka suami dari saudarinya akan dipanggil lae. Namun seiring berkembangnya zaman dan kata lae ini sering dipakai diperkotaan, maka maknanya bergeser menjadi 'saudara' atau seperti bro untuk bahasa gaulnya).
Sebelumnya, si supir sudah ada penumpang dan mereka sudah saling menyapa dan berkenalan. Jadilah supir tersebut mengajari penumpangnya untuk memanggilnya Lae. Karena dari penampilannya dia bukan orang Medan dan bukan juga orang pribumi lebih ke bule gitu.
Sambil menghampiri ke sumber suara, "bentar lek, ada satu orang lagi, cewek cantik, kasihan gak ada motor lagi hari ini. Bisa tidak dia ikut sama kita lek?" Tak ada sahutan dari dalam mobil. Tetapi dari raut mukanya yang dilihat supir sepertinya orang itu setuju.
"Ayok dek, kita sama lae itu, mau 'kan adek ikut satu motor sama kita. Udah malam ini tak ada lagi motor, gak usah takut kau, aku tak makan orang." Lagi-lagi supir itu mengajak Artha dengan logat khasnya.Dan tanpa minta persetujuan, supir itu langsung saja membuka pintu penumpang bagian kiri. Karena bagian kanan sudah diduduki pria tadi.
"Koper saya gimana bang?" Tanya Artha sebelum masuk ke mobil.
"Tenang, nanti saya masukkan ke bagasi, adek masuk saja dulu."
" Terima kasih bang," Artha dengan tenang masuk ke mobil dan tak lupa menutup pintu mobil.
Sementara supir tersebut memasukkan koper ke bagasi dan bergegas masuk ke mobil dan segera menghidupkan mesin mobil. Mobilpun berjalan perlahan menyusuri jalanan bandara. Lima menit kemudian mobil sudah berada di pintu keluar bandara.
Tanpa sengaja supir melihat dari kaca spion tengah mobil. "Kok diam saja lek, dek?" Supir sengaja berbicara karena suasana dalam mobil tersebut seperti kuburan. Sunyi mencekam, bahkan lebih parah dari kuburan.
Untuk memecahkan suasana hening dalam mobil tersebut, supir itupun memperkenalkan dirinya "nama saya Baringin Malau, dari dolok masihol," masih dengan logat kasnya dia berbicara.
Sekalipun sudah lama merantau keluar pulau sumatera, jika kembali lagi ke Medan. Logat itu tidak akan pernah hilang. Itulah ciri khasnya, bukan hanya si Baringin itu saja. Sebagian bahkan hampir 90% penduduk kota Medan, sejauh manapun kaki melangkah, sangat sulit untuk melupakan logat daerahnya. Ciri khasnya itu adalah dalam penekanan huruf "e". Dan juga jika berbicara terkesan seakan marah-marah.
"Ohh, aku boru Sa ... Auw..." Belum sempat dia meneruskan kata-katanya tiba-tiba saja mobil menabrak sesuatu. "Hati-hati nyetirnya bang," Artha mengingatkan.
"Maaf dek, Lek. Ada jalan berlobang tadi, jadi aku tak sempat mengelak."
"Sudahlah jangan mengoceh terus, bisa- bisa kita tak jadi ke hotel. Malah ke hotel del Luna itupun klo kita diterima." Nah, 'kan mulailah keluar dialek Medan itu, meski sudah lama merantau jauh. Beda pulau, beda negara, beda cuaca lagi. Tetap ciri khas itu tak lupa dari dirinya. Sudah tersemat sejak lahir.
Baringin tertawa menanggapi perkataan Artha sementara penumpang disamping Artha hanya diam saja. "Apa itu hotel del Luna dek?" Tanya Baringin kemudian.
"Pernah nonton drakor tidak bang? Itu salah satu judul drama korea bang, tempat persinggahan sementara bagi para arwah yang akan terbang ke alam baka. Itu hanya ada di dramalah bang. Di dunia nyata mana ada itu. Lanjutlah mengemudi bang dan hati-hati agar kita selamat sampai tujuan." Artha menjelaskan sambil mengingatkan agar tetap hati-hati. Mana mau dia mati muda 'kan?
Artha melirik sekilas pria disebelahnya. Dan tatapan mereka bertemu dikaca mobil samping pria itu. Saling menatap dan membisu, pria itu tak mengalihkan pandangannya begitupun Artha. Seakan ada yang menghipnotis mereka.
"Ke hotel mana kita ini lek?" Baringin kembali berbicara mengalihkan pandangan mereka berdua.
"Lae saja yang rekomendasikan ke hotel mana kita, lae lebih tahu daerah Medan, bukan?" Pria tersebut menjawab sambil menetralkan detak jantungnya.
"Oh, ya sudah ke Hotel DT saja kita, kebetulan calon aku kerja disana, hitung-hitung buat tambahan komisi dia. Bagaimana dek?" Supir bertanya kepada Artha sambil melirik ke kaca spion tengah mobil.
"Fokus bang, lihat ke depan klo bawa motor. Aku ikut saja bang. Sudah lama juga aku tak ke medan ini. Hampir delapan tahunan, sudah banyak berubah ku tengok kota Medan ini" jawabnya sambil melihat keluar jendela. Menikmati angin malam.
Obrolan mereka di dominasi oleh si Baringin ini. Sesekali membuat candaan, menceritakan pengalaman hidupnya yang sudah berkeliling Indonesia. Karena begitu dia tamat SMA langsung pergi merantau. Baru setahun dia jadi supir travel di Kualanamu ini, jadi tidak begitu banyak dia tahu tentang kota Medan yang sudah banyak perubahan. Mobil yang mereka tumpangi akhirnya tiba di tujuan.
Namun sepasang penumpang itu larut dalam lamunan masing-masing. Entah apa yang mereka pikirkan. Terlebih pria tersebut yang banyak diam, seperti seseorang yang tak terjamah. Hanya Artha yang sedikit menanggapi celoteh supir itu.
"Kita sudah sampai Lek, dek," suara supir mengejutkan lamunan mereka.
"Ahh, iya bang. Bantu turunkan koperku bang."
Baringin menurut dan bergegas ke belakang mobil menurunkan semua barang-barang mereka dari bagasi. Saat Artha ingin membayar berapa biaya mobil, Baringin menolak dan sudah dibayar lunas.
Pastilah pria tersebut yang membayarnya. Tak ingin berhutang budi. Artha segera menyusul pria tersebut masuk ke hotel menghampiri meja resepsionis.
"Bang, berapa tadi abang bayar biaya motor itu? Kita bagi dua saja ya, tak enak kurasa hanya abang saja yang bayar." Begitulah ucapannya, tak malu-malu. Meski sudah lama di negeri orang, dia tak melupakan logat dari daerahnya.
Tak ada sahutan dari pria tersebut. Dia diam menatap wajah gadis didepannya. Memindai setiap inci wajah gadis tersebut. Dilihatnya dari mulai ujung rambut sampai kaki dan berhenti menatap manik mata gadis tersebut.
"Manis," gumannya tanpa sadar dan masih didengar oleh Artha.
Bersambung.
"Sini KTPmu?" Sentak Artha tiba-tiba, saat mereka sudah ada dalam kamar hotel. Mereka kini berada dalam satu kamar hotel. Kamar itu berukuran 4x6 meter persegi, dengan kamar mandi di sebelah kiri pintu masuk. Hanya ada single bed dalam kamar itu, dibagian kanan ada sofa panjang dan juga lemari. Sedangkan dibagian kiri ada jendela dengan gorden yang tertutup, meja kecil dengan peralatan untuk membuat kopi atau teh termasuk teko listrik dan ada juga kulkas mini . Di dinding sebelah kanan pintu masuk tepat di depan tempat tidur ada televisi yang langsung tertempel di dinding kamar. Artha masih kesal dengan kejadian di meja resepsionis tadi. Keputusan sepihak dari pria yang menjadi teman sekamarnya itu membuat dirinya harus berbagi atmosfer yang sama, dengan pria asing yang baru dikenalnya beberapa jam yang lalu. Ralat belum kenal, karena dia belum mengetahui siapa nama pria itu. Sebab itulah dia meminta KTP pria tersebut, agar dia bisa tahu identitasnya. Sebelum
Setelah Artha menerima KTP dari teman satu kamarnya itu, dia langsung mengambil handphone dari slingbagnya. Dan menfoto KTP itu, sekarang dia tahu nama pria itu. Agha Hasiholan P utra Zerrin, pria dengan postur tubuh tegap dengan tinggi 180cm, rambut pirang, wajah tirus, hidung mancung, mata bulat dengan warna maniknya coklat madu, dan bibir tipis.Sempurna! Apa? Wait!!! Kenapa Artha baru menyadarinya sekarang? Padahal mereka sudah bersama sejak dua jam yang lalu. Di mobil yang sama dan bahkan sekarang mereka ada di kamar yang sama. 'Kemana mata dan pikiranku? Sehingga makhluk Tuhan paling seksi plus ganteng ini tidak kuperhatikan' bathin Artha.Artha sudah terlebih dulu membersihkan dirinya. Mandi dengan menggunakkan air panas, tubuhnya sekarang sudah semakin rileks dan ringan. Dan kini dia siap merebahkan diri di sofa. Sesuai dengan kesepakatan di awal dirinyalah yang tidur di sofa untuk malam ini. Sebelum merebahkan diri, Artha mengecek ponselnya untuk mengetahui ad
Kini Agha sudah berada di ruangannya. Ruangan minimalis yang ada di kantor cabang Medan, cabang Artha Company. Setelah menerima telepon dari kakeknya, dia bergegas ke kantor. Karena teriakan dari sang kakek mengharuskan dia beranjak dari kamar hotel. Dia bangun pukul 11.00 WIB, sementara jam masuk kantornya adalah jam delapan pagi.Karyawan di kantornya sudah melakukan persiapan untuk penyambutan dirinya. Yang disambut malah tidak muncul setelah menunggu selama hampir dua jam lebih. Acara penyambutan itupun bubar begitu saja, banyak karyawan yang kecewa atas kejadian itu. Bagaimana tidak kecewa? Mereka sudah bersusah payah membuat dekorasi di lobi kantor, datang satu jam lebih awal dan bahkan sebagian dari mereka melewatkan sarapan tetapi yang akan disambut tidak muncul.Sebenarnya kedatangan Agha ke kantor cabang sudah diketahui oleh karyawannya seminggu yang lalu. Kabar ini langsung di sampaikan oleh CEO Artha Company. Oleh karena itu mereka membuat sebuah acara untu
Lagi, lagi, dan lagi,,, kenapa harus kamu lagi yang ada dibenakku? Tak bisakah kamu enyah barang sejenak saja dari pikiranku?***Sudah seminggu berlalu sejak Artha meninggalkan hotel tempat dia bermalam bersama pria asing itu. Dan selama seminggu itu pula dia tak bisa tidur dengan nyenyak. Selalu saja pria itu muncul dalam pikirannya bahkan dalam mimpinya. Adegan dimana pria itu memeluknya, begitu hangat itu yang Artha rasakan. Bahkan aroma tubuh pria itu masih saja terasa dalam indra penciumannya.Sesekali Artha menghembuskan napas dengan kasar. Pikirannya masih saja tertuju pada pria itu. Seseorang yang sudah duduk di sampingnya pun tak dia tahu. Padahal sudah menemaninya hampir setengah jam."Tha""Tha"Tak ada sahutan dari si empunya nama. Mau tak mau diapun membuat volume suaranya lebih kuat."ARTHA SAULINA!"Seketika Artha terhenyak dari lamunan panjangnya. Entah sudah berapa lama dia duduk di tempat itu ba
Tok tok tokSebuah pintu ruangan diketuk dari luar, tanpa menunggu persetujuan dari dalam pintu langsung saja dibuka."Pak, lima belas menit lagi meeting akan segera dimulai," Ucok berkata dari balik pintu tanpa melangkah masuk ke ruangan.Agha tak menyahut perkataan asistennya itu atau lebih tepatnya tak mendengarnya. Pikirannya masih sibuk seperti hari-hari sebelumnya. Bukan memikirkan pekerjaan, karena tidak banyak dokumen yang perlu ditanda tangani maupun untuk diperiksanya.Sial!Terdengar umpatan kecil dari mulut Agha. "Di mana aku mencari gadis yang bernama Artha? Sudah cek berbagai media sosial, bukan hanya satu atau dua orang yang bernama Artha. Ada ratusan orang." Agha bermonolog, dia masih sibuk dengan pikirannya dan mengingat percakapannya dengan Ucok dua hari yang lalu."Kamu pikir hanya satu orang yang bernama Artha? Mungkin saja dia tak menggunakan media sosial." Uc
"STOP!" Semua orang diruangan itu sangat terkejut kala mendengar teriakan dari atasan mereka. Kenapa tiba-tiba atasannya ini menghentikan persentasi? Ada apa gerangan? Mungkinkah atasannya ini tidak tertarik dengan persentasinya atau dengan gambar yang ditampilkan? Berbagai pertanyaan muncul dalam benak setiap orang. Tanpa kecuali pak Martinus yang ikut merasa syok, belum pernah ada yang menghentikannya secara tiba-tiba seperti ini. Namun rasa terkejut mereka mereda saat atasannya berdiri dan manyalami pak Martinus. "Terima kasih pak, atas persentasinya. Ini sungguh luar biasa, sekali lagi saya ucapkan terima kasih pak. Kalau boleh tahu kapan bapak akan pulang? Saya berencana untuk mengunjungi resort itu bersama bapak. Anda tidak keberatan jika saya ikut bersama bapak,kan?" Permintaan Agha itu sungguh sangat mencengangkan semua orang. Karena dalam benak mereka pastilah atasannya akan marah tetapi semua yang ada dalam pikiran mereka ditepis ole
Artha kini disibukkan dengan berbagai masakan, hari ini udanya pulang. Dan udanya mengabari bahwa dia tidak pulang sendiri, ada dua orang yang ikut bersamanya. Udanya menyarankan agar membuat makan malam mereka dan untuk kedua orang yang pulang bersamanya. Artha tidak masalah dengan memasak itu adalah salah satu keahliannya yang patut diacungi jempol. Dulu, dia ingin kuliah dengan mengambil jurusan tata boga,tapi bapaknya melarang. Dia tidak berani melawan perkataan bapaknya dan hanya pasrah dengan mengambil jurusan Akuntansi. Namun, diam-diam ia selalu belajar memasak dan bercita-cita ingin memiliki restoran. Meski itu pernah hampir terwujud, jika saja sahabatnya tidak menipunya. Di meja makan telah terhidang berbagai makanan hasil kreasi Artha sendiri. Semuanya adalah makanan khas batak. Ada sayur daun ubi tumbuk, ikan mujair bakar dan yang digoreng dengan sambal andaliman dan sambal tuk-tuk. Ada ikan teri sambal juga. Semua makanan yang terhidang menggugah selera. Dan tan
Setelah makan malam selesai, Artha bergegas ke belakang rumah. Suasana malam ini lumayan dingin langit tampak gelap sebentar lagi mungkin akan turun hujan. Untuk menghagatkan badan Artha menyalakan tungku perapian yang biasa mereka gunakan untuk memasak air minum. Sesekali Artha memasukkan kayu bakar kedalam tungku agar api membesar sehingga dapat lebih menghangatkan tubuhnya karena saat ini ia hanya menggunakan kaos tanpa tambahan jaket. Artha mengingat kembali momen makan malam dimana dia melihat pria yang tidur bersamanya di hotel. Pria itu duduk bersila dengan nyaman dan tersenyum ke arah Artha seakan tak terkejut akan kehadiran Artha. Sepanjang makan malam pria itu selalu melirik Artha dan sesekali melemparkan senyuman. Sementara Artha sendiri sudah tak nyaman dengan posisinya apalagi jantungnya yang tak bisa diajak kompromi berdetak begitu kencang dan bahkan sampai saat ini masih bertalu-talu. Inikah tamu udanya? Pria yang selama ini mengusi
"Capek, Bang?" Rajata menyandarkan punggungnya pada kursi sofa, "iya," jawab Rajata dengan mata terpejam. "Sebentar, biar aku ambilkan minum." Artha bangkit, tapi dengan cepat Rajata mencegahnya, "tidak usah, Dek. Nanti, abang saja yang ambil." "Akhirnya kasusnya selesai. Setelah memakan waktu hampir 2 bulan. Tika dipenjara selama 3 tahun," guman Rajata masih dengan mata terpejam. Akibat kasus penculikan yang dilakukan Tika, gadis berambut gelombang itu mendekam di penjara. Karena setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76F dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Menurut Rajata itu terlalu ringan, seharusnya Tika mendekam selamanya di penjara. Mengingat bagaimana ia merencanakan penculikan pada Artha, sedangkan untuk Tina, kembaran Tika memilih kabur begitu tau Ti
"Menikahlah denganku!"Suara bariton mengejutkan Aisyah. Semua kunci yang dipegang olehnya terjatuh. Saat ini ia sedang ingin menutup pintu ruko tempat butiknya berada. Namun, karena suara bariton mengagetkannya, pintu tak bisa ia tutup.Aisyah semakin terlonjak kaget ketika membalikkan badan. Di hadapannya berdiri seorang pria yang masih lengkap mengenakan seragam berwarna coklat.Pria itu melangkah mendekat untuk membantu menutup pintu butik milik Aisyah."Mau apa kamu?" tanya Aisyah dengan gugup."Aku hanya ingin membantu menutup butikmu."Pria itu memunguti kunci yang berserakan di lantai. "Yan
"Kamu yakin akan melanjutkan pernikahan ini?"Saat ini Agha sedang berada dalam sebuah kamar hotel bersama Artha. Beberapa jam lagi adalah pemberkatan pernikahan mereka. Masih ada waktu untuk menunda pernikahan sebelum pemberkatan dimulai.Para MUA pilihan mamak sudah selesai merias dan membantu Artha memakai gaun. Agha meminta mereka semua meninggalkan dirinya dan Artha. Kini, tinggal ia dan Artha yang tinggal di kamar hotel itu. Agha ingin membujuk Artha sekali lagi untuk menunda pernikahan mereka. Namun, Artha tetap pada pendiriannya untuk melanjutkan pernikahan.Kondisi Artha belum sepenuhnya pulih. Fisik Artha masih lemah dan ia sedikit mengalami trauma akibat penculikan yang dialaminya. Luka dibagian kaki akibat ikatan yang terlalu kuat belum sepenuhnya p
Bab 87"Mamak di rumah aja, gak usah ikut!" Rendra melarang mamak untuk ikut pergi bersama mereka ketika mengekori langkahnya."Kenapa?" Mamak ingin ikut, ia yakin Artha berada di rumah kosong itu."Aku sama Bang Agha saja yang ke rumah itu. Bapak juga gak usah ikut, siapa tahu ada kabar terbaru dari bang Rajata tentang kak Artha," ucap Rendra dengan lembut."Tulang dan Nantulang sebaiknya istirahat saja di rumah. Kalau ada kabar terbaru kabari kami secepatnya. Setelah menemukan jam itu, kami akan pulang."Agha ikut membujuk kedua orang tua Artha agar tak ikut bersama mereka.Akhirnya kedua orang t
Bab 86."Siapa kira-kira?" tatapan mata bapak sangat tajam seolah ingin menghunus jantung Agha."Mak!"Seruan Rendra membuat Agha urung menjawab pertanyaan bapak."Ada apa?" tanya bapak dengan heran pada Rendra.Rendra mengabaikan bapak dan menghampiri mamak yang baru saja meletakkan minuman, "Mamak ada lihat jam aku?""Jam yang mana?""Jam yang seperti itu."Saat menunjuk, mata Rendra tertuju pada pergelangan tangan Agha yang kebetulan sedang memakai jam tangan yang s
Terdengar bunyi dering ponsel yang begitu nyaring, tanpa melihat siapa yang memanggil, Tika langsung menempelkan ponsel ke telinga begitu ia menggeser ikon telepon berwarna hijau. "Gue masih di rumah kosong ini. Kenapa suara lo kedengaran khawatir gitu?" Kemudian Tika melihat ponselnya dan menekan ikon loudspeaker. "Gimana gue gak khawatir, hampir aja gue ketahuan." Suara lawan bicaranya terdengar menghela nafas. "Ketahuan bagaimana? Bukannya semua udah gue kasih tau dan lo udah paham?" "Satu hal yang lo lupa, lo gak kasih tahu parfum yang lo pakai!" Suara diseberang terdengar sangat kesal, "sorry, gue gak berpikir sampai kesitu. Apa itu jadi masalah? Gue yakin lo bisa mengatas
Bab 84"Ternyata lo masih ingat wangi parfum Tika," ejek Riko. "Padahal sudah hampir enam bulan kita semua tidak pernah ketemu sama lo," imbuhnya lagi menatap tak percaya pada pria pirang itu."Lo salah, gue dan Tika dua bulan lalu baru bertemu. Kalo gak percaya tanya aja langsung pada orangnya."Agha melirik tajam pada Tika yang duduk dengan meremas kedua tangannya. Sontak semua mata tertuju pada Tika, dengan cepat Tika mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Agha yang semakin curiga melihatnya."Kalian tahu sendiri 'kan. Parfum yang digunakan Tika sangat menyengat dan bahkan bukan hanya gue yang menyadari jika Tika tidak pernah berganti parfum."Pandangan Agha masih tetap pada Tika yang duduk gelisah dengan kedua tangan masih saling meremas"Gu-e, hanya mencoba parfum Rani. I-ya 'kan Ran?" Tika menjawab dengan gugup sembari menyikut pergelangan tangan Rani meminta pembelaan pada gadis berambut sebahu itu."Santai aja kali Gha. Gue baru beli parfum baru dan meminta Tika untuk m
Bab 83Mentari merangkak menuju barat, tanda sore semakin merayap. Senja menyapa dengan lambaian warna jingganya. Keluarga Artha terlihat panik karena tidak menemukan Artha di kamar ataupun di halaman belakang. "Lapor polisi, Pah!" seru mamak wajahnya terlihat panik dan kelihatan sedikit pucat. Meskipun melapor kepada pihak yang berwajib belum bisa dilakukan, dengan spontan mamak tetap mengatakannya. Karena wanita paruh baya itu begitu panik dan cemas akan anak gadisnya yang tiba-tiba saja tidak berada di rumah. Artha memang selalu keluar, tapi ia selalu pamit sebelum hendak pergi kemanapun.Jika esok ia akan keluar, maka malam sebelum kedua orangtuanya tidur ia akan pamit dan mengatakan kemana tujuannya atau paling tidak ia akan menelepon atau mengirim pesan. Kali ini, Artha tidak pamit meski baru beberapa jam Artha tidak berada di rumah, tapi naluri keibuannya berkata Artha sedang tidak baik-baik saja. "Belum 1x24 jam Artha menghilang," jawab bapak dengan datar, terlihat santai.
Bab 82Entah kenapa selepas makan siang Agha tampak gusar. Sebentar duduk sebentar lagi berdiri. Begitu terus sampai berulang-ulang. Apa mungkin karena akan menghadapi hari pernikahan, tapi itu akan berlangsung 2 minggu lagi. Ia menyambar kunci mobil dan dompet yang berada di atas meja dengan cepat. Satu-satunya yang ada dipikirannya adalah Artha. Keluarga melarang mereka untuk bertemu sementara sampai pada hari H. Namun, saat ini pikirannya tertuju pada Artha, ada rasa yang tak biasa yang mengganjal. Ia pun sulit mengartikannya, padalah saat istirahat sembari makan siang ia sempatkan untuk video call dengan Artha. Ia pun melajukan mobilnya ke kediaman Artha dengan kecepatan rata-rata, beruntung jalanan tidak begitu macet. Mungkin belum jam kantor pulang. Setelah memarkirkan mobil tepat di depan rumah Artha, ia pun turun dan kedua orangtua Artha juga baru turun dari becak. Mereka berpapasan di depan rumah. "Bere, sudah kami bilang jangan d