Lagi, lagi, dan lagi,,, kenapa harus kamu lagi yang ada dibenakku? Tak bisakah kamu enyah barang sejenak saja dari pikiranku?
***
Sudah seminggu berlalu sejak Artha meninggalkan hotel tempat dia bermalam bersama pria asing itu. Dan selama seminggu itu pula dia tak bisa tidur dengan nyenyak. Selalu saja pria itu muncul dalam pikirannya bahkan dalam mimpinya. Adegan dimana pria itu memeluknya, begitu hangat itu yang Artha rasakan. Bahkan aroma tubuh pria itu masih saja terasa dalam indra penciumannya.
Sesekali Artha menghembuskan napas dengan kasar. Pikirannya masih saja tertuju pada pria itu. Seseorang yang sudah duduk di sampingnya pun tak dia tahu. Padahal sudah menemaninya hampir setengah jam.
"Tha"
"Tha"
Tak ada sahutan dari si empunya nama. Mau tak mau diapun membuat volume suaranya lebih kuat.
"ARTHA SAULINA!"
Seketika Artha terhenyak dari lamunan panjangnya. Entah sudah berapa lama dia duduk di tempat itu bahkan tak menyadari orang yang duduk disebelahnya.
"Ehh ... Na-ngu-da," Artha terbata karena sudah ketahuan melamun. "Sejak kapan Nanguda disini?" Tanyanya sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. Entah gatal atau tidak, yang pasti baru kemarin sore dia keramas dan pakai coditioner p*ntene.
"Akhir-akhir ini kamu sering melamun, lagi mikiran apa?" tanya seseorang itu yang dipanggil Artha dengan Nanguda.
Inang uda atau sering disingkat Nanguda yang artinya:
Panggilan suku Batak toba terhadap istri dari adik laki-laki ayah atau panggilan terhadap istri dari orang yang semarga yang urutan keturunannya setingkat dengan ayah tetapi lebih tua dari ayah.
Adapun Amang uda atau Bapa uda sering disingkat Uda adalah panggilan suku Batak Toba terhadap adik laki-laki dari ayah, panggilan terhadap laki-laki yang semarga dengan ayah yang urutan keturunannya setingkat dengan ayah tetapi lebih tua darinya, atau panggilan kepada suami dari adik perempuan ibu atau juga panggilan kepada suami dari inang uda.
"Kapan Uda pulang Nanguda?" Ahh si Artha ini bukannya menjawab pertanyaan malah bertanya lagi. Mau mengelak, tidak semudah itu kawan.
"Baru aja kemarin Udamu berangkat, sudah kau tanya kapan pulang. Nangudamu ini sudah biasa ditinggal Udamu selama berbulan-bulan. Nggak usah kau mengalihkan pertanyaanku tadi, kita sudah berteman lama. Apa yang kau pikirkan, hmm?" Goda Nanguda Artha yang bernama Lisa.
Jika sudah seperti ini Artha tidak bisa lagi mencari-cari alasan. Artha dan Lisa sudah berteman sejak kecil. Pertemuan pertama mereka saat Artha datang ke desa itu saat usianya 5 tahun. Artha tidak mau ikut dengan ayahnya yang dipindah tugaskan ke Papua. Dia memilih tinggal di desa bersama oppungnya.
Artha kecil yang pemalu dan pasti tidak bisa berbahasa daerah tidak memiliki teman. Karena di desa ini anak-anak menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa mereka sehari-hari. Jadilah Lisa yang pertama sekali mengajaknya bermain. Mereka tidak berbicara hanya menggunakan bahasa isyarat.
Sempat Artha berpikir jika Lisa saat itu tidak bisa berbicara. Begitupun Lisa berpikiran yang sama dengan Artha. Lisa memberanikan dirinya untuk mengenalkan dirinya.
"Lisa, Goarhu Lisa. Ise goarmu?" (Namaku Lisa, siapa namamu?) Sapa Lisa malu-malu.
Seakan mengerti akan ucapan lawan bicaranya. Artha pun melakukan hal yang sama dengan menjulurkan tangannya.
"Artha, Artha Saulina." Mereka saling berjabat tangan.
Dan tanpa Artha duga, anak-anak lainnya pun ikut menjabat tangan Artha dan memperkenalkan diri mereka masing-masing. Ada sekitar 10 anak yang mengekor dibelakang Lisa, mereka begitu senang mendapat teman baru.
Mulai sejak itu Artha, Lisa dan anak-anak lainnya bermain bersama, mandi bersama, melakukan berbagai permainan yang belum pernah Artha lakukan sebelumnya. Artha lebih akrab dengan Lisa, bukan berarti tidak berteman atau bermain dengan anak-anak lainnya. Hanya saja mereka sering tidur bersama, kadang tidur di rumah Lisa. Tetapi Lisa yang lebih sering tidur di rumah Artha. Mereka bertetangga, ibaratnya jika butuh sesuatu bisa langsung saling menjulurkan tangan tanpa keluar rumah.
Oh ya, Rumah di desa itu di dominasi dengan rumah adat batak atau Rumah Bolon. Tahu kan gimana bentuknya? Coba cari di om g*ogle bentuknya.
***
"Hey Artha! Kenapa malah melamum?" Lisa gemas melihat sahabat sekaligus keponakannya ini. Sejak menginjakkan kaki di desa ini seminggu yang lalu, selalu saja gadis disebelahnya ini melamun.
Artha kembali terkejut dibuat Lisa, "siapa yang melamun? Aku hanya terkenang dengan masa kecil kita, pertemuan awal kita dulu. Sungguh aku ingin kembali kemasa itu."
Memang betul kan? Artha beberapa menit lalu terkenang dengan masa kecil mereka. Itu beberapa menit lalu, sebelum itu dia kan sudah kepikiran dengan seseorang di hotel itu.
"Biarlah itu menjadi kenangan jangan larut didalamnya. Kamu boleh menyimpannya tapi jangan hidup didalamnya. Sekarang fokuslah pada hari ini dan hari akan datang." Kata Lisa sambil menepuk pundak Artha.
"Sejak kapan Anda bisa berkata bijak seperti itu."
Lisa hanya menanggapinya dengan tawanya dan kini mereka berdua tertawa bersama.
"Tapi, kamu belum menjawab pertanyaanku dari tadi. Kamu lagi memikirkan apa ga-dis? Jangan coba-coba membohongiku, karena saat ini juga aku sudah tau apa yang kau pikirkan. Tetapi aku menunggumu bercerita."
Artha masih saja diam meski sahabatnya ini sudah tahu dia berbohong. Walaupun sudah berpisah delapan tahun lebih dan kini Lisa sudah menikah, komunikasi mereka tetap terjalin dan kini semakin erat karena Lisa menikah dengan adik kandung ayah Artha sendiri.
"Atau kau sedang memikirkan laki-laki yang bertemu denganmu saat kau kembali ke Indonesia? Kalian bertemu di bandara dan kau begitu terpesona pada laki-laki itu? A-tau.. jangan-jangan kalian pernah duduk bersama?" Tanya Lisa bertubi-tubi.
Astaga Lisa ini benar-benar sahabat terbest. Bisa-bisanya dia tahu apa yang dipikirkan Artha. Tidak semua benar sihh, tapi ada sebagian peryataan Lisa itu benar. Bukan hanya duduk bersama bahkan mereka tidur di ranjang yang sama. Artha begitu syok setelah mendengar pertanyaan dari sahabatnya itu.
"Nggak usah ngarang dehh!" Jawab Artha ketus.
"Aku bukan ngarang, kelihatan tau dari muka kamu."
"Emang muka aku kenapa?"
"Mukamu sedang merah merona bak kepiting rebus," goda Lisa yang semakin membuat Artha kesal.
"Berarti betul dong, kau sedang memikirkan laki-laki yang bertemu denganmu di bandara. Seperti apa laki- laki itu? Yang mampu menyita seluruh waktumu. Apakah dia tampan melebihi artis korea? Atau lebih tampan dari pangeran Arab?"
Artha tak menjawab Nangudanya ini. 'Jika sedang tak berbadan dua sudah habis kujambak rambut kau itu ya Lisa Manohara' bathin Artha.
"Yang jelas lebih tampan dari artis korea dan lebih memesona dari pangeran Arab, puas kau?"
'Astaga kenapa aku ini berbicara tidak sopan'. Bukannya menyesali atas kejujurannya, namun Artha malah menyesal karena berbicara tidak sopan dengan istri adik Ayahnya ini.
Meski mereka seumuran, karena Lisa sudah menikah dengan adik Ayah Artha seharusnya dan memang harus Artha lebih sopan dan menghormati istri Udanya ini.
"Maaf, Nanguda. Habisnya Nanguda buat aku kesal sihh," kata Artha dengan raut menyesal sambil mengatupkan kedua tangan didadanya.
"It's OK, tha. Santai aja kali. Jadi benar nihhh, ada laki-laki yang sedang menyita perhatianmu?" Kata Lisa sambil menaikkan kedua alis matanya.
"Udah ahh, jangan membuatku makin kesal." Kini muka Artha sudah seperti benang kusut.
"Bagaimana dengan kalian? Kenapa bisa tiba-tiba menikah? Jangan bilang selama ini kalian berdua sudah menjalin kasih dibelakangku?"
Kini gantian Lisa yang mukanya merah merona atas pertanyaan Artha itu. Selama ini itu saja pertanyaan yang dilontarkan Artha kepada Lisa sesampainya dia di desa ini semiggu yang lalu, tetapi Lisa selalu bungkam. Sama seperti saat ini Lisa pura-pura tak mendengar dan berlalu meninggalkan Artha.
"Berarti betulkan, kalian sudah lama menjalin kasih tanpa sepengetahuanku. Awas saja kalau Uda sudah pulang, akan aku tanyakan langsung." Geram Artha sambil mengikuti kepergian Lisa.
Bersambung...
Tok tok tokSebuah pintu ruangan diketuk dari luar, tanpa menunggu persetujuan dari dalam pintu langsung saja dibuka."Pak, lima belas menit lagi meeting akan segera dimulai," Ucok berkata dari balik pintu tanpa melangkah masuk ke ruangan.Agha tak menyahut perkataan asistennya itu atau lebih tepatnya tak mendengarnya. Pikirannya masih sibuk seperti hari-hari sebelumnya. Bukan memikirkan pekerjaan, karena tidak banyak dokumen yang perlu ditanda tangani maupun untuk diperiksanya.Sial!Terdengar umpatan kecil dari mulut Agha. "Di mana aku mencari gadis yang bernama Artha? Sudah cek berbagai media sosial, bukan hanya satu atau dua orang yang bernama Artha. Ada ratusan orang." Agha bermonolog, dia masih sibuk dengan pikirannya dan mengingat percakapannya dengan Ucok dua hari yang lalu."Kamu pikir hanya satu orang yang bernama Artha? Mungkin saja dia tak menggunakan media sosial." Uc
"STOP!" Semua orang diruangan itu sangat terkejut kala mendengar teriakan dari atasan mereka. Kenapa tiba-tiba atasannya ini menghentikan persentasi? Ada apa gerangan? Mungkinkah atasannya ini tidak tertarik dengan persentasinya atau dengan gambar yang ditampilkan? Berbagai pertanyaan muncul dalam benak setiap orang. Tanpa kecuali pak Martinus yang ikut merasa syok, belum pernah ada yang menghentikannya secara tiba-tiba seperti ini. Namun rasa terkejut mereka mereda saat atasannya berdiri dan manyalami pak Martinus. "Terima kasih pak, atas persentasinya. Ini sungguh luar biasa, sekali lagi saya ucapkan terima kasih pak. Kalau boleh tahu kapan bapak akan pulang? Saya berencana untuk mengunjungi resort itu bersama bapak. Anda tidak keberatan jika saya ikut bersama bapak,kan?" Permintaan Agha itu sungguh sangat mencengangkan semua orang. Karena dalam benak mereka pastilah atasannya akan marah tetapi semua yang ada dalam pikiran mereka ditepis ole
Artha kini disibukkan dengan berbagai masakan, hari ini udanya pulang. Dan udanya mengabari bahwa dia tidak pulang sendiri, ada dua orang yang ikut bersamanya. Udanya menyarankan agar membuat makan malam mereka dan untuk kedua orang yang pulang bersamanya. Artha tidak masalah dengan memasak itu adalah salah satu keahliannya yang patut diacungi jempol. Dulu, dia ingin kuliah dengan mengambil jurusan tata boga,tapi bapaknya melarang. Dia tidak berani melawan perkataan bapaknya dan hanya pasrah dengan mengambil jurusan Akuntansi. Namun, diam-diam ia selalu belajar memasak dan bercita-cita ingin memiliki restoran. Meski itu pernah hampir terwujud, jika saja sahabatnya tidak menipunya. Di meja makan telah terhidang berbagai makanan hasil kreasi Artha sendiri. Semuanya adalah makanan khas batak. Ada sayur daun ubi tumbuk, ikan mujair bakar dan yang digoreng dengan sambal andaliman dan sambal tuk-tuk. Ada ikan teri sambal juga. Semua makanan yang terhidang menggugah selera. Dan tan
Setelah makan malam selesai, Artha bergegas ke belakang rumah. Suasana malam ini lumayan dingin langit tampak gelap sebentar lagi mungkin akan turun hujan. Untuk menghagatkan badan Artha menyalakan tungku perapian yang biasa mereka gunakan untuk memasak air minum. Sesekali Artha memasukkan kayu bakar kedalam tungku agar api membesar sehingga dapat lebih menghangatkan tubuhnya karena saat ini ia hanya menggunakan kaos tanpa tambahan jaket. Artha mengingat kembali momen makan malam dimana dia melihat pria yang tidur bersamanya di hotel. Pria itu duduk bersila dengan nyaman dan tersenyum ke arah Artha seakan tak terkejut akan kehadiran Artha. Sepanjang makan malam pria itu selalu melirik Artha dan sesekali melemparkan senyuman. Sementara Artha sendiri sudah tak nyaman dengan posisinya apalagi jantungnya yang tak bisa diajak kompromi berdetak begitu kencang dan bahkan sampai saat ini masih bertalu-talu. Inikah tamu udanya? Pria yang selama ini mengusi
Suasana hening mendominasi malam ini, hanya suara jangkrik yang sesekali terdengar. Tak ada yang memulai pembicaraan, keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Agha dan Artha tengah duduk di depan perapian. Artha membalik sesuatu di dalam bara api dan menambah kayu bakar ke dalam tungku. Priuk besar yang berisi air telah mendidih, sudah cukuplah air itu untuk persediaan minum dua hari ini. “A-pa… .” Agha “Ka-mu… .” Artha Keduanya berbicara secara bersamaan memecah keheningan malam. “Ladies first,” ujar Agha kemudian dengan senyum menawan. Sepertinya pria di sampingnya ini sangat menghormati perempuan terbukti saat dirinya terlebih dahulu mempersilahkan Artha untuk berbicara. Apa yang ada dipikiran Artha buyar seketika. Kalimat yang telah dirangkainya hilang terbawa angin malam. “Ada perlu apa kamu ke desa ini?” Akirnya setelah beberapa detik berlalu Artha bisa menyuarakan kalimatnya. Tapi itu sudah benarkah? Padahal saat makan malam
Setelah Nagundanya ̶̶̶ Lisa melahirkan Artha memutuskan untuk ke rumah bapaknya yang berada di jalan kapten muslim. Sesampainya di rumah keadaan sepi, Artha mengambil kunci di bawah pot bunga dimana kunci rumah biasanya diletakkan. Sudah bertahun-tahun berlalu kebiasaan penghuni rumah ini masih sama. Artha memasukkan anak kunci ke handle pintu dan pintu rumah pun terbuka. Suasana rumah masih sama, tak ada yang berubah letak dan susunan perabot rumahpun nyaris sama. Hanya pohon mangga di depan rumah yang sudah ditebang mungkin sudah tua atau sengaja ditebang. Tak ingin menunggu lama Artha masuk ke kamarnya, setahunya kamar itu ditempati oleh adik bungsunya. Dia ingin mandi karena seharian dalam perjalanan membuat seluruh tubuhnya lengket dan berencana ingin mandi sebelum mengistirahatkan diri sejenak. Artha memindai jam dipergelangan tangannya, masih ada waktu untuk memejamkan mata sebelum para penghuni rumah pulang. Biasanya pukul 5 sore adik-adiknya akan
Mentari telah muncul dari peraduannya, memunculkan sinar hangat yang menyilaukan mata. Agha masih berbaring dan bergelung dengan selimut di tempat tidur. Semalaman dia tidak bisa tidur, pikirannya berkelana menginat kembali percakapan antara dirinya dengan calon lae (abang ipar). Karena dari pembicaraan mereka berdua, Rajata calon laenya sangat mendukung hubungan yang akan mereka jalin. “Hei bro, ada yang ingin aku bicarakan denganmu secara empat mata.” Agha menoleh ke kanan dan ke kiri tidak ada orang lain selain dirinya. Agha menunjuk dirinya sendiri mengisyaratkan lawan bicaranya apakah dia yang diajak untuk berbicara. “Iya kamu, siapa lagi yang ada di sini,” kata Rajata dengan tegas menunjukkan sikap militernya. Ketika mereka sudah duduk Rajata pun mengeluarkan sebungkus rokok dari saku celananya, “kamu merokok?” tanyanya kemudian mengangsurkan rokok ke hadapan Agha. Agha hanya menggeleng. “Tidak lae,” jawabnya singkat. ‘Dia sudah
Disebuah kafe yang terletak di persimpangan pusat kota, seorang pria tengah duduk di sudut ruangan. Pandangannya sesekali mengarah ke pintu masuk kafe, tampaknya pria tersebut sedang menunggu seseorang. Suasana kafe lumayan sepi, hanya beberapa pengujung itupun anak sekolahan yang kebetulan nongkrong sambil menikmati wifi gratis. Pintu kafe terbuka, muncul seorang pria dengan pakaian kaos oblong warna putih dan memakai jaket dengan celana jeans koyak di lutut. Pria itu memakai kacamata hitam serta masker. Pria itu memilih duduk di meja dekat pintu dan memesan air mineral dingin. Namun, bukan pria itu yang dia tunggu. Setelah pelayan kafe mengantar air mineral pintu kafe kembali terbuka. Seorang gadis langsung masuk dan perhatiannya langsung tertuju ke sudut ruangan kafe sebelah kiri. Gadis yang mengenakan kaos berwarna putih dan celana jeans pensil berwarna b